Minggu, 07 Desember 2008

Albert Armstrong (Albert Einstein dan Neil Armstrong)

Penulis : Afandi M.
Gendre : Sains (Perbintangan/Astronomi)

“Bulan adalah rahasia malam pembentuk cahaya setara aurora.”

LANGIT malam itu cerah sekali. Sinar rembulan yang berpadu dengan kerlap-kerlip bintang membentuk sebuah kombinasi manik-manik alami di angkasa. Bagai lampu-lampu berbahan gas neon yang memancarkan cahayanya sendiri—bintang nyata. Menggelantung-gelantungkan diri dengan benang transparan yang tak membiaskan cahaya. Wujudnya yang menawan untung saja tidak terjangkau dan tak tersentuh oleh tangan-tangan manusia yang kotor dan serakah, yang karenanya sesuatu yang suci akan ternoda. Tangan-tangan itu seolah-olah invasi yang ingin memonopoli seluruh wilayah alam semesta beserta isinya. Menjadikan penghuninya sebagai budak kerja rodi untuk membangun tempat-tempat penghasil polusi dan penderitaan. Menjadikan setiap tempat invasinya sebagai kubu angker dengan banyak isakan tangis dan jeritan-jeritan akan kekejaman dan perjalanan ke kematian.


Indahnya sinaran bintang, tak ayal menjadi bagian dari setiap sulur-sulur kebudayaan: digunakan dalam praktek-praktek keagamaan, navigasi, atau sebagai pertanda untuk bercocok tanam. Bahkan Kalender Gregorian yang sudah digunakan hampir di semua belahan dunia, mendasarkan diri pada posisi Bumi terhadap bintang terdekat, yaitu Matahari. Jumlahnya yang beratus, berjuta hingga bertrilliun itu membuat astronom awal seperti Tycho Brahe berhasil mengenali bintang-bintang baru yang kemudian diberi nama novae. Penemuan itu dengan sangat jelas menunjukkan bahwa langit tidaklah kekal dan tidak berbatas. Alam semesta itu luas, tak mempunyai ujung. Murni, masih perawan, dan rahasia.

Ada dua orang pria yang sedang menikmati suasana tenang pada malam itu. Mereka sedang bersantai sembari duduk-duduk di beranda tanpa halangan atap untuk melihat keindahan langit malam di atas sana. Hembusan angin musim dingin terkadang menegakkan bulu-bulu di sekujur tubuh mereka. Bunyi binatang-binatang malam dan tiap gesekan ranting pepohonan seakan-akan dijadikan sebagai musik instrumental yang tak kalah bagusnya dengan irama indah musik-musik klasik.

Untuk sedikit mengusir udara dingin yang terus menggigit, dua gelas red wine sudah tersedia di atas meja di tengah-tengah mereka. Cairan anggur merah itu tenang seakan-akan ikut menikmati suasana. Bagai ombak yang tak terpengaruh oleh arus angin yang menerjang di atasnya. Sinar lampu neon berwarna kekuningan di langit-langit, membuat anggur merah itu seumpama bercahaya. Seolah-olah cairan ajaib yang diramu oleh para penyihir zaman dulu untuk kekekalan.

Pria yang mengenakan kemeja bergaris mendenguskan napas panjang, seolah ingin melapangkan paru-parunya dari beban udara dan pengaruh cuaca. Umurnya kira-kira 45 tahun. Tak tampak ada uban di rambutnya yang lebat dan keriting. Hanya pada janggutnya yang hitam dan dekat tulang pipinya tumbuh sedikit rambut putih. Wajahnya halus dan kemerah-merahan, lehernya lebar dan kuat, tapi seluruh tubuhnya diliputi lemak—kenyang oleh kesenangan.

“Lihatlah itu,” kata pria itu pelan, seraya menunjuk sebuah gugusan bintang di langit. “Jika indra penglihatanmu itu masih berfungsi baik seperti punyaku, kau pasti bisa melihat rasi bintang Andromeda di sana.”

Pemuda bernama Albert mengalihkan pandangannya dari hamparan bisu pepohonan di depan sana menuju ke tempat yang dimaksud. Ia memperhatikan rasi yang membentuk huruf ‘A’ itu dengan teliti seolah-olah sedang memandangi pesawat luar angkasa yang tak sengaja melintas. “Oh, itu!” serunya, “Ya, aku melihatnya, Profesor.”

Dari suaranya saja yang sedikit kekanak-kanakan, pasti saja pemuda itu berusia jauh di bawah Profesor tadi. Tampangnya menunjukkan usianya kira-kira 26 tahun lebih muda. Wajahnya yang berbentuk oval kelihatan teduh. Sepasang matanya sayu telah diberikan Tuhan kepadanya, seakan-akan memancarkan ketenangan dan kebahagiaan. Jika diperhatikan lebih teliti, ada sesuatu yang aneh pada hidungnya. Di tengah-tengah tulang yang menopang organ tersebut, seperti ada sedikit kesalahan pada saat pembentukannya. Hidungnya bengkok mirip paruh burung kakak tua. Melengkung seperti mau jatuh. Mungkin sewaktu kecil ia pernah mengalami cidera pada bagian itu dan dibiarkan begitu saja hingga ia beranjak dewasa. Namun kesalahan kecil itu tak mengurangi ketampanan parasnya.

“Memangnya kenapa, Profesor Rushell? Apakah ada yang aneh dari rasi bintang tersebut?” tanyanya sembari masih memperhatikan gugusan itu.

Profesor itu menyunggingkan senyuman tipis. “Indah sekali bukan. Benar-benar sebuah karya dari Mahaagung. Tuhan ternyata mengerti seni.”

Albert mengangguk menyetujui, “Ya, memang indah.”

Diam beberapa detik. Mereka sepenuhnya telah terhanyut oleh pesona rasi bintang Andromeda itu dan berandai-andai seakan-akan mereka bisa melihat gugusan bintang itu dari dekat dan menyentuhnya dengan nyata. Keinginan itu seperti mengalir di tiap-tiap aliran darah menuju ke otak, membuatnya tak jua mau pergi.

Profesor Rushell melanjutkan percakapan, “Tepatnya, cantik dan menawan seperti melambangkan putri Andromeda di langit utara dekat Pegasus. Dan kau lihat di sebelah sana lagi, Albert, itu adalah rasi bintang Orion...”

“Disebut-sebut sebagai sang pemburu,” Albert memperjelas. “Terletak pada ekuator langit dan dapat terlihat dari seluruh penjuru dunia, sehingga membuat rasi Orion dikenal secara luas.”

Profesor Rushell tersenyum. “Lanjutkan,” suruhnya.

“Orion yang merupakan sang pemburu berdiri di sebelah sungai Eridanus dengan dua anjing pemburunya—Canis Major dan Canis Minor. Mereka melawan sang kerbau bernama Taurus sebagai hewan buruan. Tak jauh dari kerbau itu, ada sosok lepus dan kelinci.”

“Bagaimana kalau yang itu?” Profesor Rushell kini menunjuk ke sebelah kanan. Tampaknya setiap rasi bintang mulai menampakkan dirinya satu-persatu.

“Itu Scorpius. Merupakan salah satu dari rasi bintang zodiak. Dalam astrologi barat, rasi Scorpius dikenal sebagai Scorpio yang berada di antara Libra di sebelah barat dan Sagittarius di sebelah timur. Rasi itu adalah suatu rasi besar yang terletak di belahan selatan dekat pusat Bima Sakti,” jelas Albert.

Sang Profesor tertawa kecil sambil menggeleng-geleng tidak percaya atas apa yang didengarnya. “Kau akan menambah jumlah astronom jenius di negara ini, bahkan di dunia sekalipun.”

Pujian itu membuat Albert tak serta merta membuatnya bahagia dan besar kepala. Ia merasa biasa-biasa saja. Tidak terlihat bentuk kepuasan berupa wajah yang merona maupun tingkah kikuk saat mendapatkan sebuah pujian dari seseorang. Di benaknya selalu tertanam bahwa sebuah pujian yang dilontarkan seseorang bisa saja berupa racun yang mematikan sekaligus memabukkan. Membuat orang-orang yang menerimanya terkadang terlalu terlena dan tak menyadari maksud yang tersembunyi di balik pujian itu.

“Apa kau tertarik mempelajari Astronomi dan berfikir menjadi Astronom nantinya, Albert?” tanya Profesor Rushell serius. Saking seriusnya, pria itu mendekatkan mukanya ke arah Albert. Ia menunggu jawaban pasti yang akan keluar dari mulut pemuda itu.
Albert memilih diam menyebabkan suara angin berdengung di telinganya. Beberapa helai rambutnya bergoyang-goyang saat dibelai angin malam yang membawa kelembaban.

“Bagaimana?” Sang Profesor mengulangi pertanyaannya kembali namun kali ini dengan sangat singkat.

“Aku tak bisa berjanji apakah aku akan tertarik mempelajari Astronomi atau menjadi seorang Astronom nantinya. Aku belum memikirkan sejauh itu dan belum menyusun konsep untuk kehidupanku sendiri. Aku hanya tertarik pada ilmu pengetahuan yang sangat luas dan tak belum terjelajahi sepenuhnya. Ilmu adalah makanan wajibku setiap hari dan tanpanya aku bisa mati kelaparan,” ujarnya. “Ia bisa membuatku merasa lebih berguna untuk hidup di dunia ini, sebab ilmulah yang nyatanya membuat kita mengetahui jawaban atas beberapa pertanyaan yang dahulu belum bisa terjawab. Ilmu pulalah yang mengajarkan kita tentang kehidupan, sebab ilmu merupakan sebuah pengalaman.”

Sang Profesor kembali menatap langit yang menyembunyikan berjuta keajaiban. “Ya, semua itu terserah padamu. Kaulah yang menentukan hidupmu sendiri.” Pandangan Profesor Rushell lebih memilih bentuk bulat bulan yang memancarkan cahaya sebagai tumpuan penglihatannya. “Ngomong-ngomong, apakah kau percaya bahwa Apollo 11 pernah mendarat di bulan?” tanyanya.

Albert tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Ada jeda singkat saat ia mulai mengeluarkan kata-kata, seperti sedang berfikir. “Ada beberapa alasan yang membuatku percaya akan kontra itu.” jawabnya. “Alasan-alasan yang menurutku cukup kuat, baik secara teoritis maupun secara ilmiah.”

“Maksudmu?”

Albert mengerutkan keningnya sambil memperagakan dengan sebelah tangan penjelasannya. “Ya. Aku percaya bahwa manusia pernah mendarat di bulan.”

Profesor Rushell tertawa seperti melecehkan. “Kau terlalu lugu. Lugu sekali,” katanya. “Menurutku, semua itu hanyalah sekenario NASA. Pada era itu, sekitar tahun 1969 merupakan masa di mana perang dingin antara Uni Soviet dan Amerika Serikat belum berakhir. Tekanan Perang Dingin dengan Uni Soviet membuat Amerika harus melakukan suatu siasat untuk memenangkan peperang tersebut. Terlebih lagi setelah Uni Soviet berhasil mengorbitkan Yuri Gagarin. Oleh karena itu, bisa saja pendaratan Apolo 11 di bulan hanya sebuah rekayasa dan merupakan sebuah skenario politik untuk memenangkan perang dingin tersebut.”

“Tidak―tidak sepenuhnya begitu, Profesor,” Albert menimpali. “Bagaimana kalau begini. Anggap saja apa yang Anda katakan tadi itu benar adanya bahwa pendaratan di bulan itu hanya sebuah skenario dan omong kosong. Berguna untuk menaikkan gengsi Amerika saja. Tapi, harusnya Uni Soviet sudah menjadikan hal tersebut sebagai sebuah serangan balik yang telak bagi Amerika Serikat. Namun sampai saat ini, bahkan saat histeria pendaratan itu terjadi, pihak Uni Soviet tidak memberikan reaksi penyerangan apa-apa.”
Profesor Rushell diam tak membalas. Ia malah lebih memilih mencicipi segelas wine yang menggoda tenggorokannya, tapi setelah beberapa saat kemudian ia baru mengeluarkan pembelaan.

“Bagaimana dengan foto-foto yang dipublikasikan itu,” katanya. “Kau tahu kan, ada beberapa hal aneh terdapat di sana. Diantaranya, foto yang memperlihatkan bendera berkibar padahal di bulan tidak ada atmosfer dan angin. Selain itu, ada juga foto yang tidak memperlihatkan adanya satu bintang pun pada langit latar belakang bulan yang gelap, lalu foto mengenai jejak kaki yang membandel, dan sebuah foto yang menurut para ilmuan sangat sempurna sekali.”

Albert mendengarkan dengan tenang semua kontra itu sambil menatap ke depan, ke arah hutan homogen pepohonan pinus yang tumbuh teratur berderet bak manusia mengantri untuk membeli karcis bioskop. Namun ketika semua pernyataan Profesor Rushell telah selesai dipaparkan, Albert membeberkan bukti-bukti nyata, ilmiah, dan teoritis yang masuk di akal. “Semua itu ada penjelasannya, Profesor,” tukasnya ketika ia telah mempersiapkan penjelasannya dengan sangat matang. “Mengenai bendera itu, memang benar bahwa di bulan tidak ada atmosfer dan angin. Tapi untuk bisa berkibar, bendera tidak selalu membutuhkan angin bukan. Setidaknya di ruang angkasa hal itulah yang terjadi.”

Albert Armstrong masih memberikan penjelasan.

“Pada kondisi di bulan, bendera dipancangkan bukan hanya pada tiang vertikal, tapi terdapat juga tiang horizontal yang ditambahkan di bagian atas bendera, sehingga bendera tersebut tampak tergantung dan merentang. Selain itu permukaan bulan yang keras mempersulit pemancangan tiang bendera itu, sehingga para astronot harus memutar tiang tersebut maju mundur agar bisa ditanamkan pada tanah bulan. Akibat gerakan ini, bendera tersebut tidak sengaja berkibar. Mungkin lebih tepat jika dikatakan bahwa bendera itu bergetar.” Dan Albert masih fokus pada analisis ilmiahnya. “Di Bumi kibaran bendera terjadi beberapa detik dan diperlambat oleh udara, tapi kondisi vakum di bulan menyebabkan gerakan bendera tersebut tidak akan berhenti karena tidak ada gaya dari luar yang menghentikannya.” Satu alasan pendukung dijelaskan dengan sempurna dan tak terkira. Pertanyaan yang tak terjawabkan puluhan tahun yang lalu terucap begitu saja dari pemuda bernama Albert Armstrong, sang jenius alami.

Sifat keegoisan Profesor Rushell muncul. Pernyataan Albert tadi terdengar bagai menggelitik dan melecehkan tingkat pengetahuannya walau sebenarnya tidak seperti itu. Ia tak ingin dipermalukan anak kecil seperti Albert yang tentu saja belum bergelar akademis apa-apa. Gelarnya sebagai seorang Profesor juga menaikkan tingkat kegengsinya. Ia tidak mau mengalah begitu saja dan ia harus keluar sebagai pemenang, sebab memang begitulah seharusnya.

“Memang itu bisa diterima, tapi bagaimana dengan kontra yang kedua. Mengapa tidak ada bintang pada gambar yang diambil oleh para astronot dari permukaan bulan? Padahal bulan tidak memiliki atmosfer sehingga menyebabkan langit bulan menjadi gelap. Bukankah jika demikian, tentunya pengamat bisa melihat objek-objek terang seperti bintang pada foto yang diambil?” tanyanya. “Kondisi di bulan berbeda dengan Bumi. Pada langit Bumi, partikel-partikel atmosfer Bumi akan menghamburkan cahaya matahari pada panjang gelombang biru, sehingga langit siang hari akan tampak biru. Berbeda dengan bulan yang hampir dapat dikatakan tidak memiliki atmosfer sehingga langit senantiasa gelap, baik siang maupun malam. Jadi jika kita berada di bulan, tentunya bintang akan selalu terlihat jelas. Tetapi kenapa tidak terekam dalam gambar yang diambil oleh awak-awak Apollo 11 itu?”

Albert terdiam, berusaha mengatur tingkat emosinya agar tidak terbawa dan meluap-luap. Ia sedang menyusun kalimat-kalimat fantastis untuk dijadikan jawaban atas pertanyaan Profesor Rushell yang diucapkan dengan begitu menggebu-gebu.

“Dalam foto itu, sebenarnya bintang tersebut ada, namun terlalu redup untuk ditangkap oleh sebuah kamera. Kamera dan film yang digunakan oleh para astronot disetel untuk mengambil gambar-gambar kegiatan di bulan saja. Exposure timenya diatur sedemikian rupa agar dapat merekam kondisi permukaan bulan yang terang dan bukan untuk mengambil gambar objek-objek lemah pada langit sebagai latar belakang.”

“Ck ck ck... alasanmu itu sangat lemah,” kata Profesor Rushell ketus. “Terlalu lemah.”

“Ya, memang,” Albert Armstrong juga menyadarinya. “Tapi begitulah adanya. Menurutku, begitulah yang sebenarnya terjadi. Lalu tentang jejak kaki yang membandel...”

“Ya, bagaimana mengenai jejak itu,” kata-kata Profesor Rushell menyambar begitu saja. “Pada foto-foto yang diambil oleh awak Apollo 11 tersebut tidak tampak adanya lubang bekas semburan roket pada lokasi pendaratan. Untuk roket seukuran Apollo seharusnya semburannya dapat menimbulkan lubang yang cukup besar pada permukaan bulan. Jadi, bagaimana bisa roket mendarat mulus tanpa membekaskan jejak besar tersebut?”

“Mengenai penjelasan itu, begini menurutku.” Albert Armstrong mengatur posisi duduknya sambil bersandar tenang di sandaran kursi. “Untuk melakukan sebuah pendaratan tentu tidak dilakukan dengan kecepatan tinggi tapi dengan kecepatan yang diperlambat. Sebagai contohnya, tidak ada satu orang pun yang memarkirkan mobilnya dengan kecepatan 100 km perjam. Hal yang sama juga berlaku pada pesawat antariksa Apollo 11. Semburan roket yang memiliki dorongan 5000 kg, diperlambat sampai sekitar 1500 kg pada saat mendekati permukaan bulan. Dengan diameter pipa pengeluaran roket yang besarnya sekitar 54 inci, dan dengan ukuran roket sekitar 2300 inci persegi, semburan roket hanya menimbulkan tekanan sekitar 0.75 kg perinci persegi. Tekanan sebesar ini tidak akan sampai menimbulkan jejak lubang yang cukup besar pada permukaan bulan.”

“Tapi hasil foto-foto yang diambil di bulan memperlihatkan adanya bayangan yang kurang gelap―obyek yang seharusnya gelap karena berada dalam daerah bayangan. Tetapi dalam foto yang diambil dapat jelas terlihat, termasuk tulisan di sisi pesawat tersebut,” Profesor Rushell membela pernyataannya tadi. Ia tak mau kalah. “Jika matahari merupakan satu-satunya sumber cahaya, dan tidak ada udara yang dapat menghamburkan cahaya, seharusnya bayangan yang terjadi sangat gelap. Bukankah begitu?”

“Betul-betul sebuah persepsi yang salah menurutku, Profesor,” jelas Albert. “Memang di bulan bukan di atas Bumi dan cahaya matahari tidak dapat dihamburkan dalam kondisi yang hampa udara. Tapi di bulan masih ada sumber cahaya lain yang berasal dari bulan itu sendiri. Debu di bulan memiliki sifat yang khas yang dapat memantulkan kembali cahaya ke arah datangnya sumber cahaya tersebut.”

Profesor Rushell mengusap-usap dagunya seolah-olah sedang membayangkan kata-kata Albert dalam keping-keping imajinasinya.

“Lalu tentang foto-foto yang diambil secara sempurna,” Albert menjelaskan seakan-akan mulutnya tak mau berhenti. “Bagaimana para astronom yang amatir dalam hal fotografi memiliki hasil foto yang begitu bagus. Apalagi kondisi di bulan begitu berbeda dengan di Bumi. Seorang fotografer profesional saja belum tentu semua foto yang mereka ambil memiliki hasil yang sempurna.”

Albert mengawali kembali penjelasannya dengan sebuah senyuman menghiasi bibirnya. Sementara di samping kanan, Profesor Rushell masih tampak diam.

“Pernyataan seperti itu hanyalah merupakan sugesti bagi orang-orang awam yang pertama kali melihat foto-foto tersebut. Tidak menutup kemungkinan bahwa sebelum diberangkatkan ke bulan, para astronot ini selain menerima pelatihan untuk beradaptasi dengan kondisi bulan, mereka juga dilatih bagaimana cara mengambil foto di bulan. Awak Apollo 11 dalam penjelajahannya pada dasarnya mengambil begitu banyak foto di permukaan bulan. Ada banyak foto yang gagal. Dan tentu saja yang dipublikasikan ke media-media adalah foto-foto yang dianggap bagus dan berhasil. Sama seperti seorang fotografer. Foto yang dipublikasikan tentunya foto-foto yang bagus dan bukan merupakan foto gagal,” jelasnya panjang lebar. “Salah satu bukti yang tidak bisa disangkal adalah keberadaan batuan dari bulan. Jenis batuan itu tidak mungkin berasal dari asteroid ataupun meteorit karena batu yang jatuh sebagai meteorit akan dioksidasi saat melewati atmosfer walaupun ada saja batuan tersebut yang dapat sampai ke Bumi. Lagi pula tidak ada manusia yang bisa membuat replika batu tersebut. Para ahli geologi dari seluruh dunia telah meneliti batuan tersebut, dan merupakan hal yang bodoh jika membuat batuan palsu untuk menipu semua peneliti di dunia. Para ahli tersebut bukan orang bodoh yang bisa ditipu begitu saja.”

“Oh mengenai hal itu, aku punya pendapat yang berbeda,” ucap Profesor Rushell yang baru saja selesai mencicipi winenya kembali. “Bagaimana jika batuan bulan itu dibawa ke Bumi dengan menggunakan robot? Walaupun sistem komputer baru berkembang sangat awal di era akhir 60-an dan digunakan untuk robot, tapi kemungkinan itu bisa saja terjadi karena teknologi robot juga sangat memungkinkan pada saat itu. Sebagaimana pengiriman wahana tak berawak ke planet lain dengan menggunakan robot seperti Mars atau Titan di Saturnus. Pengiriman robot ke bulan jauh lebih murah dan lebih mudah secara teknis dibandingkan dengan pengiriman manusia.”

“Ya, semua itu memang mungkin saja terjadi. Tak ada yang tahu,” kembali Albert Armstrong menyamakan pendapat. “Tapi yang menjadi pertanyaan sekarang adalah seandainya pendaratan di bulan tersebut memang benar palsu, apakah NASA begitu cerobohnya sehingga meninggalkan banyak bukti untuk diungkapkan? Jika bayangan yang muncul di foto memang salah, mengapa tidak satupun personel NASA yang pertama kali menyadarinya?”

Albert mengambil gelas winenya, menggoyang-goyangkan gelas tersebut membuat wine yang ada di dalamnya membentuk sebuah pusaran sebelum akhirnya diminum dengan perlahan-lahan. Tegukannya itu seperti menikmati sari anggur terbaik yang pernah ada. Ketika gelas itu diletakkan kembali ke meja, ia berkata, “Memang benar Amerika Serikat sebagai negara adikuasa bisa melakukan apapun untuk menjadi yang terdepan, namun bukan berarti persepsi seperti ini membuat kita menutup mata terhadap keberhasilan yang telah diraih oleh dunia sains dan teknologi.”

Profesor Rushell terdiam lalu tersenyum. Di kepalanya penjelasan Albert bersinar layaknya bintang gemintang. Hebat... hebat sekali, ujarnya dalam hati. Dia bisa menjelaskan semua kontra itu dengan sangat masuk akal. Sayang sekali jika anak ini tidak memperdalam ilmu astronomi. Dia sangat berbakat sekali. Bakatnya alami. Nantinya, dia akan menjadi salah satu jenius dalam bidang tersebut. Itu pasti!
Kini bulan sudah semakin meninggi dan suara penghuni hutan tak lagi banyak terdengar. Hanya suara jangkrik dan suara hembusan angin yang menerpa ranting-ranting pohon yang masih setia menjadi bagian dari pertunjukan opera pada malam itu. Di langit, cahaya bulan yang tinggal separuh seolah-olah mengucapkan selamat malam kepada semua penghuni Bumi—kepada seluruh manusia.

Tidak ada komentar: