Kamis, 14 Januari 2010

Pahlawan Kebahagiaan

Penulis : Afandi M.
Gendre : Bebas


MALAM ini, di tengah kelengangan dan sayup-sayup denting tuts piano yang menenangkan pikiran dan menyejukkan batinku, aku terpikir tentang ibuku. Yah, memang, aku pernah terpikir tentang ibuku sebelumnya, tapi kali ini berbeda. Kurasakan kalau sosoknya yang bagaikan Dewi Pemberi Rahmat itu seolah menjauh dariku. Tak bisa kudekap dan bermanja-manja lagi seperti dulu. Entah perasaan apa yang kurasakan kali ini, tetapi yang kuyakini adalah, ini bukan sekadar perasaan rindu yang biasa dan tak bisa tergambarkan.

Perasaan ini jauh lebih rumit dari itu. Jauh lebih sulit ketimbang menghitung bintang yang bertebaran di cakrawala. Ingin sekali saja, sekali lagi dalam hidupku, bisa mencium kakinya. Merasakan kehangatan surga yang begitu dekat. Merasakan kebahagiaan yang begitu lekat. Sepasang kaki itu, kaki yang tua dan berpenyakitan. Kaki yang telah menunjukkan tulusnya pengorbanan, kaki yang terang-terangan menunjukkan besarnya harapan, kaki yang tahan banting, dan sepasang kaki yang menjalani kerasnya kehidupan. Dialah pahlawan kebahagiaan. Dialah sosok yang tak bisa dinilai dengan uang.



***


Ah, aku begitu egois, dan entah merasa malu menunjukkan betapa aku menyayangi ibu. Aku tak mau nantinya dicap sebagai anak manja, cengeng, dan lemah jika teman-temanku mengetahuinya. Aku tak mau mencium kaki ibu. Tak mau menunjukkan kasih sayangku padanya. Memang, katakanlah aku anak yang keras kepala dan tak tahu caranya berterima kasih. Semua itu benar, tak salah sedikit pun. Aku memang bodoh, tolol, anak durhaka. Saat itu, aku hanya terpikir bahwa ibu akan selalu ada di sampingku hingga aku menutup mata. Dia akan selalu menemaniku. Dia tak boleh mati. Dia harus selalu melayaniku; membuatkanku sarapan, mencucikan bajuku, membersihkan kotoranku, mengurus keperluan sekolahku, menjemputku dengan payung di sekolah sewaktu hujan, dan membuat hal remeh-temehku terselesaikan. Pokoknya dia harus selalu ada saat kubutuhkan. Dia boleh menua tapi tidak boleh mati. Boleh tenaganya berkurang tapi harus tetap ada di sampingku.


Ya ampun, apa yang aku lakukan kepada ibu? Aku memang anak yang tak tahu balas budi. Aku memang anak biadab, penghuni neraka. Pantaslah, kutuklah aku wahai ibu. Hukumlah aku. Hukum aku seberat-beratnya.


Tetapi kuyakini, kebaikan ibu takkan bisa terukur. Bayangkan saja, hatinya melebihi kelembutan sutra, melebihi kesejukan udara setelah hujan reda, menenangkan ketimbang suara ombak di tepi pantai. Ibu tak akan melakukan itu. Ibuku baik. Dia wanita yang terbaik. Sosoknya… ah, tak ada lagi kata di alam semesta ini yang bisa menggambarkan kesucian dan kemurnian hatinya. Dia hanya akan tersenyum menanggapi semua permintaanku, menanggapi semua hinaanku, mendengarkan semua amarahku. Dia akan menyembunyikan tetes air matanya untuknya sendiri. Selalu mengatakan ‘ya’ untuk setiap mauku. Selalu mengatakan ‘baik’ untuk apa pun yang kubutuhkan. Selalu memaafkan atas segala kesalahanku. Sempurnanya kau wahai ibu.


Ibu, mengapa engkau bisa begitu baik hati kepadaku? Mengapa tak ada sedikit pun air mata yang kau tunjukkan padaku? Mengapa engkau begitu sabarnya menghadapi tingkahku? Mengapa engkau tersenyum saat aku memarahimu? Mengapa engkau menerima saat aku mendzalimi-mu? Mengapa… mengapa… mengapa ibu?


Kumohon ibu, hukumlah aku sekali saja. Marahi aku sedetik saja. Hina aku semaumu. Benci aku. Pukul aku. Cubiti seluruh tubuhku. Hujat aku. Jika perlu, cambuk dan iris-iris kulitku. Pisahkan tulang dan ototku. Buat aku sehina mungkin. Buat aku merasakan kemarahanmu yang sesungguhnya. Balaslah semua kejahatan yang kuperbuat padamu. Aku rela ibu. Aku ikhlas menerima itu semua untuk membayar kesalahanku padamu. Lakukanlah semua itu agar aku tak kehilangan dirimu. Agar beban di hatimu tak menghimpit kesehatanmu.


Tapi kenapa, ibu? Kenapa kau tak melakukan semua kejahatan itu padaku? Mengapa kau tak membalasku? Mengapa engkau malah makin menyayangiku? Mengapa engkau tambah mencintaiku? Apakah ada yang salah dengan otakmu? Apakah ada kekeliruan yang dibuat Tuhan sewaktu menciptakanmu?


Ibu, sejujurnya, aku takut, sangat takut, setengah mati merasa takut jika nanti kehilangan dirimu. Apa dayaku menghadapi kehidupan ini tanpamu? Tanpa kasih sayangmu? Tanpa senyuman dan belaian hangatmu? Tanpa kau di dunia ini, seberapa kuat diriku bisa bertahan?


***


Air mata menetes di pipiku. Semua dosa yang kuperbuat padanya, berbayang di pikiranku. Ingin aku menangis sekeras-kerasnya, memohon sejadi-jadinya, agar ibu ada di sini dan bisa mencium kakinya. Bisa memeluk tubuhnya yang ringkih. Bisa melihat sekali lagi senyumannya. Bisa mengelusi rambut putihnya. Bisa mengusap dahinya yang berkerut.Bisa mengucapkan maafku padanya. Menuturkan sayangku sejujurnya. 


Tanpa pikir panjang lagi, aku mengambil ponselku. Dengan cepat jemariku menekan angka-angka yang sudah kuhapal mati. Suara dering telepon berbunyi. Sangat lama…


Sedetik… dua detik… tiga detik… empat detik… lima detik… dan akhirnya…


Suara seorang wanita mengucapkan sesuatu, 


“Maaf telepon yang Anda tuju sedang sibuk atau sedang berada di luar jangkauan. Silahkan hubungi beberapa saat lagi…”


Aku menangis sekeras-kerasnya. Aku berontak sejadi-jadinya. Teringat kembali, bahwa ibu sudah tidak ada lagi. Tidak hidup lagi di dunia ini. Aku sendiri yang memandikan jenazahnya. Aku sendiri yang mengantar jasadnya ke liang kuburnya. Aku sendiri yang menyirami pusaranya. Aku sendiri yang menaburkan bunga untuknya.


Ibu, aku merindukanmu…

2 komentar:

Whieldy_mirza mengatakan...

Wah, sayang.... Lagi kangen ama mama ya???

Alex B. Cruz mengatakan...

iya, kyknya mang lagi kangen aq ^^