Rabu, 29 Oktober 2008

Awal dan Akhir (Puisi)

Sekali bertemu,
Dua kali,
Tiga kali,
Ingatanku mulai mencoba membingkai wajahmu
Tanpa terasa mengumpulkan semua kepingan paras ke indra penglihatanku

Di pesisir,
Buih laut menyikap guratan senyummu
Lebih memesona,
Sangat bersahaja,
Tidak dapat aku berkata apa-apa



Kuterbawa anggunmu hingga ke mimpi
Di sana, kuciduk mesra kerlinganmu
Kukantongi tiap desah napasmu dalam rongga paruku
Lalu, kedamaian merajai hati dan jiwaku

Indahnya cipta cinta
Tapi, sayangnya kukembali terjaga
Kulupa bahwa cinta tak lagi ada
Tak lagi berkumandang di lembah jiwa

Minggu, 19 Oktober 2008

Sang Pemuja Cinta dari Timur

Penulis : Afandi M.
Gendre : Biografi

Kahlil Gibran lahir di Beshari, Lebanon, 6 Januari 1833. Pada usia 10 tahun ia berimigrasi ke Amerika bersama ibu dan kedua adik perempuannya. Sempat kembali ke tanah kelahirannya selama tiga tahun untuk memperdalam bahasa Arab, kahlil Gibran menghabiskan masa remajanya bersama seniman bohemian di Boston. Ia juga pernah tinggal di Paris selama setahun untuk berguru seni rupa pada beberapa seniman Perancis. Pulang dari Paris ia pindah ke New York dan menetap di kota ini sampai akhir hayatnya.

Gibran lahir ke dunia untuk menyuarakan jerit-jeritan rakyat kecil yang tertindas, pedih-perih kaum urban yang terpinggirkan, dan pemuja cinta yang tak sampai. Nyanyian cintanya yang duka, menjadi simphoni yang indah dan sejuk. Dalm karya-karyanya, ia melukiskan akan jati dirinya.



Gibran menulis drama pertamanya di Paris dari tahun 1901 hingga 1902. Tatkala itu usianya menginjak 20 tahun. Karya pertamanya, "Spirits Rebellious" ditulis di Boston dan diterbitkan di New York City, yang berisi empat cerita kontemporer sebagai sindiran keras yang menyerang orang-orang korup yang dilihatnya. Akibatnya, Gibran menerima hukuman berupa pengucilan dari gereja Maronit. Akan tetapi, sindiran-sindiran Gibran itu tiba-tiba dianggap sebagai harapan dan suara pembebasan bagi kaum tertindas di Asia Barat.

Kisah cinta Gibran benar-benar berpengaruh besar dalam setiap karyanya. Sebelum karyanya yang berjudul "Sang Nabi" terbit, hubungan dekat antara Mary dan Gibran mulai tidak jelas. Mary dilamar Florance Minis, seorang pengusaha kaya dari Georgia. Ia menawarkan pada Mary sebuah kehidupan mewah dan mendesaknya agar melepaskan tanggung jawab pendidikannya. Walau hubungan Mary dan Gibran pada mulanya diwarnai dengan berbagai pertimbangan dan diskusi mengenai kemungkinan pernikahan mereka, namun pada dasarnya prinsip-prinsip Mary selama ini banyak yang berbeda dengan Gibran. Ketidaksabaran mereka dalam membina hubungan dekat dan penolakan mereka terhadap ikatan perkawinan dengan jelas telah merasuk ke dalam hubungan tersebut. Akhirnya Mary menerima Florance Minis.

Tulisan-tulisan Gibran dikenal luas karena cita rasa orientalnya yang eksotik, bahkan mistis. Dianggap sebagai penyair Arab perantauan terbesar.

Karya-karyanya ini telah diterjemahkan ke dalam lebih 20 bahasa. Kahlil Gibran meninggal di New York tahun 1931. Seorang pelayat pada prosesi pemakaman Gibran menggambarkan sebagian dari isi buku ini sebagai melampaui imajinasi.

Ratusan pendeta dan para pemimpin agama, yang mewakili setiap aliran di bawah langit Timur, tertunduk khidmat dalam acara pemakaman itu. Mereka berasal dari Kristen, Maronit, Islam Syi’ah dan Sunni, Protestan, Gereja Yunani Kuno, Yahudi, Druz, dan lain-lain.

Pada tanggal 10 April 1931 jam 11.00 malam, Gibran meninggal dunia. Tubuhnya memang telah lama digerogoti sirosis hepatis dan tuberkulosis, tapi selama ini ia menolak untuk dirawat di rumah sakit. Pada pagi hari terakhir itu, dia dibawa ke St. Vincent's Hospital di Greenwich Village.

Hari berikutnya Marianna mengirim telegram ke Mary di Savannah untuk mengabarkan kematian penyair ini. Meskipun harus merawat suaminya yang saat itu juga menderita sakit, Mary tetap menyempatkan diri untuk melayat Gibran.

Jenazah Gibran kemudian dikebumikan tanggal 21 Agustus di Mar Sarkis, sebuah biara Karmelit di mana Gibran pernah melakukan ibadah.

Sepeninggal Gibran, Barbara Young (penggemar Gibran) yang mengetahui seluk-beluk studio, warisan, dan tanah peninggalan Gibran. Juga secarik kertas yang bertuliskan, "Di dalam hatiku masih ada sedikit keinginan untuk membantu dunia Timur, karena ia telah banyak sekali membantuku."

Selamat Jalan Sang Maestro Timur! Kau adalah penyemangat dalam setiap karyaku.

Sebagian karya-karya Kahlil Gibran:

• Broken Wings (1912)
• The Madman (sebelum tahun 1918)
• His Parables and Poems (sebelum tahun 1918)
• Twenty Drawning (1919)
• The Forerunne (1920)
• Sang Nabi (1923)
• Sand and Foam (1926)
• Jesus the Son of Man (1928)
• Lazarus (1929)
• The Earth Gods (1931)
• The Wanderer (1932)
• The Garden of the Propeth

Foto Gibran saat anak-anak :




disadur dari : id.wikipedia.org
foto : id.wikipedia.org

Rabu, 15 Oktober 2008

Sepenuhnya, Belum Terjamah (Sepenggal Memori Pesisir)

Penulis : Afandi M.
Gendre : Bebas/Liburan

Pagi-pagi sekitar pukul 09.00, kami bertolak dari rumah menuju sebuah pantai yang konon katanya indah dan masih asri. Ini disebabkan karena adikku yang paling bungsu terus merengek mau pergi berlibur. Dan mungkin karena telinga orang tuaku sudah panas dan tak tahan mendengarkan lagi rengekannya, pada akhirnya mereka mengiyakan juga.

Pantai berpasir putih itu diberi nama Pa’lippis. Entah oleh siapa pantai itu dinamai dengan nama yang menurutku aneh seperti itu. Sudah kutanyai penduduk-penduduk sekitar situ, namun tak ada yang tahu asal muasal penganugerahan nama itu oleh masyarakat sekitar. Bentuk kontur pantainya yang berpasir putih serta keberadaan batu-batu karang berukuran Gigantik dan juga posisi pantainya yang berdekatan dengan tembok-tembok tebing curam, mungkin membuat orang-orang memanggilnya seperti itu. Atau mungkin karena keeksotisan lautnya yang menurutku belum terlalu diperhatikan oleh Pemerintah Daerah setempat.



Jika orang Sunda ditanya, Pa’lippis itu dapat diartikan sebagai pelipis. Setahuku, suku Mandar dan Bugis yang sepenuhnya mendominasi daerah itu, berjiwa petualang di lautan dan sangat terkenal akan perahu Phinisi-nya yang dapat mengarungi samudra-samudra kejam yang memisahkan tiap-tiap daratan. Mereka juga biasanya pandai berfilosofi. Kalau kuanalogikan dan kuhubungkan semuanya, pendapatku begini. Kuumpamakan, Bumi itu seperti manusia, terdiri atas anggota-anggota tubuh; sepasang kaki, badan, sepasang tangan, dan kepala. Atau kusebut saja dua bagian penting yaitu badan (sudah terdiri atas tangan dan kaki) dan kepala. Dua itulah bagian terpenting manusia. Lautan yang sepenuhnya mendominasi belahan Bumi, kusebut sebagai badan dan daratannya adalah kepala. Karena daratan adalah kepala dan lautan merupakan badan, maka pesisir pantai adalah pelipis manusia. Mungkin begitulah analogi asala-asalanku. Hehehe... Jangan terlalu dipikirkan.

Kembali ke topik utama (sambil nyanyi lagu OST. Laskar Pelangi (Nidji)). Bagiku, pantai itu eksotis dan memendam keanggunan tersendiri dari seluruh pantai-pantai yang ada di seluruh kepulauan Indonesia. Pantai yang berada di daerah Campalagia, kabupaten Polmas, Sulawesi Barat itu membuatku pertama kali terpesona. Keindahan itu dengan sangat berhasil menggaet perhatianku.

Biaya masuk ke pantai itu sebesar Rp 3.000 per orang (jadi yang merasa bukan orang atau keturunan primata, pasti tidak bayar deh... hehehe... becanda). Sebelum masuk ke pantai, terlebih dahulu kita harus menuruni anak-anak tangga bagai menuruni bukit batu granit nan terjal. Sayang sekali, walaupun sudah disiapkan anak tangga, tapi sepertinya tidak terawat dengan baik. Tak ada dibuat susuran pegangan anak tangga. Ini sungguh berbahaya bagi anak kecil yang melewati tempat itu. Harus ada perhatian ekstra dari para orang tua saat menuruni tangga tersebut. Ditambah lagi, banyak sekali tumbuh lumut di sepanjang anak tangga itu sehingga terlihat berantakan dan tak terurus. Walaupun hujan tidak membasahi tempat itu, lumut membuat jalinan anak tangga menjadi licin, dan sekali lagi, hal ini butuh perhatian penuh untuk para orangtua yang berniat pergi ke pantai tersebut. Sekitar seratus lebih anak tangga (itupun jika tak salah kuhitung) dengan tiga belokan curam tanpa rambu peringatan.

Sesampainya di bawah, angin laut langsug menerpa wajah, mengacak-acak rambutku yang sudah kusisir susah payah. Di belakang, adik-adik, sepupu serta ibuku turun dengan keengganan, sembari ngos-ngosan menarik napas panjang. Di bawah sebuah pohon berdaun lebar, kami menggelar tikar dan meletakkan barang bawaan. Angin laut semakin bersemangat berhembus di seluruh tubuhku, berusaha menerbangkan ujung-ujung tikar kami.

Sekitar lima belas menit kemudian, kakiku dan kaki adik lelakiku sudah menapak di bibir pantai. Sengatan matahari sungguh diluar dugaanku. Panas sekali bagai berada di atas penggorengan global umat manusia. Kurampas saja jaket adikku lalu kusematkan menutupi lengan dan kepalaku. Ombak menggulung dari tengah lautan hingga mencapai bibir pantai. Tenang dan sesekali menggoda-goda untuk langsung melelapkan tubuh ke dalam cairan garam itu. Namun sayang seribu sayang, ombak yang dengan lembut menghempas mengakibatkan abrasi, membawa serta sampah buangan kapal berupa plastik, botol-botol kaca, kaleng-kaleng sarden, dan tentu saja, sterofoam. Padahal di seluruh media informasi sudah banyak dibicarakan tentang menjaga kebersihan dan pengaruhnya bagi lingkungan. Pasti mereka tidak punya mata untuk membaca dan telinga untuk mendengar. Mereka itu buta, bisu, dan sepenuhnya tuli.

Beruntung sekali kami datang di pagi itu sebab laut sedang surut. Beberapa organisme pantai berupa karang, bintang laut, siput laut, ikan-ikan kecil segala warna, kepiting, dan rumput laut, memeriahkan sebuah ceruk di pinggir pantai berbatu. Tempat itu tak jauh dari tempat ibuku bernaung di bawah sebuah pohon sambil terus memerhatikan anak-anaknya. Saat surut, banyak sekali ceruk-ceruk terbuka di mana ikan-ikan yang sebelumnya tak sempat menyelamatkan diri bersembunyi di dalam rongga-rongga karang. Kadang, dengan malu-malu, seekor Clown fish keluar dari benteng persembunyiannya. Corak putih dan oranye yang menggarisi tubuh pemeran utama dalam film animasi besutan Hollywood berjudul ‘Finding Nemo’ itu berlarian ketika adik bungsuku yang nakal membenamkan tangannya untuk menangkap salah satu ikan lucu itu.

Bukan hanya Clown fish, ada juga ikan bergaris kuning, bercorak hitam putih mirip zebra, Lion fish, dan ikan yang mirip Lele atau Cat fish, di beberapa cerukan yang saat itu mirip kolam penampungan sementara. Ada juga bintang laut dengan kaki-kaki yang panjang mirip ular atau biasa juga disebut sebagai bintang ular, dan yang paling menyenangkan, aku menemukan seekor bintang laut berwarna merah muda (serasi sekali seperti tokoh favoritku dalam film kartun Spongebob Square Pants—Patrick).

Beberapa kepiting langsung bersembunyi ke dalam liangnya saat merasakan keberadaanku. Udang-udang sebesar jari telunjuk juga malah ikut bersembunyi. Padahal jika kudapatkan udang itu, akan kubawa pulang dan kugoreng untuk santapan malamku. Huaahaha...

Sementara tak jauh dari tempatku, adik-adik beserta sepupu perempuanku tengah asik bergaya dan berfoto-foto ria dengan background hamparan laut serta tebing berbatu yang berlobang akibat ombak besar yang tak henti-henti menggerus kekokohannya. Sungguh narcis sekali mereka. Kualihkan lagi pandanganku dari mereka menuju ceruk-ceruk lainnya. Dua ekor timun laut atau oleh banyak orang dikenal dengan nama tripang berjemur di sebuah karang. Tak jauh darinya, seekor landak laut memamerkan duri-durinya yang runcing. Jangan sampai terkena jarum beracunnya itu, kalau sampai tersentuh apalagi terinjak, maka serangan gatal akan datang beberapa menit setelahnya. Untuk itulah dari tadi aku memakai sendal jepit.

Seekor belut laut sedang mencari makanan di lubang-lubang batu berupa ikan-ikan kecil dan tak muncul lagi saat memasuki sebuah lubang sebesar tubuhnya. Apa mungkin belut itu hilang atau malah di dalam lubang itu dia sudah mendapatkan mangsanya? Terserahlah... aku tak tertarik mengamatinya lebih jauh. Sejam kemudian, laut kembali pasang dan ceruk-ceruk tadi kembali terbenam air dengan cepat. Sesenti, sepuluh senti, dan akhirnya semeter. Setelah makan siang di pinggir pantai, di bawah rindangnya pohon berdaun lebar di atas kami, kami pun pulang. Tapi aku tak sia-sia pulang, sebab aku membawa oleh-oleh yang sangat berharga. Seekor bintang laut yang tadi kutemukan kumasukkan ke dalam kantong plastik, sementara adikku membawa batu karang dan kerang-kerang laut, “Untuk menemani ikan hiasnya di akuarium,” katanya. Dasar anak-anak (jadi lu apaan... pake bawa-bawa bintang laut segala).





Kejujuran Akan Kematian

Hidupku hanya sesaat,
Tak lagi bermanfaat,
Membuatku ingin mati cepat.

......

Makassar, 12 October 2008.
Pukul - 13:21

Selasa, 14 Oktober 2008

Analogi Rasa (Menunggu) - Puisi

Aku adalah perwujudan kuat dari metaforamu…
Fokus pikiranmu...
Akibat dari mutilasi cintamu...
Solusi amarahmu...
Cahaya dalam kegelapanmu...
Pelengkap harimu...

Di matamu, aku bisa menjadi apapun... siapapun...
Tuhan sekalipun...


Tapi, mengapa kau malah menjadi seseorang yang tak bisa kutunggu?
Tak bisa terjamah olehku?
Mengapa kau tak mengerti semua harap yang selama ini kuhaturkan?
Apakah semua ini merupakan akibat dari ilusi senyumanmu?

Bukan... bukan...
Ini nyata!
Inilah analogi rasaku yang tetap mencintaimu,
Inilah keharmonisan nada cinta yang pernah kau bisikkan ke seluruh indraku,

Tak apa, kau akan tetap kutunggu...
Selalu kutunggu, walau telah datang ajalku...

Petir

Penulis : Afandi M.
Gendre : Kehidupan

SORE ITU, di Desa Matakali, langit yang tadinya cerah berubah temaram—gelap. Awan-awan yang tadinya terbagi-bagi sambil sesekali tersenyum di angkasa, disatukan kembali oleh angin hingga membentuk awan hitam raksasa laksana gulali kematian. Sedikit demi sedikit awan yang dilarikan angin itu seketika menutup desa bagaikan atap raksasa. Dahan-dahan kelapa saling bersinggungan, berdesir, karena hempasan angin. Bunga-bunga berwarna oranye kecil-kecil di puncak bonggolnya, berjatuhan. Menghambur dan dilarikan angin jauh dari pohonnya. Bahkan saking hebatnya angin pada waktu itu, beberapa butir kelapa tua berjatuhan membentur daratan Bumi. Menimbulkan bunyi debum yang tidak biasa.



Pohon-pohon pinang yang berjejer di depan rumah panggungku, bergoyang-goyang, mau goyah, seakan menyerahkan nasibnya pada ratusan akar-akarnya yang menyebar dan menancap kuat di dalam tanah. Beberapa pohon pisang tua roboh kesatu sisi. Burung-burung yang sebelumnya berkicau riang, berlarian ke sana-kemari mencari tempat-tempat perlindungan. Hawa mencekam menebarkan jaring dan kuasanya. Menyisipkan serangan teror dan bencana. Jemuran-jemuran beterbangan, seumpama ingin turut serta menyelamatkan diri. Berguling-guling di tanah bersama bambu-bambu penopangnya.

Sepuluh menit kemudian, angin bertambah kencang. Langit yang sudah menghitam bagai disemproti cairan tinta, belum jua memuntahkan kekesalannya pada dunia, pada alam semesta, pada jagad raya. Jalanan langsung lengang. Tak ada manusia yang berani mengusik murka langit. Suara-suara serangga pohon, sayup-sayup menghilang bagai tersaput oleh kengerian. Sementara, rumah panggung tempatku ditempa dan meniti hidup, kayu-kayunya sudah berderak pelan. Seumpama irama minta tolong. Pasak-pasak yang menyatukan semua pangkalnya seakan-akan mau terlepas. Dinding-dinding kayunya yang reot jatuh berhamburan.

Hawa dingin kembali menyerang. Kini lebih menakutkan karena kedatangannya juga membawa serta kabut. Jenis kabut yang tidak biasa. Kabut yang tercipta seketika. Bukan jenis kabut yang seyogianya turun dari kaki bukit. Kabut ini adalah kabut yang berisi kekuatan magis, penghipnotis. Secara sepihak, kabut menutupi semuanya. Seolah melahap apa saja yang menghalang lajunya.

Dua puluh menit kemudian langit belum juga mengutarakan isi hatinya, belum memuntahkan amarahnya. Ya, sebenarnya aku tahu apa yang langit pikirkan. Sebenarnya, dia merencanakan sesuatu. Hanya satu rencananya. Hanya satu saja alasan yang benar-benar pasti dilakukannya. Satu rencana monoton yang kerap datang. Dia ingin menghantam Bumi dengan serangan kejutan yang dahsyat. Satu serangan yang tak mau ditunggu-tunggu kedatangannya. Serangan yang tak jarang memamerkan kehebatannya, kekuatan serta keangkuhannya.

Jauh di depan sana, satu dentuman keras bak ledakan meriam terdengar, menggema. Desa seolah meledak. Gelombang kedua lebih buruk. Ledakan yang datang mengguncang rasa takut di seluruh tubuh. Macam ketakutan yang tidak diketahui sumbernya, seperti rasa takut pada kematian. Satu-satunya yang bisa ditangkap hanya gema ledakan, disusul gemuruh berkali-kali, lalu dentuman guntur sambung-menyambung. Seolah-olah tiap-tiap bangunan laksana rak buku yang terjatuh bagai mempraktekkan teori efek domino. Orang-orang yang sekarang sudah ketakutan, bersembunyi di balik halangan selimut dan hanya bisa berpikir: inilah saatnya. Inilah akhirnya. Yang mereka pikirkan bukan akhir hidup pribadi masing-masing, tapi adalah akhir dari dunia. Kiamat. Mereka kira dengan selimut itu saja bisa meredam kemurkaan langit? Bisa mengusir kiamat? Yang benar saja! Itu tidak mungkin. Jelas sekali tidak mungkin. Seribu kali, bahkan, tidak mungkin.

Seberkas cahaya cepat bak sinar laser yang ditembakkan dari angkasa membekas di langit. Sinarnya menakutkan, menyilaukan, lagi membutakan. Beberapa detik setelah kedatangan cahaya tadi dentuman berikutnya terdengar, lebih keras, lebih mengerikan, lebih menakutkan. Sepenuhnya mencekam, merontokkan iman, dan tak jarang menghilangkan keteguhan. Rupanya langit sudah menunjukkan tanda-tanda mau menyerang kembali dengan armadanya yang kini telah lengkap sempurna.

Di salah satu petak sawah, satu bentuk orang-orangan sawah menggigil ketakutan. Tak ada kuasanya untuk berlindung. Satu pancangan kaki yang menyatu dengan tubuhnya telah ditancapkan kuat ke dalam tanah. Tak bisa dia bergerak. Berteriak minta tolong pun tak akan mungkin. Kini, langit menunjukkan keangkuhan yang sebenarnya. Kilat dan gemuruh guntur menyambar silih berganti. Tiap menit, tiap detik. Suasana dibawa ke arah mencekam. Orang-orangan sawah yang tadi hanya diam ketakutan, kini mendapat sapaan berupa kedatangan kilat yang tepat menghantam tubuhnya. Tubuhnya yang hanya tersusun atas jerami dan balutan baju bekas langsung terbakar. Hangus oleh kejahatan murni yang terencana. Dengan cepat api menyebar, menyambar, dan menghabisi tiap lekukan jerami yang tersisa.

Betapa malang sekali nasib orang-orangan sawah itu. Diciptakan dengan bahan-bahan sisa, ditancap di pinggir pematang tanpa perasaan, dan ditinggal begitu saja tanpa perawatan. Sendiri, menyepi, dan meratapi nasib hingga akhir. Dibuat hanya demi kepentingan manusia. Dulunya, dia bertanggung jawab penuh mengusir burung-burung gelatik yang menghambur jika bulir-bulir padi sudah menunjukkan bentuknya. Sekarang, mana balas budi mereka? Di mana kepedulian manusia-manusia yang menciptakannya?

Lama kelamaan, satu demi satu organ tubuhnya akan rusak, copot tanpa butuh perbaikan. Tapi semuanya akan berbeda nanti. Semuanya akan berbeda di mata Tuhan kelak. Benda-benda terbuang seperti itu, biasanya, memiliki kedudukan dan derajat lebih tinggi dibanding manusia-manusia pendosa. Benda-benda itu akan dianggap suci, bermartabat, memiliki kasta yang jelas. Mungkin merupakan jenis strata yang tertinggi di kalangan manusia.

Rintik hujan yang jatuh dari kaki langit, datang membasahi Bumi. Mengguyur percikan api lalu perlahan mematikannya. Baranya pun tak lagi menyala. Meredam celaka yang akan berlanjut menjadi bencana.

Di tanah lapang dekat rumahku, aku berdiri sambil menatap langit. Langit ketika itu masih temaram. Kilat dan guntur masih beraksi. Saat ini mereka sedang berpesta pora. Kengerian dan ketakutan manusia merupakan kegembiraan buat mereka. Bisa saja diumpamakan seperti sebuah dessert yang selalu muncul belakangan.

Corak hitam langit masih kentara, masih kelihatan mendominasi angkasa. Air hujan membasuh seluruh keringat dan ketakutan yang melekat-lekat di wajahku bagai betonan daki. Kupejamkan berkali-kali mataku sebab perih menusuk-nusuk irisnya. Sekarang, kubuka lagi. Kukukuhkan kembali penglihatanku. Kembali tubuhku menggigil. Bajuku yang basah mencetak dadaku yang hanya dipenuhi tulang-belulang, kurus tak berdaging. Angin masih menghantam-hantam rumah panggung di sampingku. Atapnya yang hanya dilapisi seng dan disekati paku, seumpama ingin ikut terbang diterpa angin. Melayang-layang di angkasa bagai daun jatuh dari cabang pohon yang paling tinggi. Diombang-abingkan ke sana-kemari. Di bolak-balik dengan paksa tanpa henti.

Aku tetap bertahan. Kakiku tak akan goyah oleh semua jenis rintangan seperti itu. Tidak akan bisa. Semua itu cemen buatku, kecil, setai kuku, dan hasilnya akan tetap nihil. Aku tak mau kalah. Tak kubiarkan diriku sekali lagi mengalami hal itu. Tak kuperkenankan ketakutan merasuki dan meracuni sendi-sendi tubuhku. Terus kulihati langit sebab beberapa saat lagi tak akan ada bekas kehidupan di ragaku ini. Jiwaku akan melayang jauh. Terbang menembus awan nan gelap gulita. Menyiasati gempuran petir dengan diriku sebagai penangkalnya. Menyelamatkan dunia dari teror menakutkan yang diciptakan petir.