
Penulis : Afandi M.
Gendre : Kehidupan
MALAM itu,  beberapa helai daun beringin tua menanggalkan diri dari  ranting yang  selama ini menopang hidupnya. Tanpa mengucapkan patah kata  terakhir,  atau sekadar salam perpisahan, mereka terus terombang-ambing  oleh  hembusan angin, selembut belaian seorang ibu, sehalus kasih  Tuhan.  Dedaunan itu terbalik, kemudian terbalik lagi, seolah-olah  sedang  melepaskan semua beban yang teramat berat yang selama ini terus   menghantam pertumbuhannya. Satu yang dilakukannya bersama daun-daun   lain, tak akan menyerah sampai akhir, akan bertahan hingga tangkai   mungilnya tak mampu menahan lagi bobotnya, atau memang telah habis waktu   bagi mereka melihat dunia dan segala isinya.
Daun-daun  itu terus  melayang jatuh, secara tak sengaja, salah satunya mampir di  depan suatu  sosok, memperlihatkan kebahagiaan yang tak pernah padam.  Sosok itu  menengadah, memperhatikan pohon yang kala itu menjadi  peneduhnya dari  malam. Pohon tua itu bereaksi, mengucapkan ‘hallo’  sebagai tanda  perkenalan dengan tarian monolog ranting-rantingnya.
Sosok  itupun  membalas, menyunggingkan senyuman mistis yang ia punya, beralih  menatap  daun di depannya, sembari berkata, “Kasihan sekali nasibmu,  tanggal di  usia muda.”
Entahlah, apakah sebenarnya bulan  molek di angkasa  dapat mendeskripsikan sosok itu dengan tepat atau  tidak, tapi setidaknya  inilah yang bisa ia beritahukan; rambut sosok  itu panjang terurai,  dengan tiap helainya berwarna gelap namun kadang  bercahaya jika bulan  berniat memfokuskan sorotannya. Bola matanya  indah, hitam dengan sedikit  lingkar kekuningan yang membatasi warna  hitam di bagian tengah,  diselimuti kelopak berdaging dengan kulit  sewarna tembaga yang menawan.  Alisnya hitam lebat, berderet sempurna.  Hidungnya lancip, dan bibir yang  tak terpoles gincu atau pewarna apa  pun, original, pucat,  makin menambah mungil bentuknya. Bulan  saja kelihatan iri waktu  menyampaikan deskripsi fisik sosok itu.  Samar-samar, dari balik punggung  dan gaunnya, sepasang sayap, entah  hanya imajiner ataupun merupakan  refleksi atas sesuatu, karena sering  kali sepasang sayap itu tak ingin  memperlihatkan dirinya, gelap, mirip  bulu angsa tetapi dengan tiap  helaian hitam yang mengilat, tampak  serasi dengan warna gaun semata kaki  yang saat itu dikenakannya.  Telapak kakinya telanjang, dipenuhi oleh  butiran-butiran pasir dari  neraka.
Sosok itu, setelah entah  bagaimana proses  awalnya, merasa percakapan antara dirinya dan pohon  beringin (dengan  sulur-sulurnya yang banyak menjuntai) telah usai,  berpaling ke tubuh di  sampingnya (tak jelas apakah itu tubuh, jiwa, atau  roh, tapi mari kira  sebut saja dia sebagai jiwa, karena itu terasa  layak dan tak melanggar  aturan apa pun)―jiwa dengan rantai yang mengikat  pergelangan kakinya.  Sosok yang tengah berdiri itu kembali  menyunggingkan senyuman, kini tak  dapat dijelaskan apakah senyuman itu  termasuk mistis atau tidak,  mungkin itulah keahliannya, bisa  memanipulasi senyumannya, sembari  berkata pelan, “Kenapa kau diam?  Padahal tadi saat aku memisahkanmu  dari tubuhmu yang terbujur kaku di  jalanan karena ditembus timah panas,  kau berontak setengah mati dan tak  mau keluar dari jasadmu itu,” ia  memberi jeda pada kalimat berikutnya,  “Apa kau tiba-tiba berubah  menjadi makhluk yang bisu? Menyedihkan sekali  kau ini, bahkan angin pun  bisa bicara.”
Jiwa itu tertawa pendek,  terdengar seperti  pasrah atau sebaliknya, kemudian membuka mulutnya,  “Aku masih belum  menyadari kalau aku ini sudah mati. Jujur, aku sendiri  tak sanggup  menerimanya, meski nyatanya memang tak ada yang menangisi  kematianku,  tapi bagaimanapun itu penolakanku, semua ini sudah  ditakdirkan, bukan?  Aku tak bisa apa-apa lagi.” Dan kemudian, entah  kata-kata setelahnya  itu merupakan sebuah permintaan atau hanya seruan  pengharapan, ia  kembali bersuara, lemah, “Tapi setidaknya, apakah aku  punya pilihan?  Yah, kita semua punya pilihan, kan? Lagipula aku merasa  belum  menentukan pilihanku.”
“Maksudmu?” tanya sosok bergaun  hitam  itu, melangkah mendekat, berniat duduk, seraya menatap tajam jiwa  yang  ada di sampingnya. Sayapnya secara tiba-tiba tak terlihat lagi.  Sayap  imajiner itu menghilang begitu saja. Mungkinkah sayap hitam itu  masuk ke  punggungnya, atau malah menyamarkan diri serupa udara hingga  tak nampak  lagi, atau jangan-jangan, perubahan emosi pemiliknya telah  memudarkan  keberadaan sepasang sayap itu?
“Apakah aku  masih punya pilihan?”  jiwa itu mengulangi singkat, sepenuhnya berharap  kalau jawaban yang akan  ia terima adalah jawaban yang memang ia  inginkan.
Sosok itu menaikkan sebelah alisnya, “Pilihan antara cahaya atau kegelapan, apa itu maksudmu?”
Jiwa   yang dirantai itu terdiam, tak berkata apa pun, sebaliknya, sosok di   sampingnya hanya tertawa, seakan-akan setiap huruf maupun kata yang   diucapkan jiwa itu hanya sebuah lelucon.
“Apakah kau berbuat kebaikan semasa hidupmu?”
Jiwa   itu kembali tak menjawab. Ia malah menengadah ke langit yang tak   dihalagi cabang-cabang beringin, memperhatikan tiap bintang yang   seolah-olah tersenyum kepadanya. Menyemangatinya dengan memancarkan   cahaya yang lebih terang dari biasanya.
Sosok itu kembali  tertawa  tatkala merasakan kemenangan berada di pihaknya. Kini, tak ada  hal  menawan yang bisa terlihat dari wujudnya. Sangat berbeda dari  wujudnya  tadi. Tawa sosok itu keras sekali, merasakan kehadiran lelucon  tengah  menggelitiknya. Akhirnya, setelah puas dengan tawanya, ia  mengambil  sebuah buku bersampul hitam yang entah berupa keajaiban, bisa  tergeletak  di sampingnya. Dengan perlahan, ia membuka tiap lembar  kertas  catatannya, mencari sebuah nama.
Ia berhenti di lembar pertengahan catatan tersebut setelah menemukan apa yang dicarinya.
“Kurasa   kau pasti setuju dengan apa yang akan kukatakan ini. Dari yang kubaca,   kau tak pernah berbuat kebaikan. Yang kutahu dari kisah hidupmu  adalah,  kau itu seorang manusia yang arogan, tak bisa mengontrol emosi,  bekerja  sebagai pencuri dan perampok, penjudi, suka berkata kasar,  menjadi  pemerkosa, bahkan tak segan-segan membunuh. Kau sudah sering  keluar  masuk penjara sejak kau kecil. Tak ada catatan baik dari   kelakuan-kelakuanmu. Yang ada hanya tinta merah di setiap perbuatanmu.”
Sosok   itu diam, terkejut, tatkala melihat sebuah catatan hitam kecil  tertulis  di sudut kiri bawah bukunya. Kecil sekali tulisan itu hingga   hampir-hampir tak bisa terbaca olehnya.
Bagaimana bisa?
“Hmm...   tapi ini takkan cukup untuk memasukkanmu ke dalam cahaya. Tak mungkin   bisa dengan hanya melakukan perbuatan sekecil ini. Itu sudah pasti. Kau   tak akan pergi ke sana. Kau tentunya akan ikut bersamaku menjadi   penghuni kegelapan. Kau akan menjalani semuanya di sana.” Sosok itu   tertawa lagi setelah menutup catatannya. “Persiapkan dirimu untuk   menemui semua teman-temanmu di bawah sana. Kau akan mendapat tempat yang   paling dasar atas semua perbuatan yang telah kaulakukan.”
Sosok   itu berdiri. Buku catatan ia genggam di tangan kirinya. Hembusan angin   seolah takut membelai rambut dan gaunnya sekarang, malah memilih   menghentikan lajunya untuk sesaat. Sepasang sayap sosok itu tiba-tiba   muncul lagi, kali ini disertai bias-bias kegelapan yang ada pada setiap   kepakannya. Ia menengok, tersenyum keji pada jiwa di belakangnya,   menarik ujung rantai yang mengikat kaki jiwa itu untuk menyuruhnya   berdiri. Kemudian seperti sekali jentikan jari, sebuah pintu muncul di   hadapan mereka. Yah, muncul begitu saja dengan rentangan waktu yang   begitu cepat, hingga melebihi kecepatan apa pun yang bisa dan tak mampu   terbayangkan. Pintu itu mirip pintu gerbang menuju ke dunia lain, beda   dimensi. Secara logis, dunia yang tak akan bisa terjamah oleh ilmu   pengetahuan atau semacamnya. Tidak sebelum jiwa ditarik keluar dari   jasadnya.
Suasana malam berubah hening, kelam. Tak ada  suara satu  makhluk pun yang terdengar selain suara pohon beringin yang  bergemerisik  pilu, kecewa. Keceriaan malam yang sebelumnya tercipta  seperti tertelan  oleh sesuatu yang menakutkan. Bahkan bulan pun  tertutup awan, dan  cahaya bintang-bintang pun satu-persatu meredup.  Begitu menakutkan  hingga angin pun laksana pergi menjauh, air berhenti  mengalir,  anjing-anjing di seluruh penjuru tempat berhenti  menggonggong,  serangga-serangga berhenti bermesraan, dan kuncup bunga  tak berani  bermekaran.
Dari dalam gerbang, terdengar  isakan dan teriakan,  namun suaranya lebih mirip jeritan minta ampun.  Jeritan yang belum  sekalipun pernah terdengar di dunia. Jeritan-jeritan  yang jelas-jelas  dapat mengusir kebahagiaan dan menggantinya dengan  kepedihan, atau  bahkan dapat memisahkan keceriaan dan kesedihan  sekaligus di dua tempat  yang sama buruknya. Melebihi suara tangis  kelaparan atau jeritan setelah  perang usai, yang hanya meninggalkan  kesengsaraan dan beragam bentuk  penderitaan lain.
Suara  pecutan dan hantaman benda dari dalam  pintu itu bergantian, jauh lebih  keras dari suara hantaman bom yang  melanda setiap negara yang terlibat  perang, lebih sering ketimbang  rentetan senjata, atau lebih dahsyat  dari letusan gunung merapi yang  debu vulkaniknya memenuhi udara. Semua  yang sudah pernah dialami manusia  itu tidak ada apa-apanya dengan yang  ini. Yang ini jauh berkali-kali  lipat lebih besar dan  berpangkat-pangkat lebih mengerikan.
“Ayo  masuk,” ujar sosok  malaikat itu memaksa. “Teman-temanmu sudah lama  menunggumu di dalam.”  Bibirnya menyeringai lebar. Sangat puas akan  intimidasinya.
Dengan  langkah berat, jiwa itu berjalan menuju  pintu. Bunyi gemericing rantai  ikut menyertai kepergiannya. Namun tak  tahu kenapa, tiap langkahnya  semakin berat, gerakan tangannya kaku lalu  berhenti, dan langkahnya  lebih berat lagi setelahnya. Kakinya menolak  untuk masuk ke pintu  tersebut, sementara dari dalam, lidah api mulai  menyambar keluar, tak  sabar menunggu sedetikpun kehadirannya.
Sebuah  cahaya  keputihan muncul dari atas langit, semakin membesar dan meluas  hingga  membentuk sebuah ruang seperti pintu. Kegelapan yang sebelumnya   menutupi tempat itu tiba-tiba sirna. Angin kembali berhembus, bulan dan   bintang kembali bercahaya, para serangga, meski masih agak ragu,   bermesraan di balik sarang-sarang mereka, dan yang lebih mengejutkan   lagi, kebahagiaan langsung tercipta beratus hingga beribu kilometer   jauhnya.
Sosok bergaun hitam dan jiwa itu diam terpaku.  Entah  benar atau tidak, mereka seperti menikmati tiap sinar yang  menyentuh  kulit mereka. Sinar yang bertabur serbuk-serbuk mimpi dan  kedamaian.  Terasa hangat hingga memenuhi kerongkongan dan akhirnya  mengisi  paru-paru yang lapang.
Satu sosok lagi, namun  bercahaya, melangkah  keluar dari pintu tersebut. Langkahnya anggun,  turun melalui tangga  yang dibentuk udara, hingga akhirnya beberapa  detik kemudian, ia  memijakkan kakinya di atas tanah. Sayap imajinernya  yang berwarna keputihan  mengembang, memamerkan tiap helai bulu halusnya  yang tak bernoda dari  surga.
“Kenapa kau datang ke sini? Jiwa ini bagianku. Kau sudah tahu itu, kan?” ujar sosok malaikat yang bergaun hitam, ketus.
“Apa   kau lupa, jiwa-jiwa di alam semesta ini bukan bagian siapa pun,  kecuali  Dia.” Sosok itu tersenyum, dan itu sungguh menenangkan. “Aku  datang  untuk menjemputnya. Tempatnya bukan berada di dalam kegelapan,  sebab dia  sudah membuat pilihan terakhirnya, jauh sebelum dia berada di  sini  bersama kita.”
“Pilihan? Apa maksudmu dengan kata  itu? Aku muak  tahu,” sosok tadi tak percaya dan kemudian tertawa.  Mulutnya dipenuhi  oleh deretan gigi-gigi yang menghitam dan tajam,  sekiranya dapat  memotong apa saja yang masuk ke dalamnya. “Tidak...  tidak, tak mungkin  dia punya pilihan. Semuanya sudah ditetapkan dan dia  akan ikut  bersamaku,” jelasnya. “Tempat terbaiknya adalah bersamaku.  Lagipula tak  ada hal baik yang pernah dia perbuat.” Sosok malaikat itu  berbohong.
Jiwa yang sedang dibicarakan itu terdiam, hanya menunduk, bagaikan menerima saja dengan pasrah semua keputusan yang dicapai.
Sosok lain, yang bercahaya itu, tersenyum.
“Jangan   berbohong. Kurasa, kau sendiri telah membacanya di catatanmu, dan   catatan itu tidak pernah berbohong, kan. Dia pernah berbuat hal baik   meskipun itu hanya sekali dalam seumur hidupnya.”
“Tapi  itu tidak  cukup,” sosok hitam itu tidak setuju. Ia tetap bersikeras  bahwa jiwa itu  harus ikut dengannya―ke dalam kegelapan.
“Tetapi,  bagi-Nya, itu  saja sudah cukup. Hal kecil yang mungkin tak pernah  terpikirkan oleh  mereka, tetap tercatat sebagai sesuatu yang berharga  bagi mereka.  Seingatku, dia telah memberi makan ikan-ikan yang  kelaparan di sebuah  kolam di taman bermain anak-anak di tengah kota.  Walaupun perbuatan itu  tidak seberapa di matamu, namun berbeda, hal itu  besar artinya di mata  Penciptamu,” jelas sosok bercahaya bergaun  putih.
“Bagaimanapun caranya dia harus tetap ikut denganku. Tak peduli apa pun itu.”
“Meskipun kau mengacuhkan perintah dari-Nya?”
“Kau   tahu, aku sudah bosan dengan semua ini. Sudah jadi takdirnya kalau dia   harus ikut bersamaku ke dalam kegelapan. Jangan menghalangi jalanku,   jika kau tak mau musnah.”
“Aku tak takut, bukan kau yang menentukan aku akan musnah atau tidak.”
Sosok   hitam itu mundur, geram, bola matanya yang tadi tampak menawan,  berubah  menjadi hitam pekat dengan rambut yang ikut berganti menjadi  pijaran  api yang siap menyambar tanpa ampun. Rumput yang dipijaknya  langsung  layu, mengering, kemudian mati dengan daun-daun yang  menghitam.
Selang  beberapa detik, ketika sosok hitam itu  bersiap menyerang, tiba-tiba  sebuah sinar putih muncul dari langit.  Terus turun bagai sinar laser  dari luar angkasa, hingga pada akhirnya,  cahaya itu menghantam sosok  bergaun hitam, membuat seluruh tubuhnya  terbakar dan dalam sekejap  mengubahnya menjadi serpihan debu-debu  kristal. Rumput bekas pijakannya,  secara ajaib, kembali menghijau. Jauh  lebih hijau dari sebelumnya.
Jiwa itu tercengang melihat  peristiwa yang terjadi di hadapannya, tak percaya atas apa yang baru  saja dilihatnya. Semenit kemudian sosok  bersayap putih itu berkata  dengan nada bijaksana, “Kemarilah, ikutlah  bersamu ke dalam cahaya.”
“Te... terima kasih, tapi bagaimana aku bisa...”
Sosok itu menyentuh pundaknya dan serta-merta, jiwa itu diliputi kehangatan yang tak terkira banyaknya.
“Kau   tak akan pernah tahu dengan pasti, apa yang baik dan yang buruk itu   sesungguhnya. Kau―kalian semua hanya menjalaninya. Kalian membuat   pilihan dan itulah pilihan kalian. Tapi apa kau tahu, pilihan tidak   hanya datang sekali, tapi mereka datang berkali-kali, hanya sekadar   untuk mengingatkan kalian bahwa pilihan yang terdahulu kalian ambil   adalah pilihan salah, atau jika kalian mengambil pilihan yang baru, itu   akan merubah sesuatu, semakin memperbesar diri kalian di mata-Nya.  Jadi,  pilihanmu telah menentukan di mana tempatmu berada selanjutnya.”  []
 by Afandi Muhammad
1 komentar:
ah, deskripsi yang cantik kali ini... meski alur cerita yang demikian, pembaca masih dapat menikmati setiap kata-katamu kk...
hmm.. hanya saja aku hampir salah tangkap di awal-awal cerita, mungkin hanya karena keteledoranku saja. he he he.. :)
Posting Komentar