Sabtu, 27 Desember 2008

The Secret - Chap. 01

Penulis : Afandi M.
Gendre : Detektif & Misteri
Lain-lain : Berseri (3)

“MA... MAAF. Ada masalah penting yang ingin saya bicarakan denganmu, oleh karena itu saya memanggil kamu ke sini,” kata seorang pria gugup. Tampak sebuah garis hitam di bawah bibir matanya.

Sehari yang lalu, melalui Inspektur Andrian, Tommy di beritahu bahwa ada seorang pria yang sangat membutuhkan bantuannya. Dia sedang tertekan akibat sebuah masalah yang melanda rumah tangganya. Ia bersama Nadia datang memenuhi panggilan tersebut dan menjumpai seorang laki-laki yang menderita karena ketidakpastian. Ia menderita secara fisik dan psikis, masalah yang ia hadapi pastilah sangat berat dan pelik. Akhir-akhir ini hatinya sangat teguncang dan bertanya-tanya akan sikap istrinya.

“Saya selalu mendengar tentang kejeniusanmu ketika membuat analisa tentang sebuah kasus kejahatan yang sedang ditangani oleh polisi.” lanjutnya.


“Darimana Anda mengetahuinya?” tanya Tommy.

“Dari Inspektur Andrian. Dia adalah teman saya saat duduk di bangku SMU. Dia tak hentinya bercerita kepada saya mengenai kehebatanmu. Kamu telah banyak membantunya dalam mengunggkap berbagai kasus kejahatan.”

Pria itu berpostur tinggi kurus, tapi badannya sedikit bungkuk ke depan. Janggut halus tumbuh di sekitar dagunya yang lancip. Pria itu sebenarnya tampan, menawan dan penuh kharisma, namun semuanya itu seakan luntur oleh kecemasan yang tersirat jelas dari kedua bola matanya. Rambutnya yang hitam, tak tersisir dengan rapih. Jas dan dasinya lengkap, terbuat dari rajutan benang sutra halus, melambangkan bahwa ia merupakan orang yang berkelas dan berselera tinggi.

Sebelah matanya melirik ke arah Nadia.

“Gadis di sebelah saya ini adalah Nadia Radiyatma,” ujar Tommy memperkenalkan.
“Jangan-jangan kamu...” kata pria itu terputus.

“Iya benar. Saya anak dari Inspektur Adrian Radiyatma.”

Laki-laki itu tersenyum, “kamu memang cantik. Persis seperti yang diceritakan Ayahmu kepadaku.”

Tommy kembali bersuara.“Baiklah, coba ceritakan masalah Anda?”

Raut wajah pria itu berubah lagi. Kali ini tampak jelas beban berat dari sebuah kejadian yang telah dialaminya.

“Sebaiknya saya perkenalkan dulu diri saya. Nama saya Ivan Ardiyansah. Saya bekerja sebagai direktur di sebuah perusahaan swasta, sebut saja Perusahaan Garmen.”

Ia menghembuskan nafas, kemudian melanjutkan kisahnya. “Saya adalah seorang kepala keluarga yang menurut saya sudah menjalankan tugasnya dengan baik. Keluarga saya tidak kekurangan dalam masalah materi, tapi akhir-akhir ini bisnis saya memang sedang mengalami masa yang sulit sehingga mengharuskan kami hidup sedikit berhemat. Namun beberapa hari yang lalu seorang pria datang menemui saya. Ia bermaksud ingin berinvestasi di perusahaan saya, tapi ada beberapa hal yang harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum pria itu bisa menginvestasikan uangnya untuk...”

Belum kata-katanya selesai, Nadia langsung menyela, “bukankah itu malah menguntungkan Anda? Investasi yang orang itu berikan dapat membantu perusahaan Anda keluar dari masalah tersebut.”

“Me... memang benar, ta... tapi...”

Tommy menatapnya tajam. Dengan kode dengan jari telunjuknya, ia membuat gadis itu kembali diam.

“Tapi di balik itu semua, investasi itu sama sekali tidak menguntungkan saya. Nah, di sinilah letak permasalahnya. Istri saya mendadak berubah sikap dan tingkah lakunya ketika saya menceritakan hal tersebut. Dia jadi sering keluar rumah dan pulang malam. Sempat saya mengikutinya sebelum bertemu dengan pria yang berinvestasi di perusahaan saya tersebut. Istri saya tiba-tiba berhenti di depan sebuah apartemen mewah dan masuk ke dalamnya dengan terburu-buru. Dalam batin saya terjadi pergolakan antara rasa penasaran dan takut. Namun akhirnya rasa takut itu lebih mendomiasi batin saya dan saya memutuskan tak mengikutinya masuk karena takut ketahuan. Sambil menunggunya keluar dari apartemen tersebut saya merokok di dalam mobil sambil tetap memperhatikan pintu keluar apartemen tersebut.”

“Setelah kira-kira tiga puluh menit saya menunggu, betapa kaget dan terkejutnya saya. Bukan istri saya yang keluar dari apartemen tersebut justru seorang pria gendut, berkacamata, dengan rambut putih dan kumis yang berbaris menghiasi atas bibirnya. Pria itu adalah orang yang beberapa hari yang lalu berinvestasi di perusahaan saya.”

“Saya hilang akal dan begitu terpuruk saat itu. Sekarang pun pikiran saya masih stres dan kepala saya pusing dibuatnya,” ia mengakhiri kisahnya. Wajahnya yang kelihatan kusut dibenamkan di antara kedua telapak.

“Tenang saja Pak. Jangan biarkan hal itu membelit dan membebani pikiran Anda, nanti malah membuat situasi bertambah buruk,” hibur Nadia.

Setelah melihat pria itu sedikit tenang Tommy berkata, “benar apa yang dikatakan gadis itu Pak. Nah, sekarang coba ceritakan mengenai istri Anda? Kelihatannya saya mulai tertarik.”

Pria itu mengangkat mukanya. Kali ini wajahnya jauh tampak lebih tenang. Mungkin karena ia sudah menceritakan unek-unek yag mengganggu pikirannya selama ini.
“Istri saya sebenarnya wanita yang baik, bahkan sangat baik. Menurut saya dia adalah wanita sempurna yang pernah saya temui. Dia seorang istri, sekaligus ibu yang baik bagi anak-anak saya, penuh dengan kasih sayang dan cinta. Namanya adalah Vira Rahayu Shinta. Sangat beruntung sekali saya bisa menjadi suaminya. Selama ini dia telah mengurus keluarga dengan sangat sabar, walaupun terkadang kedua anak kami yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar membuat berbagai masalah. Maklum, mungkin karena mereka masih anak-anak, sehingga sifat mereka yang masih ingin bermain dan penuh dengan rasa ingin tahu, masih menguasai diri mereka.”

Ia menguatkan dirinya dan kembali meneruskan. “Istri saya sebenarnya keturunan darah biru. Ayahnya adalah seorang Gubernur di kota ini dan Ibunya bekerja sebagai model papan atas. Saat kecil dia sangat sering dimanja oleh Ayah dan Ibunya, tetapi saat menikah denganku, kemewahan dan sifat manja yang dulu kental pada dirinya rela ia tinggalkan. Sebelumnya, dia sempat tinggal di Belanda selama beberapa tahun untuk memperdalam ilmunya sebagai ahli make-up dan akting, karena sudah lama ia ingin bergelut dalam dunia seni peran seperti itu.”

“Wow, benar-benar wanita yang hebat,” pikir Nadia.

“Dia juga turut prihatin atas kondisi yang dialami oleh perusahaan saya. Sebagai tanda keprihatinannya itu, ia pernah menawarkan sejumlah uang untuk membantu perusahaan saya keluar dari krisis tersebut. Saya menolak bantuannya itu dengan alasan tidak mau merepotkannya dan karena ini adalah masalah saya sendiri.”

“Pria ini benar-benar keras kepala,” Nadia kembali mendengus dalam hati.

“Pernah juga sekali orang tuanya datang ke rumah kami dan mencoba menawarkan kepada saya sejumlah uang untuk membantu saya keluar dari kesulitan tersebut, tapi saya tetap menolaknya. Saya tidak ingin merepotkan siapapun, apalagi sampai membawa persoalan perusahaan saya itu ke tangan mertua saya.”

“Kapan tepatnya Anda membuntuti istri Anda?” tanya Nadia.

“Emm... sekitar dua hari yang lalu, beberapa jam sebelum saya menemui pria gendut yang berinvestasi itu.”

“Sudahkah Anda menanyakan hal itu kepadanya? Maksud saya bicara berdua dengan istri Anda?” ujar Tommy lagi.

Sambil tertunduk pria itu lalu berkata, “sa... saya tidak berani. Takut istri saya tersinggung nanti. Saya tidak mau melihatnya marah dan dituduh meragukan kesetiaannya sebagai seorang istri. Dia sudah banyak berkorban demi saya dan demi keluarga kami. Saya tak mau menambah pikirannya.” Pantulan sinar matahari yang semakin terik di luar membut wajahnya terlihat bercahanya.

“Menambah pikiran istrinya? Justru laki-laki ini yang menambah pikiran untuk dirinya sendiri. Tapi sepertinya, dia adalah salah satu anggota ikatan suami takut istri.” Nadia iseng berkometar dalam hati.

Seorang pelayan kafe tempat mereka bertemu datang membawakan dua gelas jus yang sebelumnya telah dipesan oleh laki-laki tersebut.

“Silahkan diminum!” seru wanita itu kemudian tersenyum.

Tommy lalu menyeruput orange juice yang terhidang di hadapannya, setelah itu, ia kembali berkata, “apakah sikap istri Anda berubah secara tiba-tiba, maksud saya dia berubah ketika Anda menolak tawarannya saat itu?”

“Be... benar! Bagaimana kamu tahu?” pria itu terkejut.

“Saya sangat menyesal mengapa pada saat itu saya menolak bantuannya. Seharusnya saya menerima tawarannya itu, sebab dia melakukannya semata-mata untuk kebaikan saya sendiri.” Lantas ia meneruskan, “saya begitu menyayanginya dan tak mau kehilangan dirinya. Jika disuruh memilih uang dan dirinya, saya pasti lebih memilih dirinya. Saya sungguh tak bisa hidup tanpa dia.”

“Apakah ini bukti nyata dari kekuatan cinta?” iseng Tommy berkata pada diri sendiri. “Kapan Anda bertemu dengan pria itu lagi?”

Pria itu lalu membuka buku kecil yang baru diambilnya dalam saku jas hitamnya, kemudian membaca tulisan yang ada di dalamnya dengan nada parau. “Sepertinya saya akan menemuinya besok.”

“Jam berapa tepatnya?”

“Sekitar pukul sepuluh pagi,” katanya sambil menutup kembali buku tersebut, menaruhnya kembali ke dalam saku jasnya.

“Emm besok ya... berarti hari kamis. Untung saja sekolah libur.”

“Libur?” Nadia kebingungan menatap Tommy.

“Besok ‘kan ada rapat guru, jadi hari itu diliburkan. Memangnya tidak ada yang memberitahu kamu?”

Nadia memandangnya tanpa mengatakan sepatah katapun.

“Baiklah Pak Ivan, sekarang tolong tuliskan alamat apartemen istri Anda. Saya pasti akan segera menyelidiki dan menyelesaikan permasalahan Anda ini secepatnya.”

Pria itu merobek selembar kertas dari buku agendanya tadi, kemudian menuliskan sebuah alamat pada kertas tersebut dengan cepat dan memberikannya kepada Tommy.

“Baiklah, nanti saya akan selidiki peristiwa ini. Setelah saya dapat memecahkan misteri tersebut, saya akan menghubungi dan memberitahu Anda mengenai keseluruhan hasil penyelidikan yang telah saya lakukan dan kesimpulan apa yang saya peroleh darinya.”

Pria itu buru-buru pergi tanpa menghabiskan secangkir kopi di mejanya. Sebelum pergi, ia sempat berpesan kepada Tommy dengan sungguh-sungguh. “Aku mohon selesaikan masalah ini secepatnya. Aku akan membayarmu berapapun yang kamu mau dan tolong jangan sampai istriku mengetahui hal ini.”

~Bersambung~

Kamis, 25 Desember 2008

Wanita Istimewa (Puisi)

Lampu kamarku mati tiba-tiba
Kepanikan lalu muncul dan meracuni raga
Menggelontorkan keberanian,
Membekapku dengan ketakutan

Tapi, wajahmu kian terbayang
Bersinar laksana sang fajar,
Membara dan menciptakan keajaiban


Kau tahu,
Aku ini bodoh
Aku ini pria yang gagal
Menyedihkan sebagai manusia yang terbuang

Tapi, kau akan selalu ada di sisiku
Memberi sejuta harapan untuk membangkitkanku
Mendekapku dengan pelukan manjamu
Merayapkan semangat dalam sel-sel kalbuku

Kau teristimewa
Kau yang berharga
Kau satu dalam jiwa
Penyembuh luka untuk menghabiskan setiap masa

~by: Afandi M.
Bandung : 25-Desember-2008
*Saat diriku benar-benar mengharapkan dirinya

Selasa, 23 Desember 2008

Bisikan Malaikat (Puisi)

Malam ini bulan bersinar separuh
Seperti lengkungan senyummu saat itu

Tatkala aku buka jendela kamar
Tawamu menyusup dan menyisir rambutku
Menentramkan hati lalu kalbuku

Hei Dewi Kecilku, datanglah malam ini
Datanglah dengan lenguhan nafasmu
Temaniku dalam semu
Ceriakanku dengan imajimu
Buatku rasakan cinta yang sebenarnya
Buatku mimpikan kita berdua


Namun, aku terbangun
Di tengah lelap yang meradang
Saat telingaku mendengar bisik lembutmu
"Ciayo sayangku, kepakkan sayapmu!"

~~~
by Afandi M.
Bandung, 23 Desember 2008
pukul 21:13

Kamis, 18 Desember 2008

The Invisible Prisoner - Finish

Penulis : Afandi M.
Gendre : Detektif & Misteri
Lain-lain : Berseri (4)

TOMMY harus berjalan sedikit lebih jauh dari tempat duduknya untuk pergi ke toilet, yang berada di bagian ekor pesawat. Kabin pesawat seperti sebuah lorong raksasa ketika ia berjalan dan mengarahkan pandangannya jauh ke depan.

Di depan pintu toilet, ia menunggu. Pintunya terkunci, begitu juga toilet di sebelahnya. Tak lama seorang pemuda berambut panjang keluar. Wajah orang itu seperti pernah dilihatnya. Ia teringat akan salah satu orang yang dicurigai oleh Albert Edison. Namanya adalah Schott Heddington, sang mantan narapidana. Jalannya agak terhuyung dan seketika itu menabrak Tommy.

Sorry Bos!” katanya kemudian berlalu.


Kepulan asap dan bau pekat nikotin menyelimuti seisi ruangan toilet, tempat pria tadi berada. Keningnya menggkerut, kedua alis tebalnya hampir bertemu. “Orang tadi pasti merokok di dalam sini,” keluhnya. Ia terbatuk lalu menutup pintunya.

Di dalam, samar-samar ia mendengar suara orang yang sedang menelepon dari toilet di sebelahnya. Toilet yang tadi dilihatnya terkunci.

I’m in the plane now,” kata suara samar itu. “Ok... yes. I know,” ujarnya kemudian.

Wait. It isn’t save, if we talking about that problem in this place right now. If I’ve already sign off in Indonesia, I will call you back, Okey!”

Yes, that’s right. Yes...” katanya setuju. “Ok...

Ok. This is a serious problem. I hope, I won’t get caugh in Soekarno-Hatta Airport...

That’s true... We must talked soon, to clear this problem. Okey... okey... bye,” katanya mengakhiri pembicaraan mereka.

Tommy keluar dari toilet, begitupun orang yang tadi berada di toilet di sebelahnya. “Itu kan Paul Osborn,” katanya dalam hati. “Kaki kanannya pincang...”

Ia kembali ke kursinya dan mendapati Albert Edison duduk dengan tangan yang menopang dagunya. Sambil melihat kembali identitas keempat orang yang dicurigainya dan meletakkannya di atas sebuah meja plastik kecil yang melekat di kursi depannya, ia berfikir.

“Bagaimana Sir? Apakah Anda sudah mengetahui penyamaran dari narapidana itu?” tanya Tommy membuyarkan lamunannya.

“Belum,” jawabnya singkat.

Semangatnya yang tadi tampak membara, rupanya sedikit demi sedikit sudah terkikis habis, meninggalkan keputus asaan yang kini melanda jiwanya.

“Sebaiknya Anda teliti lagi tingkah laku mereka. Ada seseorang yang melakukan kesalahan kecil dan kesalahan itu malah berakibat fatal untuk penyamarannya sendiri. Kesalahan itu juga yang akan membongkar kedoknya.”

“Apa maksud kamu? Aku tidak mengerti sedikit pun.”

“Tunggu...” kata Albert Edison tersadar akan kata-kata itu. “Jangan-jangan kamu sudah tahu narapidana itu menyamar menjadi siapa?”

“Cepat katakan,” lanjutnya.

“Betul, saya sudah tahu siapa narapidana itu dan saya juga sudah tahu dia menyamar menjadi siapa.”

Wajah Pak Albert Edison yang tadi tampak cemas dan putus asa berubah seketika.

Come on boy, just tell me! Cepat beritahu saya siapa orangnya?”

“Saya harus menangkapnya sesegera mungkin, agar tidak ada seorang pun yang terluka karena perbuatannya nanti,” rengeknya.

Tommy menghela nafas panjang dan mulai berkata, “baiklah saya akan memberitahu Anda. Tapi sebaiknya saya menjelaskannya kepada Anda lebih dahulu mengenai bagaimana saya mengetahui, bahwa dialah penyamaran dari tahanan yang melarikan diri itu.”

Ia mengambil nafas panjang lalu memulainya,“Anda pasti sudah tahu bahwa tahanan itu ahli dalam hal penyamaran.”

Albert Edison mengangguk menyetujui.

“Tidak heran dia bisa kabur dari salah satu penjara di Inggris yang terkenal akan sistem keamanannya yang sangat ketat. Dan sekarang dia sedang menyamar menjadi salah seorang penumpang di pesawat ini. Namun, Anda kemudian mencurigai empat orang di antara para penumpang.”

“Betul.”

“Pertama adalah Edie John, seorang bisnisman. Yang kedua adalah Paul Osborn, seorang pegawai yang telah dipecat dari perusahaan tempatnya dulu bekerja. Ketiga adalah Schoot Heddington, seorang narapidana yang baru-baru ini dibebaskan dari penjara. Dan yang terakhir adalah Peter Malvolk, seorang dokter yang bekerja di rumah sakit ternama.”

“Sejauh ini rencananya memang berjalan dengan lancar, tapi dia tidak menduga bahwa akan terjadi suatu hal yang tidak sesuai dengan rencana yang telah ia susun sebelumnya.”

“Anda pasti ingat dengan kejadian Edie John yang tadi sempat terserang asma,” kata Tommy sambil menatap mata Pak Albert yang bulat dan besar.

“Iya, saya ingat.”

“Dia meronta-ronta dan jatuh tersungkur di lantai pesawat. Dia kemudian dibantu oleh Peter Malvolk. Kamu tidak berfikir bahwa dialah penyamaran dari tahanan itu bukan?” tanyanya menuntut. Alisnya kini ditekuk ke atas.

“Memang dialah orangnya. Dialah narapidana yang kabur itu. Apa Anda tidak melihat ada kejanggalan dari perbuatannya saat itu?”

“Perbuatan apa? Memangnya dimana letak kejanggalan atas perbuatannya itu? Lagipula apa buktinya?” Albert Edison makin heran dan tidak meyangka ia telah mengeluarkan serentetan pertanyaan itu.

“Bukti? Anda masih memerlukan bukti?”

Ia memamerkan senyuman dan suaranya kini sedikit dimainkan.

“Bukankah Anda tadi telah melihat bahwa Peter Malvolk telah salah mengobati Edie John. Padahal penyakit yang diderita Edie John hanyalah penyakit asma. Anda tahu kan, bahwa penyakit asma disebabkan oleh penyempitan saluran pernapasan yang merupakan respon terhadap rangsangan, yang pada paru-paru normal tidak mempengaruhi rangsangan. Penyempitan saluran pernapasan itu dapat dipicu oleh berbagai rangsangan, misalnya suhu atau udara dingin, meskipun masih banyak lagi rangsangan yang dapat mempengaruhinya.”

“Sangat tidak masuk diakal, jika seorang dokter tidak menyadari hal sekecil itu. Bukankah Anda pernah mengatakan bahwa dia adalah seorang dokter yang profesional. Apalagi dia bekerja di rumah sakit yang ternama. Tidak mungkin dia teledor dalam memeriksa penyakit seperti itu. Dengan hanya melihat saja, kita sudah dapat mengetahui penyakit itu.”

“Dari bukti-bukti itulah saya lalu menarik kesimpulan, bahwa tahanan itu menyamar menjadi dokter bernama Peter Malvolk.”

“Bagaimana kalau dia lupa? Mungkin dia sedikit gugup.”

“Itu sungguh tidak mungkin terjadi. Seorang dokter tidak boleh lupa, apalagi memiliki rasa gugup saat mengobati pasiennya. Mereka itu berperan atas nyawa seseorang. Hidup dan mati orang tersebut bergantung padanya, meskipun sesungguhnya sudah ada yang mengatur semua itu.”

“Tapi... sepertinya itu semua tidak bisa dijadikan bukti yang kuat,”Albert Edison sedikit pesimis.

“Pria itu sama sekali tidak tahu-menahu tentang kedokteran atau semacamnya. Waktu di bandara tadi, saya sempat berbincang-bincang dengannya. Dari sulaman NHS di tasnya saya bertanya kepadanya, apakah dia bekerja di Nationan Health Service, ia lalu menjawab benar bahwa dia memang bekerja di lembaga kesehatan itu. Sudah tiga tahun ia bekerja di tempat itu. Namun ketika saya bertanya mengenai bagaimana pelayanan kesehatan lembaga itu dibiayai, ia menjawab bahwa NHS menerapkan sistem komersial dari para pasiennya. Katanya, ‘siapa yang masuk rumah sakit harus bayar. Itulah kewajiban yang harus mereka penuhi’,” Tommy mencoba menirukan.

“Itu tidak benar. Biaya pelayanan kesehatan bagi pasien di National Health Service, dibiayai oleh negara melalui pajak yang dipungut dari rakyat, sebab NHS merupakan lembaga kesehatan yang dimiliki oleh negara. Kalau begitu, berarti dia adalah...”

“Benar... Peter Malvolk adalah penyamaran dari narapidana itu. Dia mencoba membodohi polisi, tapi dia sendiri kena batunya. Sepertinya, dia tidak memikirkan lebih jauh mengenai hal itu. Mengenai latar belakang penyamarannya. Dia hanya terfokus pada penampilan fisik saja.”

Albert Edison tertawa beberapa saat, lalu berkata, “Terima kasih, untung saja ada kamu yang membantu kami, sehingga bisa menangkap narapidana itu. Ternyata kamu memang mewarisi kejeniusan Ayahmu,” ia memuji.

Tommy tersenyum puas. Ia kembali bersandar di kursi empuknya. Menekan tombol lampu baca yang berada tepat di atasnya, kemudian membuka kembali halaman novel yang tadi baru setengah dibacanya. Bel pemberitahuan berbunyi lagi. Suara pramugari yang tadi melapor, kembali terdengar lagi.

“Beberapa menit lagi, kita akan segera mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Silahkan memasang sabuk pengaman dan menegakkan kursi Anda. Terima kasih.”

Rabu, 17 Desember 2008

The Invisible Prisoner - Chap. 03

Penulis : Afandi M.
Gendre : Detektif & Misteri
Lain-lain : Berseri (4)

BEBERAPA ORANG terlihat sibuk menghisap rokoknya dengan penuh kenikmatan di sebuah ruangan yang dibatasi oleh sekat-sekat kaca yang mencolok dan transparan. Dari luar bisa terlihat, asap rokok mereka beterbangan menyerupai kabut di pagi hari yang menyelimuti sebagian badan jalan. Di langit-langit ruangan tersebut sebelumnya telah dipasangi alat penghisap asap rokok, agar asap tidak mengepul keluar dari ruangan tersebut. Di Indonesia sendiri sudah ada Peraturan Pemerintah no. 19 tahun 2003 yang menangani hal itu, tentang pengamanan rokok bagi kesehatan.


Tommy sedang duduk di sebuah kursi menunggu jadwal keberangkatannya. Tadi setelah turun dari pesawat, ia dan Albert Edison berpisah. Entah kemana kepala polisi itu pergi, ia terlihat terburu-buru ke suatu tempat.

Tommy membaca kelanjutan novelnya tadi. Sudah dua pertiga dari halaman-halaman novel itu dibacanya. Setelah satu judul telah habis dibaca, ia menutup novel itu, menaruhnya di samping kursi. Pandangannya kini mengembara di ruangan tersebut. Tiga bangku di depannya, tepat di bagian kiri bangku tersebut jelas sekali terlihat Edie John sedang duduk. Rambutnya yang tumbuh jarang pada tengah-tengah kepalanya seakan menjadi ciri-ciri fisiknya. Pria itu tertunduk, entah sedang tidur atau melamun melihati lantai di bawahnya.

Sementara itu, di deretang bangku kedua dari deretan bangkunya Schott Heddington duduk gelisah. Pandangan pria itu terus saja tertuju pada wanita-wanita Asia yang lalu lalang di hadapannya. Mungkin itu adalah pengalaman pertama baginya melihat penampilan wanita Asia yang langsung membuatnya terpesona.

Suara batuk seorang pria membuat Tommy tersadar dari ekspedisi kecilnya. Ia sendiri tidak sadar bahwa sedari tadi ada pria yang tengah duduk di hadapannya.

“Sejak kapan pria itu duduk di hadapanku,” pikirnya. Tommy mengamati pria itu dengan saksama. “Bukankah dia Peter Malvolk?”

“Ternyata Edie John, Schott Heddington dan Peter Malvolk memang bertujuan ke Indonesia, jadi semakin sulit bagi Pak Albert Edison melacak penyamaran narapidana itu. Tunggu... bukankah harusnya seorang lagi yang bertujuan ke Indonesia. Kalau tidak salah Paul Osborn, seharusnya dia juga bertujuan sama dengan pria-pria ini. Kemana perginya dia? Apakah dia merupakan penyamaran dari narapidana itu? Jika memang benar dia orangnya, tampaknya dia telah menyadari bahwa dia merupakan incaran polisi. Dia telah kabur...”

Tommy seketika teringat akan kata-kata Albert Edison, “Kami bersama polisi Hong Kong telah bekerja sama dan mereka telah tersebar dan bersiaga di seluruh area bandara, tinggal menunggu perintah dari kami. Jadi tidak mungkin narapidana itu bisa keluar bandara seenaknya untuk kabur walaupun saya berada di dalam pesawat menuju ke Indonesia.”

“Semoga pria itu tertangkap,” kata Tommy dalam hatinya.

Seseorang tiba-tiba berjalan di depannya. Langkahnya panjang dengan hentakan keras saat sepatunya bertemu dengan lantai. Pria itu kemudian duduk di deretan bangku Tommy. Tommy kembali melakukan pengamatannya.

“Bukankah dia adalah Paul Osborn?” ia tersenyum pada dirinya sendiri. “Sepertinya Pak Albert Edison harus bekerja lebih keras untuk menangkap penyamaran dari narapidana itu.”

Tommy berkomentar lagi dalam hatinya, “Tentu saja pria itu sejak tadi tidak kelihatan, tampaknya ia baru dari toilet. Ujung celananya panjangnya itu terkena banyak percikan air. Mungkin pada saat di toilet, air meresap melalui pori-pori celananya. Sepertinya dia tidak menyadarinya.”


“Hai, apakah Anda menuju Indonesia juga?” tanya Tommy kepada pria di hadapannya.

“Sepertinya begitu,” jawabnya sedikit sungkan.

“Anda bekerja di NHS ya?” Tommy kembali bertanya.

Pria itu terkejut, ekspresi wajahnya menandakan bahwa ia bertanya-tanya.

“Ya, saya rasa Anda bekerja pada lembaga National Health Service yang berada di Inggris. Saya menyadarinya saat melihat sulaman berwarna biru berupa singkatan NHS pada tas Anda.”

“Oh ya... benar,” pria itu berkata seolah-olah ia baru menyadarinya.

“Sudah berapa lama Anda bekerja di tempat itu?”

“Emm... sekitar tiga tahun yang lalu. Aku ini dokter yang profesional.”

“Benarkah? Kelihatannya dokter ini sombong sekali,” pikir Tommy mempertanyakan hal itu.

“Tampaknya Anda nyaman bekerja di sana?”

“Tentu saja,” pria itu menyombong.

“Oh ya, saya pernah membaca sebuah artikel mengenai sistem pelayanan kesehatan. Ada beberapa hal yang selalu memperoleh perhatian, diantaranya mengenai bagaimana pelayanan kesehatan itu dibiayai. Apakah oleh negara, masyarakat atau gabugan dari keduanya, melalui mekanisme asuransi, baik asuransi sosial maupun asuransi komersial. Di Amerika sendiri menerapkan sistem bebas dan yang sangat dominan yaitu mekaisme asuransi kesehatan komersial. Bagaimana di NHS sendiri?”

Pria itu diam sebentar. “Di NHS, tentu saja mengandalkan masyarakat. Semua lembaga kesehatan juga begitu. Pelayanan kesehatan di biayai oleh masyarakat. Mereka membayar untuk pelayanan kesehatan yang lembaga kesehatan itu berikan.”

“Berarti di NHS menerapkan sistem komersial ya?”

“Ya tentu saja, siapa yang masuk rumah sakit harus bayar. Itulah kewajiban yang harus mereka penuhi,” pria itu mendengus kesal.

“Oh begitu ya,” Tommy mengangguk.


Pria bernama Peter Malvolk menatap kuat-kuat pria yang duduk di samping Tommy.

“Anda Paul Osborn bukan?” katanya.

“Benar. Memangnya ada apa?”

“Saya kira Anda telah berada di penjara karena kasus pemalsuan dokumen di perusahaan tempat Anda bekerja. Bagaimana Anda bisa bebas? Apakah Anda menyogok hakim?”

Pria itu geram. “Apa maksud Anda?”

“Ah tidak apa-apa...” katanya sambil tersenyum.


Bel pemberitahuan berbunyi. Suara seorang wanita terdengar dari loudspeaker. “Bagi Anda penumpang dengan tujuan Indonesia, diharapkan segera memeriksakan tiket di Gate 3. Terimakasih.”

Tommy mengantri di deretan kedua, paling belakang.


Tadi sebelum tinggal landas, para pramugari seperti biasa mengajarkan para penumpang bagaimana menggunakan jaket pelampung jika pesawat mengalami kecelakaan di laut. Hal itu sebenarnya tidak perlu. Tampaknya semua penumpang pesawat itu sudah pengalaman melakukan perjalanan dengan menggunakan pesawat. Jadi hal itu sudah tertanam di kepala mereka.

Tommy sudah tidak sabar menginjakkan kedua kakinya di tanah kelahirannya itu. Butuh sekitar empat atau lima jam perjalanan menuju Indonesia dari bandara tadi tempatnya bertransit.

“Kita duduk bersebelahan lagi?” kata seorang pria menyapanya.

“Oh Anda Pak Albert Edison. Anda juga menuju Indonesia?”

“Ya, sebab keempat orang itu juga ke negara tersebut. Kami akan menangkap narapidana itu di sana?”

“Mengapa Anda tidak melakukan hal itu tadi, saat berada di Bandara Internasional Hong Kong?”

“Ada alasan yang kuat. Kami tidak boleh gegabah dalam meringkusnya. Lagipula rencana kami tadi tidak berjalan seperti yang diinginkan. Keempat orang itu teryata tidak ada yang melarikan diri atau semacamnya saat bertransit di bandara sebelumnya. Tadi juga kami sudah melakukan kontak dengan para petugas keamanan Bandara Soekarno-Hatta di Indonesia, agar mereka menjaga semua pintu keluar bandara. Tampaknya kali ini dia tidak akan lolos.”

“Oh, begitu. Aku berharap semua berjalan seperti yang Anda rencanakan.”

“Tentu saja,” seru Albert Edison optimis.


Tommy melamun, menatap ke luar jendela. Ia duduk di posisi seperti tadi saat ia berada di pesawat pertama, berdekatan dengan jendela. Laut kelihatan memancarkan sinar dan kebiruan jauh di bawah sana. Jelas di pikirannya, bahwa bumi ini seperti wadah besar yang menampung triliunan ton air yang kian hari kian bertambah akibat beberapa hal, misalnya pencairan es di kutub akibat pemanasan global atau global warming. Entah sudah berapa puluh juta suara yang telah mengumandangkan Save Our world, tapi nyatanya mana? Hanya omongan bodoh yang tidak berguna.

Satu jam kemudian Tommy tersadar dari lamunannya memikirkan semua usaha manusia mencoba menyelematkan bumi yang kini makin lama makin bertambah tua saja. Sepasang telinganya mendengar teriakan kesakitan dari seorang penumpang yang berada dua bangku di depannya. Albert Edison yang duduk di sebelahnya, bangkit dan segera berjalan menuju tempat suara itu berasal.

Seorang pria jatuh tersungkur ke lantai pesawat, dan meronta-ronta kesakitan sambil memegang-megang dadanya. Matanya yang besar, sebesar bola golf melotot, memperhatikan orang-orang di sekelilingnya. Nafasnya berbunyi, sesak, dan saling memburu, diselingi dengan batuk yang kadang-kadang muncul, seperti sudah berlari puluhan kilometer tanpa henti. Wajahnya tampak seperti salah seorang yang tadi dicurigai oleh Albert Edison. Namanya adalah Edie John, yang berdasarkan informasi sangat dibenci oleh para pesaing bisnisnya, karena sering membuat sejumlah kecurangan dalam menjalankan bisnisnya tersebut. Seperti bisnis kotor.

“Lakukanlah sesuatu, jangan cuman melihat saja seperti tak tejadi apa-apa,” teriak histeris salah seorang penumpang wanita yang duduk di sampingnya.

“Apakah kalian mau melihatnya kesakitan seperti itu terus-menerus, sampai dia mati? Cepat tolong dia.”

“Segera panggil Peter Malvolk. Dia berprofesi sebagai seorang dokter. Dia pasti dapat membantu,” teriak Pak Albert, yang kemudian menyuruh seorang pramugari yang berdiri di sampingnya untuk memanggil pria tersebut.

Beberapa saat kemudian orang yang ditunggu-tunggu pun datang. Peter Malvolk terlihat bingung. Mukanya kelihatan ikut-ikutan panik. Seperti tidak sesuai dengan profesi yang digelutinya, yang membutuhkan ketenangan dalam melakukan hal itu. Tiba-tiba, ia lalu mendudukkan pria itu. Belum beberapa menit berlalu, kejang-kejang yang di derita Edie John makin parah. Nafasnya makin tersengal-sengal dan dadanya naik turun dengan begitu cepat.

Orang-orang yang berkumpul di situ panik.

“Bagaimana ini? Bukannya malah sembuh, malah jadi semakin bertambah parah saja,” celetuk wanita yang tadi berteriak. “Apakah kamu memang seorang dokter? Atau cuma gadungan?”

“Tenang. Dia hanya menderita penyakit asma,” ujar sebuah suara dari arah belakang. “Coba baringkan dan longgarkan baju serta ikat pinggangnya. Jangan lupa longgarkan juga dasinya. Dan tolong ambilkan inhaler. Namun jika benda itu tidak ada, ambilkan saja tabung oksigen kecil dan juga segelas air untuk membuat pernafasannya kembali normal.”

Albert Edison menoleh ke arah suara itu. Ternyata Tommy, pikirnya. Si pramugari yang tadi pergi, kini telah mengambil benda-benda yang tadi disebutkan.

Kejang-kejangnya berhenti dan nafasnya pun kembali normal. Hembusan nafas lega terdengar dari beberapa orang, termasuk Albert Edison sendiri. Semua penumpang yang sejak tadi berkerumun di sekitar tempat itu lambat laun kembali ke tempat duduk mereka masing-masing.

~Bersambung~

Sabtu, 13 Desember 2008

The Invisible Prisoner - Chap. 02

Penulis : Afandi M.
Gendre : Detektif & Misteri
Lain-lain : Berseri (4)

KUMPULAN AWAN seperti gumpalan kabut asap berwarna putih, yang senantiasa bergerak berirama seiring dengan hembusan angin. Dua pramugari keluar sambil membawa sebuah troli aluminium yang didorong dengan susah payah karena besarnya hampir menyamai lebar lorong tersebut. Sebuah teko aluminium bergaya Eropa dan tumpukan gelas plastik, berjejer di atas baki troli itu. Ada juga beberapa bungkus kecil gula rendah kalori yang tersusun di dalam kotaknya. Dengan lihai bak seseorang yang telah berpengalaman, kedua pramugari itu membagikan segelas kopi hangat kepada para penumpang.

Coffee Sir?” tanya seorang pramugari berambut sebahu dan berbola mata biru kepada Tommy.

Yes, please!” serunya.


Berbeda dengan Albert Edison yang duduk di sebelahnya. Dengan sebuah tanda yang tegas dari tangannya, ia menolak tawaran tersebut.

Satu jam telah berlalu dengan begitu cepat. Bel pemberitahuan berbunyi nyaring, sehingga para penumpang pesawat langsung memfokuskan pendengaran mereka ke suara itu. Suara pramugari terdengar dari loudspeaker. “Sekitar tiga puluh menit lagi, kita akan segera mendarat di Bandara Internasional Hong Kong. Silahkan memasang sabuk pengaman dan menegakkan kursi Anda.”

Pak Albert Edison berdiri tegak setelah pemberitahuan selesai diumumkan. Ia lalu berjalan menuju tempat pilot bersama rekannya yang berada di deretan kursi berbeda. Badannya yang gemuk membuatnya agak susah berjalan di lorong pesawat yang memang agak sempit baginya, sehingga ia pun harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk menyelipkan tubuhnya di antara deretan kursi tersebut.

Selang berapa lama, terdengar kembali bel pemberitahuan berbunyi nyaring dari balik cockpit. Kali ini bukanlah suara seorang wanita yang tadi menyampaikan pemberitahuan, karena suara kali ini terdengar agak sedikit nyaring dan begitu berat, formal pula. Pak Albert Edison-lah yang berbicara dari loudspeaker itu. Setelah ia memperkenalkan siapa dirinya yang sebenarnya, ia lalu mengumandangkan sebuah pengumuman penting. Setiap penumpang pesawat tersebut diwajibkan untuk mengeluarkan identitas mereka masing-masing, namun sang kepala polisi itu tidak menjelaskan maksud yang sebenarnya dari tindakan itu.

Beberapa menit kemudian Albert Edison duduk lesu sambil mendengus, tidak puas atas hasil temuannya.

“Bagaimana hasilnya Sir? Apakah Anda sudah menemukan sebuah petunjuk atau mungkin Anda sudah mampu membongkar penyamaran dari narapidana yang kabur itu?” tanya Tommy.

Albert Edison menghela nafas panjang. Dengan suara yang agak berat dan serak, ia lalu berkata, “tidak banyak petunjuk yang kami dapatkan. Kami tidak menemukan banyak kemajuan penyelidikan yang berarti. Tapi...”

Ia setengah berbisik. “Kami telah mencurigai empat orang penumpang pesawat ini sebagai peyamaran dari narapidanan itu.”

“Maksud Anda?”

“Benar, keempat orang itu telah kami curigai jauh sebelumnya. Kami telah mengawasi mereka sejak di Bandara Heathrow. Kami dibantu oleh beberapa agen federal Inggris, namun mereka tidak mau membantu kami lebih jauh lagi sebab kata mereka, ini bukanlah tugas mereka yang sesungguhnya. Kau tahu, hubungan polisi dan para agen tersebut tidak berjalan dengan baik selama ini. Mereka selalu merasa lebih berguna daripada kami, para polisi. Hanya karena tugas yang diembankan kepada mereka lebih penting dari pada tugas kami seperti melakukan tilang bagi pegendara yang melanggar atau semacamnya. Sementara tugas mereka jauh lebih eksklusif, tugas yang berhubungan dengan urusan negara.”

“Misalnya mata-mata seperti yang dilakukan dalam film James Bond,” pikir Tommy ingin tertawa. Albert Edison melanjutkan,“Menurut para agen itu, keempat penumpang tersebut adalah orang yang patut dicurigai.”

“Memang apa alasannya?” tanya Tommy.

Pria itu diam tak menjawab. Suasana sunyi beberapa detik.

“Buat apa Anda melakukan pemeriksaan identitas para penumpang pesawat tadi, jika Anda memang telah mencurigai empat dari para penumpang pesawat ini?”

“Hmm... Kami mau mendata, maksudku memeriksa rute tujuan kunjungan mereka berempat, tentunya sambil menyamarkan penyelidikan itu. Sebab pesawat ini akan mendarat di Bandara Internasional Hong Kong dan akan melakukan transit bagi penumpang yang ingin melanjutkan ke Indonesia dengan menggunakan Cathay Pascific Airways dari Hong Kong.”
“Bagaimana kalau narapidana itu kabur? Bisa saja di tempat transit nanti dia kabur dan tak kembali lagi,” Tommy berkomentar.

“Itu tidak mungkin. Di sinilah fungsi dari data kunjungan keempat penumpang itu. Mereka yang tidak transit di Bandara International Hong Kong, jelas-jelas adalah penyamaran narapidana tersebut. Kami bersama polisi Hong Kong telah bekerja sama dan mereka telah tersebar dan bersiaga di seluruh area bandara, tinggal menunggu perintah dari kami. Jadi tidak mungkin narapidana itu bisa keluar bandara seenaknya untuk kabur walaupun saya berada di dalam pesawat menuju ke Indonesia.”

“Memangnya tujuan kunjungan keempat orang itu kemana?”

Pria itu tersenyum, lalu berkata “Indonesia...”

“Kalau saya boleh tahu Sir, siapakah orang-orang itu?”

Sambil memperlihatkan identitas keempat orang tersebut, ia menjelaskannya satu-persatu dengan singkat.

“Dia adalah Edie John, seorang pengusaha sukses. Namun di balik kesuksesannya itu, ia banyak dibenci oleh para pesaingnya, karena kelicikannya dalam menjalankan bisnisnisnya. Dia sering melakukan kecurangan-kecurangan dari setiap bisnis yang ia jalankan.”

Ia kemudian menambahkan sambil berbisik, lebih mendekatkan wajahnya ke telinga Tommy. “Menurut berita yang beredar belakangan ini, pria itu juga terlibat dalam sejumlah tindak kejahatan dan penjualan obat-obat terlarang. Namun entah mengapa, dia selalu bisa lepas dari semua tuduhan itu. Tak ada satupun bukti yang dapat memberatkannya, dan walaupun kejahatannya sudah terlacak oleh polisi, tapi tetap saja ia selalu berhasil lolos.”

“Ia duduk di bangku kedua di depan kita, di deretan bagian kanan dari kursi tempat kita berada,” lanjutnya dengan ketus.

Tommy sedikit menaikkan duduknya. Bertopang pada kedua kakinya, mencoba mengintip di antara kepala-kepala yang berjejeran di hadapannya. Seorang pria dengan rambut sedikit jarang di tengah-tengah kepalanya, sedang tertidur dengan kepala yang dimiringkan ke kanan dan bersandar ke bantalan kursi. Kerah jas dan kemejanya terlihat begitu rapih.

“Yang ini adalah Paul Osborn,” sambil menyerahkan kartu identitas yang kedua. Tampak olehnya seorang pria berambut pirang pendek, dengan kulit kecoklatan yang sedikit terbakar sinar mentari sedang membaca sebuah majalah yang telah disediakan sebelumnya di dalam kantong kursi di depannya. Ia mengenakan kemeja putih bermotif kotak-kotak bergaris dengan lengan pendek.

“Dulunya, dia bekerja sebagai karyawan di salah satu perusahaan swasta yang terkenal di Inggris. Bergerak dalam bidang transportasi. Tetapi menurut penuturannya, sebulan yang lalu dia baru saja dipecat dan dengan uang pesangonnya itu, dia berlibur ke Indonesia―ke Bali. Jauh dari hiruk pikuk suasana London yang begitu sesak. Hanya itu alasan yang dapat kuperoleh darinya. Tapi sepertinya aku tidak begitu percaya dengan semua alasannya itu.”

“Bagaimana dia bisa dipecat dari perusahaannya itu? Apa alasannya?”

“Menurut keterangan yang aku peroleh darinya. Dulu dia terlibat dalam sebuah kasus pemalsuan dokumen di perusahaannya, sehingga perusahaannya itu menanggung kerugian yang sangat besar. Kalau dihitung-hitung kerugiannya mencapai jutaaan ribu dollar. Untung saja perkara itu tidak dialihkan ke meja hijau, dan buntut atas perbuatannya itu adalah pemecatan dirinya dari perusahaan tersebut secara tidak hormat pula. Kasihan sekali nasibnya.”

“Yang ketiga ini adalah Schott Heddington, mantan narapidana yang baru-baru ini dibebaskan dari penjara, sekitar dua bulan yang lalu. Dia datang ke Indonesia karena ada seorang saudaranya yang tinggal dan menetap di sana.”

Mata Tommy lalu tertuju pada seorang pemuda bertubuh kekar bak seorang binaragawan. Rambutnya pirang panjang, diikat ke belakang dengan janggot yang mulai tumbuh di sekitar dagunya. Ia sedang menggoda pramugari yang kadang berjalan hilir-mudik melewatinya.

“Apakah Anda sudah memeriksa passport miliknya selama menetap di Indonesia nanti?” tanya Tommy.

“Sudah. Semuanya sudah lengkap, baik berupa passport maupun hal-hal lain yang diperlukan selama dia menetap di Indonesia nanti.”

Sempat Albert Edison menelan ludahnya sekali. Membersihkan saluran tenggorokannya yang kering, kemudian melanjutkan kembali penjelasannya.

“Dan yang terakhir ini...” sambil menyerahkan identitas orang yang dimaksud. “Bernama Peter Malvolk. Dia berprofesi sebagai seorang dokter yang bekerja di sebuah rumah sakit ternama di Inggris. Sama halnya dengan alasan Paul Osborn, dia juga ingin berlibur ke Indonesia.”

“Dia mengambil cuti dari rumah sakit tempatnya bekerja selama kurang lebih sebulan. Tapi anehnya, dia tidak mengikut sertakan keluarganya dalam liburannya ini.” Jelasnya. Albert Edison menunjuk seorang pria berpakaian jas rapih, memakai kacamata minus setengah, berbadan tegap; rambut dan matanya hitam serta hidungnya berkilauan, sedang membaca sebuah koran Time Express.

“Apakah Anda sudah menanyakan alasan, mengapa dia tidak mengikut sertakan keluarganya dalam liburannya?”

“Tentu saja, saya sudah menanyakan mengenai hal itu. Menurutku, itu merupakan hal yang sepele. Tak ada kemajuan berarti yang dapat kuperoleh dari informasi itu.”

“Kalau boleh saya tahu, apa alasannya?”

“Katanya, dia dan istrinya sedang dalam tahap perceraian, sedangkan anak-anaknya tinggal bersama istrinya.”

Ia merapikan keempat kartu identitas itu menjadi sebuah tumpukan kartu, kemudian memasukkannya ke dalam kantong jasnya.

“Bagaimana? Apakah ada yang kamu curigai di antara mereka berempat?” tanya sang kepala polisi. “Aku berharap kamu memiliki kejeniusan seperti yang dimiliki Ayahmu. Hal itu dapat membantu kami dalam menangkap tahanan yang kabur tersebut.”

Tommy bertopang dagu, lalu berkata pelan, “Informasinya masih terlalu sedikit, dan kebanyakan dari informasi itu seperti yang Anda bilang tadi, begitu sepele―tidak penting dan tidak berguna. Aku belum bisa menarik kesimpulan hanya dari sejumlah informasi yang seperti itu. Tapi menurutku, kecurigaan Anda tadi, di antara keempat orang itu benar. Pasti buronan itu menyamar menjadi salah seorang di antara mereka.”

“Aku pikir juga begitu,” katanya kemudian menambahkan. “Memang benar narapidana itu sangat ahli dalam hal penyamaran. Dia dapat meniru wajah seseorang dengan sangat sempurna. Dulu kami sangat bekerja keras, sehingga dapat membekuknya tanpa perlawanan yang berarti darinya. Namun itu tidak menutup kemungkinan dia tidak bisa aku tangkap lagi untuk kali ini,” ujar Albert Edison tegas dan penuh percaya diri.

“Tapi dia kabur dari penjara dua hari yang lalu. Pasti ia tidak menyiapkan segala sesuatunya. Penyamarannya masih belum sempurna,” kata Tommy dalam hati.

Ia terdiam sambil memikirkan berbagai kemungkinan yang ada di kepalanya, layaknya seperti benang kusut yang harus segera diulur dan diluruskan agar tidak bertambah parah kekusutannya, sehingga ia dapat mengambil sebuah kesimpulan dan keputusan yang tepat juga cermat.

Decitan roda pesawat terdengar saat roda itu telah menapaki landasan laju. Kedua pasang sayapnya bergoyang ketika pesawat itu masih melaju mulus menyusuri landasan. Salah satu pesawat dengan tulisan Dragonair pada badan pesawatnya telah siap untuk tinggal landas. British Airways mendarat dengan selamat di Bandara Internasional Hong Kong.

Bel pemberitahuan berbunyi lagi ketika pesawat berjalan lambat menuju tempat pemberhentian terakhirnya. Suara pramugari kembali terdengar dari loudspeaker. “Terima kasih atas kepercayaan Anda telah memilih British Airways sebagai teman perjalanan Anda. Bagi penumpang yang akan transit menuju ke Indonesia, Anda dipersilahkan untuk melakukan pendataan ulang. Have a nice trip, thank you.”

~Bersambung~

Jumat, 12 Desember 2008

The Invisible Prisoner - Chap. 01

Penulis : Afandi M.
Gendre : Detektif & Misteri
Lain-lain : Berseri (4)

BRITISH AIRWAYS Boeing 757, masih melayang bebas di angkasa bak seekor rajawali besi yang terbang menembus awan yang sunyi sepi. Beberapa kali terasa goncangan kecil melanda badan pesawat. Kejadian itu lantas tidak membuat para penumpang panik, sebab peristiwa itu sudah lumrah terjadi pada setiap penerbangan dimana pun jika pesawat mengalamigerak turbulensi.

Seorang pemuda berambut pirang yang dipotong zig-zag, berhidung mancung, serta berdarah campuran Indonesia-Inggris, terlihat samar ketika terkena percikan cahaya matahari. Ia jelas sekali sedang duduk bersandar di urutan ke empat belas, berdekatan dengan jendela pesawat pada bagian kirinya. Tempat duduk 14C yang sebaris dengannya, kosong. Mungkin pada saat ia terlelap beberapa menit yang lalu, penghuninya duduk, namun kemudian pergi lagi entah kemana.


Pemuda itu sedang melamun, melihat keluar jendela pesawat yang berbentuk persegi panjang kecil. Di tangannya tergenggam sebuah novel tebal berjudul ‘The Return of Sherlock Holmes’. Novel tersebut ditulis oleh seorang pria berkebangsaan Inggris bernama Arthur Conan Doyle. Ia sudah terkenal dimana-mana akan novel detektifnya, dengan Sherlock Holmes sebagai tokoh utamanya.

Sementara ia sibuk membaca novel bergendre detektif itu, pikirannya kembali menerawang, terbang seperti awan-awan di luar sana. Otaknya tidak terfokus atas apa yang sedang dibacanya. Ia kembali teringat akan kedua orang tuanya yang telah mengantarnya hingga ke Bandara Heathrow, bandara utama dan sebuah hub penerbangan yang penting di Lodon Raya. Ciuman lembut di pipi kanan dan kirinya masih terasa saat ibunya melepaskan anak satu-satunya itu untuk kembali ke negeri asalnya. Walaupun merasa berat melepaskan kepergian putranya, namun hal itu harus tetap dilakukannya, sebab memang Indonesia-lah kampung halamannya.

Di sana ia dilahirkan dan ditempa sewaktu ia masih kecil.

Lepas dari semua kenangan itu, ia kembali terjaga dari lamunannya ketika tiba-tiba saja pundaknya ditepuk oleh seorang pria setengah baya yang kini duduk di kursi 14C di sampingnya. Tempat duduk yang sedari tadi dilihatnya kosong. Rambutnya pendek, bercampur dengan uban berwarna keperakan. Kumis hitam lebat, panjang, berderet di setiap sisi bibirnya. Asesoris itulah yang mungkin senantiasa menghiasi wajahnya yang bulat bak’ telur yang menggelinding menuruni turunan jalan.

Pria itu mengenakan stelan jas panjang coklat muda, mirip seperti seorang bisnisman yang waktunya sangat berharga sekali.

“Memang indah awan-awan itu. Mereka dengan bebas bergerak kemana pun mereka mau. Membentuk sekumpulan wajah abstrak, yang kadang menjadi ilham bagi setiap orang di saat mereka sedang tertimpa suatu masalah yang pelik. Menjadi ketenangan batin bagi setiap hati yang gundah.” Ia melanjutkan lagi, “Hidup kita ini seperti pergerakan awan-awan itu. Terus berjalan walaupun angin terkadang mengubah arah mereka. Angin bagai masalah yang datang dalam kehidupan manusia, seperti halnya yang terjadi pada awan-awan itu. Jika mereka tidak bersatu membentuk sebuah kumpulan awan yang besar, mereka akan mudah terbawa angin, mudah terprofokasi oleh sebuah masalah yang kecil, dan begitu juga sebaliknya. Mereka harus bersatu untuk mengatasi hal itu jika tidak ingin terbawa oleh masalah tersebut.”

Pemuda itu lalu berkomentar, masih menatap ke luar jendela.

“Namun walaupun mereka telah bersatu sebagai kumpulan awan, tapi tetap saja akan ada pergolakan di dalamnya,” ia lalu melanjutkan, “Akan ada sebuah masalah yang timbul dalam sebuah kesatuan tersebut. Seperti yang aku katakan tadi. Jika awan telah bersatu, itu lebih memudahkan untuk memunculkan awan hitam dengan kumpulan halilintar yang siap menyambar di dalamnya. Sama halnya dengan kumpulan manusia. Mereka akan diterjang masalah yang datang silih berganti. Baik dari dalam maupun dari luar kesatuan mereka, sehingga kumpulan tersebut tidak akan mampu lagi untuk menampungnya dalam kesatuannya dan pada akhirnya, pergolakan di antara mereka tidak dapat dielakkan lagi. Dan Anda bisa bayangkan apa yang akan terjadi...”

Pria paruh baya itu tersenyum memamerkan beberapa lekukan pipinya. “Saya Albert Edison dan namamu siapa, Boy?”

Tangan kanannya yang kekar dijulurkan melewati kursi tengah yang kosong. Pria itu kelihatannya cukup ramah. Ia duduk di kursi bagian luar, tepatnya di sebelah kanan pemuda yang sedang ditemaninya mengobrol.

“Sepertinya aku pernah melihatmu, tapi dimana ya?” katanya menduga-duga, seraya mencoba mengingat kembali.

“Saya Tommy... Tommy Arthur Verdhana,” pemuda itu langsung memberitahukan namanya.
Sontak mata pria itu berbinar-binar, bagai batu permata yang terkena cahaya hingga memantulkan berbagai semburat warna yang menarik.

“Oh! Tentu saja, saya ingat sekarang,” katanya girang. “Kamu anak jenius yang lulus dari University of Oxford pada usia delapan belas tahun itu bukan? Anak tunggal dari detektif hebat, Fandy Arthur Verdhana.”

“Ngomong-ngomong, ada keperluan apa kamu datang ke Indonesia?”

“Ada beberapa hal yang harus saya selesaikan di sana. Sebuah urusan yang mendadak yang tidak bisa dielakkan lagi. Saya juga ingin bertemu dengan sahabat Ayah, sewaktu dia masih bekerja di Indonesia.”

“Oh begitu...” pria itu diam sejenak. Sebelum lawan bicaranya mengomentari, ia langsung membuka percakapan kembali. “Saya juga pernah menetap di Indonesia,” katanya memberitahu. “Kalau tidak salah ingat, saya menetap di sana selama empat tahun. Pekerjaan saya saat itu menuntut agar saya harus menetap lama di negara itu. Oleh sebab itu, bahasa Indonesia saya lumayan lancar walaupun masih ada saja aksen Inggris yang kadang-kadang tidak sengaja ikut terbawa.”

Tommy diam, tak mengeluarkan sepatah kata pun. Melihat percakapan tampaknya tak berjalan sesuai rencananya, Albert Edison mengambil inisiatif sekali lagi untuk membuka percakapan kembali.

“Saya benar-benar kagum dengan cara kerja Ayahmu,” katanya memuji. “Dia itu sangat jenius. Kau tahu, jenius yang menurutku hanya ada beberapa orang di dunia ini. Ya, kau pasti tahu. Seperti pemikir-pemikir yang hebat pada zaman dahulu, Galileo Galilei, Isac Newton, Albert Einstein, dan orang-orang sejenisnya,” seraya memperagakan dengan jemari telunjuknya. Ia kemudian menambahkan, “Saya masih belum mengerti, bagaimana cara dia―maksudku Ayahmu, bisa memecahkan kasus pembunuhan Donald McCardy yang merupakan aktifis dari sebuah organisasi kemanusiaan bermarkas di London itu.”

“Polisi saja dibuat kewalahan dengan adanya kasus tersebut. Walaupun mereka sudah bekerja keras selama sebulan lebih untuk memecahkan kasus itu, namun hasilnya tetap saja nihil. Tidak ada kemajuan sedikitpun, ditambah lagi tidak ada saksi mata pada pembunuhan tersebut. Setelah merasa semuanya tidak mungkin lagi terecahkan, polisi meminta bantuan Ayahmu, Fandy Arthur Verdhana untuk membantu mereka mengusut kasus pembunuhan itu. Ayahmu benar-benar luar biasa. Hanya memerlukan waktu seminggu lebih untuk bisa memecahkan kasus pembunuhan itu sampai ke akar-akarnya, yang ternyata berlatar belakang mengenai masalah politik dan melibatkan salah seorang anggota parlemen pula.”

“Benar-benar mengesankan,” katanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali, tampak takjub.


Percakapan pun terhenti sejenak dalam kebisuan angin malam yang sejak tadi berhembus menerpa badan pesawat yang lebih menyerupai sebuah burung besi raksasa, dibandingkan seonggok besi tua yang tak berguna. Angin malam itu seakan ingin membawa semua penumpang untuk terbang melayang di angkasa, bersamanya mencari-cari ujung dunia ini.
Saat langit mulai tampak lebih gelap dari sebelumnya, seorang pria yang mengenakan kemeja putih mendekat dan membisikkan sesuatu ke telinga Albert Edison. Ia lalu menunjuk-nunjuk sebuah wajah bringas yang ada pada sebuah kolom gambar di selebaran koran Time Express, terbitan Inggris. Sempat Tommy melihat tanggal terbitan koran tersebut. Tanggal 25 Desember 2007 tertulis di sudut kanan atas pada halaman pertamanya. Koran itu rupanya terbitan hari itu. Ia sempat membacanya sekilas, ketika ia berada di Bandara Heathrow.

Percakapan kedua pria berumur itu tampak sangat serius. Walaupun kursi Tommy dan Albert Edison berdekatan, tapi kursi kosong yang berada di tengah seakan menjadi pembatas kursi mereka, sehingga pembicaraan Albert Edison dan pria itu tak terdengar olehnya. Ditambah lagi mereka bicara sambil berbisik-bisik. Sesekali terdengar ucapan jengkel yang keluar dari mulut keduanya. Mulut mereka komat-kamit tiada henti seperti saat seorang dukun membacakan sebuah mantra kepada pasiennya. Beberapa saat sebelum pembicaraan berakhir, Albert Edison mengangguk sekali dan dengan suatu tanda menyuruh pria itu pergi kembali ke tempat duduknya.

Lama setelah pria itu pergi, Albert Edison terlihat gusar, geram, dan melampiaskan kekesalannya dengan meninju telapak tangannya sendiri. Tulang rahangnya yang kokoh bak konstruksi bendungan, terlihat jelas saat di sinari lampu baca di atasnya. Ia kemudian dikagetkan oleh suara Tommy dari arah samping. “Anda tidak perlu khawatir seperti itu. Saya yakin Anda bisa menangkapnya setelah pesawat ini mendarat,” jelas Tommy.

Pria itu terkejut, tatapannya penuh dengan tanda tanya. Ia lalu berkata, “apa maksudmu Nak? Coba jelaskan semuanya padaku sekarang Nak?” Raut wajahnya tampak bingung, kerutan-kerutan yang tadi samar terlihat di dahinya, kini terlihat jelas sekali.

“Anda sebaiknya jangan berpura-pura lagi,” katanya pelan, takut suaranya terdengar oleh penumpang yang lain.

“Bukankah Anda adalah seorang polisi yang sedang menyamar dan mengejar narapidana yang dua hari lalu kabur dari penjara?”

“Da... darimana kamu tahu semua itu?” pria itu terbata-bata.

Tommy terdiam beberapa detik. “Saya tahu semua itu dari lengan kiri jas Anda. Di sekitar jas Anda agak mengembung dan menonjol keluar,” ia menjelaskan seolah-olah tidak ada beban sedikitpun.

“Juga sikap lengan kiri Anda yang tampak penuh, sehingga terlihat ada sedikit jarak di antara ketiak dan badan Anda. Berbeda dengan yang kanan. Mungkin yang ada di situ adalah pistol Anda. Kalau tidak salah, beberapa polisi Inggris ada yang suka menyimpan pistolnya di tempat itu...”

Ia diam beberapa detik, sebelum mulai lagi berbicara.

“Tingkah laku Anda yang tegas juga menggambarkan sikap seorang polisi. Dan gambar wajah di koran yang ditunjuk-tunjuk oleh pria tadi adalah tahanan yang baru-baru ini melarikan diri dari penjara. Mungkin sekarang dia berada di dalam pesawat ini dan Anda ditugaskan untuk menangkapnya. Bukan begitu?”

Albert Edison mengangguk, namun sebelum ia mulai berkata-kata, Tommy melanjutkan lagi.
“Dari gerak-gerik serta nada bicara Anda juga terlihat bahwa Anda adalah seorang polisi. Kebanyakan sikap seorang polisi sangat berbeda dengan profesi kerja yang lain. Terutama nada bicaranya yang terkadang kaku dan terlalu formal. Dari bukti-bukti itulah, saya lalu mengambil kesimpulan bahwa Anda adalah seorang polisi.”
Bagai tersambar kilat dalam waktu yang singkat melebihi kecepatan cahaya, Albert Edison tak bisa berkata-kata. Barulah beberapa puluh detik kemudian, ia akhirnya membuka mulut untuk menanggapinya.

Like father like son,” katanya pada akhirnya. “Mungkin ungkapan itu pantas untukmu.” Ia melanjutkan lagi, “Memang benar seperti yang kamu katakan. Mengenai tahanan yang kabur itu juga benar adanya. Sekarang dia berada di dalam pesawat ini, bersama kita. Dia telah melewati pemeriksaan saat berada di Bandara Heathrow, dan sekarang mencoba untuk meloloskan diri ke negara lain.”

~Bersambung~

Rabu, 10 Desember 2008

Sepasang Sayap Mimpi - Finish

Penulis : Afandi M.
Gendre : Misteri dan Kehidupan
Lain-lain : Berseri (4)

HARI-HARI cepat berlalu kemudian berganti dari minggu lalu ke bulan, membuat kondisi psikis Awan juga kian menyedihkan.

Sudah sekitar enam hari lamanya Awan mengambil cuti dari kantornya dengan sebuah alasan klasik bahwa salah satu adik perempuannya akan melangsungkan pernikahan dan ia sebagai kakak sangat diharapkan kedatangannya. Dengan berbagai pertimbangan dari Waldan Sanjaya―sang atasan, akhirnya Awan diijinkan untuk mengambil cuti selama tiga minggu. Alasannya mengambil cuti sungguh tidak masuk akal bagi pikirannya sendiri. Bagaimana ia bisa menghadiri pernikahan salah seorang adik perempuannya sementara dirinya sendiri adalah anak satu-satunya dari kedua orangtuanya. Ia adalah anak tunggal dan nyatanya, Awan telah berbohong kepada atasannya. Berbohong yang nantinya menjadi kebutuhan utama bagi hidupnya.


Awan kini sedang duduk di ranjangnya yang berseprei putih. Pandangannya jauh ke depan menembus lapisan kaca jendela dan akhirnya terpusat di sebuah taman yang ada di luar. Beberapa orang dewasa sedang bermain-main di sana. Mereka bertingkah seumpama anak kecil yang baru tahu akan keceriaan dunia dan belum mengetahui sisi buruknya.

Awan termenung untuk beberapa lama. Tak pernah ia sedamai dan sesenang ini. Kini hidupnya telah berubah. Seperti sebuah jarum jam yang tidak akan pernah menunjuk angka yang sama untuk kedua kalinya. Setiap orang selalu memperhatikan dan memedulikannya. Baju putih yang ia kenakan bisa menggambarkan suasana hatinya sekarang ini. Damai.

Tiba-tiba pintu diketuk. Tanpa menunggu komando dari Awan, dua orang wanita langsung membuka pintu dan masuk. Dasar tak tahu sopan santun. Apa mereka tidak pernah belajar etika saat masih duduk di bangku sekolah dulu?

“Bagaimana kabar Anda? Baik?” tanya wanita berkulit agak gelap. Awan tidak menjawab pertanyaan itu. Sebaliknya, ia memperhatikan tingkah kedua wanita itu. Fisik wanita yang tadi bertanya kepadanya itu tinggi dan ramping. Namun ada keanehan pada wajahnya. Hidungnya ternyata tak sepanjang dan seramping tubuhnya, membuat mukanya yang dipenuhi bedak kelihatan lucu. Polesan lipstik murahan berwarna merah, banyak menghiasi wilayah bibirnya. Menor sekali. Beberapa jerawat muncul di dahi dan beberapa lagi memonopoli daerah pipi serta dagunya. Tampaknya ia tipe wanita yang tidak bisa merawat dan memerindah penampilannya. Awan memperkirakan umurnya sekitar 28 tahun dan pastinya belum memiliki pacar, terlebih lagi seorang suami.

Sementara wanita yang satu lagi jauh berbeda. Walaupun tubuhnya tak seramping dan sejangkung wanita tadi, tapi wajahnya menawan. Boleh dikatakan anggun. Sepertinya wanita itu tahu betul caranya berdandan. Bulu matanya diperlentik dengan menggunakan maskara dan bantuan pelentik bulu mata, sementara bibirnya hanya dihiasi pelembab. Membuat warna asli kulit bibirnya yang merah merona kelihatan begitu menggoda untuk disentuh, dikecup. Wajahnya yang mulus tak berjerawat dibiarkan tak tersentuh kosmetik, sehingga keanggunannya makin terpancar. Seolah-olah Dewi Kemudaan telah merawat bentuk fisik yang sunggu elok itu. Usianya pasti tak lebih dari 25 tahun. Beberapa tahun lebih muda daripada wanita satunya, dan tentunya kharisma yang terpancar dari tutur kata dan tingkah lakunya menjadi incaran semua pria.

“Pak Awan, bagaimana kabar Anda? Apa baik-baik saja? Apa hari Anda terasa menyenangkan?” tanya wanita berhidung pesek itu mengulangi kata-katanya yang tadi belum sempat terjawab. Pertanyaan itu kembali mengambang di udara, tak tersentuh dan dibiarkan begitu saja. Awan tak menjawab pertanyaan itu. Ia tidak sudi berbicara pada wanita itu. Wanita itu bukan merupakan tipenya sedikit pun. Jika wanita satunya yang berparas anggun itu, bolehlah.

“Huh, dasar!” wanita tadi menggerutu pelan.

“Ada apa?” tanya wanita anggun tadi menghampiri temannya.

Wanita berhidung pesek dan berkulit agak gelap itu menunjuk menggunakan anggukan dagunya.

“Memangnya kenapa dia?”

“Seperti biasa, merepotkan,” jawabnya. “Sama halnya orang-orang yang menghuni tempat ini. Semuanya sudah terganggu kejiwaannya. Ya, kau pasti tahu maksudku. Mereka semua sudah...” ia setengah berbisik, “gila.”

Perawat anggun itu mengangguk membenarkan.

“Pria ini aneh.” Wanita berhidung pesek kembali berujar.

“Aneh? Memangnya aneh kenapa dia?”

“Kau tentunya belum tahu betul mengapa ia dimasukkan ke tempat ini, sebab kau merupakan perawat baru di rumah sakit jiwa ini. Pria ini namanya Awan Handiraja. Dia dimasukkan ke tempat ini sekitar tiga minggu yang lalu.”

Perawat cantik dan anggun tadi masih menjadi pendengar setia untuk mengetahui kelanjutan cerita.

“Yang menyebabkannya masuk ke tempat ini karena dia menganggap bahwa dirinya memiliki sepasang sayap kelelawar dan terus saja mengoceh tentang hal itu hingga tak ada henti-hentinya. Siapa yang mau percaya omong kosong itu? Orang-orang tidak akan percaya padanya. Akibatnya, semua orang menganggapnya...” ia kembali memelankan suaranya, “gila.”

“Dan pria ini sering sekali memanggil-manggil nama Kemal.”

“Kemal? Apa dia anggota keluarganya?”

Perawat pesek menggeleng.

“Temannya mungkin?”

Kembali si perawat pesek itu menggelengkan kepala untuk kedua kalinya. “Dia tidak punya saudara apalagi teman. Kedua orangtuanya juga sepertinya sudah meninggal dunia dan anggota keluarganya yang lain tidak mau mengakuinya sebagai bagian dari keluarga mereka. Dia dianggap seolah-olah tidak ada, semata-mata hanya fiksi belaka. Seperti bayangan.”

“Lalu siapa Kemal, Tin?”

Perawat bernama Titin menjawab, “Kemal itu merupakan teman imajinasinya. Sosok khayalan yang hanya ada dalam pikirannya sendiri.”

“Hah! Aneh sekali,” ujar perawat berpapan nama Susan kebingungan.

“Ya, seperti yang kubilang tadi. Dia memang laki-laki yang aneh.”

Susan mengalihkan pandangannya ke pria yang kembali melamun memandang keluar jendela. “Kasihan sekali dia,” ujarnya.

“Sejak pertama ia masuk ke tempat ini, aku sudah kasihan padanya. Terlebih lagi saat kudengar desas-desus alasan lain yang menyebabkannya menderita seperti ini.”

“Hah? Desas-desus?” tanya Susan ingin tahu. “Apa itu?”

Sepertinya mereka berdua terlibat sebuah proses percakapan yang menyenangkan—bergosip.

“Mantan istrinya turut andil membuat pikirannya tidak waras seperti sekarang ini. Tiba-tiba saja wanita itu memutuskan untuk bercerai darinya dan tak lama sesudah mereka bercerai, mantan istrinya kembali menikah dengan seorang pria bernama... sebentar aku ingat-ingat dulu. Sepertinya, aku lupa namanya.” Titin menatap langit-langit seakan-akan nama pria yang tidak diingatnya itu tertulis di sana. “Kalau tidak salah, namanya... Doni. Ya, nama pria itu Doni.”

“Dasar wanita buaya. Murahan!” umpat Susan. “Tega-teganya dia berbuat seperti itu. Jenis wanita seperti itulah yang banyak sekali mencemari dan menginjak-injak harga diri seorang wanita.” Amarah wanita itu meluap-luap.

Titin bengong. Tak sangka teman sekerjanya yang nyatanya lebih muda darinya itu bisa berkata seperti itu. Tampaknya, pikirannya jauh lebih dewasa dari umur dan bentuk fisiknya. Pikirannya terlanjur cepat dewasa.

“Aku juga berpikiran sama sepertimu, tapi tenang saja. Dosa wanita itu sudah terbalaskan. Tuhan telah membalas perbuatan jahatnya setara atas apa yang telah dilakukannya terhadap mantan suaminya. Sebanding dengan apa yang dirasakan mantan suaminya sekarang,” Titin menjelaskan. Semangatnya serasa terbakar, berapi-api bak para pejuang yang akan maju ke medan perang melawan para penjajah walau hanya bersenjatakan seadanya. “Seminggu yang lalu tak sengaja aku menerima telepon dari keluarganya. Saat itu aku berpikir, tumben saja ada sanak saudara Pak Awan yang menelpon. Aku kira dia ingin mengetahui perkembangan yang dialami oleh pria malang itu, tapi ternyata berita itu sungguh mengejutkan.”

Titin menurunkan volume suaranya. “Dia mengatakan bahwa mantan istrinya itu telah meninggal dunia bersama suami barunya. Katanya, wanita itu mengalami kecelakaan mobil saat pulang dari berlibur. Mobil yang mereka tumpangi masuk ke dalam jurang.”

Susan menutup mulutnya dengan kedua tangannya seolah-olah mau menguap. Di belakang, Awan masih diam terpaku. Ia masih memandang kehampaan. Sekali-kali ia menggoyang-goyangkan tubuhnya secara perlahan di atas tempat tidur sembari tetap melamun. Tak jelas apa yang sedang ia lamunkan. Pikirannya memang sudah terganggu. Tiba-tiba ada sesuatu terucap di bibirnya. Keras suaranya setara dengan hembusan angin. “Terbang, terbang. Aku punya sayap.” Kalimat itu terus diulanginya sambil bersenandung.


***


Meskipun matahari bersinar cukup terik, namun bendungan awan di atas sana membuat suasana terasa sejuk. Saat itu, Awan merasakan dengan nyata angin menerpa wajah dan tubuhnya. Membelai-belai dan memijat-mijat seumpama tangan-tangan ajaib yang bisa muncul di mana saja. Kerongkongannya lega dan hidungnya saat ini bisa menghirup berton-ton oksigen murni setiap lima menitnya dalam beberapa kali tarikan napas.

Awan menutup matanya, mencoba menghayati semuanya. Menghayati perjalanan hidupnya dari awal. Ia menarik napas panjang lalu mengendapkannya beberapa detik di dada kemudian dengan serta merta menghembuskannya perlahan-lahan, berkali-kali. Perbuatan itu tampak seperti sebuah rutinitas untuk melepaskan semua beban yang selama ini menyerang pundaknya. Angin yang semakin kencang mengibar-ngibarkan baju dan celananya bak selembar bendera di atas tiang pancang. Saat Awan membuka matanya sedikit demi sedikit, serasa muncul sayap samar dari belakang pundaknya. Tak bisa terlihat oleh orang lain kecuali dirinya sendiri. Sepasang sayap yang putih bersih berhiaskan bulu-bulu angsa seumpama kebaikan dan kebahagiaan yang dirajut menggunakan benang ketulusan hingga menjadi satu bentuk yang indah.

Di bawah orang-orang berkumpul. Mereka berteriak-teriak memanggil-manggil seorang pria yang berdiri di puncak atap rumah berlantai lima. Suara terkencang yang dapat sampai ke telinga Awan mengatakan, “ Turunlah. Cepat turun. Kau bisa mati jika terjun dari tempat setinggi itu.”

Awan menjawabnya namun hanya bisa terdengar oleh telinganya sendiri. Rambatan suaranya terhalang oleh hembusan angin yang masih menerpa wajahnya, sehingga tidak sampai ke telinga-telinga mereka yang berada di bawah sana.

“Siapa bilang aku mau mati. Aku mau terbang. Di punggungku, aku punya sepasang sayap yang kuat. Sepasang sayap yang bisa membelah lapisan udara. Sepasang sayap yang bisa membawaku terbang ke mana saja. Akan kunikmati sepasang sayap mimpiku ini untuk yang pertama dan terakhir kalinya.”

Awan tak tahu mengapa ia bisa berada di tempat itu. Sebelumnya ia sangat takut akan ketinggian. Ia menderita Aeroacrophobia yaitu sebuah ketakutan akan ruang terbuka di ketinggian. Namun saat ini, ketakutan itu seolah-olah pergi. Seperti menguap lalu menghilang saat terkena cahaya matahari.

Dari kejauhan, suara sirine mobil polisi yang keras terdengar jelas bagai nada-nada pemanggil ketidak warasannya. Awan menutup mata sambil merentangkan kedua tangannya, merasakan kembali kehangatan yang menjalar di rongga-rongga dadanya. Sepasang sayap samar di punggungnya juga merenggang lalu membentang, mengepak-ngepak seolah siap untuk dibawa ke mana saja. Satu langkah namun pasti membuat Awan melayang-layang di udara. Di bawah, kembali orang-orang menjerit histeris. Bahkan kebanyakan di antara mereka menutupi wajah-wajahnya dengan tangan atau lembaran koran. Seolah-olah mereka sedang menonton pertunjukan gerhana matahari yang dapat merusak penglihatan jika dilihat dengan mata telanjang.

Awan terus meluncur. Kecepatannya kian lama makin bertambah. Ialah orang kesekian yang berani menguji teori Newton tentang gaya gravitasi Bumi, tanpa menggunakan satu alat pun untuk melindungi dirinya dari benturan. Awan merasakan satu persatu bulu yang menancap di sayap mimpinya itu terlepas lalu menghilang menjadi bagian dari cahaya dan dalam waktu yang cepat hilanglah sepasang sayap itu. Makin dekat Awan dengan daratan, hangat semakin menjalar ke seluruh tubuhnya. Hambatan angin yang sangat kecil tak mampu melawan bobot tubuhnya dan setelahnya, tabrakan dengan hamparan tanah tidak bisa dihindari lagi. Terakhir kalinya, Awan telah menyadari semuanya. Menyadari bahwa Tuhan selalu memberikan cobaan kepada para hamba-Nya dengan cara-cara yang unik dan misterius. Menguji tingkat keimanan hamba yang benar-benar beriman kepada-Nya. Begitulah cara Sang Pencipta bekerja. Tak ada seorang pun yang tahu. Ialah yang Mahakuasa―Mahaagung di atas segalanya.

Selasa, 09 Desember 2008

Sepasang Sayap Mimpi - Bag. 03

Penulis : Afandi M.
Gendre : Misteri dan Kehidupan
Lain-lain : Berseri (4)

TEPUKAN pelan di pundaknya membuat membuat Awan kembali tersadar dari kenangan pahit masa lalunya. Seperti dicekoki segelas empedu tanpa ampun dan begitu selesai pahit empedu masih menyangkut di tenggorokannya.

“Hei, kau kenapa? Apa ada yang sedang kau pikirkan?” tanya teman kerjanya khawatir. “Sejak tadi kau kupanggil-panggil tapi tak ada respon darimu. Sudahlah, kalau kau tak mau menjawab pertanyaanku tadi tidak apa-apa. Sebaliknya, aku minta maaf jika aku tidak sengaja telah menyinggung perasaanmu. Jangan dipikirkan masalahmu itu. Masih ada aku, Kemal di sini yang akan membantumu.”


Awan tersenyum memandang teman sekerjanya yang sampai sekarang masih gigih menikmati masa lajangnya. Betapa beruntungnya Awan memiliki teman kantor seperti Kemal. Pria yang kemarin genap berusia tiga puluh tahun itu sekaligus bisa menjadi sahabat yang bisa diajaknya bercerita tentang segala permasalahan yang tengah ia hadapi, baik masalah di kantor maupun masalah pribadi yang amat sangat sering membebaninya. Ya, begitulah fungsi seorang sahabat. Ia akan selalu ada di saat-saat di mana kita sangat membutuhkan kehadirannya, baik suka maupun duka. Sahabat akan menyambut kehadiran sesamanya dan menunjukkan kesetiaan satu sama lain dan seringkali hingga pada tingkat altruisme*. Persahabatan merupakan sebuah istilah yang menggambarkan perilaku kerja sama dan saling mendukung antara dua atau lebih entitas sosial. Dalam persahabatan, seorang sahabat sejati akan secara konsisten memperlihatkan kecendrungan untuk menginginkan apa yang terbaik bagi satu sama lain, bagi sahabatnya, simpati dan empati, mengungkapkan kejujuran di saat kecendrungan orang lain sulit untuk mengucapkan kebenaran, dan inti dari semuanya bahwa persahabatan merupakan adanya rasa saling pengertian. Perasaan yang tidak hanya dimiliki oleh sepasang kekasih.


***


Sudah tiga hari berlalu sejak pertama kali keanehan pada dirinya itu dimulai. Keanehan yang begitu mengerikan muncul di sela-sela penderitaannya akan perbuatan mantan istrinya, Reni. Bagaimana bisa ia melupakan peristiwa itu? Walau Awan berusaha keras untuk menenangkan diri dan menerima semuanya, tapi jauh di dalam hatinya, dalam lubuk jiwanya yang terdalam, sebelah bagian dari kepribadiannya menolak dengan tegas untuk menghapus kenangan itu. Sebelah jiwa tersebut seperti memiliki kesadaran yang berbeda dengannya. Ia bisa berfikir dan mempengaruhi jiwa yang lain. Seperti yang sekarang ini akan terjadi.

Dengan gerakan konstan, Awan memutar keran air di depannya. Tanpa hitungan detik, air langsung mengucur keluar bak hembusan napas. Awan mencuci telapak tangannya, menggosok-gosoknya seakan-akan melekat banyak sekali noda di tangannya itu. Bukan noda mikroskopik seperti yang kalian pikirkan sekarang. Noda ini jauh berbeda dengan noda yang seperti itu. Awan seperti seorang mantan penjahat saat membasuh sisa-sisa kejahatannya yang masih menempel di kedua tangannya itu dengan guyuran air suci yang diambil dari tempat kramat di atas bukit. Setelah dirasanya bersih, Awan menampung guyuran air itu di kedua telapak tangannya dan tanpa ragu-ragu membasuhkan ke mukanya. Ia lalu menatap ke kaca besar di hadapannya.

Disekaya sisa-sisa gumpalan air di wajahnya, dari dahi hingga ke permukaan dagu. Awan menatap kaca lagi seolah-olah mengharapkan sebuah kejaiban yang terjadi setelahnya. Keajaiban yang dapat menggelontorkan beban-beban pada pundaknya.

Seseorang lalu tertawa dari belakangnya. “Sudahlah, basuhan air itu tak akan bisa merubah kondisi kejiwaanmu. Kau benar-benar sudah hancur sekarang.”

Awan berbalik. “Si―siapa itu?”

Ia menengok ke segala penjuru kamar mandi tempatnya berada sekarang, tapi tak terlihat satu sosok pun yang tadi berkomentar mengenai dirinya. “Si―siapa kau?” suaranya bergetar. Ketakutan seketika membalut tubuhnya bagai selimut teror. Imajinasi dan khayalan aneh menutupi pikiran rasionalnya. “Apa maumu? Tu―tunjukkan wujudmu.”

Suasana tegang berlangsung beberapa menit melanda dirinya namun cepat-cepat pikiran rasionalnya bertindak.

“Sepertinya aku harus banyak beristirahat. Terlalu banyak masalah yang aku hadapi sekarang hingga membuat pikiranku ini tak bisa menyelesaikan satu-persatu permasalahan itu. Terlebih lagi masalah sayap yang tumbuh di punggungku ini. Benda itu makin lama makin bertambah besar. Apa yang harus aku lakukan dengannya? Apa aku harus memotongnya? Tapi...”

“Ha ha ha. Dasar manusia bodoh!” suara itu muncul lagi. “Kau terlalu lemah. Kau itu jenis manusia yang terlalu cepat menyerah pada cobaan.”

Wajah Awan kembali terjaga dan waspada. Ketakutan sekali lagi membalut seluruh kewarasan yang tersimpan dalam dirinya. Ketakutan akan kengerian itu jelas-jelas tak menyisakan sedikit pun kekuatan dan pikiran waras dalam proporsi otaknya.

“Si―siapa yang bicara?” teriaknya histeris. Raut muka ketegangan memancar dari aura wajahnya. Rahangnya kaku seolah-olah ikut merasakan ketakutan itu. “Keluar... tujukkan wujudmu, Jahanam!” pekiknya.

Betapa kagetnya saat mukanya kembali menatap cermin. Sebentuk sosok tertangkap oleh pantulan cermin tersebut seumpama asap. Sosok makhluk itu menatapnya balik sembari menguraikan senyuman yang tak bisa mengubah pandangan orang awam saat pertama kali melihat bentuknya. Bagaimana tidak aneh, makhluk itu memiliki sayap. Jelasnya, sayap kelelawar. Mengerikan. Dan yang lebih membuat Awan tak habis pikir, wajah sosok itu menyerupai wajahnya. Tak ada bedanya.

Sembari diam dan beradu pandang, sosok itu seolah-olah sedang berpose bak seorang pragawan pada cover sebuah majalah misteri ibukota. Makhluk itu bersandar di pintu toilet di belakang Awan. Sayap kelelawarnya mengembang lebar. Salah satu bentangannya kira-kira sepanjang satu setengah meter. Di antara kulit hitam kecoklatan yang membalut sayap mengerikan itu, menyembul sebentuk konstruksi tulang penyangga otot-otot sayapnya, kuat dan kokoh. Bulu-bulu halus berwarna serupa tumbuh subur di beberapa tempat layaknya tempat persemaian bibit.

Awan berbalik seakan-akan ingin pergi dan menyingkir dari tempat itu, namun kakinya tak mau beranjak satu langkah pun. Kakinya menolak perintah dari otaknya. Kakinya yang gemetaran seolah-olah kaku dan membatu layaknya terhipnotis. Tak bisa digerakkan sedikit pun. Bagaimana ini? Katanya dalam hati di tengah-tengah kegelisahan yang melandanya.

“Siapa kau?” teriak Awan. Malah itu yang keluar dari mulutnya yang gemetaran. “Ke―kenapa...” Awan tak bisa melanjutkan kata-katanya selanjutnya.

“Kau bodoh,” sosok itu berkomentar. “Kau seharusnya tahu dan menyadari bahwa aku ini dirimu. Kita adalah satu. Aku adalah sosok yang ada dalam dirimu. Aku muncul dari semua keraguan, penentangan, kebencian, ketakutan, kemarahan, dan semua kejelekan sifat yang kau miliki.”

Sosok itu bergerak mengganti bentuk posenya. Sayap-sayap yang mengibas dari belakang punggungnya menyusut sedemikian cepat. Dua detik kemudian, dia telah tampak seperti manusia. Bukan merupakan sosok menakutkan yang tadi melatarbelakangi bentuk fisiknya yang aneh lagi. Kini ia telah benar-benar mirip dengan sosok Awan.

Ba―bagaimana bisa? Sa―sayapnya menyusut, Awan berkomentar dalam hati.

“Kau tahu,” sosok itu bersiap menjelaskan sesuatu. “Manusia seperti halnya dirimu pada dasarnya memiliki kepribadian atau jiwa yang tersembunyi jauh dalam diri mereka. Tersembunyi di balik senyuman ramah atau tatapan kaku mereka. Kepribadian dan jiwa itu terkadang muncul secara tiba-tiba. Biasanya menggebrak tak kenal waktu, tempat, maupun kondisi. Semua itu terbentuk dari hasil imajinasi maupun khayalan akan sesuatu yang sudah terkumpul sejak dulu, dan setelahnya terpendam lalu terkubur serta masih menyisakan banyak pertanyaan dan pertentangan tentangnya.”

“Itu yang sedang kau alami sekarang. Kau tahu darimana kau peroleh sepasang sayap itu? Sepasang sayap yang menurutmu mengerikan dan terus menjadi bebanmu itu.”

Aku mendapatkannya dari mimpi. Awan ingin menjawabnya demikian namun mulutnya tak kunjung mau mengatakan kalimat itu.

Sosok itu maju beberapa langkah. Sinar matahari yang menerobos melewati celah-celah kaca ventilasi tidak segan-segan untuk menerangi sosoknya.

“Ha ha ha. Terlalu banyak keluhan yang kau keluarkan dari berbagai cobaan yang diberikan Tuhan kepadamu. Ya, sebenarnya semua itu hanyalah cobaan yang diberikan Tuhan. Dia menyisipkan cobaan-cobaan dalam hidupmu itu dengan cara-cara-Nya yang unik dan tak terpikirkan oleh para penyembahnya.”

Sosok yang menyerupai dirinya itu menyunggingkan senyuman seolah-olah sedang meremehkan Awan karena berpikiran pendek.

“Sebelumnya, kau telah diberikan pekerjaan yang layak dan istri yang anggun. Kehidupanmu selalu diberkahi. Hidupmu dipenuhi akan keindahan-keindahan duniawi yang diidam-idamkan oleh semua orang. Dan seperti yang tertulis dalam kitab-kitab suci yang diturunkan dari langit, cobaan akan datang di waktu yang tak terduga. Dan sesungguhnya kau telah gagal menjalaninya. Kau terlalalu asik dengan kenikmatan-kenikmatan dunia yang secara sengaja diberikan Tuhan untukmu.”

Awan memandangnya tidak setuju namun tetap saja ketidak setujuannya itu tak kunjung keluar dalam bentuk kata-kata dari mulutnya. Ia hanya berani ngomong dalam hati, Gagal? Apanya yang gagal? Menurutku, semua yang telah kulakukan untuk menjalani hidupku ini bukan merupakan sebuah kegagalan. Aku telah melaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Aku telah menjalankan semua kebenaran yang diajarkan oleh-Nya. Salah satu kejelekan dasar manusia adalah memiliki tingkat keegoisan dan keras kepala yang tinggi. Tak mau mengalah atas argumen-argumen maupun kejujuran-kejujuran yang diutarakan orang lain seputar hidupnya. Tidak terima atas semuanya. Mereka merasa bahwa dirinyalah yang paling benar akan apa yang diambilnya dalam menjalani kehidupan.

Sosok itu kembali berkata-kata, “Sifat dasar manusia. Egois.” Ia tersenyum kecut.

Kekagetan Awan makin menjadi. Bagaimana sosok itu bisa tahu apa yang ada dalam pikirannya? Apakah ia bisa membaca pikiran orang-orang seperti halnya membaca buku?

“Kau tak akan bisa mengerti. Tak akan pernah. Itu disebabkan karena kau terlalu sibuk dengan segala aktivitasmu dahulu. Jauh sebelumnya saat kau masih diberikan kenikmatan, rutinitasmu hanyalah seputar kerja, kerja, dan kerja. Entah kau sengaja atau tidak tapi itulah yang sebenarnya terjadi. Kau diberi kenikmatan namun kau sendiri melupakan apa yang seharusnya merupakan kewajibanmu. Kau melupakan Tuhan dan keluargamu. Kau melupakan istrimu dan kodratmu sebagai seorang suami juga kepala keluarga.”

Ia melanjutkan, “Kau terus saja mengeluh dan mengeluh. Terlebih lagi, setiap keluhanmu itu tidak beralasan sama sekali. Asal kau tahu, keluhanmu itu adalah akibat dari kegagalanmu sebagai seorang manusia. Semuanya akibat keteledoranmu sendiri.”

“Ba—bagaimana mungkin?” akhirnya suara Awan terdengar juga walau masih terbata.

“Keras kepala. Lagi-lagi sifat dasar manusia.” Nada suaranya seperti bermain-main dengan intonasi yang tepat. “Kau terus memohon kepada Tuhan. Tak ada henti-hentinya. Kau mengatakan bahwa orang-orang tidak adil padamu bahkan Dia juga kau anggap demikian. Rendahnya dirimu. Kau mengeluh tanpa sadar akan kesalahanmu sendiri. Hingga yang terakhir dalam mimpimu, kau memohon untuk bebas. Kau menginginkan sayap. Dan sebagai akibat dari permohonanmu itu, Tuhan memberikanmu sayap yang sesuai untukmu. Lihatlah dengan jelas, seperti inilah bentuk sayap yang kau miliki sekarang.”

Sepasang sayap kelelawar megerikan yang tadi meyusut di punggung sosok itu tiba-tiba muncul lagi. Muncul dengan waktu yang amat cepat. Dengan kibasan angin seolah-olah mau mengukuhkan keberadaannya. “Bagaimana? Apakah kau sudah menyadarinya?”

Sosok itu berjalan mendekatinya perlahan seperti menikmati gerakannya. Awan mencoba mundur namun ia tak bisa menerobos dinding yang ada si belakangnya. Akibatnya, ia hanya terdiam di tempat, memohon suatu keajaiban. Tapi keajaiban yang tak jua muncul itu, membuatnya histeris.

“Tidak mungkin. Semua itu tak mungkin terjadi padaku. Aku tidak percaya atas semua kebohonganmu itu,” ujarnya ketakutan. “Pergi... pergi dari sini. Menjauh dariku kau makhluk terkutuk. Pergi aku iblis. Pergi...” Pertahanan kakinya goyah. Sambil bersandar, badannya meluncur turun. Kini posisi Awan setengah berjongkok. Sebelah tangan menutupi wajahnya. Ia gemetaran saat menghadapi kematian.

Tiba-tiba seseorang berlari masuk ke ruangan tersebut. “Hei... hei... apa yang terjadi padamu, Wan? Kenapa kau berteriak-teriak seperti itu? Sadarlah...” suara Kemal mencoba menenangkannya.

Awan membuka perlahan-lahan tangan yang menutupi wajahnya.

“Ke—Kemal... syukurlah kau di sini,” kata Awan sembari terengah-engah.

“Memangnya apa yang terjadi padamu?”

“Apa kau lihat makhluk itu? Di—dia ada di sa...” Awan menunjuk ke depannya namun tak ada sesuatu dalam lingkup daerah yang ditunjuknya itu. Hanya kombinasi ruang kosong dengan udara.

Kemal ikut-ikutan menatap tempat kosong itu. “Makhluk apa? Mana? Apa maksudmu?”

“Tadi dia ada di sana... ya, tepat di tempat yang aku tunjuk itu.”

“Hei, tidak ada siapa-siapa di sana. Sepertinya kau bermimpi di siang bolong, Wan.” Kemal cekikikan menertawakan sikap sahabatnya itu.

Awan memandangi wajah laki-laki itu lalu berkata tegas, “Ini bukan lelucon!!!” katanya marah. Latar matanya yang putih memerah, layaknya orang yang telah lama memendam kemarahannya. Beberapa jalinan urat menyembul dari pelipisnya.

Tawa Kemal langsung terhenti, seolah-olah seekor kucing kecil yang digertak oleh auman singa dan seketika membuat binatang kecil itu lari tunggang-langgang.

“Ma—maafkan aku. Aku tak bermaksud...” belum selesai Kemal menuntaskan kalimatnya, Awan berdiri lalu beranjak pergi dari tempat itu tanpa mengucapkan sepatah kata lagi.

--------
note :
* perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan dirinya sendiri.

~Bersambung~

Senin, 08 Desember 2008

Sepasang Sayap Mimpi - Bag. 02

Penulis : Afandi M.
Gendre : Misteri dan Kehidupan
Lain-lain : Berseri (4)

LALU LINTAS bukan main padatnya. Kendaraan bermotor berjejer bagai menunggu antrian pengisian bahan bakar yang walaupun saat itu harganya telah melambung tinggi sekali, namun antrian itu malah makin menjadi sampai mengambil sebagian badan jalan. Asap knalpot membentuk awan hitam yang langsung melayang jauh ke angkasa, lalu bersatu menjadi awan dan nantinya menurunkan hujan asam yang mematikan. Guratan-guratan cemas tergambar jelas di setiap wajah para penguna jalan. Dengan balutan seragam-seragam kebangsaan perusahaan, mereka berkutat dalam waktu yang terus berjalan. Bagai robot bernyawa, mereka melakukan segala rutinitas harian yang begitu membosankan: mengkomputerisasi data, memperbanyak lembaran file, mengadakan rapat dan pertemuan bisnis yang menjemukan, menyampaikan presentasi tentang leadership yang sejujurnya tak ada gunanya saat ini. Seolah-olah mereka semua dikontrol oleh suatu alat mekanik berkemampuan tinggi dan diotaki oleh sebuah chip yang lebih kompleks dari otak manusia itu sendiri.


Generasi muda negara ini telah rusak walaupun ada beberapa yang masih menjunjung tinggi norma-norma kehidupan. Selebihnya hanya kumpulan manusia-manusia bodoh yang hidup tanpa tujuan jelas. Mengotori dunia ini dengan kekejian dan kejahatan jalanan, sampai-sampai menebar teror bak hantu mengerikan di malam hari. Apa yang bisa diharapkan dari orang-orang seperti mereka? Apa yang bisa dibanggakan? Apakah kekuatan mereka? Apa kekuasaannya? Keberanian cecunguk-cecunguk itu, bagaimana? Mereka itu "tai" di atas porselen istana. Apa jadinya masa depan dunia ini di tangan monyet-monyet seperti mereka. Busuk! Malah menghancurkan.

Semakin siang suhu kian meningkat, menyengat, dan mematikan. Jakarta yang terkenal sebagai kota penampung polusi dan penyerap panas di Indonesia makin mengukuhkan keberadaannya. Kota itu bagai berada di atas panggangan dengan kumpulan lidah api yang menyambar sukarela.

“Huih, panas sekali! Dua air conditioner di ruangan ini sepertinya belum cukup untuk mengusir panas yang tiap hari kian meningkat tajam,” ujar seorang pria sambil melonggarkan kerah bajunya. Ia melongo ke orang di hadapannya. “Semakin hari, Jakarta makin panas saja, ya?”

Orang di depannya tersenyum seakan membenarkan. “Mau diapakan lagi. Dari dulu memang seperti inilah suhunya. Tak pernah berubah ‘kan? Malah makin meningkat.”

“Hmm... ini pasti akibat global warming yang sering dibicarakan di televisi itu. Dan Jakarta adalah salah satu kota yang harus bertanggung jawab akan hal ini. Dasar!” ia berkata bak para demonstan. Seolah-olah ia tak menyadari bahwa dirinya juga terlibat di dalamnya.

Tapi saat ia menyadari sesuatu. Ia berkata lagi, “Ngomong-ngomong, kau tidak kepanasan dengan pakaian seperti itu, Wan?” tanya pria itu melihat teman sekantornya masih mengenakan stelan jes lengkap sementara ia sendiri sejak tadi melonggarkan satu demi satu kancing kemejanya namun tetap kelihatan rapi.

Kaget di tanya seperti itu, Awan menjawab sekenanya. “Oh, i—ini. Ah, tidak apa-apa. Aku malas membukanya. Toh nanti pasti jas ini akan kupakai lagi.”

“Benar sih, tapi... apa kau tidak kepanasan?” pria tadi menaikkan sebelah alisnya. “Aku saja yang sudah melepaskan jas masih kepanasan.”

“Ti—tidak. Tenang saja.”

Pria tadi ragu-ragu untuk berkata kembali, takut teman kerjanya itu tersinggung. Namun keingintahuannya tak memedulikan hal tersebut.

“Oh ya, Wan. Maaf sebelumnya kalau aku mau tahu persoalan rumah tanggamu. Tapi... bagaimana perkembangan tentang masalah perceraian kalian. Maksudku, kau dengan Reni, istrimu?”

Awan tak langsung menjawab. Pertanyaan itu seolah-olah mengingatkannya kembali akan masalah lalu yang pernah ia hadapi. Permasalahan yang begitu mengusik pikiran dan ketenangan rumah tangganya, bahkan kondisi psikisnya. Dua bulan yang lalu, istrinya tiba-tiba memutuskan untuk bercerai, padahal sudah dua tahun lamanya mereka membina rumah tangga. Memang pernikahan mereka tidak berlangsung dengan baik, tapi itu tidak menjadi alasan istrinya untuk langsung memutuskan tali perkawinan di antara mereka berdua secara sepihak. Tidak adil! Zaman sekarang mana ada yang adil?

Setiap minggu ada saja masalah yang pasti dipermasalahkan oleh istrinya, seakan-akan semua masalah yang timbul itu merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditolak. Banyak orang-orang berfikir; entah tetangga, teman sekerja, teman dekat, ataupun keluarga, bahwa pertengkaran yang sering terjadi dalam rumah tangga mereka ditengarai karena tak adanya kehadiran anak. Dari dua tahun perkawinan mereka itu, kehadiran buah hati di sisi mereka, memang belum juga terwujud. Bodoh! Itu bukan alasan. Hanya orang-orang yang bodohlah yang menetapkan hal itu sebagai alasan yang mendasari untuk mengakhiri sebuah hubungan suci pernikahan.

Memang benar adanya bahwa sebuah keluarga tidak lengkap tanpa kehadiran seorang anak di tengah-tengah keluarga tersebut. Anak bagaikan penenang dan pembasuh di antara panasnya kekisruhan suatu rumah tangga. Bahkan ada yang berpendapat bahwa anak adalah malaikat yang diciptakan khusus untuk sebuah keluarga. Tapi, bukankah semua itu adalah kehendak Sang Pencipta, Tuhan. Dia-lah yang menentukan apakah sebuah keluarga memiliki keturunan atau tidak, apakah mempunyai penerus atau tidak. Manusia hanya bisa menjalani hidup dan berusaha melaksanakan kodratnya sebagai khalifah di dunia.

Terkadang terlintas di pikiran Awan sebuah pertanyaan yang sedari dulu ingin sekali ditanyakannya pada wanita itu, Apakah benar kau mencintaiku apa adanya? Apakah benar kau menikah denganku bukan karena paksaan atau karena memendam suatu niat jahat untuk menghancurkanku, menghancurkan karier atau kehidupanku?

Masih segar di ingatan Awan pertengkaran hebat yang terakhir terjadi di antara ia dan istrinya. Pertengkaran yang akhirnya menghabiskan kesabarannya untuk menjaga keutuhan rumah tangganya dan memberinya kekuatan untuk menandatangani surat cerai yang selama ini gencar ditawarkan oleh istrinya. Ini tidak bisa lagi dipertahankan. Aku tak sanggup.

Kejadian itu terjadi di suatu siang yang panas saat sepulangnya ia bekerja dan tiba di rumahnya dengan kondisi tubuh yang sangat lelah akibat banyaknya tuntutan pekerjaan dari kantornya yang harus diselesaikannya hari itu juga. Sebelumnya, ia sudah menelepon istrinya bahwa ia akan terlambat pulang karena ada lembur di kantor. Di telepon, wanita itu mengiyakan tanpa komentar apa pun yang mengikuti persetujuannya. Tumben sekali. Tapi beruntung, Awan mendapatkan kompensasi untuk menyerahakan laporan itu keesokan harinya dan boleh menyelesaikannya di rumah. Hari ini sangat penting sekali bagi istrinya, Awan juga. Sekali setahun perayaannya. Hari ini adalah ulang tahun istrinya yang ke-27. Sudah terbayang di pikiran Awan bahwa hari ini pertengkaran di antara mereka berdua akan reda. Emosi yang telah membatukan kelembutan istrinya akan langsung meleleh. Ia akan memberikan pendamping hidupnya itu pengertian dan penjelasan serta jalan tengah untuk mengatasi permasalahan yang terjadi di antara mereka. Di tangan sudah tertenteng sebuah kotak berisi kue ulang tahun dengan polesan krim yang lezat dan tak lupa sekuntum mawar merah sebagai pelengkap cinta dan kasih sayangnya. Sementara tugas kantornya bisa menunggu. Hanya pengecekan laporan yang akan ia lakukan di rumahnya.

“Nanti malam akan aku selesaikan dengan cepat. Toh, tidak membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan semuanya.”

Awan membuka pintu lalu melepaskan sepatu. Aneh, tumben istrinya tidak menyambutnya hari ini. Kemarin-kemarin, walaupun sedang bertengkar, wanita itu tak lupa untuk menyambutnya ketika ia pulang. Mungkin dia sedang sibuk di dapur, jadi tak mendengar kedatanganku. Bagus kalau begitu, aku akan memberinya kejutan. Awan meluncur masuk berniat memberikan selamat dan kejutan.

Dari tempatnya berdiri terdengar suara berisik, suara percakapan dua orang. Suara yang satu jelas sekali milik istrinya, Reni, sementara suara berat laki-laki yang ditemani reni mengobrol milik siapa. Tipe suara itu tidak ia kenal sama sekali. Tak pernah tersimpan dalam memori otaknya. Siapa pemilik suara itu? Seketika, kecurigaan merambat bagai ketakutan akan gelap.


“Bagaimana dengan pernikahanmu, Ren?” tanya seorang pria berparas tampan. Ia merebahkan punggungnya di sandaran sofa.

“Yah, begitulah,” jawab wanita itu seadanya sembari menghela napas. “Aku sudah bosan dengannya.”

“Maksudmu?”

“Aku mau memutuskan bercerai saja darinya.”

“Hmmm...” pria itu berpikir sejenak. “Kalau begitu kita bisa berhubungan dengan bebas. Tak usah sembunyi-sembunyi seperti ini dari Awan sialan itu. Aku bosan kalau terus begini.”

Reni menggoda pria itu dengan tatapannya. “Tentu saja, Sayang. Kerahasiaan hubungan di antara kita akan segera berakhir. Secepatnya.”

Pria itu memeluk tubuh Reni yang mungil dengan mesra, lalu berkata di sela-sela pelukannya. “Kupegang janjimu itu, Sayang. Cepat kau ceraikan dia. Kau tak akan memperoleh anak dari Awan. Dia banci. Madul.”

“Yup, tepat sekali kata-katamu itu.” Mereka berdua cekikikan.

“Tapi...” wanita itu tak menyelesaikan kata-katanya.

“Tapi apa, Sayang?”

“Bagaimana aku bisa hidup setelah bercerai dengannya? Kau tahu sendiri kan, aku pasti tak akan dibiayai lagi olehnya. Apa yang harus aku lakukan?”

“Tenang. Jangan khawatir, Sayang. Jangan khawatirkan soal uang. Ada aku. Aku yang akan membiayai segala kebutuhan hidupmu setelah kau bercerai dengan si brengsek itu, dan setelah itu...”

Wanita itu menengadah menatap wajah pria di sampingnya. Matanya berbinar. “Setelah itu apa?”

“Tentu saja kita akan menikah. Bagaimana?”

“Aku senang sekali.” Wanita itu mengeratkan pelukannya. Dengan sebelah tangan, laki-laki itu menyibakkan rambut halus dari dahi wanitanya kemudian dengan lembut mengecup keningnya. Seolah-olah perbuatan itu menandakan seberapa besar rasa sayangnya pada wanita itu.


Di belakang Awan berdiri terpaku mendengar percakapan itu. Wajahnya memerah, matanya membelalak seolah ingin melahap dua orang yang sedang duduk di depannya dan tidak merasakan keberadaannya. Seluruh tubuhnya bergetar kala menahan amarah yang kian memuncak. Darah di seluruh pembuluh, di jantung, terutama di otak sudah mendidih hingga mencapai titik anomali. Seperti ada tegangan listrik yang langsung merasuk dari ujung jari-jari kaki lalu menyebar hingga ke tulang belakang. Rahangnya kokoh bagai granit cetakan. Gigi-gigi grahamnya bergemeretak menimbulkan suara aneh seperti bunyi suara burung pelatuk yang sedang membuat lubang di batang pohon Ek.

Mungkin suara gemeretak itu pula yang kembali menyadarkan kedua orang di depannya, hingga mereka kaget lalu berdiri secara tiba-tiba. Ekspresi wajah mereka berdua bagai pencuri yang tertangkap basah menjarahi seisi rumah yang sedang ditinggalkan pemiliknya.

“Kapan kau... datang?” tanya Rini gugup. “Bukankah kaubilang tadi kau akan lembur di kantor? Tubuh wanita itu gemetaran laksana dicekam ketakutan luar biasa.

“Dasar wanita tak tahu diuntung! Penghianat!” hardik Awan. Tak terasa topangannya akan kotak kue ulang tahun dalam genggamannya kian melemah dan detik berikutnya, kue itu jatuh berserakan di lantai diikuti bunga mawar yang jatuh di sampingnya. Potongan-potongan kue itu langsung berserakan di lantai. Reni dan pria di sampingnya malah memperhatikan kue yang sudah tak berbentuk lagi.

Kedua tangan Awan mengepal. “Apa yang sedang kalian lakukan?”

Di tengah kemarahannya, kedua binar matanya berkaca-kaca. “Apa karena dia, kau mau menceraikanku, Ren?”

Wanita itu diam sejenak. Dalam hatinya, ia tengah menyusun seuntai kalimat yang tentunya akan melukai perasaan suaminya itu. Pasti pria itu akan terluka. Meskipun begitu, ini adalah waktu yang tepat untuk mengutarakan keluh kesahnya selama ini, selama membina rumah tangga bersama pria di hadapannya. “Ya, memang... tapi ada alasan lain selain alasan tadi...” diam lagi, “selain itu, kau tidak bisa memberiku anak, Awan. Kau pasti sudah tahu bahwa di setiap pernikahan, semua pasangan pasti ingin sekali mempunyai anak, sangat mendambakan kehadirannya sebagai pencerah suasana. Aku menginginkan itu. Aku ingin mendengar celotehan dan merasakan kemanjaan mereka.”
Wanita itu mulai terisak. “Kautahu, selama ini aku sangat kesepian setelah engkau pergi bekerja. Kau terlalu sibuk dengan pekerjaanmu sampai-sampai melupakan aku, istrimu. Setidaknya, dengan kehadiran anak di antara tengah-tengah kita, kesepianku itu dapat banyak berkurang. Tapi, ini... tidak.”

Kini air mata wanita itu mulai jatuh dan melelehkan pertahanan kosmetik yang terpoles di pipinya, sedikit demi sedikit bagai tanah yang terkena erosi air hujan. Kedua pria itu terpaku menatapi Reni yang sedang meratapi kepedihan hidup rumah tangganya.
Reni kembali bersuara, “Sudah dua bulan aku diam-diam menjalin hubungan dengan Doni tanpa sepengetahuanmu.” Wanita itu menatap pria di sampingnya. Dari tatapan yang dilayangkan Doni kepadanya, Awan bisa melihat bahwa tatapan itu mengatakan, Kau telah menyia-nyiakan wanita ini. Kau betul-betul pria bodoh, Awan. Pantaslah kalau Reni memilih untuk meninggalkanmu.

“Kami mencuri-curi waktu saat kau pergi kerja, namun jika kau berada di rumah dan tengah sibuk dengan segunung pekerjaan yang harus kau selesaikan, kami membuat janji bertemu di luar.”

“Salahmu sendiri, Awan. Kau menyia-nyiakannya wanita secantik dia demi pekerjaan yang selalu kau pentingkan dibanding apa pun.” Doni bersuara. Tatapannya tajam dan melecehkan.

Setelah dari tadi terdiam, Awan kembali berkata-kata, “Aku tanya untuk yang terakhir kalinya. Apakah kau lebih memilik laki-laki itu dibandingkan rumah tangga kita? Dibanding pernikahan kita?”

Sambil menunduk, Reni menjawabnya seakan tanpa beban. “Tidak ada yang patut dipertahankan lagi dalam pernikahan kita ini. Tidak ada dan aku lebih memilih Doni darimu. Dia lebih bisa membuatku bahagia. Dia bisa memberikanku segalanya, semua keinginanku yang dari dulu tak bisa kau berikan padaku.”

Bagai terhujam seribu tombak yang jatuh dari langit, Awan tak bisa berkata apa-apa. Tubuhnya kaku, beku, dan membatu, membentuk seperti fosil tulang-belulang dinosaurus yang telah punah ratusan tahun lalu. Rohnya bagai meninggalkan jasadnya sendiri terpaku di tempat itu. Sepi dan senyap. Entah, mungkin kalimat tadi begitu sangat menusuk perasaannya, menggoyahkan pertahanan hatinya yang sejak dulu terus menetapkan bahwa ‘wanita ini mencintai dan menyayangiku setulus hati, tanpa ada yang dikurangi. Dia benar-benar jodohku. Betapa beruntungnya aku memilikinya.’

Dengan berat hati, Awan berkata, “Kalau begitu pergi dari rumah ini sekarang juga. Cepat pergi kalian berdua. Rumah ini tidak bisa menampung kalian di sini.”

Doni mengambil jaketnya lalu menggandeng tangan Reni keluar dari ruangan itu. Sebelum menutup pintu, Reni sempat berkata, “Buang saja semua baju-baju dan barang-barangku. Doni akan membelikan semua kebutuhan hidupku. Oh iya, dan secepatnya lupakan aku.”
Pintu ditutup keras.

Dalam hati Awan bergumam, Dengan senang hati akan kubakar semua barang-barangmu hingga tak ada lagi yang tersisa di rumah ini. Hingga tidak ada lagi kenangan yang melekat dalam pikiranku. Dan aku akan berusaha melupakanmu secepatnya. Secepatnya...

~Bersambung~