Rabu, 24 Maret 2010

A Little Cup Of Tea

BAB 1 (Siluet 2)

Berjarak satu kilometer sebelum gugusan pegunungan Alpen Barat, di sebuah desa kecil, Grasse, desa yang tiap harinya bangun dengan keceriaan dan terlelap dalam angan-angan, seorang gadis penggembala bernama Nathalie Enaiesse hidup dengan ibunya. Berpuluh tahun yang lalu, sejak masih kanak-kanak, dia telah kehilangan ayahnya. Waktu itu Nathalie belum mengerti apa sebenarnya arti dari sebuah kehilangan yang sesungguhnya. Pikirannya masih lugu, tak ada luka. Yang dia rasakan hanyalah kedukanaan karena kehilangan seseorang yang dicintainya. Namun ketika beranjak dewasa, hal sebelumnya hanya berupa lumatan kesedihan, sekarang, seolah menjadi beban alamiyah kesehariannya. Yang dia yakini adalah, sebuah kehilangan apa pun itu bentuknya, sama saja seperti tambahan rutinitas baru dalam perjuangan keras untuk hidup.

Dengan ibunya yang sakit-sakitan, Nathalie satu-satunya sumber penopang hidup bagi keluarganya. Sebagai anak mandiri yang sekarang mengalami peralihan kedewasaan dan pengemban tanggung jawab, karena sulitnya mendapat pekerjaan, Nathalie menerima saja ketika ada seorang juragan domba memberinya pekerjaan untuk menggembalakan domba-dombanya. Tugasnya hanyalah merawat domba-domba itu, membiarkan hewan itu mengembik dan mencari makan di padang rumput, mengawasinya sembari berteduh di bawah pohon, lalu membawa mereka kembali pulang ke kandang. Sebagai imbalan atas perawatan tersebut, Nathalie berhak atas satu anak domba setiap kali domba-domba itu menghasilkan anak domba lebih dari lima ekor. Namun Nathalie lebih menginginkan uang sebagai upah harian (meskipun lebih sedikit), ketimbang anak domba yang perlu dibesarkan lagi, sementara dia dan ibunya tidak bisa menunggu. Perut mereka tidak mau menunggu selama itu.

A Little Cup Of Tea

BAB 1 (Siluet 1)

Konon katanya, manusia diciptakan dari setengah malaikat dan setengahnya lagi iblis. Dulu sekali, di istana-Nya, ketika Tuhan merasakan kesunyian hidup dalam keistimewaan dan kesempuraan yang dimiliki-Nya, Dia lalu memutuskan untuk mulai menciptakan sebentuk materi yang bisa menemani-Nya di setiap waktu.

Di dalam laboratorium percobaannya, Tuhan melakukan eksperimen, mensintesa berbagai macam zat unik. Dia adalah seorang alkimia yang handal dan sangat berbakat, sumber dari pemikiran penciptaan yang hebat. Melakukan ekstrak dari berbagai zat, mengkalkulasikan kemungkinan, mencampurnya, kemudian mereduksi zat tersebut hingga menjadi sesuatu. Tanpa perlu mengalami kegagalan uji, Tuhan lalu menghasilkan penemuan pertama-Nya, dan Dia menamakan temuan itu sebagai cahaya dan api. Dua elemen kepatuhan dari sebuah eksekusi yang matang. Cahaya melengkapi api, dan begitupun api tak akan ada artinya tanpa bantuan cahaya. Kedua elemen tersebut berimbang.

Hal inilah yang menjadi titik awal terbentuknya sesuatu yang bisa saling melengkapi. Akan tetapi tanpa disangka-sangka, salah satu dari elemen tersebut bisa bersikap di luar kendali, bukan dalam konteks pembangkangan, tapi hanya melenceng dari awal mula penciptaannya. Dan Tuhan tak semudah itu memusnahkan ciptaannya hanya karena berbeda dari yang seharusnya, berbeda dari konsep penciptaannya. Dan berdasarkan hal tersebut, Tuhan lalu berkesimpulan untuk melakukan proyek eksperimennya yang lain, umpama melakukan sebuah perbaikan dari penciptaan yang Dia lakukan sebelumnya, kembali lagi ke ruang kerjanya dan memikirkan sebuah teori kalkulasi yang rumit, percampuran, bersifat dinamis, yang nantinya dapat tinggal dan menetap di kerajaan Tuhan yang luas.