Minggu, 30 November 2008

Quote Vol. 2

"Ketakutan manusia selama ini merupakan perlawanan hidup manusia yang realistis menuju ke sebuah dunia teror yang dengan sengaja mereka ciptakan sendiri, dan biasanya digunakan untuk menutupi kekurangan yang ada pada diri mereka--inti dari permasalahan yang tak dapat diselesaikan."


Note:
~Kutulis saat ketakutan kembali menyambangiku di malam itu~
- Bandung/30 November 2008 -

Kenangan Sam. (Sejarah Angin) - Finish

Penulis : Afandi M.
Gendre : Roman dan Kehidupan
Lain-lain : Berseri (3)

KULIHAT tubuhnya yang lemah tak bergerak. Aku berlutut dan meraih kepalanya yang bersimbah darah dan kudekatkan ke dadaku. Walaupun begitu, ia masih terlihat cantik. Manis itu tak akan semudah itu luntur dari wajahnya. Secantik dewi khayangan. Tak ada yang bisa mengambil kecantikan itu darinya. Kupegang tangannya lalu kugoyangkan sedikit tubuhnya, seperti perahu yang terombang-ambing di lautan bergetar ke sana kemari.

“Kai!” panggilku penuh harapan.

Aku semakin panik saat menangkap detak jantungnya kian melemah.

“Kai, jangan pergi dulu,” kataku sambil terisak. “Masih banyak yang akan kita lakukan bersama-sama. Apakah kau masih ingat janjimu dulu? Katamu, kau ingin terus ada bersamaku dan tak mau terpisahkan. Kai, jangan pergi dulu... aku mohon... Kai... Kai... Kai...”

Tiba-tiba wanita itu membuka matanya sembari menyunggingkan senyuman. Mulutnya terbuka seakan ingin mengatakan sesuatu. Kudekatkan telingaku ke bibirnya.


“Aku mencintaimu dan akan terus ada bersamamu, akan terus berada di dalam hatimu. Aku akan menjadi angin yang berhembus sebagai penunjang hidupmu. Kita akan tetap bersama, selamanya...” katanya dengan suara antara hidup dan mati. Seakan itu adalah sebuah salam perpisahan untukku. Air mata berjatuhan dan tak bisa terbendung lagi. Penglihatanku langsung kabur karenanya. Kugelengkan kepalaku berkali-kali seolah-olah aku tak mau pikiran itu terjadi. Dan memang aku tak mau begitu. Apa pun akan kulakukan demi dirinya. Apa pun itu.

“Tidak... itu tidak akan terjadi. Kau jangan berbicara seperti itu. Kau akan terus bersamaku, melewati hari-hari ini, lalu kau akan menjadi pendampingku untuk selamanya, sampai akhir hidupku. Kita tak akan terpisahkan. Tak akan... Kai!!!”

Di belakang, orang-orang bermunculan secara ajaib. Berbisik-bisik seolah-olah aku tak bisa mendengarkan ucapan mereka. “Kasihan sekali wanita itu,” ujar seseorang tepat di belakangku. “Apakah ia sudah mati?” kata yang lainnya.

Dasar manekin-manekin tak berguna, semprot hatiku. Mereka seakan tak peduli atas apa yang terjadi padaku. Enyahlah kalian semua. Biar aku yang menemaninya sendiri di sini. Pergi sana.

Detakan jantung Kai makin melemah dan hal itu yang membuatku berdoa kepada Tuhan. Kini dengan penuh ketulusan yang mendalam, dengan seluruh kekuatan jiwa dan raga.

“Tuhan Maha Pengasih, Penyayang, dan Pemberi nikmat. Tuhan... berikan kami satu jam saja... satu jam saja... itu sudah cukup bagiku. Aku masih ingin mendengar detak jantung atau hembusan napasnya. Aku masih ingin melihat siluet senyumannya.”
Tapi dada Kai sudah sunyi, sesunyi senja dan ratusan orang yang membisu beku. Hanya senyuman di wajah Kai yang menandakan bahwa kematiannya itu tak sia-sia. Bahwa ia tak mengeluh atau protes atas kejadian itu. Ia tulus menerima takdirnya itu.

Suara sirine ambulance terdengar dari kejauhan.

“Terlambat... sudah terlambat...” kataku pelan sekali sampai-sampai telingaku saja seakan tak bisa mendengarnya. “Dia sudah pergi bersama angin. Dia telah menjadi bagian dari angin dan akan terus berhembus selamanya.”

Selamat tinggal, sayang. Kuijinkan engkau menjadi angin. Angin yang akan selalu ada bersamaku, berhembus di sampingku, dan mengisi kekosongan jiwaku.


***


Kusimpan kembali semua keping kenangan-kenangan itu. Kukunci dalam sebuah kotak di hatiku. Kugembok dengan gembok bersepuh emas lalu kuncinya kubuang ke dasar jurang yang paling dalam. Aku yakin tak ada yang bisa menemukannya. Tidak akan ada yang bisa.
Setelah puas menyaksikan riak gelombang sungai dan sebagian penghuninya, aku berbalik dan memperhatikan mobil yang lalu lalang satu persatu. Kupehatikan plat nomor, body, pengemudi, ban hingga kilauan peleknya yang memantul diterpa sinar matahari. Pokoknya tak ada yang luput dari pengamatanku. Setelah beberapa saat kemudian, kakiku melangkah sendiri jauh dari kesadaranku yang dikontrol oleh otak. Suara mesin mobil yang menderu makin terdengar. Kencang sekali seakan membuat gendang telingaku hancur lalu pecah, setelahnya mengeluarkan darah dan juga nanah. Walaupun begitu, kakiku tetap melangkah. Terus dan terus. Seperti tak akan pernah berhenti. Kulangkahi pembatas jalan. Tak lupa aku menengok ke dua arah berbeda.

“Bagus. Pas sekali,” kataku pelan. “Seperti yang telah aku rencanakan sebelumnya.”
Samar kudengar suara klakson mobil menderu dari kejauhan dan semakin dekat untuk detik-detik berikutnya. Aku tak peduli. Toh, aku tidak takut. Aku tidak takut mati. Tak ada yang kutakuti sekarang. Semuanya sama, tak ada bedanya. Tanpa Kai menemaniku, hidup tak ada lagi artinya. Sinar terik matahari sekali lagi menyinari wajahku. Hangat langsung merasuk ke sekujur tubuhku. Kini yang terdengar adalah suara klakson mobil diikuti teriakan dari pengemudi serta suara mesin mobilnya. Sedetik kemudian decitannya lalu terdengar. Tapi tetap saja. Walau pedal rem telah diinjak dan gas diturunkan, tetap saja kecepatan mobil itu tak berkurang. Benda bermesin itu pasti akan tetap menabrakku.

“Semuanya akan berakhir di sini. Tunggu aku, Kai. Aku akan segera berada di sampingmu di sana,” bisikku pada angin.

Kubayangkan tubuhku nantinya. Akan sedikit sakit tapi pasti akan kutahan demi dirinya, demi Kai. Tubuhku yang tak besar ini pasti melayang dan sesudahnya kalau tak menghantam kaca mobil, paling mati menghantam daratan aspal. Yah, langsung mati seketika. Itu yang aku mau.

“Criiittt... Blaaarrr...” Suara mobil menghantam sesuatu.

Bukan aku yang dihantam mobil itu. Beberapa detik sebelum benda itu akan menabrakku, seakan-akan ada hembusan angin yang menarikku ke belakang. Kencang sekali bagai tiupan puting beliung atau topan yang bersatu dengan badai, hingga menyebabkan tubuhku terhempas jauh. Aku mencoba bangkit. Lutut dan sebelah sikuku berdarah namun tidak parah. Hanya luka lecet kecil, bisa kutahan. Beberapa hari tanpa pengobatan yang intensif pun pasti akan sembuh.

Sepasang mataku lalu menelusuri jejak ban yang tertinggal di jalan raya di depanku. Jejak hitam itu berbelok dan si pembuat jejaknya ternyata menghantam sebuah pohon di sudut berlawanan. Asap mengepul dari tempat mesinnya, berwarna kelabu muda. Pengemudinya tak bergerak. Mungkin hanya pingsan akibat terbentur stir atau dasbor mobilnya. Dari gumpalan asap tadi, bisa kulihat jelas ada sosok terbentuk. Begitu sangat kukenal. Sedikit demi sedikit angin kian memperjelas bentuknya dan angin pula yang membuat guratan-guratan indah pada sosok tersebut. Berikutnya, selesai walau tak sesempurna aslinya.

“K... Kai,” kataku lemah. “Ka... kaukah itu?”

Guratan indah yang membentuk bibirnya mengurai senyuman. Suaranya yang dibawa angin mampir di telingaku. “Jangan bertindak bodoh, Sam. Jangan mengakhiri hidupmu seperti itu.”

“Ta... tapi... aku tak bisa hidup tanpa kau di sisiku, Kai,” jelasku. Mataku tiba-tiba berkaca-kaca, berat, dan akhirnya melelehlah semua kerinduanku menjadi air mata kebahagiaan yang tak kuasa kubendung lagi. Seperti semburat adrenalin yang melaju kencang tanpa henti di setiap aliran darahku sejak tadi begitu kencangnya membuat tubuhku bergetar.

“Sadarlah, Sam,” sosok itu kembali bersuara. “Bukankah sudah aku katakan padamu sebelumnya, walau aku tak ada lagi di dunia ini tapi jiwaku akan terus bersamamu. Akan terus ada. Aku akan menjadi angin yang terus berhembus di sampingmu, turut mengisi rongga napasmu.”

Kucoba tahan tangisku. Lagi, lagi, dan lagi. Tetap saja tak bisa, seolah-olah tangis itu adalah suatu keharusan yang harus dilakukan saat ini juga. Seperti tahap-tahap pada sebuah ritual yang begitu sakral, berbalut hawa mistis yang melekat pekat.
“Aku ingin bersamamu, Kai,” ucapku lembut. Kini aku sudah berhasil menahan gelora yang membara dalam tubuhku.

“Aku sudah bersamamu, Sam,” ujar sosok cepat.

Aku menggeleng sambil berusaha tersenyum. Sebelah batinku ikut campur. Sepertinya ia juga merasakan apa yang aku rasakan saat ini. Tidak... kau tidak ada bersamaku. Itu tak sebanding jika kau benar-benar hadir di sisiku setiap hari.

“Sam!” sosok menyerupai Kai itu memanggil. “Aku meninggal dengan bahagia. Tak ada yang perlu disesali dan ditangisi lagi. Semua sudah sesuai dengan takdirku. Sebaliknya, aku sangat senang bisa menikmati semasa hidupku bersamamu. Menjalani hari-hari penuh kenangan dan kebahagiaan. Dan terlebih lagi, kaubuat setiap hari itu menjadi berwarna. Kau adalah lelaki anginku, Samuel.”

Sosok itu tersenyum lagi sambil diakhiri dengan letupan kecil hingga gumpalan asap itu kian lama kian menghilang. Seperti tersapu oleh angin dan bersatu menjadi salah satu bagiannya, penunjang kehidupan manusia. Sosok Kai menghilang, menciptakan keheningan yang tidak biasa, begitu senyap.

Tak tahu mengapa, kata-katanya tadi seakan bisa menyembuhkan luka sayatan di hatiku yang telah lama menganga. Penghilang dahaga akan cinta dan kasih sayang yang dulu terabaikan. Mengusir segala kebencian lalu menggantinya dengan keceriaan dan kehangatan batin. Ia benar-benar bidadariku.

“Kuijinkan engkau menjadi angin. Angin yang akan selalu bersamaku,” kataku sambil menengadah ke langit. “Ini adalah kenanganku. Kenangan yang membentuk sejarah anginku. Kau akan selalu bersamaku, Kai. Dan satu hal yang lebih penting bagiku. Jauh lebih penting dari semua. Jejak langkah yang kau tinggalkan, benar-benar mendewasakan hatiku dan sejujurnya tak akan pernah hilang dari setiap tapakku.”

Kenangan Sam. (Sejarah Angin) - 02

Penulis : Afandi M.
Gendre : Roman dan Kehidupan
Lain-lain : Berseri (3)

KEESOKAN harinya, aku melewati jalan yang sama seperti hari sebelumnya. Jam yang sama, dengan maksud bertemu wanita itu sekali lagi. Sengaja kuperlambat laju langkahku walau kuliah telah dimulai sejak sepuluh menit yang lalu. Tak apa-apa. Tidak menjadi masalah besar bagiku. Semua itu akan sebanding jika aku bertemu lagi dengannya. Wanita yang benar-benar sempurna itu, mengagumkan. Meskipun aku baru pertama kali melihatnya tapi entah mengapa hati ini seolah memberitahukan bahwa aku telah mengenal sosoknya lebih dari puluhan tahun yang lalu. Mungkin di kehidupan sebelumnya, kami adalah sepasang kekasih atau kerabat yang saling mencintai. Jika kemarin aku mengatakan bahwa ia adalah sosok bidadari, nyatanya aku salah. Benar-benar salah besar. Bahkan tak terampuni. Derajat dari sosoknya lebih tinggi lagi. Bukan... bukan hanya sekedar bidadari dengan paras anggun nan menggoda. Ia adalah sosok dewi. Ya, seperti penceritaan dalam mitologi bangsa Yunani. Menurutku, ia sangat pas jika disejajarkan bersama Dewi Cinta dan Kecantikan―Aphrodite, yang konon katanya menurut alkisah terlahir dari buih air laut yang berasal dari sperma Zeus.


Lama kuberjalan tapi sosok Qhay Lilia tak jua muncul. Bahkan jika penciumanku turut menelusuri jejak angin, aroma khas tubuhnya belum merebak menggoda endusanku lebih jauh. Kurasa ia memiliki kesibukan lain. Kesibukan yang lebih penting daripada hanya sekedar berjalan tak jelas dan tak tentu arah di jalanan ini.

Yah, sayang sekali...

Sebelah batinku lalu berkomentar, “Buat apa kau memikirkanya? Toh, belum tentu dia juga memikirkanmu. Memangnya kau ini siapa? Kau bukan orang penting, bukan selebritis, tak berkedudukan, dan bahkan menyandang predikat mahasiswa terbaik pun tidak.” Ia diam lalu sambil tertawa melanjutkan perkataannya. “Malang sekali nasibmu. Ha... ha... ha... sungguh malang.”

“Memangnya itu salah?” kataku kesal mendapat sindiran. “Apakah salah kalau aku memikirkannya? Salah kalau aku ingin bertemu lagi dengan sosoknya yang begitu mengagumkan? Salah kalau aku mengingat aroma tubuhnya?”

Aku melanjutkan, seolah-olah kekesalanku kian membuncah. “Apa pedulimu? Ini urusanku. Urusi saja masalahmu sendiri. Sebaiknya kau cepat enyah dari dalam diriku. Aku tak sudi memiliki kepribadian naif sepertimu.”

Tidak serta-merta kekesalan itu melunturkan keinginanku. Niatku untuk bertemu lagi dengannya tak akan sirna secepat itu. Tak akan menghilang secepat kabut yang terusir oleh serpihan sinar mentari dari ufuk timur. Niatku itu setegar koloni karang yang tahan dihantam kerasnya gelombang dan sekuat intan. Masih ada hari esok. Di hari berikutnya kuharapkan dapat bertemu sosoknya lagi walau hanya melihat bayangannya saja, aku sudah senang.

Sisa perjalananku menuju kampus kulakukan dengan berdoa dalam hati. Doa yang teruntai tulus dan ikhlas kupanjatkan pada-Nya, mengharapkan sesuatu terjadi setelah aku mengumandangankan doa ini;

Tuhan... tak tahu mengapa, aku langsung menyayanginya. Tiap detik, wajahnya selalu berbayang dalam anganku. Aku suka dia. Aku cinta padanya. Kuharapkan ia adalah jodohku. Ya... jodoh yang Engkau pasangkan kepada setiap hamba-Mu. Kalau memang ia bukan jodohku, jodohkanlah ia denganku. Seandainya ia tak sayang padaku, buatlah ia sayang padaku. Jika ia jauh dariku, dekatkanlah denganku. Dan apabila ia lupa padaku, ingatkanlah ia padaku. Aku yakin dengan kuasa-Mu, semua itu pasti dapat terjadi dengan sangat mudah. Semudah kau menciptakan jagat ini bersama isinya. Amin...


***


Seminggu kemudian secara tak disengaja, kami bertemu di kantin kampus. Tanpa malu-malu seperti pada hari sebelumnya, aku langsung menyapa. Tidak disangka ia langsung mengenali dan menyuruhku duduk di depannya. Kami berbicara banyak siang itu dan semakin akrab seiring dengan tiap perpindahan dari topik satu ke topik yang lain dari setiap pembicaraan kami. Ya, begitulah memang seharusnya. Begitulah yang aku mau, semakin akrab dengannya. Dari hasil percakapan dengannya bisa kusimpulkan sesuatu yaitu bahwa ia merupakan wanita yang penuh dengan keceriaan, tawa, kelembutan serta jauh dari kesan penyendiri, egois, dan manja yang kadang lekat di setiap sifat para wanita. Lalu dengan keberanian dan percaya diri yang tinggi, aku mengajaknya keluar pada hari Sabtu, malam Minggu. Malam bagi sepasang kekasih untuk berdua dan mencurahkan kasih sayang. Betapa bahagianya diriku bagai dibuai sebuah janji dari sang penguasa, Qhay Lilia menerimanya. Ia mau pergi denganku. Benar-benar aku tak bisa menggambarkan perasaanku saat itu. Seolah-olah semua perasaan itu berkombinasi menjadi satu. Tak bisa dilukiskan. Bahkan imagiku yang kadang liar menjelajah tak bisa berbuat apa-apa.

“Kai,” panggilku pada suatu malam ketika hubungan kami semakin dekat. Ia memandangku sambil mengurai senyumnya yang khas.

“Aku ingin mengatakan sesuatu padamu,” tegasku.

“Apa?” tanyanya lembut. Wajahnya yang tak dibalut kosmetik sungguh sangat menawan.

Aku diam beberapa saat, mencoba mengumpulkan sisa-sisa keberanianku. Langsung saja adrenalin ini menyembur ke semua aliran darah hingga otak, mengikat semua hormon yang ada di sana dan memaksaku mengatakannya.

“A... aku... aku...” diam lagi.

“Ada apa, Sam? Apa yang ingin kaukatakan? Jangan membuatku bingung,” jelas Qhay Lilia panjang.

Perkataannya tadi membuatku berkomentar dalam hati. Ah, wanita ini. Bukankah dia sudah tahu apa yang nantinya mau aku katakan? Mengapa dia masih mendesakku? Semuanya kan sudah kutunjukkan dengan perbuatan dan perhatian yang lebih kepadanya. Apa aku harus tetap mengatakannya? Ah... aku malu.

Keringat seakan tak hentinya mengucur deras dari dalam pori-pori dahiku. Kerongkongan tiba-tiba saja kering bagai tak mendapatkan air pada penjelajahan di sebuah gurun baru. Aku menelan ludah untuk terakhir kalinya. Beban yang menaungi tubuhku seolah bertambah dua kali lipa beratnya.

“Sebenarnya... aku mau bilang, kalau aku...” suaraku bergetar. Sementara itu, Kai masih setia menunggu akhir kalimatku.

Tak mau membuatnya menunggu lebih lama, kulengkapi saja satu kalimat tadi menjadi satu keutuhan yang pasti. “Aku mau bilang kalau aku sayang padamu, Kai. Aku jatuh hati padamu sejak pertama kali kita bertemu...” aku berhenti sejenak. “Maukah kau menjadi kekasihku? Menjadi pacarku?”

Beban yang sebelumnya menghujam tubuhku seketika hilang. Entah ke mana. Ajaib sekali. Seperti magic saja.

Kai menunduk. Tampaknya ia tengah berfikir. Semenit kemudian ia kembali dengan pipi merona dan senyum hangat terbersit di bibirnya.

“Aku juga sayang padamu, Sam,” ucapnya malu-malu. Ia berusaha menyembunyikan wajahnya yang sudah memerah bagai rebusan udang. “Kau bisa membuatku merasa nyaman dan aman, bisa membuatku tertawa.”

“Ja... jadi... kau...” kataku masih gugup. Napasku makin menderu cepat. Mataku berbinar bahagia. Ludahku lancar sekali keluar hingga kubutuhkan usaha keras untuk menelannya, menyebabkan jakunku naik-turun berkali-kali.

“Ya, aku mau menjadi pacarmu.”

“Benarkah?” kataku masih tak percaya atas apa yang baru saja kudengar. Qhay mengangguk membenarkan. Kegembiraanku langsung meluncur bebas tak peduli apa pun penghalangnya. Pokoknya saat ini aku sangat bahagia. Bahagia sekali. Dunia ini seperti tempat yang sangat indah walau nyatanya tidak bagiku. Aku berteriak kegirangan seumpama gila.

Akulah orang yang paling bahagia di dunia, jelas hatiku kencang. Ini seperti mimpi.

Kejadian itulah yang membuat hubunganku dan Kai semakin dekat. Telah ada ikatan di antara kami berdua. Sebuah ikatan untuk menuju ke tahap selanjutnya. Sebuah tingkatan yang akan sangat berarti. Setelah selesai kuliah kami selalu menyempatkan bertemu, entah di kantin atau di tempat lain. Setiap akhir pekan, kami menikmati indahnya malam dan udara nan lembab di kota Bandung. Kadang pula kami nonton di bioskop. Tentu saja bukan film horor. Kai sangat membenci gendre film seperti itu sama seperti ia membenci tangis, kesedihan, dan keluhan. Kami layaknya dua orang dalam satu tubuh, tak akan pernah terpisahkan. Setelahnya, kami biasa makan di sebuah cafe makanan Jepang yang berada di sekitar wilayah Dago, salah satu tempat di Bandung yang terkenal dengan wisata kulinernya yang berfariasi. Wajib dicoba. Blue Cafe Japanese merupakan cafe faforit kami berdua. Kai selalu memesan sushi—makanan Jepang yang terdiri dari nasi yang dibentuk bersama neta, berupa makanan laut, daging, sayuran mentah ataupun sudah dimasak. Itu adalah salah satu makanan Jepang kesukaannya selain sashimi dan soba.

Sekarang, aku telah mendapatkan rusukku kembali. Kini aku telah menemukan belahan jiwaku. Separuh sayap yang bisa membuatku terbang ke negeri pencapaian.

Tapi pada akhirnya datang satu kejadian yang membuat ikatan yang telah kami jalin selama dua tahun lamanya itu putus tak berbekas. Seperti sebuah kapal kayu yang dihantam badai bertubi-tubi atau seperti sebuah kerajaan yang diserang secara tiba-tiba, diserbu oleh ribuan prajurit Romawi hingga sang raja tak bisa berbuat apa-apa, menyerah pada keadaan. Pada akhirnya, hancur begitu saja. Melibas semua yang ada dan tahu-tahu meninggalkan kesedihan, kengerian, kecemasan akan hidup, dan selanjutnya tempat itu hanya menjadi puing bagunan tua tak berguna layaknya bangunan-bangunan lain di luar sana. Di dalamnya yang tersisa hanyalah jeritan jiwa-jiwa terlantar dan terabaikan.

Cintaku hancur. Niatku untuk menikmati hidup bersamanya pupus sudah. Gara-gara kecelakaan sialan itu! Mobil brengsek! Goblok! Apalagi supirnya. Ingin sekali kukencingi mukanya atau kubunuh saja. Kucincang tubuhnya, lalu ususnya yang terburai akan kujadikan makanan anjing. Kepalanya akan aku gantung. Di dahinya akan kutulisi satu kata dengan darahnya sendiri. “Pembunuh” kata yang tepat. Kalau cara itu belum cukup mengusir seluruh kebencianku padanya, akan aku ukir lagi kulitnya dengan belati. Biarkan saja si bangsat itu menderita. Aku ingin ia merasakan apa yang aku rasakan. Tapi tetap saja semua itu tak akan sepadan atas perbuatan yang telah ia lakukan padaku.

Memang hukum telah menjeratnya, tapi aku tak percaya. Hukum negara ini sialan, busuk, dan jorok. Hanya dengan uang segepok saja sudah bisa mengurangi masa tahanan. Apalagi kalau satu koper. Pantas saja negara ini tidak pernah maju. Rakyatnya terus merana dalam keterpurukan sosial dan ekonomi. Kelaparan dan kebodohan di mana-mana, pembunuhan dan teror merajalela, terlebih lagi konflik-konflik sering sekali terjadi di setiap daerah lalu berlanjut ke pertumpahan darah antara kelompok-kelompok agama. Memang aku ini orang awam, tapi aku ini pengamat. Kedudukanku lebih tinggi dari mereka. Bangsat tikus-tikus berdasi itu. Lihatlah, mereka selalu berlindung di balik tahta dan kedudukan sang penguasa. Dasar kasta terendah. Selalu menutupi borok mereka dengan buaian janji. Cuihhh... aku tak akan percaya kalian. Tidak akan!
Sama halnya dengan pembunuh itu. Tega-teganya ia mengambil nyawa cintaku. Seharusnya kuluncurkan saja nuklir atau kujatuhkan bom atom tepat di rumahnya hingga meluluhlantahkan semuanya. Aku tak peduli jika anak, istri, dan tetangganya atau semua orang turut menjadi korban atas kebrutalan dan kebiadabanku. Aku tak peduli itu. Justru itu yang aku inginkan. Biarkan semua orang tahu. Biar ia merasakan bagaimana rasanya ditinggal oleh orang yang terkasih. Bagaimana kehilangan orang yang dicintai, disayangi, dipuja bahkan rela mengorbankan jiwa deminya. Biar ia tahu rasa. Tapi... aku bukan karakter seperti itu. Kedua orang tuaku tidak mengajarkanku menjadi pribadi seperti itu. Bukan jenis orang yang melakukan kejahatan atas dasar kegilaan atau ledakan kebencian. Aku ini lemah. Aku ini bukan jenis orang yang mampu bertindak. Aku adalah manusia yang kalah. Tak mungkin kulakukan semua itu.

Padahal baru pertama kali kulihat Kai berdandan saat kejadian itu terjadi. Lipstik yang memoles bibirnya sangat serasi di kulit bibirnya. Rambutnya juga sudah ditata sedemikian rupa, diberi pewarna dan dibuat menggulung pada ujung-ujungnya. Seperti top model saja. Tapi aku bahagia. Aku senang dengan itu semua. Ia masih tetap menjadi bidadariku. Apa pun yang memoles wajahnya tetap membuatnya terlihat anggun sebab pada dasarnya memang begitu. Ia lalu memanggil dari seberang jalan seraya memberikan lambaian tangan ke arahku.

“Sam!” serunya lembut.

Senyumannya, wow indah sekali. Aku tak akan menyia-nyiakan cintanya. Aku terpaku di tempatku berdiri, membanyangkan kenangan-kenangan lalu yang kulewati bersamanya. Mengingat kembali perjuanganku untuk mendapatkan dirinya. Ya, benar sekali ucapan-ucapan para pria sejati itu. Bukan perkataan Don Juan atau Cassanova yang kerjanya hanya menebar pesona ke setiap wanita. Mereka itu banci yang sangat mudah memberikan cinta ke semua wanita. Seperti PSK saja, ataukah memang mereka yang pertama menyandang predikat itu, lalu memberikannya kepada wanita-wanita jalanan secara cuma-cuma. Kalau aku, bukan seperti itu. Aku ini pria sejati.

Cinta memang memerlukan pengorbanan, namun seberapa besar pengorbanan yang kita berikan untuk mendapatkan cinta itu. Tak ada tolak ukur, perbandingan atau takaran yang jelas layaknya pemberian obat bagi pasien dengan penyakit berbeda, begitu juga pada cinta. Betul saja. Cinta memang membingungkan. Begitu banyak pengertian mengenainya. Bahkan menurutku semua kata-kata yang diketahui oleh otak manusia saat ini, tak bisa dengan tepat mendeskripsikan apa itu cinta. Cinta terlalu membingungkan.

Semua pikiran itu tiba-tiba mengabur sedemikian rupa, buyar. Cermin-cermin kenanganku pecah menjadi serpihan kecil yang tidak bisa disatukan lagi. Suara hantaman membuatku tersadar ke alam nyata. Sempat kulihat tubuhnya terhempas lalu melayang sebelum akhirnya menyentuh daratan aspal kembali. Saking terkejutnya, kedua bola mataku seolah-olah keluar dari kelopaknya. Lidahku langsung beku mencapai titik tertinggi. Jantungku seperti berhenti berdetak membuat tubuhku lemas dan ingin jatuh pingsan. Tapi kakiku yang masih bergetar cukup kuat menopang tubuhku dan pengaruh semburan matahari membuatku melangkah cepat sembari memanggil-manggil namanya.

“K... Kai... Kaiii!!!” teriakku sambil berlari. Aku tak memperdulikan mobil-mobil yang masih lalu lalang. Aku tak mau berhenti meneriakkan namanya agar jiwanya tetap berada di jasadnya.

Jangan pergi dulu, kumohon.

Sabtu, 29 November 2008

Kenangan Sam. (Sejarah Angin) - 01

Penulis : Afandi M.
Gendre : Roman dan Kehidupan
Lain-lain : Berseri (3)

WAKTU itu, matahari sudah meninggi saat aku melewati jalan yang meninggalkan banyak jejak kenangan di pikiranku. Masih bisa kulihat jejaknya di antara ribuan jejak kaki lain yang bertebaran tak berharga.

Di jalan itu, jalan kenangan. Ya... jalan itulah yang dahulu mengawali kisah cintaku, dan tanpa kusadari jalan itu pulalah yang pada akhirnya andil dalam memutuskan tali cintaku. Sebenarnya, ruas itu tidak tampak seperti jalan. Lebih seperti trotoar pemisah badan jalan, tentunya dengan ukuran yang lebih besar. Di sisi kanannya merupakan jalan utama, di mana pada jam-jam sibuk seperti ini kendaraan bagai barisan semut pekerja dengan langkah yang cepat menuju sarang. Sementara di kirinya, aliran sungai kecil menjadi penenang dan meredam kebisingan yang telah lama tercipta, walau tidak sepenuhnya. Suara gemericik air mengalun bagai sebuah simfoni surga yang akan melayangkan jiwa ke langit tertinggi. Mungkin sampai ke langit ke tujuh.


Matahari kian menyengat kulit, meskipun saat itu aku mengenakan kaos putih tipis berbalut jaket coklat tua. Sementara kupluknya menutup bagian kepalaku menghindari sengatan mentari, namun tetap saja kurasakan hawa panas mengalir hingga ke pori-pori kulit kepalaku, kemudian diikuti pusing yang menyebar tiba-tiba layaknya bisa. Saat itu, kepalaku bagai pantat penggorengan yang terus-menerus dilahap lidah api hingga memerah dan membara karena kepanasan. Bisa saja meleleh dan pada akhirnya menjadi suatu bentuk yang lain, bentuk yang berbeda dan tidak umum.

Tanpa sadar kuhitung tiap langkahku dalam hati. 1... 2... 3... 4... 5... namun saat langkah ke sembilan belas aku berhenti. Kutengok sungai di kiriku. Airnya yang jernih memantulkan cahaya matahari yang langsung menyilaukan penglihatanku. Membuat kedua pupil mataku ini perih. Saking jernihnya, terlihat bagai dataran cermin hidup, beriak-riak. Aku bisa berkaca di tengah riakan air sambil melihat tonjolan-tonjolan batu di dasarnya, atau memperhatikan gerombolan ikan kecil berwarna keabuan bergaris yang bersusah payah berenang melawan arus yang tak seberapa derasnya.

Aku termenung, sementara pohon pinus yang tumbuh di situ menjadi pelindung satu-satunya dari sengatan sang raja terang. Aroma melegakan memenuhi rongga-rongga pernapasan. Sedikit demi sedikit tiap lapisan udara kian menyegarkan bak hembusan angin pegunungan ataupun deburan ombak yang mengakhiri gulungannya di bibir pantai. Aroma pucuk muda, getah, lempengan kulit, daun, dan buah pinus yang berjatuhan, tercium bagai bau amonia menyebabkan pikiranku jauh menerawang. Ingatanku tentang kenangan klasik masa lalu mulai tersusun kembali, layaknya menemukan potongan puzzle terakhir untuk disatukan menjadi sebuah gambaran yang utuh. Di benakku, terbayang jelas sosok wajahnya; bibirnya yang tipis berbalut pelembab senada warna kulit bibirnya, tulang hidungnya yang kokoh dan lancip pada ujungnya, menegaskan bahwa ia keturunan orang-orang berkualitas. Matanya sipit yang begitu memikat menjadi daya tarik tersendiri. Terakhir adalah rambutnya yang hitam sebahu menjadi frame untuk semua keistimewaan itu.

Kuingat jelas saat kali pertama bertemu dengannya. Saat itu aku begitu terpana. Mulutku tak bisa berkata-kata seakan indera itu direkatkan oleh perekat terkuat di bumi ini, dan tak menduga bahwa seorang bidadari dengan bentuk fisik yang begitu sempurna tengah hadir di depanku, dalam jangkauan wilayah kedua biji mataku. Hadir begitu saja tanpa menunjukkan suatu bentuk kehadiran atau penampakan misterius dengan percikan kembang api ataupun gumpalan kabut yang mengaburkan sosoknya untuk pertama kali, atau bahkan hadir dalam keindahan mimpi sebelumnya, dengan sebentuk sosok yang begitu mengagumkan. Mengenakan gaun indah berumbai dengan sulaman benang emas bermotif abstrak di tiap sisinya bak seorang putri kerajaan awan.

Untuk pertama kalinya, ia memperkenalkan namanya adalah Qhay Lilia, namun tak pernah kusebutkan nama itu di depannya untuk hari-hari selanjutnya pertemuan kami, yang terkadang terjadi secara tidak disengaja, kebetulan, dan tanpa disadari. Aku lebih suka memanggilnya singkat dengan penggalan nama “Kai.” Menurutku itu lebih baik. Lebih menunjukkan ciri fisik maupun kepribadian gadis berwajah oriental itu.

Namaku sendiri Samuel, tapi panggil saja aku dengan sebutan “Sam” tanpa embel-embel apa pun di belakangnya. Fisikku seperti pria kebanyakan dengan tinggi 170 sentimeter, berambut pendek bergelombang, berkulit sawo matang, dan bermata tajam bak elang yang siap menerkam. Menurut teman-temanku, aku adalah tipe orang bebas―tipe yang kebanyakan berkepribadian pemberontak dan sering diartikan orang sebagai sosok yang menentang peraturan di mana pun tempatnya. Tapi itu hanya sugesti yang dilatarbelakangi bentuk fisikku saja. Intinya, aku adalah orang yang baik walau terkadang agak dingin jika memang mood-ku pada saat itu tidak dalam kondisi menyenangkan. Selebihnya, aku sama seperti orang-orang lain. Seperti anak muda kebanyakan. Sebagai informasi, saat ini aku terdaftar sebagai mahasiswa jurusan ilmu komunikasi di sebuah universitas swasta di Bandung. Walaupun tak cukup dikenal, tapi aku senang bisa menjadi bagian dari universitas tersebut.


***


Pertemuan kami dimulai saat aku hendak berangkat kuliah pagi itu. Seperti biasa, aku selalu melewati poros jalan yang sama setiap hari, baik berangkat ke kampus maupun kembali ke tempat kos. Tempat yang menurutku paling nyaman di dunia setelah rumah orangtuaku tentunya. Aku bukan tipe orang yang sering keluyuran ke mana-mana. Jalan-jalan ke sana kemari tanpa tujuan yang jelas. Setelah kuliah selesai, aku langsung pulang sebab katering Bu Dede telah menunggu untuk disantap. Seperti bayangan kalian saat ini, akulah anak pingit, itulah kata yang tepat. Peraturan ketat kedua orangtuaku semenjak aku duduk di bangku sekolah dasar membuat pribadiku seperti ini, seperti sekarang ini. Tapi aku bersyukur mereka telah membangun sebuah karakter kuat dalam diriku. Tak ada orangtua yang tidak menyayangi anaknya. Di balik peraturan ketat yang mereka buat apa pun itu, tersimpan kasih sayang dan cinta yang begitu besar.
Jam tangan digital yang melingkar di pergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul 09.30 saat pagi itu aku mulai memacu langkahku lebih cepat.

“Akh, penyebabnya pasti karena nonton sepak bola tadi malam,” keluhku membenci kelakuanku sendiri. “Makanya aku terlambat bangun pagi ini.”

Aku sampai tidak memperhatikan ruas jalan di depanku. Yang kuperhatikan hanyalah detik-detik yang terus berganti di layar jam tanganku, hingga kemudian tubuhku menghantam sesuatu. Aku jatuh, sedikit terpental. Masih sempat kudengar beberapa benda juga turut berjatuhan dan setelahnya terdengar suara seseorang mengeluh lalu merintih kesakitan. Nyeri juga kurasakan di bagian pantat dan tanganku. Sambil membersihkan setiap sisi celana jeans dari butiran debu mikroskopik yang melekat, aku bangkit dan bermaksud meminta maaf kepada orang yang baru saja tak sengaja kutabrak. Namun tak tahu mengapa mulutku tiba-tiba tak bisa mengatakan susunan kata-kata itu. Padahal hanya permintaan maaf dan setelahnya, habis perkara.

Sungguh indah laksana tujuh keajaiban dunia dipadu menjadi satu kesatuan. Begitu misterius bagai lukisan Monalisa maupun The Last Judgement yang tercetak di atas langit-langit Sistine Chapel. Geraian rambutnya yang dibelai angin membuatku tak sepenuhnya melihat kecantikan wajahnya. Tapi entah mengapa perasaanku kuat mengatakan bahwa wanita yang berdiri di hadapanku ini adalah seorang bidadari, sesosok dewi. Yah, dialah sesosok bidadari yang begitu anggun nan cantik. Pokoknya begitu memikat, menggoda bagai lelehan coklat di atas es krim.

Kubantu ia mengambil buku-bukunya yang berserakan. Kutiupi jilidnya hingga debu menjauh dari tempat itu.

“Ma... maafkan saya,” kataku pada akhirnya. “Tadi saya buru-buru sekali sampai-sampai tak memperhatikan jalan dan akhirnya menabrakmu.”

Untuk yang pertama kalinya, wanita itu menatap wajahku secara langsung, mata bertemu mata. Kurasakan semburat adrenalin menyembur ke seluruh tubuhku. Saraf-sarafku kembali tak berfungsi saking gugupnya.

“Tidak apa-apa,” ujarnya lembut. Rupanya, suaranya lebih menakjubkan dari lengkingan sekelompok duyung atau pekikan lumba-lumba dalam arus samudera bahkan nyanyian paus di kedalaman lautan. “Bukan sepenuhnya salahmu,” tambahnya. “Aku juga terburu-buru tadi, jadi tak melihat jalan di depanku. Jadi, maafkan aku.”

Entah mengapa, mulutku seakan terkunci sekali lagi dan secara spontan aku langsung pergi. Aku tak mau jika ia mengetahui bahwa aku benar-benar mengaguminya saat itu juga. Saat pertemuan pertama kami. Saat pertama kali mendengar suara dan terbius oleh parasnya yang begitu sangat mengagumkan.

Belum jauh kakiku melangkah, wanita itu akhirnya memanggil. “Hei... tunggu dulu!” serunya.

Aku langsung berhenti dan beberapa detik kemudian ia sudah kembali berada di depanku. Adrenalin sekali lagi mengalir deras ke seluruh tubuhku. Membajiri otakku dengan hormon-hormon seksualitas.

“A... ada apa?” tanyaku gugup. Bodoh sekali, kenapa aku segugup ini? Padahal aku tak pernah segugup ini bila berkenalan dengan wanita-wanita lain di kampus, gumamku dalam hati sembari mengutuk kebodohanku sendiri.

“Kalau aku boleh tahu, siapa namamu?” ia mengurai senyuman seolah-olah ingin merayuku.

Hah! Dia mau tahu namaku? Apa tidak salah? Apa aku tidak salah dengar? Mungkin aku tuli. Apa dunia ini sudah mau kiamat? Aku tak percaya orang semenawan dia mau tahu namaku. Ah, dunia ini ternyata begitu indah. Batinku menyahut girang. Kupandangi tiap lipatan bibirnya yang mungil. Kuhirup aroma tubuhnya yang dibawa angin langsung ke indera penciumanku hingga kurasakan kedamaian tercipta di hatiku. Kekhawatiranku seketika lenyap. Tak lagi kupikirkan keterlambatanku nanti. Masa bodoh! Tak penting! Aku masih ingin di sini. Masih ingin menikmati semua ini. Aku ingin mengabadikan sosok, senyuman, dan wangi tubuhnya dalam ingatanku, dalam imajiku. Kalau bisa dalam hatiku juga.

“Namamu siapa?” tanyanya mengulangi. Nadanya sedikit ditinggikan namun senyuman masih segar terurai di bibirnya bak mawar yang baru mekar di pagi hari. Begitu indah dan menyejukkan jiwa yang sebelumnya hampa.

“Oh maaf...” kataku malu pada sikapku sebelumnya. “Namaku Samuel.” Aku menjulurkan sebelah tangan bermaksud bersalaman.

Ia membalas jabatan tanganku. “Aku Qhai―Qhai Lilia,” katanya turut memperkenalkan diri.

Kembali ia bertanya seadanya. “Apa kau juga mahasiswa?”

Aku mengangguk menyetujui.

“Di mana?” Qhai Lilia masih mempertahankan tatapan matanya ke arahku.

Dengan malu aku menjawab, “Universitas Guna Atmadja.”

Ia berkata girang, “Wah! Sama denganku. Kalau begitu kita satu kampus. Ngomong-ngomong ambil jurusan apa?”

“Komunikasi,” jawabku singkat.

Tak tahu entah mengapa, aku seakan tidak bisa memperpanjang kalimat-kalimatku lagi. Pancaran sinar matanya bagai tatapan Medusa yang begitu membatukan, membuat tubuhku kaku dan tak bisa bergerak. Matanya yang begitu indah seperti menyelami jiwaku. Menjadikannya sebuah ladang; menanamkan benih cinta di sana, memupuknya dengan perhatian dan setelah itu menyiramnya dengan tumpahan kasih sayang. Kemudian tumbuh menjadi tanaman eksotis. Bermekaran membentuk buket-buket bunga yang tak dikenal siapa pun terkecuali ia sendiri. Tak ayal, aku pun langsung tergoda olehnya bagai mencium udara beraroma kesturi yang sangat memabukkan dan membuai iman.

“Hei! Kau kenapa?” kata wanita itu heran dengan tatapanku ke arahnya. “Apa ada yang aneh dengan penampilanku?” seraya meneliti tiap lekuk pakaiannya, namun tidak ada yang aneh menurutnya. Biasa-biasa saja. Siapa yang bilang aneh, lagipula tak ada perlu dikhawatirkan dari dirinya. Sebaliknya, yang perlu dikhawatirkan adalah diriku. Aku tengah terhipnotis oleh wujudnya. Apa pun yang ia minta akan kuberikan saat itu juga.
Setelahnya, aku tersadar, lalu dengan sikap malu-malu aku mengalihkan pandanganku darinya.

“Ah, tidak apa-apa kok,” jelasku sekenanya. Tak ingin malu lebih jauh, aku cepat-cepat mengakhiri pertemuan kami walau sejujurnya tak mau aku melakukan hal itu. Aku masih ingin melihat rupanya. Guratan senyum manisnya bak ukiran di atas mangkuk berseuh emas, lirikan matanya yang penuh mistis, maupun suara merdunya yang seakan-akan turut membawa musim semi untuk kesekian kalinya.

“Sepertinya, aku pamit dulu. Soalnya aku ada keperluan di kampus,” kataku. “Permisi.”
Qhay Lilia tersenyum lalu bersuara, “Oh! Silahkan. Aku juga ada keperluan lain. Senang berkenalan denganmu, Sam.”

Aku membalas senyumannya. Kuperlihatkan senyuman terbaik yang bisa kulakukan. “Aku juga senang berkenalan denganmu. Aku harap kita bisa bertemu lagi.”

Sesungguhnya aku sangat mengharapkan hal itu terjadi. Harus... itu harus terjadi... batinku memaksa.

Kami pun berpisah. Sekali aku menengok ke arahnya sambil tersenyum untuk yang terakhir kalinya di pertemuan pertama kami hari itu.

Entah mengapa hari itu terasa lebih berwarna. Seakan mata ini dapat memecah warna cahaya menjadi tujuh jenis warna yang lain, seperti pola warna pada pelangi dikala hujan reda. Tiap kali kulihat ke langit, gumpalan awan berbentuk abstrak seolah membentuk kembali wajah wanita itu. Sepasang tangan Michelangelo memahatnya menjadi sebuah karya seni tiga dimensi yang begitu mengagumkan dan tahan oleh hempasan angin. Semua ketegangan, kemuraman, kesedihan, dan kemarahan seketika itu juga terbalut oleh kegembiraan dan kebahagiaan yang langsung tercipta, tiba-tiba.

Apakah ini yang dinamakan cinta pada padangan pertama? Ataukah, hanya rasa kagum yang berlebihan dan lama-kelamaan akan hilang seiring berjalannya waktu?

~bersambung~

Jumat, 28 November 2008

SMS Idul Fitri

SETELAH 30 hari berjuang melawan hawa nafsu, kemudian ditutup oleh satu hari yang sangat dinantikan oleh semua umat Muslim di seluruh dunia. Ya, benar. Hari itu adalah Hari Lebaran tepatnya Idul Fitri, 1 Syawal 1429 H. Pada hari itu semua umat Islam bersorak sorai mengumandangkan kebesaran Allah SWT. beserta Nabi-nya yang terakhir, Nabi Muhammad SAW. Pada malam harinya (tentunya sebelum hari yang ditunggu-tunggu tersebut), di tiap-tiap rumah lampu belum padam sekitar pukul 23.00 malam.


Para ibu rumah tangga sibuk menyiapkan makanan maupun kue-kue hidangan khas pada keesokan harinya. Sang kepala keluarga sibuk dengan urusannya sendiri, menelepon sanak saudara yang nun jauh di kota lain, mengucapkan selamat Hari Raya Idul Fitri hingga perusahaan-perusahaan telepon pada hari itu ikut juga mengucapkan ‘Selamat membayar tagihan telepon Anda yang membengkak di akhir bulan’ atau jika menggunakan handphone, pulsanya tak akan bertahan lama sehingga berakhir dengan nada sibuk plus imbuhan, ‘Kasihan deh lu!’. Sementara anak-anaknya ikut-ikutan sibuk di kamar masing-masing, menyiapkan baju-baju yang beberapa hari lalu dengan susah payah dibeli menggunakan uang THR orang tua mereka. Dengan tangkas bak pemerhati fashion, mereka memadupadankan baju-baju berbau kamper tersebut dengan celana-celana jeans yang juga berbau serupa. Hingga pada akhirnya menemukan sebuah racikan bergaya amburadul.

Sungguh betapa sangat berarti dan ditunggu-tunggunya hari tersebut dalam setahun. Hari Kemenangan Umat Islam. Takbir mengalun di mana-mana. Suara beduk menderu hingga memecah keheningan malam menjadi keping-keping kegembiraan. Di televisi, Presiden dan Wakilnya tak lupa memberikan ucapan selamat Hari Raya Idul Fitri yang sebenarnya hanya sekedar ucapan basa-basi sesuai protokol acara mereka. Tak lupa juga iklan-iklan obat nyamuk, susu, snack, perusahan minuman kaleng, iklan pasta gigi, segala jenis iklan perusahaan kopi, perusahaan rokok, iklan mie instan, hingga iklan obat kuat juga mengucapkan hal yang sama seperti pemimpin mereka. Operator-operator telepon juga tak mau kalah. Dengan berkedok mengucapkan selamat hari raya, mereka tak lupa membubuhi iklan tesebut dengan kebohongan-kebohongan tarif murah, gratis pulsa, gratis sms, ataupun pengundian hadiah yang sebenarnya menguarkan pembodohan bagi publik.
Ucapan selamat Hari Raya Idul Fitri juga tak cukup melalui iklan-iklan di media visual televisi, media cetak, maupun melalui gelombang-gelombang radio. Ucapan itu juga ternyata datang lewat sms tengah malam. Ya, mereka yang tak bisa tidur pada malam itu masih sibuk mengirimkan short massage service ke semua nomor yang ada di handphone mereka. Tak peduli pulsa yang tersisa pada kartu SIM mereka hampir habis— kritis, ataupun baterai lowbat, tapi tetap saja tangan-tangan lincah itu menari-nari di atas keypad handphone mereka.

Mereka juga ternyata mengirim sms itu padaku. Tak ayal, handphoneku tak henti-hentinya berbunyi tiap jam, menit maupu detik. Inilah sebagian contoh pesan yang mereka ucapkan padaku pada hari itu.


“Menjelang hari nan Fitri.. Mari qt putihkan hati.. Sucikan jiwa.. Memulai smw ny dr 0 lg.. Minal aidin wal faidzin.. Mohon maaf lahir & batin..
-Ri2n+Klrg-”


Sender:
Ririn IF 05
+62xxxxxxxxxxx

Sent:
12:06:00
30/Sep/2008

----------***----------

“Selamat hari raya idul fitri.MINAL AIDIN WALFAIZIN.Maaf lahir & batin.(pipit & keluarga)”

Sender:
Pipit
+62xxxxxxxxx

Sent:
12:12:47
30/Sep/2008

----------***----------

“Idul fitri sgra tba—smuanya kan menjdi hmpa tak brmakna bila tiada maaf didada—dngn sgla ktlusan hti Dani&kel ngcpin mohon mf lhir&btin.mfin y pren ^_^”


Sender:
Dani
+62xxxxxxxxxxx

Sent:
15:27:59
30/Sep/2008

----------***----------

“‘Adi n Seluruh Kluarga’ Mengucapkan Selamat Hari Raya “IDUL FITRI 1 1429 H” –(Minal Aidin Wal Faidin)- Mohon Maaf LahiR & BatiN”

Sender:
Ady FT
+62xxxxxxxxxxx

Sent:
18:37:18
30/Sep/2008

----------***----------

“Gema takbir berkumandang tanda hr kemenangan telah tiba. Minal aidzin wal faidzin. Mohon maaf lahir dn batin. (Sari & keluarga)"

Sender:
+62xxxxxxxxxxx

Sent:
19:26:41
30/Sep/2008

----------***----------

“Ass... Jesica Sekeluarga Mengucapkan Minal Aidzin Walfaidzin (Mohon Maaf Lahir & Bathin) Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1429 H. Wss...”

Sender:
Jesica
+62xxxxxxxxxxx

Sent:
19:44:15
30/Sep/2008

----------***----------


“Dengan krndahan hti,q Mengucapkan Minal Aidzin Walfaidzin (Mohon Maaf Lahir & Bathin) Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1429 H.

Sender:
Ruli
+62xxxxxxxxxxx

Sent:
20:51:43
30/Sep/2008

----------***----------

“ ‘Selamat Idul Fitri 1 1429 H’ di hari kemenangn ini izinkan kami menghaturkn “Taqabbalallahu minna wa minkum siyamana wa siyamakum” mohon ma’af lahir dan batin...” (Uthrie & kel)"

Sender:
U3
+62xxxxxxxxxxx

Sent:
21:03:09
30/Sep/2008

----------***----------

“met hari raya idul fitri. Minal Aidin Walfaizin..MohOn mAaf lAhir &bAthin...da2n n klarga”

Sender:
Dadan
+62xxxxxxxxxxx

Sent:
00:18:26
1/Oct/2008

----------***----------

Lebaran.exe
BEGIN{ IF (aq_salah==TRUE)
THEN maafin_dong();
IF(km_salah==TRUE)
THEN aq_maafin();
WRITE “mhon mav lhr btn,met lebaran!”;
}END;
/*dEe


Sender:
Dee ;)
+62xxxxxxxxxx

Sent:
00:19:24
1/Oct/2008

----------***----------

“BeNiNgKaN Hati dgN CiNta.CrahKaN Jiwa dgn Kasih.TetapKan LaNgKah dgn SyuKur,SuciKan HATI dgN SaliNg MeMAAFKan.Slmt Hari Raya IDUL FITRI 1429H,MohoN Maaf Lahir N BatiN...”

Sender:
Arie CueQ
+62xxxxxxxxxxx

Sent:
06:06:38
1/Oct/2008

----------***----------

“Meskipun maaf tdk bs mrubah kslhan yg dl d prbuat tetapi slng memaafkan akan mmperbaiki hub d masa yg akan dtng.Minal aidin walfaidzin mhon maaf zahir dan batin”

Sender:
DeN@i
+62xxxxxxxxxxx

Sent:
08:36:32
1/Oct/2008

----------***----------

“Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1429H, minal aidzin wal faidzin, MOHON MAAF LAHIR BATIN.”;-) [Andry&Kelwrg]”



Sender:
Andri
+62xxxxxxxxxxx

Sent:
06:32:41
1/Oct/2008

----------***----------

“Cry y klw reni pny slh m km. Mnal aidin wlfidn z.”

Sender:
Reni
+62xxxxxxxxxxx

Sent:
06:42:14
1/Oct/2008

----------***----------

“Minal aidzin wal faidzin..maaf lahir batin y..”

Sender:
Dudulz
+62xxxxxxxxxxx

Sent:
06:47:10
1/Oct/2008

----------***----------

“Assalamu’alaikum. Kami pn mnghtrkn maaf lhr dan batin, smga sltrhm kta ttap tjga. Armanda dan Zahara bsrta keluarga”

Sender:
Rudi
+62xxxxxxxxxxx

Sent:
09:11:45
1/Oct/2008

----------***----------

“dgn sepenuh kerendahan hati dan keikhlasan yg kumampu, ku haturkan maaf lahir batin atas khilaf yg t’jd o/ ku atw klwrgaku, selamat hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1429H. DARI NOL LAGI YA,,,,!!!^_^”

Sender:
Buhori
+62xxxxxxxxxxx

Sent:
10:56:15
1/Oct/2008

----------***----------

“Meniti hati Menabur Khilaf,Menyongsong Hari Menuai ma,af Walau langkah tak Bertemu..Tangan tak Berjabat..Ucap tak Terdengar..ijinkan Hati mengucap..Slamat Hari RAYA IDUL FITRI 1429 H, Minal Aidin Wal Faidzin..Mohon Ma,af Lahir Dn Batin...”

Sender:
Trisna
+62xxxxxxxxxxx

Sent:
17:01:33
1/Oct/2008