Selasa, 26 Januari 2010

The Missing Man (Catatan Cover Belakang)

“Cinta adalah keegoisan, namun menunggu cinta jauh melampaui kesetiaan.”
~~~
Ketika bangun, dia bingung akan semuanya. Dia bingung ketika melihat apa yang tertangkap oleh indra penglihatannya. Bingung dengan semua pertanyaan yang tiba-tiba muncul begitu saja di pikirannya: Ada di mana dia sekarang? Mengapa banyak bekas cakaran di pakaiannya? Kenapa sinar matahari begitu menyilaukan penglihatannya? Parahnya lagi, muncul pertanyaan yang tak terduga; siapakah dirinya? Siapa dia sebenarnya?
~~~
Di pedalaman hutan Kalimantan, pria yang lupa asal-usulnya itu harus berusaha keras untuk bisa bertahan hidup dari segala terjangan kebuasan dan keganasan para penghuni rimba. ‘Yang terkuatlah, Yang menang’, itu merupakan hokum yang selalu dipegang teguh oleh setiap penghuni di belantara raya.

Semuanya harus patuh, tunduk pada hukum yang berlaku selama turun-temurun. Untuk bertahan hidup, dia harus menantang maut dari ancaman hewan buas hingga penyerangan suku primitif pemburu kepala.


Akhirnya, sebuah kebenaran mengungkapkan realita mengenai siapa dirinya yang sebenarnya. Namun, apakah dengan terungkapnya realita itu, semuanya dapat berakhir seperti yang telah diharapkan? Apakah bisa? Ya, ikuti saja petualangannya.

The Missing Man, sebuah novel petualangan yang menguras emosi, ketegangan melawan keganasan alam, diwarnai cinta yang dilematis, kesetiaan, bahkan sebuah ketulusan. Inilah perjuangan cinta yang menyentuh...

Kamis, 14 Januari 2010

Pahlawan Kebahagiaan

Penulis : Afandi M.
Gendre : Bebas


MALAM ini, di tengah kelengangan dan sayup-sayup denting tuts piano yang menenangkan pikiran dan menyejukkan batinku, aku terpikir tentang ibuku. Yah, memang, aku pernah terpikir tentang ibuku sebelumnya, tapi kali ini berbeda. Kurasakan kalau sosoknya yang bagaikan Dewi Pemberi Rahmat itu seolah menjauh dariku. Tak bisa kudekap dan bermanja-manja lagi seperti dulu. Entah perasaan apa yang kurasakan kali ini, tetapi yang kuyakini adalah, ini bukan sekadar perasaan rindu yang biasa dan tak bisa tergambarkan.

Perasaan ini jauh lebih rumit dari itu. Jauh lebih sulit ketimbang menghitung bintang yang bertebaran di cakrawala. Ingin sekali saja, sekali lagi dalam hidupku, bisa mencium kakinya. Merasakan kehangatan surga yang begitu dekat. Merasakan kebahagiaan yang begitu lekat. Sepasang kaki itu, kaki yang tua dan berpenyakitan. Kaki yang telah menunjukkan tulusnya pengorbanan, kaki yang terang-terangan menunjukkan besarnya harapan, kaki yang tahan banting, dan sepasang kaki yang menjalani kerasnya kehidupan. Dialah pahlawan kebahagiaan. Dialah sosok yang tak bisa dinilai dengan uang.



***


Ah, aku begitu egois, dan entah merasa malu menunjukkan betapa aku menyayangi ibu. Aku tak mau nantinya dicap sebagai anak manja, cengeng, dan lemah jika teman-temanku mengetahuinya. Aku tak mau mencium kaki ibu. Tak mau menunjukkan kasih sayangku padanya. Memang, katakanlah aku anak yang keras kepala dan tak tahu caranya berterima kasih. Semua itu benar, tak salah sedikit pun. Aku memang bodoh, tolol, anak durhaka. Saat itu, aku hanya terpikir bahwa ibu akan selalu ada di sampingku hingga aku menutup mata. Dia akan selalu menemaniku. Dia tak boleh mati. Dia harus selalu melayaniku; membuatkanku sarapan, mencucikan bajuku, membersihkan kotoranku, mengurus keperluan sekolahku, menjemputku dengan payung di sekolah sewaktu hujan, dan membuat hal remeh-temehku terselesaikan. Pokoknya dia harus selalu ada saat kubutuhkan. Dia boleh menua tapi tidak boleh mati. Boleh tenaganya berkurang tapi harus tetap ada di sampingku.


Ya ampun, apa yang aku lakukan kepada ibu? Aku memang anak yang tak tahu balas budi. Aku memang anak biadab, penghuni neraka. Pantaslah, kutuklah aku wahai ibu. Hukumlah aku. Hukum aku seberat-beratnya.


Tetapi kuyakini, kebaikan ibu takkan bisa terukur. Bayangkan saja, hatinya melebihi kelembutan sutra, melebihi kesejukan udara setelah hujan reda, menenangkan ketimbang suara ombak di tepi pantai. Ibu tak akan melakukan itu. Ibuku baik. Dia wanita yang terbaik. Sosoknya… ah, tak ada lagi kata di alam semesta ini yang bisa menggambarkan kesucian dan kemurnian hatinya. Dia hanya akan tersenyum menanggapi semua permintaanku, menanggapi semua hinaanku, mendengarkan semua amarahku. Dia akan menyembunyikan tetes air matanya untuknya sendiri. Selalu mengatakan ‘ya’ untuk setiap mauku. Selalu mengatakan ‘baik’ untuk apa pun yang kubutuhkan. Selalu memaafkan atas segala kesalahanku. Sempurnanya kau wahai ibu.


Ibu, mengapa engkau bisa begitu baik hati kepadaku? Mengapa tak ada sedikit pun air mata yang kau tunjukkan padaku? Mengapa engkau begitu sabarnya menghadapi tingkahku? Mengapa engkau tersenyum saat aku memarahimu? Mengapa engkau menerima saat aku mendzalimi-mu? Mengapa… mengapa… mengapa ibu?


Kumohon ibu, hukumlah aku sekali saja. Marahi aku sedetik saja. Hina aku semaumu. Benci aku. Pukul aku. Cubiti seluruh tubuhku. Hujat aku. Jika perlu, cambuk dan iris-iris kulitku. Pisahkan tulang dan ototku. Buat aku sehina mungkin. Buat aku merasakan kemarahanmu yang sesungguhnya. Balaslah semua kejahatan yang kuperbuat padamu. Aku rela ibu. Aku ikhlas menerima itu semua untuk membayar kesalahanku padamu. Lakukanlah semua itu agar aku tak kehilangan dirimu. Agar beban di hatimu tak menghimpit kesehatanmu.


Tapi kenapa, ibu? Kenapa kau tak melakukan semua kejahatan itu padaku? Mengapa kau tak membalasku? Mengapa engkau malah makin menyayangiku? Mengapa engkau tambah mencintaiku? Apakah ada yang salah dengan otakmu? Apakah ada kekeliruan yang dibuat Tuhan sewaktu menciptakanmu?


Ibu, sejujurnya, aku takut, sangat takut, setengah mati merasa takut jika nanti kehilangan dirimu. Apa dayaku menghadapi kehidupan ini tanpamu? Tanpa kasih sayangmu? Tanpa senyuman dan belaian hangatmu? Tanpa kau di dunia ini, seberapa kuat diriku bisa bertahan?


***


Air mata menetes di pipiku. Semua dosa yang kuperbuat padanya, berbayang di pikiranku. Ingin aku menangis sekeras-kerasnya, memohon sejadi-jadinya, agar ibu ada di sini dan bisa mencium kakinya. Bisa memeluk tubuhnya yang ringkih. Bisa melihat sekali lagi senyumannya. Bisa mengelusi rambut putihnya. Bisa mengusap dahinya yang berkerut.Bisa mengucapkan maafku padanya. Menuturkan sayangku sejujurnya. 


Tanpa pikir panjang lagi, aku mengambil ponselku. Dengan cepat jemariku menekan angka-angka yang sudah kuhapal mati. Suara dering telepon berbunyi. Sangat lama…


Sedetik… dua detik… tiga detik… empat detik… lima detik… dan akhirnya…


Suara seorang wanita mengucapkan sesuatu, 


“Maaf telepon yang Anda tuju sedang sibuk atau sedang berada di luar jangkauan. Silahkan hubungi beberapa saat lagi…”


Aku menangis sekeras-kerasnya. Aku berontak sejadi-jadinya. Teringat kembali, bahwa ibu sudah tidak ada lagi. Tidak hidup lagi di dunia ini. Aku sendiri yang memandikan jenazahnya. Aku sendiri yang mengantar jasadnya ke liang kuburnya. Aku sendiri yang menyirami pusaranya. Aku sendiri yang menaburkan bunga untuknya.


Ibu, aku merindukanmu…

Kehancuran Kaumku

Penulis : Afandi M.
Gendre : Bebas


SAYA dianggap amoeba, diumpamakan parasit yang hidup di atas lahan yang punya sertifikat kuasa. Saya disamakan hama tatkala manusia ditempatkan bersama saya. Jujur saja, saya telah menetap lama di tempat ini. Turun-temurun keluarga saya tak berkesudahan, benarak pinak di tanah ini. Tawa bahagia, canda, mimpi, harapan, tangis, dan kesedihan telah tumpah ruah di daratan ini.

Dan sekarang, ketika mereka mengikutsertakan mesin-mesin penyebab kehancuran itu dan membabat sedikit demi sedikit jenis saya, tanpa ampun, tanpa belas kasihan--tangis itu makin menjadi-jadi. Tak ada lagi harapan, tawa, mimpi, dan canda. Tak ada lagi gunanya berdoa. Tak ada lagi gunanya menyembah dan memohon. Saya sudah melakukan ritual itu, mencoba semuanya, apa saja, tapi lihatlah hasilnya--bencana. Keporak-porandaan terhampar di hadapan saya. Suatu bangsa pecinta kedamaian hancur, digilas oleh kebiadaban. Dan kini, yang menunggu saya dan semua jenis saya hanyalah kegelapan. Sadarkah manusia-manusia itu kalau sesungguhnya, merekalah yang menjadi hama di dunia ini? Merekalah makhluk penghisap darah, teror, dan kehancuran itu sendiri.

Apakah manusia-manusia itu terlanjur pikun, hingga tak menyadari apa yang telah mereka lakukan. Apa yang telah mereka perbuat hanya demi kesejahteraan dunia?

Mana kuasa-Mu Tuhan! Perlihatkan! Tunjukkan! Aku mohon, jangan cuma membisu di singgasanamu sementara kami di sini berusaha, berjuang untuk hidup. Mana tanggung jawabmu?

Tolong, tolonglah, tunjukkan sedikit tanda bahwa Engkau memang benar-benar ada. Perlihatkan bahwa Engkau peduli dengan penderitaan kami. Peduli atas semua kehancuran yang diperbuat manusia.

Rabu, 06 Januari 2010

The Blind Owl : Dunia Retak Sang Pecinta


Penulis : Sadeq Hedayat
Penerbit : Dastan Books
Gendre : Fiksi Romatis
Kategori : Psikologi
Halaman : 348


SUNGGUH ‘kenikmatan’ adalah kata yang sensasional dan menakutkan! Sekadar menyebutkannya saja, hati menjadi terkoyak, senyum minggat dari bibir, dan rasa senang segera sirna, karena ia menimbulkan kekhawatiran, depresi, serta mendorong segala bentuk pemikiran kusut.

Hidup dan mati tidak dapat dipisahkan. Andai tiada kehidupan, tidak mungkin ada kematian. Oleh karena itu, kematian harus ada supaya hidup memiliki makna. Segala sesuatu, baik bintang yang paling besar di langit maupun partike terkecil di muka bumi—bebatuan, tumbuhan, dan binatang—cepat atau lambat akan mati. Semua itu diadakan dan satu per satu akan dikembalikan ke alam ketiadaan. Semua akan berubah menjadi segenggam debu dan menjadi sirna. Namun begitu, bumi terus berputar dengan cepat di langit tak berujung. Alam melanjutkan kehidupannya melalui sisa-sisa kematian: matahari bersinar, angin sepoi-sepoi berhembus, bunga-bunga memenuhi udara dengan keharumannya, burung-burung berkicau. Semua makhluk hidup menjadi gembira. Langit tersenyum, bumi memasok makanan, Malaikat Maut menuai panen kehidupan dengan sabit tuanya...


Kematian memperlakukan semua makhluk hidup tanpa pandang bulu dan menetapkan nasib mereka tanpa memihak. Kematian menyandingkan manusia, tumbuhan, dan binatang di kuburan gelap mereka. Hanya di kuburan, para algojo dan pengisap darah berhenti bertindak zalim, dan orang-orang yang bersalah tidak dianiaya. Di kuburan, tiada sang penindas maupun si tertindas. Tua dan muda beristirahat dengan tenang. Tidur nan damai dan menyenangkan! Orang tidak akan pernah melihat pagi berikutnya dan tidak akan pernah mendengar gembar-gembor dan hiruk-pikuk kehidupan. Kematian adalah tempat terbaik, tempat perlindungan dari rasa sakit, pedih, penderiataan, dan kekejian. Dengan kematian, api nafsu yang berkilauan dan kesemrawutan menghilang. Semua peperangan, perselisihan, dan pembunuhan di kalangan manusia berakhir. Keganasan, konflik, serta pemujaan-diri mereka surut di kedalaman tanah yang dingin dan lubang sempit kuburan.

Bila kematian tiada, setiap orang akan merindukannya. Tangisan-tangisan keputusasaan akan menjulang ke langit. Setiap orang bakal mengutuk alam. Betapa kehidupan terasa menakutkan dan menyakitkan bila tanpa akhir. Di kala cobaan hidup yang keras dan sulit memadamkan cahaya kemudaan yang memperdayakan, di kala mata air kebaikan mengering, di kala kedinginan, kegelapan, dan keburukan menimpa kita, kematianlah yang mengobati keadaan itu. Kematianlah yang meletakkan fisik bukngkuk kita, atau wajah keriput kita, dan badan kita yang merana ke tempat peristirahatannya.

Wahai kematian, kau mengurangi kesedihan dan duka kehidupan, serta membuang beban beratnya dari pundak kami. Kau mengakhiri penderitaan manusia-manusia pengelana bernasib buruk yang tak bahagia. Kau adalah penangkal kesedihan dan keputusasaan. Kau keringkan mata yang berlinang. Kau bagaikan seorang ibu pengasih yang memeluk dan membelai anaknya, menidurkannya selepas badai. Kau berbeda dari kehidupan—yang pahit dan kejam. Kau tidak menyeret manusia kepada kesesatan dan kebejatan moral, lalu melemparkannya ke pusaran air yang mengerikan. Kau menertawakan kekejaman, kerendahan, keegoisan, kekikiran, dan keserakahan manusia, dan menyembunyikan perbuatan mereka yang tak pantas. Siapakah yang belum meneguk anggurmu? Kenapa mereka tertipu dan menuduhmu? Kaulah cahaya yang memancar, tetapi mereka menganggapmu kegelapan. Kaulah malaikat kebaikan yang membawa keberuntungan, tetapi mereka berkabung dengan jerit tangis kala kau tiba. Kau bukanlah pembawa duka dan ratapan. Kaulah penawar bagi hati yang sedih. Kau membuka pintu harap bagi kaum yang tiada memiliki harapan. Kau menghibur kalifah kehidupan yang lelah dan tiada daya, lalu membebaskan mereka dari penderitaan mereka. Kau patut mendapat pujian. Kau abadi...


000


Di atas adalah sebagian cuplikan dari cerita dalam novel ini. Yang bisa saya katakan adalah, novel ini penuh makna. Penuh inspirasi dan perenungan akan hidup. Beberapa di antaranya malah berbicara tentang kematian. Banyak intrik-intrik sosial dan lainnya diramu dengan begitu apik dalam novel ini. Tentunya selain kata-kata yang indah yang akan kita dapatkan tatkala membaca novel ini, kita juga akan disuguhkan secara tidak langsung isi hati si pengarang sendiri. Memberitahukan seolah-olah semua yang dialami dalam kisah ini merupakan kisah yang dialami sendiri oleh Sadeq Hedayat. Beberapa bagian di novel ini mungkin bercerita agak berat, jadi siap-siap saja memberikan ruang bagi otak Anda untuk berfikir, walaupun tentu saja, menurut saya, tidak terlalu seperti itu. Yah kembali lagi, it's depend on person, tergantung orang yang membacanya. So, bagi Anda yang belum baca dan mencintai kisah perenungan hidup serupa, namun diramu dengan kata-kata yang indah dan apik, novel ini patut untuk Anda perhitungkan.

Selasa, 05 Januari 2010

Kepergianmu (Puisi)

Apa jadinya aku tanpa dirimu?
Apa jadinya tidurku tanpa mimpimu?
Apa jadinya hariku tanpa senyum dan tawamu?

Apa jadinya?
Apa jadinya semua?

Semua akan kembali ke masa sebelum aku bahagia
Semua akan bermula ketika aku masih berduka
Semua akan terulang ke waktu aku terdiam di tugu batu
Terdiam saat aku masih menunggu kehadiran cintamu

by: Afandi M.
"Saat sendiri itu datang lagi, saat diriku hanya ditemani sepi"