Sabtu, 13 Desember 2008

The Invisible Prisoner - Chap. 02

Penulis : Afandi M.
Gendre : Detektif & Misteri
Lain-lain : Berseri (4)

KUMPULAN AWAN seperti gumpalan kabut asap berwarna putih, yang senantiasa bergerak berirama seiring dengan hembusan angin. Dua pramugari keluar sambil membawa sebuah troli aluminium yang didorong dengan susah payah karena besarnya hampir menyamai lebar lorong tersebut. Sebuah teko aluminium bergaya Eropa dan tumpukan gelas plastik, berjejer di atas baki troli itu. Ada juga beberapa bungkus kecil gula rendah kalori yang tersusun di dalam kotaknya. Dengan lihai bak seseorang yang telah berpengalaman, kedua pramugari itu membagikan segelas kopi hangat kepada para penumpang.

Coffee Sir?” tanya seorang pramugari berambut sebahu dan berbola mata biru kepada Tommy.

Yes, please!” serunya.


Berbeda dengan Albert Edison yang duduk di sebelahnya. Dengan sebuah tanda yang tegas dari tangannya, ia menolak tawaran tersebut.

Satu jam telah berlalu dengan begitu cepat. Bel pemberitahuan berbunyi nyaring, sehingga para penumpang pesawat langsung memfokuskan pendengaran mereka ke suara itu. Suara pramugari terdengar dari loudspeaker. “Sekitar tiga puluh menit lagi, kita akan segera mendarat di Bandara Internasional Hong Kong. Silahkan memasang sabuk pengaman dan menegakkan kursi Anda.”

Pak Albert Edison berdiri tegak setelah pemberitahuan selesai diumumkan. Ia lalu berjalan menuju tempat pilot bersama rekannya yang berada di deretan kursi berbeda. Badannya yang gemuk membuatnya agak susah berjalan di lorong pesawat yang memang agak sempit baginya, sehingga ia pun harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk menyelipkan tubuhnya di antara deretan kursi tersebut.

Selang berapa lama, terdengar kembali bel pemberitahuan berbunyi nyaring dari balik cockpit. Kali ini bukanlah suara seorang wanita yang tadi menyampaikan pemberitahuan, karena suara kali ini terdengar agak sedikit nyaring dan begitu berat, formal pula. Pak Albert Edison-lah yang berbicara dari loudspeaker itu. Setelah ia memperkenalkan siapa dirinya yang sebenarnya, ia lalu mengumandangkan sebuah pengumuman penting. Setiap penumpang pesawat tersebut diwajibkan untuk mengeluarkan identitas mereka masing-masing, namun sang kepala polisi itu tidak menjelaskan maksud yang sebenarnya dari tindakan itu.

Beberapa menit kemudian Albert Edison duduk lesu sambil mendengus, tidak puas atas hasil temuannya.

“Bagaimana hasilnya Sir? Apakah Anda sudah menemukan sebuah petunjuk atau mungkin Anda sudah mampu membongkar penyamaran dari narapidana yang kabur itu?” tanya Tommy.

Albert Edison menghela nafas panjang. Dengan suara yang agak berat dan serak, ia lalu berkata, “tidak banyak petunjuk yang kami dapatkan. Kami tidak menemukan banyak kemajuan penyelidikan yang berarti. Tapi...”

Ia setengah berbisik. “Kami telah mencurigai empat orang penumpang pesawat ini sebagai peyamaran dari narapidanan itu.”

“Maksud Anda?”

“Benar, keempat orang itu telah kami curigai jauh sebelumnya. Kami telah mengawasi mereka sejak di Bandara Heathrow. Kami dibantu oleh beberapa agen federal Inggris, namun mereka tidak mau membantu kami lebih jauh lagi sebab kata mereka, ini bukanlah tugas mereka yang sesungguhnya. Kau tahu, hubungan polisi dan para agen tersebut tidak berjalan dengan baik selama ini. Mereka selalu merasa lebih berguna daripada kami, para polisi. Hanya karena tugas yang diembankan kepada mereka lebih penting dari pada tugas kami seperti melakukan tilang bagi pegendara yang melanggar atau semacamnya. Sementara tugas mereka jauh lebih eksklusif, tugas yang berhubungan dengan urusan negara.”

“Misalnya mata-mata seperti yang dilakukan dalam film James Bond,” pikir Tommy ingin tertawa. Albert Edison melanjutkan,“Menurut para agen itu, keempat penumpang tersebut adalah orang yang patut dicurigai.”

“Memang apa alasannya?” tanya Tommy.

Pria itu diam tak menjawab. Suasana sunyi beberapa detik.

“Buat apa Anda melakukan pemeriksaan identitas para penumpang pesawat tadi, jika Anda memang telah mencurigai empat dari para penumpang pesawat ini?”

“Hmm... Kami mau mendata, maksudku memeriksa rute tujuan kunjungan mereka berempat, tentunya sambil menyamarkan penyelidikan itu. Sebab pesawat ini akan mendarat di Bandara Internasional Hong Kong dan akan melakukan transit bagi penumpang yang ingin melanjutkan ke Indonesia dengan menggunakan Cathay Pascific Airways dari Hong Kong.”
“Bagaimana kalau narapidana itu kabur? Bisa saja di tempat transit nanti dia kabur dan tak kembali lagi,” Tommy berkomentar.

“Itu tidak mungkin. Di sinilah fungsi dari data kunjungan keempat penumpang itu. Mereka yang tidak transit di Bandara International Hong Kong, jelas-jelas adalah penyamaran narapidana tersebut. Kami bersama polisi Hong Kong telah bekerja sama dan mereka telah tersebar dan bersiaga di seluruh area bandara, tinggal menunggu perintah dari kami. Jadi tidak mungkin narapidana itu bisa keluar bandara seenaknya untuk kabur walaupun saya berada di dalam pesawat menuju ke Indonesia.”

“Memangnya tujuan kunjungan keempat orang itu kemana?”

Pria itu tersenyum, lalu berkata “Indonesia...”

“Kalau saya boleh tahu Sir, siapakah orang-orang itu?”

Sambil memperlihatkan identitas keempat orang tersebut, ia menjelaskannya satu-persatu dengan singkat.

“Dia adalah Edie John, seorang pengusaha sukses. Namun di balik kesuksesannya itu, ia banyak dibenci oleh para pesaingnya, karena kelicikannya dalam menjalankan bisnisnisnya. Dia sering melakukan kecurangan-kecurangan dari setiap bisnis yang ia jalankan.”

Ia kemudian menambahkan sambil berbisik, lebih mendekatkan wajahnya ke telinga Tommy. “Menurut berita yang beredar belakangan ini, pria itu juga terlibat dalam sejumlah tindak kejahatan dan penjualan obat-obat terlarang. Namun entah mengapa, dia selalu bisa lepas dari semua tuduhan itu. Tak ada satupun bukti yang dapat memberatkannya, dan walaupun kejahatannya sudah terlacak oleh polisi, tapi tetap saja ia selalu berhasil lolos.”

“Ia duduk di bangku kedua di depan kita, di deretan bagian kanan dari kursi tempat kita berada,” lanjutnya dengan ketus.

Tommy sedikit menaikkan duduknya. Bertopang pada kedua kakinya, mencoba mengintip di antara kepala-kepala yang berjejeran di hadapannya. Seorang pria dengan rambut sedikit jarang di tengah-tengah kepalanya, sedang tertidur dengan kepala yang dimiringkan ke kanan dan bersandar ke bantalan kursi. Kerah jas dan kemejanya terlihat begitu rapih.

“Yang ini adalah Paul Osborn,” sambil menyerahkan kartu identitas yang kedua. Tampak olehnya seorang pria berambut pirang pendek, dengan kulit kecoklatan yang sedikit terbakar sinar mentari sedang membaca sebuah majalah yang telah disediakan sebelumnya di dalam kantong kursi di depannya. Ia mengenakan kemeja putih bermotif kotak-kotak bergaris dengan lengan pendek.

“Dulunya, dia bekerja sebagai karyawan di salah satu perusahaan swasta yang terkenal di Inggris. Bergerak dalam bidang transportasi. Tetapi menurut penuturannya, sebulan yang lalu dia baru saja dipecat dan dengan uang pesangonnya itu, dia berlibur ke Indonesia―ke Bali. Jauh dari hiruk pikuk suasana London yang begitu sesak. Hanya itu alasan yang dapat kuperoleh darinya. Tapi sepertinya aku tidak begitu percaya dengan semua alasannya itu.”

“Bagaimana dia bisa dipecat dari perusahaannya itu? Apa alasannya?”

“Menurut keterangan yang aku peroleh darinya. Dulu dia terlibat dalam sebuah kasus pemalsuan dokumen di perusahaannya, sehingga perusahaannya itu menanggung kerugian yang sangat besar. Kalau dihitung-hitung kerugiannya mencapai jutaaan ribu dollar. Untung saja perkara itu tidak dialihkan ke meja hijau, dan buntut atas perbuatannya itu adalah pemecatan dirinya dari perusahaan tersebut secara tidak hormat pula. Kasihan sekali nasibnya.”

“Yang ketiga ini adalah Schott Heddington, mantan narapidana yang baru-baru ini dibebaskan dari penjara, sekitar dua bulan yang lalu. Dia datang ke Indonesia karena ada seorang saudaranya yang tinggal dan menetap di sana.”

Mata Tommy lalu tertuju pada seorang pemuda bertubuh kekar bak seorang binaragawan. Rambutnya pirang panjang, diikat ke belakang dengan janggot yang mulai tumbuh di sekitar dagunya. Ia sedang menggoda pramugari yang kadang berjalan hilir-mudik melewatinya.

“Apakah Anda sudah memeriksa passport miliknya selama menetap di Indonesia nanti?” tanya Tommy.

“Sudah. Semuanya sudah lengkap, baik berupa passport maupun hal-hal lain yang diperlukan selama dia menetap di Indonesia nanti.”

Sempat Albert Edison menelan ludahnya sekali. Membersihkan saluran tenggorokannya yang kering, kemudian melanjutkan kembali penjelasannya.

“Dan yang terakhir ini...” sambil menyerahkan identitas orang yang dimaksud. “Bernama Peter Malvolk. Dia berprofesi sebagai seorang dokter yang bekerja di sebuah rumah sakit ternama di Inggris. Sama halnya dengan alasan Paul Osborn, dia juga ingin berlibur ke Indonesia.”

“Dia mengambil cuti dari rumah sakit tempatnya bekerja selama kurang lebih sebulan. Tapi anehnya, dia tidak mengikut sertakan keluarganya dalam liburannya ini.” Jelasnya. Albert Edison menunjuk seorang pria berpakaian jas rapih, memakai kacamata minus setengah, berbadan tegap; rambut dan matanya hitam serta hidungnya berkilauan, sedang membaca sebuah koran Time Express.

“Apakah Anda sudah menanyakan alasan, mengapa dia tidak mengikut sertakan keluarganya dalam liburannya?”

“Tentu saja, saya sudah menanyakan mengenai hal itu. Menurutku, itu merupakan hal yang sepele. Tak ada kemajuan berarti yang dapat kuperoleh dari informasi itu.”

“Kalau boleh saya tahu, apa alasannya?”

“Katanya, dia dan istrinya sedang dalam tahap perceraian, sedangkan anak-anaknya tinggal bersama istrinya.”

Ia merapikan keempat kartu identitas itu menjadi sebuah tumpukan kartu, kemudian memasukkannya ke dalam kantong jasnya.

“Bagaimana? Apakah ada yang kamu curigai di antara mereka berempat?” tanya sang kepala polisi. “Aku berharap kamu memiliki kejeniusan seperti yang dimiliki Ayahmu. Hal itu dapat membantu kami dalam menangkap tahanan yang kabur tersebut.”

Tommy bertopang dagu, lalu berkata pelan, “Informasinya masih terlalu sedikit, dan kebanyakan dari informasi itu seperti yang Anda bilang tadi, begitu sepele―tidak penting dan tidak berguna. Aku belum bisa menarik kesimpulan hanya dari sejumlah informasi yang seperti itu. Tapi menurutku, kecurigaan Anda tadi, di antara keempat orang itu benar. Pasti buronan itu menyamar menjadi salah seorang di antara mereka.”

“Aku pikir juga begitu,” katanya kemudian menambahkan. “Memang benar narapidana itu sangat ahli dalam hal penyamaran. Dia dapat meniru wajah seseorang dengan sangat sempurna. Dulu kami sangat bekerja keras, sehingga dapat membekuknya tanpa perlawanan yang berarti darinya. Namun itu tidak menutup kemungkinan dia tidak bisa aku tangkap lagi untuk kali ini,” ujar Albert Edison tegas dan penuh percaya diri.

“Tapi dia kabur dari penjara dua hari yang lalu. Pasti ia tidak menyiapkan segala sesuatunya. Penyamarannya masih belum sempurna,” kata Tommy dalam hati.

Ia terdiam sambil memikirkan berbagai kemungkinan yang ada di kepalanya, layaknya seperti benang kusut yang harus segera diulur dan diluruskan agar tidak bertambah parah kekusutannya, sehingga ia dapat mengambil sebuah kesimpulan dan keputusan yang tepat juga cermat.

Decitan roda pesawat terdengar saat roda itu telah menapaki landasan laju. Kedua pasang sayapnya bergoyang ketika pesawat itu masih melaju mulus menyusuri landasan. Salah satu pesawat dengan tulisan Dragonair pada badan pesawatnya telah siap untuk tinggal landas. British Airways mendarat dengan selamat di Bandara Internasional Hong Kong.

Bel pemberitahuan berbunyi lagi ketika pesawat berjalan lambat menuju tempat pemberhentian terakhirnya. Suara pramugari kembali terdengar dari loudspeaker. “Terima kasih atas kepercayaan Anda telah memilih British Airways sebagai teman perjalanan Anda. Bagi penumpang yang akan transit menuju ke Indonesia, Anda dipersilahkan untuk melakukan pendataan ulang. Have a nice trip, thank you.”

~Bersambung~

Tidak ada komentar: