Rabu, 17 Desember 2008

The Invisible Prisoner - Chap. 03

Penulis : Afandi M.
Gendre : Detektif & Misteri
Lain-lain : Berseri (4)

BEBERAPA ORANG terlihat sibuk menghisap rokoknya dengan penuh kenikmatan di sebuah ruangan yang dibatasi oleh sekat-sekat kaca yang mencolok dan transparan. Dari luar bisa terlihat, asap rokok mereka beterbangan menyerupai kabut di pagi hari yang menyelimuti sebagian badan jalan. Di langit-langit ruangan tersebut sebelumnya telah dipasangi alat penghisap asap rokok, agar asap tidak mengepul keluar dari ruangan tersebut. Di Indonesia sendiri sudah ada Peraturan Pemerintah no. 19 tahun 2003 yang menangani hal itu, tentang pengamanan rokok bagi kesehatan.


Tommy sedang duduk di sebuah kursi menunggu jadwal keberangkatannya. Tadi setelah turun dari pesawat, ia dan Albert Edison berpisah. Entah kemana kepala polisi itu pergi, ia terlihat terburu-buru ke suatu tempat.

Tommy membaca kelanjutan novelnya tadi. Sudah dua pertiga dari halaman-halaman novel itu dibacanya. Setelah satu judul telah habis dibaca, ia menutup novel itu, menaruhnya di samping kursi. Pandangannya kini mengembara di ruangan tersebut. Tiga bangku di depannya, tepat di bagian kiri bangku tersebut jelas sekali terlihat Edie John sedang duduk. Rambutnya yang tumbuh jarang pada tengah-tengah kepalanya seakan menjadi ciri-ciri fisiknya. Pria itu tertunduk, entah sedang tidur atau melamun melihati lantai di bawahnya.

Sementara itu, di deretang bangku kedua dari deretan bangkunya Schott Heddington duduk gelisah. Pandangan pria itu terus saja tertuju pada wanita-wanita Asia yang lalu lalang di hadapannya. Mungkin itu adalah pengalaman pertama baginya melihat penampilan wanita Asia yang langsung membuatnya terpesona.

Suara batuk seorang pria membuat Tommy tersadar dari ekspedisi kecilnya. Ia sendiri tidak sadar bahwa sedari tadi ada pria yang tengah duduk di hadapannya.

“Sejak kapan pria itu duduk di hadapanku,” pikirnya. Tommy mengamati pria itu dengan saksama. “Bukankah dia Peter Malvolk?”

“Ternyata Edie John, Schott Heddington dan Peter Malvolk memang bertujuan ke Indonesia, jadi semakin sulit bagi Pak Albert Edison melacak penyamaran narapidana itu. Tunggu... bukankah harusnya seorang lagi yang bertujuan ke Indonesia. Kalau tidak salah Paul Osborn, seharusnya dia juga bertujuan sama dengan pria-pria ini. Kemana perginya dia? Apakah dia merupakan penyamaran dari narapidana itu? Jika memang benar dia orangnya, tampaknya dia telah menyadari bahwa dia merupakan incaran polisi. Dia telah kabur...”

Tommy seketika teringat akan kata-kata Albert Edison, “Kami bersama polisi Hong Kong telah bekerja sama dan mereka telah tersebar dan bersiaga di seluruh area bandara, tinggal menunggu perintah dari kami. Jadi tidak mungkin narapidana itu bisa keluar bandara seenaknya untuk kabur walaupun saya berada di dalam pesawat menuju ke Indonesia.”

“Semoga pria itu tertangkap,” kata Tommy dalam hatinya.

Seseorang tiba-tiba berjalan di depannya. Langkahnya panjang dengan hentakan keras saat sepatunya bertemu dengan lantai. Pria itu kemudian duduk di deretan bangku Tommy. Tommy kembali melakukan pengamatannya.

“Bukankah dia adalah Paul Osborn?” ia tersenyum pada dirinya sendiri. “Sepertinya Pak Albert Edison harus bekerja lebih keras untuk menangkap penyamaran dari narapidana itu.”

Tommy berkomentar lagi dalam hatinya, “Tentu saja pria itu sejak tadi tidak kelihatan, tampaknya ia baru dari toilet. Ujung celananya panjangnya itu terkena banyak percikan air. Mungkin pada saat di toilet, air meresap melalui pori-pori celananya. Sepertinya dia tidak menyadarinya.”


“Hai, apakah Anda menuju Indonesia juga?” tanya Tommy kepada pria di hadapannya.

“Sepertinya begitu,” jawabnya sedikit sungkan.

“Anda bekerja di NHS ya?” Tommy kembali bertanya.

Pria itu terkejut, ekspresi wajahnya menandakan bahwa ia bertanya-tanya.

“Ya, saya rasa Anda bekerja pada lembaga National Health Service yang berada di Inggris. Saya menyadarinya saat melihat sulaman berwarna biru berupa singkatan NHS pada tas Anda.”

“Oh ya... benar,” pria itu berkata seolah-olah ia baru menyadarinya.

“Sudah berapa lama Anda bekerja di tempat itu?”

“Emm... sekitar tiga tahun yang lalu. Aku ini dokter yang profesional.”

“Benarkah? Kelihatannya dokter ini sombong sekali,” pikir Tommy mempertanyakan hal itu.

“Tampaknya Anda nyaman bekerja di sana?”

“Tentu saja,” pria itu menyombong.

“Oh ya, saya pernah membaca sebuah artikel mengenai sistem pelayanan kesehatan. Ada beberapa hal yang selalu memperoleh perhatian, diantaranya mengenai bagaimana pelayanan kesehatan itu dibiayai. Apakah oleh negara, masyarakat atau gabugan dari keduanya, melalui mekanisme asuransi, baik asuransi sosial maupun asuransi komersial. Di Amerika sendiri menerapkan sistem bebas dan yang sangat dominan yaitu mekaisme asuransi kesehatan komersial. Bagaimana di NHS sendiri?”

Pria itu diam sebentar. “Di NHS, tentu saja mengandalkan masyarakat. Semua lembaga kesehatan juga begitu. Pelayanan kesehatan di biayai oleh masyarakat. Mereka membayar untuk pelayanan kesehatan yang lembaga kesehatan itu berikan.”

“Berarti di NHS menerapkan sistem komersial ya?”

“Ya tentu saja, siapa yang masuk rumah sakit harus bayar. Itulah kewajiban yang harus mereka penuhi,” pria itu mendengus kesal.

“Oh begitu ya,” Tommy mengangguk.


Pria bernama Peter Malvolk menatap kuat-kuat pria yang duduk di samping Tommy.

“Anda Paul Osborn bukan?” katanya.

“Benar. Memangnya ada apa?”

“Saya kira Anda telah berada di penjara karena kasus pemalsuan dokumen di perusahaan tempat Anda bekerja. Bagaimana Anda bisa bebas? Apakah Anda menyogok hakim?”

Pria itu geram. “Apa maksud Anda?”

“Ah tidak apa-apa...” katanya sambil tersenyum.


Bel pemberitahuan berbunyi. Suara seorang wanita terdengar dari loudspeaker. “Bagi Anda penumpang dengan tujuan Indonesia, diharapkan segera memeriksakan tiket di Gate 3. Terimakasih.”

Tommy mengantri di deretan kedua, paling belakang.


Tadi sebelum tinggal landas, para pramugari seperti biasa mengajarkan para penumpang bagaimana menggunakan jaket pelampung jika pesawat mengalami kecelakaan di laut. Hal itu sebenarnya tidak perlu. Tampaknya semua penumpang pesawat itu sudah pengalaman melakukan perjalanan dengan menggunakan pesawat. Jadi hal itu sudah tertanam di kepala mereka.

Tommy sudah tidak sabar menginjakkan kedua kakinya di tanah kelahirannya itu. Butuh sekitar empat atau lima jam perjalanan menuju Indonesia dari bandara tadi tempatnya bertransit.

“Kita duduk bersebelahan lagi?” kata seorang pria menyapanya.

“Oh Anda Pak Albert Edison. Anda juga menuju Indonesia?”

“Ya, sebab keempat orang itu juga ke negara tersebut. Kami akan menangkap narapidana itu di sana?”

“Mengapa Anda tidak melakukan hal itu tadi, saat berada di Bandara Internasional Hong Kong?”

“Ada alasan yang kuat. Kami tidak boleh gegabah dalam meringkusnya. Lagipula rencana kami tadi tidak berjalan seperti yang diinginkan. Keempat orang itu teryata tidak ada yang melarikan diri atau semacamnya saat bertransit di bandara sebelumnya. Tadi juga kami sudah melakukan kontak dengan para petugas keamanan Bandara Soekarno-Hatta di Indonesia, agar mereka menjaga semua pintu keluar bandara. Tampaknya kali ini dia tidak akan lolos.”

“Oh, begitu. Aku berharap semua berjalan seperti yang Anda rencanakan.”

“Tentu saja,” seru Albert Edison optimis.


Tommy melamun, menatap ke luar jendela. Ia duduk di posisi seperti tadi saat ia berada di pesawat pertama, berdekatan dengan jendela. Laut kelihatan memancarkan sinar dan kebiruan jauh di bawah sana. Jelas di pikirannya, bahwa bumi ini seperti wadah besar yang menampung triliunan ton air yang kian hari kian bertambah akibat beberapa hal, misalnya pencairan es di kutub akibat pemanasan global atau global warming. Entah sudah berapa puluh juta suara yang telah mengumandangkan Save Our world, tapi nyatanya mana? Hanya omongan bodoh yang tidak berguna.

Satu jam kemudian Tommy tersadar dari lamunannya memikirkan semua usaha manusia mencoba menyelematkan bumi yang kini makin lama makin bertambah tua saja. Sepasang telinganya mendengar teriakan kesakitan dari seorang penumpang yang berada dua bangku di depannya. Albert Edison yang duduk di sebelahnya, bangkit dan segera berjalan menuju tempat suara itu berasal.

Seorang pria jatuh tersungkur ke lantai pesawat, dan meronta-ronta kesakitan sambil memegang-megang dadanya. Matanya yang besar, sebesar bola golf melotot, memperhatikan orang-orang di sekelilingnya. Nafasnya berbunyi, sesak, dan saling memburu, diselingi dengan batuk yang kadang-kadang muncul, seperti sudah berlari puluhan kilometer tanpa henti. Wajahnya tampak seperti salah seorang yang tadi dicurigai oleh Albert Edison. Namanya adalah Edie John, yang berdasarkan informasi sangat dibenci oleh para pesaing bisnisnya, karena sering membuat sejumlah kecurangan dalam menjalankan bisnisnya tersebut. Seperti bisnis kotor.

“Lakukanlah sesuatu, jangan cuman melihat saja seperti tak tejadi apa-apa,” teriak histeris salah seorang penumpang wanita yang duduk di sampingnya.

“Apakah kalian mau melihatnya kesakitan seperti itu terus-menerus, sampai dia mati? Cepat tolong dia.”

“Segera panggil Peter Malvolk. Dia berprofesi sebagai seorang dokter. Dia pasti dapat membantu,” teriak Pak Albert, yang kemudian menyuruh seorang pramugari yang berdiri di sampingnya untuk memanggil pria tersebut.

Beberapa saat kemudian orang yang ditunggu-tunggu pun datang. Peter Malvolk terlihat bingung. Mukanya kelihatan ikut-ikutan panik. Seperti tidak sesuai dengan profesi yang digelutinya, yang membutuhkan ketenangan dalam melakukan hal itu. Tiba-tiba, ia lalu mendudukkan pria itu. Belum beberapa menit berlalu, kejang-kejang yang di derita Edie John makin parah. Nafasnya makin tersengal-sengal dan dadanya naik turun dengan begitu cepat.

Orang-orang yang berkumpul di situ panik.

“Bagaimana ini? Bukannya malah sembuh, malah jadi semakin bertambah parah saja,” celetuk wanita yang tadi berteriak. “Apakah kamu memang seorang dokter? Atau cuma gadungan?”

“Tenang. Dia hanya menderita penyakit asma,” ujar sebuah suara dari arah belakang. “Coba baringkan dan longgarkan baju serta ikat pinggangnya. Jangan lupa longgarkan juga dasinya. Dan tolong ambilkan inhaler. Namun jika benda itu tidak ada, ambilkan saja tabung oksigen kecil dan juga segelas air untuk membuat pernafasannya kembali normal.”

Albert Edison menoleh ke arah suara itu. Ternyata Tommy, pikirnya. Si pramugari yang tadi pergi, kini telah mengambil benda-benda yang tadi disebutkan.

Kejang-kejangnya berhenti dan nafasnya pun kembali normal. Hembusan nafas lega terdengar dari beberapa orang, termasuk Albert Edison sendiri. Semua penumpang yang sejak tadi berkerumun di sekitar tempat itu lambat laun kembali ke tempat duduk mereka masing-masing.

~Bersambung~

Tidak ada komentar: