Minggu, 30 November 2008

Kenangan Sam. (Sejarah Angin) - Finish

Penulis : Afandi M.
Gendre : Roman dan Kehidupan
Lain-lain : Berseri (3)

KULIHAT tubuhnya yang lemah tak bergerak. Aku berlutut dan meraih kepalanya yang bersimbah darah dan kudekatkan ke dadaku. Walaupun begitu, ia masih terlihat cantik. Manis itu tak akan semudah itu luntur dari wajahnya. Secantik dewi khayangan. Tak ada yang bisa mengambil kecantikan itu darinya. Kupegang tangannya lalu kugoyangkan sedikit tubuhnya, seperti perahu yang terombang-ambing di lautan bergetar ke sana kemari.

“Kai!” panggilku penuh harapan.

Aku semakin panik saat menangkap detak jantungnya kian melemah.

“Kai, jangan pergi dulu,” kataku sambil terisak. “Masih banyak yang akan kita lakukan bersama-sama. Apakah kau masih ingat janjimu dulu? Katamu, kau ingin terus ada bersamaku dan tak mau terpisahkan. Kai, jangan pergi dulu... aku mohon... Kai... Kai... Kai...”

Tiba-tiba wanita itu membuka matanya sembari menyunggingkan senyuman. Mulutnya terbuka seakan ingin mengatakan sesuatu. Kudekatkan telingaku ke bibirnya.


“Aku mencintaimu dan akan terus ada bersamamu, akan terus berada di dalam hatimu. Aku akan menjadi angin yang berhembus sebagai penunjang hidupmu. Kita akan tetap bersama, selamanya...” katanya dengan suara antara hidup dan mati. Seakan itu adalah sebuah salam perpisahan untukku. Air mata berjatuhan dan tak bisa terbendung lagi. Penglihatanku langsung kabur karenanya. Kugelengkan kepalaku berkali-kali seolah-olah aku tak mau pikiran itu terjadi. Dan memang aku tak mau begitu. Apa pun akan kulakukan demi dirinya. Apa pun itu.

“Tidak... itu tidak akan terjadi. Kau jangan berbicara seperti itu. Kau akan terus bersamaku, melewati hari-hari ini, lalu kau akan menjadi pendampingku untuk selamanya, sampai akhir hidupku. Kita tak akan terpisahkan. Tak akan... Kai!!!”

Di belakang, orang-orang bermunculan secara ajaib. Berbisik-bisik seolah-olah aku tak bisa mendengarkan ucapan mereka. “Kasihan sekali wanita itu,” ujar seseorang tepat di belakangku. “Apakah ia sudah mati?” kata yang lainnya.

Dasar manekin-manekin tak berguna, semprot hatiku. Mereka seakan tak peduli atas apa yang terjadi padaku. Enyahlah kalian semua. Biar aku yang menemaninya sendiri di sini. Pergi sana.

Detakan jantung Kai makin melemah dan hal itu yang membuatku berdoa kepada Tuhan. Kini dengan penuh ketulusan yang mendalam, dengan seluruh kekuatan jiwa dan raga.

“Tuhan Maha Pengasih, Penyayang, dan Pemberi nikmat. Tuhan... berikan kami satu jam saja... satu jam saja... itu sudah cukup bagiku. Aku masih ingin mendengar detak jantung atau hembusan napasnya. Aku masih ingin melihat siluet senyumannya.”
Tapi dada Kai sudah sunyi, sesunyi senja dan ratusan orang yang membisu beku. Hanya senyuman di wajah Kai yang menandakan bahwa kematiannya itu tak sia-sia. Bahwa ia tak mengeluh atau protes atas kejadian itu. Ia tulus menerima takdirnya itu.

Suara sirine ambulance terdengar dari kejauhan.

“Terlambat... sudah terlambat...” kataku pelan sekali sampai-sampai telingaku saja seakan tak bisa mendengarnya. “Dia sudah pergi bersama angin. Dia telah menjadi bagian dari angin dan akan terus berhembus selamanya.”

Selamat tinggal, sayang. Kuijinkan engkau menjadi angin. Angin yang akan selalu ada bersamaku, berhembus di sampingku, dan mengisi kekosongan jiwaku.


***


Kusimpan kembali semua keping kenangan-kenangan itu. Kukunci dalam sebuah kotak di hatiku. Kugembok dengan gembok bersepuh emas lalu kuncinya kubuang ke dasar jurang yang paling dalam. Aku yakin tak ada yang bisa menemukannya. Tidak akan ada yang bisa.
Setelah puas menyaksikan riak gelombang sungai dan sebagian penghuninya, aku berbalik dan memperhatikan mobil yang lalu lalang satu persatu. Kupehatikan plat nomor, body, pengemudi, ban hingga kilauan peleknya yang memantul diterpa sinar matahari. Pokoknya tak ada yang luput dari pengamatanku. Setelah beberapa saat kemudian, kakiku melangkah sendiri jauh dari kesadaranku yang dikontrol oleh otak. Suara mesin mobil yang menderu makin terdengar. Kencang sekali seakan membuat gendang telingaku hancur lalu pecah, setelahnya mengeluarkan darah dan juga nanah. Walaupun begitu, kakiku tetap melangkah. Terus dan terus. Seperti tak akan pernah berhenti. Kulangkahi pembatas jalan. Tak lupa aku menengok ke dua arah berbeda.

“Bagus. Pas sekali,” kataku pelan. “Seperti yang telah aku rencanakan sebelumnya.”
Samar kudengar suara klakson mobil menderu dari kejauhan dan semakin dekat untuk detik-detik berikutnya. Aku tak peduli. Toh, aku tidak takut. Aku tidak takut mati. Tak ada yang kutakuti sekarang. Semuanya sama, tak ada bedanya. Tanpa Kai menemaniku, hidup tak ada lagi artinya. Sinar terik matahari sekali lagi menyinari wajahku. Hangat langsung merasuk ke sekujur tubuhku. Kini yang terdengar adalah suara klakson mobil diikuti teriakan dari pengemudi serta suara mesin mobilnya. Sedetik kemudian decitannya lalu terdengar. Tapi tetap saja. Walau pedal rem telah diinjak dan gas diturunkan, tetap saja kecepatan mobil itu tak berkurang. Benda bermesin itu pasti akan tetap menabrakku.

“Semuanya akan berakhir di sini. Tunggu aku, Kai. Aku akan segera berada di sampingmu di sana,” bisikku pada angin.

Kubayangkan tubuhku nantinya. Akan sedikit sakit tapi pasti akan kutahan demi dirinya, demi Kai. Tubuhku yang tak besar ini pasti melayang dan sesudahnya kalau tak menghantam kaca mobil, paling mati menghantam daratan aspal. Yah, langsung mati seketika. Itu yang aku mau.

“Criiittt... Blaaarrr...” Suara mobil menghantam sesuatu.

Bukan aku yang dihantam mobil itu. Beberapa detik sebelum benda itu akan menabrakku, seakan-akan ada hembusan angin yang menarikku ke belakang. Kencang sekali bagai tiupan puting beliung atau topan yang bersatu dengan badai, hingga menyebabkan tubuhku terhempas jauh. Aku mencoba bangkit. Lutut dan sebelah sikuku berdarah namun tidak parah. Hanya luka lecet kecil, bisa kutahan. Beberapa hari tanpa pengobatan yang intensif pun pasti akan sembuh.

Sepasang mataku lalu menelusuri jejak ban yang tertinggal di jalan raya di depanku. Jejak hitam itu berbelok dan si pembuat jejaknya ternyata menghantam sebuah pohon di sudut berlawanan. Asap mengepul dari tempat mesinnya, berwarna kelabu muda. Pengemudinya tak bergerak. Mungkin hanya pingsan akibat terbentur stir atau dasbor mobilnya. Dari gumpalan asap tadi, bisa kulihat jelas ada sosok terbentuk. Begitu sangat kukenal. Sedikit demi sedikit angin kian memperjelas bentuknya dan angin pula yang membuat guratan-guratan indah pada sosok tersebut. Berikutnya, selesai walau tak sesempurna aslinya.

“K... Kai,” kataku lemah. “Ka... kaukah itu?”

Guratan indah yang membentuk bibirnya mengurai senyuman. Suaranya yang dibawa angin mampir di telingaku. “Jangan bertindak bodoh, Sam. Jangan mengakhiri hidupmu seperti itu.”

“Ta... tapi... aku tak bisa hidup tanpa kau di sisiku, Kai,” jelasku. Mataku tiba-tiba berkaca-kaca, berat, dan akhirnya melelehlah semua kerinduanku menjadi air mata kebahagiaan yang tak kuasa kubendung lagi. Seperti semburat adrenalin yang melaju kencang tanpa henti di setiap aliran darahku sejak tadi begitu kencangnya membuat tubuhku bergetar.

“Sadarlah, Sam,” sosok itu kembali bersuara. “Bukankah sudah aku katakan padamu sebelumnya, walau aku tak ada lagi di dunia ini tapi jiwaku akan terus bersamamu. Akan terus ada. Aku akan menjadi angin yang terus berhembus di sampingmu, turut mengisi rongga napasmu.”

Kucoba tahan tangisku. Lagi, lagi, dan lagi. Tetap saja tak bisa, seolah-olah tangis itu adalah suatu keharusan yang harus dilakukan saat ini juga. Seperti tahap-tahap pada sebuah ritual yang begitu sakral, berbalut hawa mistis yang melekat pekat.
“Aku ingin bersamamu, Kai,” ucapku lembut. Kini aku sudah berhasil menahan gelora yang membara dalam tubuhku.

“Aku sudah bersamamu, Sam,” ujar sosok cepat.

Aku menggeleng sambil berusaha tersenyum. Sebelah batinku ikut campur. Sepertinya ia juga merasakan apa yang aku rasakan saat ini. Tidak... kau tidak ada bersamaku. Itu tak sebanding jika kau benar-benar hadir di sisiku setiap hari.

“Sam!” sosok menyerupai Kai itu memanggil. “Aku meninggal dengan bahagia. Tak ada yang perlu disesali dan ditangisi lagi. Semua sudah sesuai dengan takdirku. Sebaliknya, aku sangat senang bisa menikmati semasa hidupku bersamamu. Menjalani hari-hari penuh kenangan dan kebahagiaan. Dan terlebih lagi, kaubuat setiap hari itu menjadi berwarna. Kau adalah lelaki anginku, Samuel.”

Sosok itu tersenyum lagi sambil diakhiri dengan letupan kecil hingga gumpalan asap itu kian lama kian menghilang. Seperti tersapu oleh angin dan bersatu menjadi salah satu bagiannya, penunjang kehidupan manusia. Sosok Kai menghilang, menciptakan keheningan yang tidak biasa, begitu senyap.

Tak tahu mengapa, kata-katanya tadi seakan bisa menyembuhkan luka sayatan di hatiku yang telah lama menganga. Penghilang dahaga akan cinta dan kasih sayang yang dulu terabaikan. Mengusir segala kebencian lalu menggantinya dengan keceriaan dan kehangatan batin. Ia benar-benar bidadariku.

“Kuijinkan engkau menjadi angin. Angin yang akan selalu bersamaku,” kataku sambil menengadah ke langit. “Ini adalah kenanganku. Kenangan yang membentuk sejarah anginku. Kau akan selalu bersamaku, Kai. Dan satu hal yang lebih penting bagiku. Jauh lebih penting dari semua. Jejak langkah yang kau tinggalkan, benar-benar mendewasakan hatiku dan sejujurnya tak akan pernah hilang dari setiap tapakku.”

Tidak ada komentar: