Rabu, 10 Desember 2008

Sepasang Sayap Mimpi - Finish

Penulis : Afandi M.
Gendre : Misteri dan Kehidupan
Lain-lain : Berseri (4)

HARI-HARI cepat berlalu kemudian berganti dari minggu lalu ke bulan, membuat kondisi psikis Awan juga kian menyedihkan.

Sudah sekitar enam hari lamanya Awan mengambil cuti dari kantornya dengan sebuah alasan klasik bahwa salah satu adik perempuannya akan melangsungkan pernikahan dan ia sebagai kakak sangat diharapkan kedatangannya. Dengan berbagai pertimbangan dari Waldan Sanjaya―sang atasan, akhirnya Awan diijinkan untuk mengambil cuti selama tiga minggu. Alasannya mengambil cuti sungguh tidak masuk akal bagi pikirannya sendiri. Bagaimana ia bisa menghadiri pernikahan salah seorang adik perempuannya sementara dirinya sendiri adalah anak satu-satunya dari kedua orangtuanya. Ia adalah anak tunggal dan nyatanya, Awan telah berbohong kepada atasannya. Berbohong yang nantinya menjadi kebutuhan utama bagi hidupnya.


Awan kini sedang duduk di ranjangnya yang berseprei putih. Pandangannya jauh ke depan menembus lapisan kaca jendela dan akhirnya terpusat di sebuah taman yang ada di luar. Beberapa orang dewasa sedang bermain-main di sana. Mereka bertingkah seumpama anak kecil yang baru tahu akan keceriaan dunia dan belum mengetahui sisi buruknya.

Awan termenung untuk beberapa lama. Tak pernah ia sedamai dan sesenang ini. Kini hidupnya telah berubah. Seperti sebuah jarum jam yang tidak akan pernah menunjuk angka yang sama untuk kedua kalinya. Setiap orang selalu memperhatikan dan memedulikannya. Baju putih yang ia kenakan bisa menggambarkan suasana hatinya sekarang ini. Damai.

Tiba-tiba pintu diketuk. Tanpa menunggu komando dari Awan, dua orang wanita langsung membuka pintu dan masuk. Dasar tak tahu sopan santun. Apa mereka tidak pernah belajar etika saat masih duduk di bangku sekolah dulu?

“Bagaimana kabar Anda? Baik?” tanya wanita berkulit agak gelap. Awan tidak menjawab pertanyaan itu. Sebaliknya, ia memperhatikan tingkah kedua wanita itu. Fisik wanita yang tadi bertanya kepadanya itu tinggi dan ramping. Namun ada keanehan pada wajahnya. Hidungnya ternyata tak sepanjang dan seramping tubuhnya, membuat mukanya yang dipenuhi bedak kelihatan lucu. Polesan lipstik murahan berwarna merah, banyak menghiasi wilayah bibirnya. Menor sekali. Beberapa jerawat muncul di dahi dan beberapa lagi memonopoli daerah pipi serta dagunya. Tampaknya ia tipe wanita yang tidak bisa merawat dan memerindah penampilannya. Awan memperkirakan umurnya sekitar 28 tahun dan pastinya belum memiliki pacar, terlebih lagi seorang suami.

Sementara wanita yang satu lagi jauh berbeda. Walaupun tubuhnya tak seramping dan sejangkung wanita tadi, tapi wajahnya menawan. Boleh dikatakan anggun. Sepertinya wanita itu tahu betul caranya berdandan. Bulu matanya diperlentik dengan menggunakan maskara dan bantuan pelentik bulu mata, sementara bibirnya hanya dihiasi pelembab. Membuat warna asli kulit bibirnya yang merah merona kelihatan begitu menggoda untuk disentuh, dikecup. Wajahnya yang mulus tak berjerawat dibiarkan tak tersentuh kosmetik, sehingga keanggunannya makin terpancar. Seolah-olah Dewi Kemudaan telah merawat bentuk fisik yang sunggu elok itu. Usianya pasti tak lebih dari 25 tahun. Beberapa tahun lebih muda daripada wanita satunya, dan tentunya kharisma yang terpancar dari tutur kata dan tingkah lakunya menjadi incaran semua pria.

“Pak Awan, bagaimana kabar Anda? Apa baik-baik saja? Apa hari Anda terasa menyenangkan?” tanya wanita berhidung pesek itu mengulangi kata-katanya yang tadi belum sempat terjawab. Pertanyaan itu kembali mengambang di udara, tak tersentuh dan dibiarkan begitu saja. Awan tak menjawab pertanyaan itu. Ia tidak sudi berbicara pada wanita itu. Wanita itu bukan merupakan tipenya sedikit pun. Jika wanita satunya yang berparas anggun itu, bolehlah.

“Huh, dasar!” wanita tadi menggerutu pelan.

“Ada apa?” tanya wanita anggun tadi menghampiri temannya.

Wanita berhidung pesek dan berkulit agak gelap itu menunjuk menggunakan anggukan dagunya.

“Memangnya kenapa dia?”

“Seperti biasa, merepotkan,” jawabnya. “Sama halnya orang-orang yang menghuni tempat ini. Semuanya sudah terganggu kejiwaannya. Ya, kau pasti tahu maksudku. Mereka semua sudah...” ia setengah berbisik, “gila.”

Perawat anggun itu mengangguk membenarkan.

“Pria ini aneh.” Wanita berhidung pesek kembali berujar.

“Aneh? Memangnya aneh kenapa dia?”

“Kau tentunya belum tahu betul mengapa ia dimasukkan ke tempat ini, sebab kau merupakan perawat baru di rumah sakit jiwa ini. Pria ini namanya Awan Handiraja. Dia dimasukkan ke tempat ini sekitar tiga minggu yang lalu.”

Perawat cantik dan anggun tadi masih menjadi pendengar setia untuk mengetahui kelanjutan cerita.

“Yang menyebabkannya masuk ke tempat ini karena dia menganggap bahwa dirinya memiliki sepasang sayap kelelawar dan terus saja mengoceh tentang hal itu hingga tak ada henti-hentinya. Siapa yang mau percaya omong kosong itu? Orang-orang tidak akan percaya padanya. Akibatnya, semua orang menganggapnya...” ia kembali memelankan suaranya, “gila.”

“Dan pria ini sering sekali memanggil-manggil nama Kemal.”

“Kemal? Apa dia anggota keluarganya?”

Perawat pesek menggeleng.

“Temannya mungkin?”

Kembali si perawat pesek itu menggelengkan kepala untuk kedua kalinya. “Dia tidak punya saudara apalagi teman. Kedua orangtuanya juga sepertinya sudah meninggal dunia dan anggota keluarganya yang lain tidak mau mengakuinya sebagai bagian dari keluarga mereka. Dia dianggap seolah-olah tidak ada, semata-mata hanya fiksi belaka. Seperti bayangan.”

“Lalu siapa Kemal, Tin?”

Perawat bernama Titin menjawab, “Kemal itu merupakan teman imajinasinya. Sosok khayalan yang hanya ada dalam pikirannya sendiri.”

“Hah! Aneh sekali,” ujar perawat berpapan nama Susan kebingungan.

“Ya, seperti yang kubilang tadi. Dia memang laki-laki yang aneh.”

Susan mengalihkan pandangannya ke pria yang kembali melamun memandang keluar jendela. “Kasihan sekali dia,” ujarnya.

“Sejak pertama ia masuk ke tempat ini, aku sudah kasihan padanya. Terlebih lagi saat kudengar desas-desus alasan lain yang menyebabkannya menderita seperti ini.”

“Hah? Desas-desus?” tanya Susan ingin tahu. “Apa itu?”

Sepertinya mereka berdua terlibat sebuah proses percakapan yang menyenangkan—bergosip.

“Mantan istrinya turut andil membuat pikirannya tidak waras seperti sekarang ini. Tiba-tiba saja wanita itu memutuskan untuk bercerai darinya dan tak lama sesudah mereka bercerai, mantan istrinya kembali menikah dengan seorang pria bernama... sebentar aku ingat-ingat dulu. Sepertinya, aku lupa namanya.” Titin menatap langit-langit seakan-akan nama pria yang tidak diingatnya itu tertulis di sana. “Kalau tidak salah, namanya... Doni. Ya, nama pria itu Doni.”

“Dasar wanita buaya. Murahan!” umpat Susan. “Tega-teganya dia berbuat seperti itu. Jenis wanita seperti itulah yang banyak sekali mencemari dan menginjak-injak harga diri seorang wanita.” Amarah wanita itu meluap-luap.

Titin bengong. Tak sangka teman sekerjanya yang nyatanya lebih muda darinya itu bisa berkata seperti itu. Tampaknya, pikirannya jauh lebih dewasa dari umur dan bentuk fisiknya. Pikirannya terlanjur cepat dewasa.

“Aku juga berpikiran sama sepertimu, tapi tenang saja. Dosa wanita itu sudah terbalaskan. Tuhan telah membalas perbuatan jahatnya setara atas apa yang telah dilakukannya terhadap mantan suaminya. Sebanding dengan apa yang dirasakan mantan suaminya sekarang,” Titin menjelaskan. Semangatnya serasa terbakar, berapi-api bak para pejuang yang akan maju ke medan perang melawan para penjajah walau hanya bersenjatakan seadanya. “Seminggu yang lalu tak sengaja aku menerima telepon dari keluarganya. Saat itu aku berpikir, tumben saja ada sanak saudara Pak Awan yang menelpon. Aku kira dia ingin mengetahui perkembangan yang dialami oleh pria malang itu, tapi ternyata berita itu sungguh mengejutkan.”

Titin menurunkan volume suaranya. “Dia mengatakan bahwa mantan istrinya itu telah meninggal dunia bersama suami barunya. Katanya, wanita itu mengalami kecelakaan mobil saat pulang dari berlibur. Mobil yang mereka tumpangi masuk ke dalam jurang.”

Susan menutup mulutnya dengan kedua tangannya seolah-olah mau menguap. Di belakang, Awan masih diam terpaku. Ia masih memandang kehampaan. Sekali-kali ia menggoyang-goyangkan tubuhnya secara perlahan di atas tempat tidur sembari tetap melamun. Tak jelas apa yang sedang ia lamunkan. Pikirannya memang sudah terganggu. Tiba-tiba ada sesuatu terucap di bibirnya. Keras suaranya setara dengan hembusan angin. “Terbang, terbang. Aku punya sayap.” Kalimat itu terus diulanginya sambil bersenandung.


***


Meskipun matahari bersinar cukup terik, namun bendungan awan di atas sana membuat suasana terasa sejuk. Saat itu, Awan merasakan dengan nyata angin menerpa wajah dan tubuhnya. Membelai-belai dan memijat-mijat seumpama tangan-tangan ajaib yang bisa muncul di mana saja. Kerongkongannya lega dan hidungnya saat ini bisa menghirup berton-ton oksigen murni setiap lima menitnya dalam beberapa kali tarikan napas.

Awan menutup matanya, mencoba menghayati semuanya. Menghayati perjalanan hidupnya dari awal. Ia menarik napas panjang lalu mengendapkannya beberapa detik di dada kemudian dengan serta merta menghembuskannya perlahan-lahan, berkali-kali. Perbuatan itu tampak seperti sebuah rutinitas untuk melepaskan semua beban yang selama ini menyerang pundaknya. Angin yang semakin kencang mengibar-ngibarkan baju dan celananya bak selembar bendera di atas tiang pancang. Saat Awan membuka matanya sedikit demi sedikit, serasa muncul sayap samar dari belakang pundaknya. Tak bisa terlihat oleh orang lain kecuali dirinya sendiri. Sepasang sayap yang putih bersih berhiaskan bulu-bulu angsa seumpama kebaikan dan kebahagiaan yang dirajut menggunakan benang ketulusan hingga menjadi satu bentuk yang indah.

Di bawah orang-orang berkumpul. Mereka berteriak-teriak memanggil-manggil seorang pria yang berdiri di puncak atap rumah berlantai lima. Suara terkencang yang dapat sampai ke telinga Awan mengatakan, “ Turunlah. Cepat turun. Kau bisa mati jika terjun dari tempat setinggi itu.”

Awan menjawabnya namun hanya bisa terdengar oleh telinganya sendiri. Rambatan suaranya terhalang oleh hembusan angin yang masih menerpa wajahnya, sehingga tidak sampai ke telinga-telinga mereka yang berada di bawah sana.

“Siapa bilang aku mau mati. Aku mau terbang. Di punggungku, aku punya sepasang sayap yang kuat. Sepasang sayap yang bisa membelah lapisan udara. Sepasang sayap yang bisa membawaku terbang ke mana saja. Akan kunikmati sepasang sayap mimpiku ini untuk yang pertama dan terakhir kalinya.”

Awan tak tahu mengapa ia bisa berada di tempat itu. Sebelumnya ia sangat takut akan ketinggian. Ia menderita Aeroacrophobia yaitu sebuah ketakutan akan ruang terbuka di ketinggian. Namun saat ini, ketakutan itu seolah-olah pergi. Seperti menguap lalu menghilang saat terkena cahaya matahari.

Dari kejauhan, suara sirine mobil polisi yang keras terdengar jelas bagai nada-nada pemanggil ketidak warasannya. Awan menutup mata sambil merentangkan kedua tangannya, merasakan kembali kehangatan yang menjalar di rongga-rongga dadanya. Sepasang sayap samar di punggungnya juga merenggang lalu membentang, mengepak-ngepak seolah siap untuk dibawa ke mana saja. Satu langkah namun pasti membuat Awan melayang-layang di udara. Di bawah, kembali orang-orang menjerit histeris. Bahkan kebanyakan di antara mereka menutupi wajah-wajahnya dengan tangan atau lembaran koran. Seolah-olah mereka sedang menonton pertunjukan gerhana matahari yang dapat merusak penglihatan jika dilihat dengan mata telanjang.

Awan terus meluncur. Kecepatannya kian lama makin bertambah. Ialah orang kesekian yang berani menguji teori Newton tentang gaya gravitasi Bumi, tanpa menggunakan satu alat pun untuk melindungi dirinya dari benturan. Awan merasakan satu persatu bulu yang menancap di sayap mimpinya itu terlepas lalu menghilang menjadi bagian dari cahaya dan dalam waktu yang cepat hilanglah sepasang sayap itu. Makin dekat Awan dengan daratan, hangat semakin menjalar ke seluruh tubuhnya. Hambatan angin yang sangat kecil tak mampu melawan bobot tubuhnya dan setelahnya, tabrakan dengan hamparan tanah tidak bisa dihindari lagi. Terakhir kalinya, Awan telah menyadari semuanya. Menyadari bahwa Tuhan selalu memberikan cobaan kepada para hamba-Nya dengan cara-cara yang unik dan misterius. Menguji tingkat keimanan hamba yang benar-benar beriman kepada-Nya. Begitulah cara Sang Pencipta bekerja. Tak ada seorang pun yang tahu. Ialah yang Mahakuasa―Mahaagung di atas segalanya.

Tidak ada komentar: