Selasa, 27 Oktober 2009

The Triangle Murder - Chap. 04

Penulis : Afandi M.
Gendre : Detektif & Misteri
Lain-lain : Berseri (4)


SIANG HARI, setelah peristiwa mengenaskan itu kembali berulang, polisi datang. Kedatangan mereka mendapat banyak tanggapan berbeda dari masing-masing karyawan perusahaan Summer. Mereka takut sekali akan ikut dilibatkan dalam penyelidikan, dan akhirnya berurusan dengan aparat-aparat hukum tersebut. Mereka semua adalah tipe orang yang individualistis. Sifat khas seorang pecundang.

Saat itu, di sebuah ruangan tempat biasanya beberapa direksi mengadakan rapat, Inspektur Andrian duduk mendengarkan keterangan dari Asistennya―Hendra Sucipto.

“Wanita yang menjadi korban adalah Helena Sriwahyuni. Dia bekerja sebagai salah satu designer di perusahaan ini. Dia meninggal akibat keracunan minuman yang ada di atas mejanya.”

“Belum selesai peristiwa pembunuhan yang pertama diusut, telah terjadi lagi pembunuhan yang kedua di perusahaan ini,” keluh asisten itu.


“Aku rasa dia bukan mati karena keracunan tapi karena diracuni. Siapa yang membawa minuman ini kepadanya?” tanya sang inspektur sambil membaui minuman beracun itu dengan hidungnya. “Menurut kesaksian sebagian karyawan yang berada di ruangan ini bersama korban saat itu, Jumadi yang memberikan minuman itu kepada korban sesaat sebelum korban tewas.”

“Bukankah dia juga yang menemukan mayat korban yang pertama di ruangan perusahaannya?” tanya Inspektur Andrian.

“Benar, Inspektur.”

“Bagaimana mengenai pembunuhan pertama? Siapa korbannya?”

“Pembunuhan pertama juga terjadi di perusahaan ini dan korbannya adalah Santi Triyani, kepala bagian perancangan. Dia meninggal akibat tembakan di dadanya dari jarak dekat dan kami juga sudah menemukan barang buktinya di toilet wanita berupa sebuah revolver yang tersembunyi di bawah tumpukan tisu toilet,” jelas Hendra Sucipto.

“Memangnya ada apa dengan waktu kematiannya?”

“Apakah ada yang dicurigai?” Inspektur Andrian tak hentinya bertanya. “Ada Inspektur! Kami mencurigai Helena yang membunuhnya,” ujar asisten itu dengan dengusan pelan.

“Bukankah dia itu adalah korban kedua,” jelas inspektur.

“Memang dialah orangnya, Pak.”

“Coba sebutkan bagaimana analisamu jika memang dia adalah pelakunya?” tanya Inspektur Andrian menguji analisa bawahannya tersebut.

“Pertama-tama Helena pergi ke ruangan korban, menunggu korbannya hingga datang. Setelah korban membuka pintu dia langsung menembaknya. Setelah itu, dia buru-buru ke toilet wanita untuk membuang senjatanya di tempat sampah sebab tempat itulah yang paling aman yang dia pikirkan saat itu. Semua pegawai istirahat pada jam itu, jadi tidak ada yang masuk toilet. Kami juga menemukan sidik jarinya di pistol itu yang semakin mempertegasn bahwa dia adalah pembunuhnya. Tapi sekarang dia tiba-tiba tewas. Ada orang lain yang membunuhnya,” katanya mengakhiri analisanya.

“Bagus! Menurutku memang begitulah kronologi kasus pembunuhan yang pertama itu, dan sekarang mengenai pembunuhan yang kedua ini, apakah kamu sudah mengintrogasi office boy itu?”

“Ya, tadi kami sudah mengintrogasinya. Berdasarkan pengakuannya, minuman itu diberikan oleh Nagita Adelia, wakil direktur di perusahaan ini kepadanya. Si pelayan itu disuruh untuk membawakan minuman tersebut ke Helena sebab sang wakil direktur itu ada rapat mendadak. Tapi saat kami menanyakan apakah Nagita memasukkan racun ke dalam botol plastik tempat minuman itu dia membantahnya. Dia mengatakan bahwa saat diterima botol minuman itu masih dalam kondisi bagus. Tertutup rapat dan masih bersegel pada tutupnya.”

“Katamu ketiga orang ini memiliki dendam satu dengan yang lainnya. Mengapa mereka saling menendam?” seru sang inspektur.

“Korban pertama yaitu Santi Triyani dibenci oleh Helena yang merupakan korban kedua dan Nagita yang merupakan atasannya. Helena yang dulu merupakan teman baiknya membencinya karena telah mencuri hasil rancangannya sehingga Santi Triyani diangkat jabatannya menjadi salah satu kepala bagian di perusahaan ini, sedangkan Nagita membencinya karena ingin merebut jabatannya sebagai wakil direktur.”

Inspektur Andrian tersenyum. “Masalah jabatan ya!”

“Sementara itu Helena juga dibenci oleh Nagita karena telah merebut tunangannya pada saat pernikahan mereka tinggal beberapa bulan lagi.”

“Kalau begitu, Nagita-lah yang memiliki motif yang sangat besar untuk membunuh Helena yang telah merebut tunangannya,” Inspektur Andrian menyimpulkan.

“Pendapat saya juga begitu Pak.”

“Tapi yang menjadi pertanyaan sekarang yaitu bagaimana dia memasukkan racun tersebut ke dalam botol minuman itu. Bukankah office boy itu mengatakan botol minuman itu tertutup rapat, disegel pula.” Asistennya hanya mengangguk menyetujui perkataan atasannya bagaikan binatang peliharaan yang selalu menuruti kehendak majikannya. “Sebaiknya kita mengintrogasi Nagita dulu, sebelum menarik kesimpulan akhir atas pembunuhan yang kedua ini. Lagipula kita dituntut untuk segera memecahkan kasus ini, agar suasana di perusahaan ini kembali tenang dan untuk menghindari citra buruk masyarakat atas kinerja kepolisian.”

**

Nagita sedang menopangkan kakinya di atas kaki yang satunya. Saat itu, dia mengenakan stelan jas dengan dalaman kemeja serta celana panjang kain yang sesuai dengan warna jasnya. Matanya yang licik menatap kedua orang di depannya secara bergantian.

“Apa yang ingin kalian tanyakan kepadaku lagi? Bukankah tadi aku sudah memberikan kesaksianku?” ujarnya dengan nada merendahkan.

“Ada beberapa hal yang ingin kami tanyakan lagi kepada Anda,” ujar Inspektur Andrian sopan.

Dia lalu mengambil kotak rokoknya yang kemarin diberikan oleh Santi sebelum dia meninggal. Sambil memberikan suatu tanda kepada kedua polisi itu dengan batang rokoknya, dia mulai membakar rokok tersebut.

“Apakah betul Anda yang memberikan botol minuman itu kepada Jumadi?” tanya Inspektur Andrian sambil membuka catatan kecilnya. Nagita mengangguk sekali, kemudian raut mukanya berubah, matanya melotot, nafasnya saling memburu. Dijatuhkannya rokok yang semula ada di mulutnya, kemudian kedua tangannya memegangi lehernya. Inspektur Andrian dengan sigap lalu meloncat ke depan kemudian membaringkannya di pangkuannya.
Sesaat kemudian digelengkannya kepalanya. “Dia sudah meninggal,” katanya dengan suara lesu dan desahan nafas panjang. Suasana diam seketika dan hanya terdengar Hendra Sucipto menghembuskan napas penyesalan. Inspektur Andrian kemudian mengamati sesuatu. Dengan ketekunan bak seorang kutu buku, dia memeriksa puntung rokok yang tadi dijatuhkan oleh Nagita.

Dia mendekatkan puntung itu ke hidungnya, membauinya, dan entah mengapa, saat itu juga kepalanya setengah pusing. Ada bau aneh yang menguar dari puntung rokok tersebut. Dengan cepat dialihkannya puntung itu jauh-jauh dari indra penciumannya, mencegah agar sesuatu yang tidak diinginkan terjadi kemudian.

“Kuduga, dia meninggal karena keracunan,” kata sang inspektur.

Dia lalu menyuruh asistennya agar memanggil polisi lain untuk membawa mayat Nagita dari ruangan itu. Jika tidak cepat-cepat dipindahkan, mayat itu secara alamiah akan banyak mengundang orang-orang untuk melihatnya.

Hendra Sucipto berjalan dengan langkah cepat dengan setiap pijakan yang mendentum-dentum dengan lantai porselen. Dia menghampiri atasannya sambil membawa beberapa lembar kertas dan kemudian menyerahkannya.

“Inspektur, memang benar korban yang ketiga ini tewas karena keracunan. Rokok yang tadi sempat dihisapnya memang ternyata mengandung racun. Kami juga sudah memeriksa kotak rokok yang dimiliki korban, dan menurut kesaksian dari beberapa pegawai perusahaan ini, kotak rokok itu milik Santi Triyani.”

“Racun apa yang terkandung dalam rokok itu?”

“Arsenik!” tukas Hendra Sucipto singkat. Tatapan matanya tajam.

“Memang jenis racun yang mematikan. Dapat dengan mudah membunuh seseorang dengan cara merusak sistem pencernaan yang lalu menyebabkan kematian karena shock. Racun ini sangat berbahaya dan dapat membunuh secara tiba-tiba,” jelas sang inspektur.
Asistennya mengangguk-angguk kagum dengan penjelasan tersebut.

“Kasus ini benar-benar memusingkan dan semakin rumit sekali, dan setiap kali aku telah menemukan sebuah titik terang, secepat itu pula titik terang itu berubah menjadi kebingungan,” keluh Inspektur Andrian kesal. “Hubungan di antara mereka tidak berjalan dengan baik. Mereka bertiga saling terlibat satu dengan yang lain dan memiliki motif yang sangat kuat untuk melakukan pembunuhan ini. Dan sayangnya, kasus ini masih gelap di mataku, dan apabila kita telah melangkah maju, makin banyak pertanyaan yang terus muncul sehubungan dengan kasus pembunuhan ini. Benar-benar membuatku tak habis pikir.”

Inspektur Andrian melanjutkan. Tetap mencoba berfikir jernih. Memeras otaknya.
“Pada pembunuhan Helena, kita tidak tahu bagaimana caranya si pembunuh memasukkan racun itu ke dalam botol plastik minuman yang masih tertutup dan tersegel rapih. Dan anehnya lagi mengenai pembunuhan yang terjadi pada Nagita Adelia ini. Cara pembunuhannya memang sederhana, tapi siapa yang membunuhnya? Mereka yang telah dicurigai bertiga kini telah tewas. Kasus ini seolah menjadi buntu bagiku.”

“Bagaimana kalau kita menanyakan hal ini kepada Tommy,” Hendra Sucipto memberikan saran, “mungkin dia bisa membantu kita Inspektur.”

Walau segan dan seolah mengurangi kredibilitasnya sebagai seorang inspektur kepolisian, mau tidak mau dia harus melakukan saran tersebut. Selama yang dia ketahui, Tommy memang adalah sejata terakhirnya. Anak itulah sejata pamungkasnya.

“Benar katamu. Kita memang sudah tidak ada pilihan yang lain lagi.” Sang inspektut mengambil ponsel dari dalam sakunya dan mulai menekan nomor pada keypad-nya membuat ponsel tersebut tersambung ke nomor seseorang.

“Halo... Tommy, bagaimana kabarmu?” tanya Inspektur Andrian. “Kabar Paman baik. Oh, iya. Ya, memang.” Tanpa lama berasa-basi, Inspektur Andrian dengan lugas menceritakan kasus yang sedang ditanganinya itu kepada pemuda tersebut. Di balik ponsel, pemuda itu terfokus.

Tommy terdiam sejenak setelah mendengarkan semuanya, lalu tanpa diduga-duga sebelumnya, dia tertawa. “Kasus pembunuhan yang sangat unik, Paman,” suaranya girang dari balik telepon. “Kalau menurutku, ini adalah segitiga pembunuhan berantai. Di mana jika kita tarik satu garis lurus ke tiga buah titik, maka nantinya garis tersebut akan kembali ke titik permulaan, yaitu titik awal pembunuhannya. Dalam kasus pembunuhan ini sama saja. Dari hasil kronologi penjelasan yang Paman katakan tadi, memang ketiga pembunuhan ini saling berhubungan.”

Tommy melanjutkan dengan kesenangan seorang remaja. “Santi Triyani yang menjadi korban pertama dibunuh dengan menggunakan pistol, dan tersangka yang membunuhnya memang benar adalah Helena. Sebab semua bukti-bukti memang sangat memberatkannya. Terlebih lagi dengan penemuan sidik jarinya pada senjata itu membuatnya semakin jelas dan bersalah atas pembunuhan tersebut. Tapi sanyangnya, dia terbunuh oleh racun yang terdapat dalam jus yang diminumnya,” jelas Tommy dengan nada prihatin.

“Lalu bagaimana cara memasukkan racun itu ke dalam botol yang masih tertutup dan tersegel rapat?” tanya Inspektur Andrian.

“Itu mudah saja Paman jika pembunuhnya tersebut menggunakan jarum suntik untuk memasukkan racunnya. Itu cara yang terpikirkan dan yang paling mungkin dilakukan oleh sang pembunuh.”

Inspektur Andrian diam, mencoba mencerna pemikiran Tommy yang begitu menakjubkan.
“Pada botol plastik jus itu ada bagian yang lentur dan lembek. Mudah sekali ditembus oleh jarum suntik atau benda sejenisnya. Dari situlah pelaku memasukkan racun mematikan itu,” jelas Tommy.

“Tapi kami tidak menemukan jenis jarum suntik atau benda lain yang mirip jarum di manapun di ruangan ketiga orang tersebut,” bantah sang inspektur. Mencoba menggoyahkan teori pembunuhan yang dikemukakan oleh Tommy.

“Apakah Paman sudah mencari di dalam tas Nagita Adelia? Pasti di situlah dia jarum suntik tersebut disembunyikan. Di tempat yang tersamarkan. Mungkin di dalam salah satu alat kosmetiknya. Kemudian pada pembunuhan ketiga, di mana Nagita sendiri dicurigai sebagai tersangka pembunuhan kedua, terbunuh. Dan menurut analisaku, pembunuhan Nagita itu dilakukan oleh Santi Triyani. Itu sudah jelas.”

“Tidak mungkin. Itu tidak mungkin. Bagaimana pembunuhan itu bisa dilakukan sementara Santi Triyani sendiri sudah meninggal jauh sebelum Nagita meninggal?” pekik sang inspektur. “Ingat dia adalah korban pertama dari pembunuhan ini.”

“Korban dalam hal ini, Santi Triyani belum tentu tidak bisa melakukan pembunuhan jika proses pembunuhan itu telah direncanakan olehnya. Dan pembunuhan itu bisa terjadi karena rokok. Rokok-rokok yang diberikan kepada Nagita jauh sebelum dia sendiri meninggal telah dicampur dengan racun yang diyakini sebagai arsenik. Wanita itu sudah merencanakan pembunuhan itu jauh sebelumnya, namun dia sendiri tidak menyadari bahwa dia juga akan menjadi korban pembunuhan nantinya. Ini adalah triangle murder, di mana semua korban memiliki dendam satu dengan yang lainnya, dan pada akhirnya mereka saling membunuh satu sama lain. Pada kasus ini mereka semua akan membunuh musuhnya, dan tidak menyadari bahwa nantinya mereka juga akan terbunuh oleh musuhnya yang lain.” Tommy menghembuskan napas. “Jika kita tarik garis lurus maka pembunuhan ini akan berakhir pada sebuah kondisi di mana korban pertama merupakan pelaku pembunuhan pada kasus pembunuhan terakhir.”

Inspektur Andrian tercengang. Wajahnya menegang. Di sampingnya, Hendra Sucipto merasakan bahwa kasus kali ini telah terpecahkan dengan sangat sempurna.

Sang inspektur memustukan hubungan ponselnya, kemudian samar-samar dia mengucapkan sesuatu yang mengejutkan. “Benar-benar, ini memang pembunuhan yang sangat mengejukan. Ternyata dendam bisa sangat mengerikan hingga terjadi seperti ini. Aku tak habis pikir.”

Senin, 19 Oktober 2009

Perjuangan: The Power of My Love

Penulis : Afandi M.
Gendre : True Love Story


Ini yang sesungguhnya, inilah cinta:

AKHIRNYA hari yang kutunggu-tunggu selama hampir enam bulan, tujuh hari, dan sembilan jam ini datang juga. Jika boleh dikatakan, inilah hari yang teristimewa dan paling berharga dalam hidupku sampai saat ini. Hari yang selama ini membuatku bisa bertahan dan mungkin, tidak bisa tergantikan oleh apa pun nantinya. Hari yang membuatku melangkahkan kaki, berangkat dari Bandung ke Makassar untuk menemui pujaanku—tujuan dan sumber utamaku. Yah, selama ini aku sering kali dibalut oleh duka dan kesendirian yang membosankan lagi memuakkan. Seolah-olah hidupku di dunia ini adalah sebuah kesalahan, semacam salah analisa dan salah prediksi antara Tuhan dan kedua orangtuaku.


Tetapi setelah lama kekacauan perasaan itu bersemayam dalam tubuhku, berpelukan dengan jiwaku, menutup rapat-rapat kesenangan dari dunia luar, tidak mengindahkan apa pun bentuk keceriaan di sekitarku, kini tiba saatnya semua itu menguap, menjadi buih-buih mikroskopik yang dimakan udara dan sinar. Entah sejak kapan bahagia ini menggumpal-gumpal untuk pertama kalinya. Tidak bisa kuketahui tepat kedatangannya. Ah, yang jelas dan bisa kuungkapkan saat ini, aku sangat-sangat bahagia. Kehidupanku telah terbalik dua ratus tujuh puluh derajat.

Pernah sekali waktu, aku sempat meyakini bahwa hari ini tak akan datang menghampiriku setelah sekian lama, namun lihatlah sekarang, hari yang kutunggu ini semakin mendekat, membisik-bisikkan senyawa-senyawa kebahagiaan, dan sekaranglah waktunya. Rindu yang menggelayut dan menggebu-gebu dalam jiwaku, hasrat yang menggelora, serta ribuan perasaan yang bercampur aduk akan terlepaskan, terlampiaskan dengan berbagai bentuk tindakan yang kuyakini mungkin saja akan kulakukan.

Kulirik setiap detakan jarum jam yang menempel kuat di dinding rumahku. Setiap perpindahan waktunya kurasakan membuat tubuhku bergetar penuh kebahagiaan. Rasanya merebak, bagaikan aroma magis telah memabukkan akal sehatku. Ah, inikah rasanya jika ingin bertemu dengan orang terkasih? Beginikah rasanya jatuh cinta, yang sebenarnya? Sulit sekali mendeskripsikan tiap waktu yang kujelajahi bersama ketiga kesatria waktu itu. Seumpama sukma telah meninggalkan raga, kegirangan, bercakap-cakap dengan mereka tentang pentingnya cinta ada di dunia. Tentang berharganya cinta bagi tiap manusia. Sesekali kukatakan kepada mereka, agar mempercepat peralihannya, mempercepat langkahnya, membuat mereka menunjukkan tepat ke angka yang kuharapkan.

“Tolong, percepat langkah kalian. Aku mohon. Buat telunjuk terkecil kalian itu merangkak dan mengarah ke angka 13.00 siang ini,” kataku dalam hati, memelas sejadi-jadinya. “Cepatlah! Ayo, aku mohon pada kalian bertiga.”

Waktu kian mendekat, dan tanpa terduga mengubahku menjadi pribadi yang berbeda dari biasanya. Ini bukan aku. Mana mungkin aku membuat perubahan dengan begitu cepat dalam diriku. Hei ingat, aku ini bukan tipe pria yang menyukai dandan berjam-jam selayaknya wanita di depan cermin. Menyemprotkan parfum ke seluruh baju dan celanaku, dan bahkan semenit sebelumnya, dengan parfum yang sama pula, benda tanda feminisme itu kusemprotkan di tubuhku. Tak lupa pula, handbody kuusapkan ke kedua penjuru lenganku. Aku seakan-akan tidak bisa mengingat, bahwa dahulunya aku ini pribadi yang cuek. Tapi entah mengapa, untuk kali ini, kali ini saja, untuk saat-saat yang menggembirakan ini, aku menginginkan menjadi sesuatu bagi dirinya. Minimal menjadi seorang pria yang begitu diidamkan para wanita, terkhusus untuknya. Menjadi pria yang peduli akan penampilannya. Minimal, aku menjadikan diriku layak berjalan bergandengan tangan dengannya di muka umum. Bersanding bersamanya melangkahi jalur-jalur kebahagiaan. Aku tidak mau mempermalukan dirinya sebagai wanita yang anggun dan memesona. Memiliki daya pikat di atas rata-rata. Yah, aku tahu, usia terkadang menjadi sedikit penghalang di antara kami. Sebagaimana usiaku memang terpaut jauh darinya, tetapi aku terkagum-kagum dengannya, sungguh sangat gembira sekali. Baginya, perbadingan usia yang cukup jauh membentang tidak semestinya menjadi penghalang. Dia menerimaku apa adanya. Sekali lagi, dia memberikanku pengetahuan tentang apa itu cinta yang sebenarnya. Dia memberiku sebuah chemistry tersendiri—mengasikkan dan kadang kala menggairahkan. Membuatku tampak berharga. Sama seperti yang dia katakan berkali-kali kepadaku. Seakan-akan kata-kata itu terus terpatri, menjadi candu yang memabukkan dengan tingkat intensitas kenikmatan yang begitu besar. Usia pula tidak menghalangi perasaan kami berkembang sedemikian pesat hingga sekarang. Cinta kami ini tak berjarak, lengang oleh kapasitas, tanpa ujung, dan tanpa perbandingan berat serta skala pembesaran.

Aku terkadang merasa aneh dengan pasangan-pasangan yang lain. Sambil menangis, wanita atau prianya akan berkata dalam tiap isakannya, “Aku telah menderita oleh cinta yang sia-sia.” Menurutku, ucapan mereka itu salah seratus persen. Sebenarnya, cinta tidak bersalah dalam masalah ini. Perasaan itu tidak boleh disalahkan karena kitalah yang menciptakan perasaan tersebut. Cinta memang yang membangun sebuah kebahagiaan, namun cinta bukanlah yang memberikan kesedihan. Wanita atau pria itu menderita karena dia merasa telah memberikan cinta lebih daripada yang dia terima dari pasangannya. Dia merasa karena cintanya telah bertepuk sebelah tangan. Dia menderita karena dia tidak dapat memaksakan aturan-aturannya sendiri kepada pasangannya. Berbeda dengan cinta kami. Cinta kami ini tidak ada takarannya.

Telah tiba saatnya, jarum jam semakin mendekati angka tujuanku. Telah kuperkirakan sebelumnya, jarak tempuh antara rumahku dan tempat pertemuan kami serta kecepatan rata-rata sebuah angkutan umum, hasilnya adalah lima belas menit. Itupun telah kuhitung-hitung dengan menggunakan rumus fisika untuk menghitung waktu di mana bisa kudeskripsikan yaitu jarak antara rumaku dan tempat pertemuan kami dibagi dengan kecepatan rata-rata angkutan umum. Cinta membuat seseorang lebih peka akan sesuatu. Bagiku, cinta membawa pencerahan ke dalam otakku. Setelah berpamitan, aku melangkahkan kaki menuju tempatku menunggu angkutan umum. Hingga detik ini, semuanya berjalan lancar. Perasaanku semakin menggebu-gebu. Tidak kuperlukan waktu banyak untuk menunggu angkutan umum jurusan BTP—Sentral berhenti di depanku. Siang itu, mungkin karena teriknya sinar matahari, hanya sedikit penumpang di dalamnya. Aku memilih duduk di depan, dekat supir. Kulakukan agar penampilanku tetap terjaga kerapihannya. Angkutan umum berjalan dengan perlahan, dan dengan itu pula hembusan angin seolah menggodaku, membelai wajahku dengan tangan-tangan lembutnya. Jarak demi jarak terlewati, namun getar-getar cinta ini membuatku melupakan setiap tempat di mana angkutan umum itu berhenti.

Tiba-tiba, ini di luar perkiraanku. Semuanya tidak sesuai dengan hasil komputasi otakku. Formula fisika itu ternyata tidak bisa diterapkan dalam kondisiku, sebab ada hal lain yang mempengaruhi hasil dari waktu perjalananku. Faktor penting itu adalah angkutan umum setidaknya memerlukan beberapa kali waktu untuk berhenti mencari penumpang, mengisi tempat duduk yang kosong. Dan hal ini benar-benar membuatku jengkel. Kenapa gangguan seperti ini bisa terjadi? Aku telambat. Ya, pasti aku terlambat sampai di sana sebelum dia tiba. Dan benar saja, ponselku berbunyi, bergetar di dalam kantong celana jeansku. Aku membuka sms, merasa was-was kalau-kalau dia merasa tersinggung, mengira aku mengingkari janji bertemu. Kubalas smsnya dengan singkat dan jelas, menekankan bahwa aku sedang dalam perjalanan ke tempat bertemu kami.

Beberapa menit kemudian, angkutan umum itu berhenti. Aku membuka pintu mobil, mengeluarkan sejumlah uang dari saku jeansku, dan langsung membayar. Dan inilah tempatnya. Sebuah bangunan besar berdiri di depanku. Makassar Town Square tertulis besar dan rapih bak papan reklame di dindingnya. Kurasakan jantungku makin berpacu, adrenalin menyembur-nyembur memberikan keberanian untukku.

Untuk kesekian kalinya, kutetapkan dalam hati. Inilah waktunya. Inilah yang kutunggu-tunggu selama ini—enam bulan, tujuh hari, dan sembilan jam. Sekaranglah saatnya.

Sembari melangkah masuk ke dalam Mall, aku menghubunginya. Menanyakan di mana dia menungguku sekarang. Ah, aku gagal memberikan kesan pertama yang baik untuknya. Semua ini murni kesalahanku, tak bermaksud menyalahkan siapa pun atas bencana ini. Dari balik ponsel, suara lembutnya berkata, bahwa saat ini dia sedang menunggu di sebuah toko buku di dalam Mall. “Aku lagi liat-liat buku,” lanjut dia menjelaskan. Jujur kukatakan, aku semakin terbius oleh kelembutan suaranya. Dan yang tak terbayangkan, aku akan menemuinya. Hari ini juga, gadis idamanku akan menampakkan wujud cantiknya. Keluar dari kepompong jarak yang membentang di antara aku dan dirinya. Keanggunannya yang menggelora, akan terus kusimpan dalam bilik memori indah yang pernah terjadi dalam hidupku. Kunaiki eskalator, dan jantungku tak dapat menahan kuasa, makin mendetak cepat. Seluruh adrenalin kini berlabuh di otakku. Menggulung-gulung ombak memori dari tengah samudra cintaku menuju neuron kerinduan yang menggelegak dalam jiwaku. Kucari-cari toko buku yang dimaksud, mengarahkan sepasang mataku ini ke papan nama toko selayaknya orang yang tersesat akan cintanya.

Toko buku itu kini ada di hadapanku. Aku berhenti sebentar, mengatur napas yang makin berantakan, dan beberapa detik kemudian, perlahan-lahan kulanjutkan kembali langkahku. Jantungku tak lagi berdetak cepat, malahan organ pemompa darah itu mau segera melompat keluar dari tubuhku. Tidak sabaran ingin mencari sosok gadis yang membuatnya tak menentu selama enam bulan, tujuh hari, dan sembilan jam terhitung hingga saat ini. Kurasakan kengiluan dalam perutku. Gejala-gejala ini tentunya baru pertama kali menjangkitiku. Obat penyembuhnya tidak bisa kutemukan di apotek manapun. Bahkan dokter-dokter biasa tidak akan bisa mengobati penyakitku ini. Nah, di sanalah, tepat di depanku dia berdiri. Dia sedang berjalan membelakangiku, tampak mencari-cari satu judul buku yang dinamakan cinta. Aku kenal betul sosoknya, dari foto-foto yang terkadang dia kirimkan kepadaku via email.

Aku tersenyum sendiri. Tubuhku gemetar saking senangnya. Untuk pertama kalinya, kudekati sosok gadis impianku ini—seorang wanita sempurna di mataku. Wanita yang telah membersihkan kerak kesendirian yang berjejalan dalam hatiku. Aku mendekatinya, perlahan, perlahan, dan semakin perlahan, seumpama ingin membuat kejutan kedatangan yang tak terlupakan. Tanpa kusadari, dia menghentikan langkahnya, berbalik dan menatapku tepat ke dalam hatiku. Aku tak menyangka dia langsung mengenaliku. Seakan-akan aura kerinduan yang menguar dari diriku telah memberitahunya bahwa aku sedang berada di belakangnya, mengamati sosoknya. Gadisku tersenyum, matanya berkaca-kaca bahagia. Dia lalu merentangkan kedua tangannya, berniat memelukku. Sesaat kemudian, baru kurasakan tubuhnya mendekapku. Begitu erat. Bak kerinduan yang sekian lama dengan sabar menanti itu, meluapkan segala bentuk kebahagiaannya. Kali ini, aroma tubuhnya kuserap dalam-dalam. Memancarkan berbagai versi kehangatan, kebahagiaan, tawa, kerinduan, cinta, dan pengharapan. Aroma tubuhnya tak akan mungkin hilang dalam hidupku. Tanpa peduli apa kata orang, dia tetap memelukku hingga akhirnya aku bersuara.

“Sudah lama nunggunya?”

Dia hanya mengangguk perlahan. Bulu mata lentiknya seolah melengkapi kecantikannya yang tak mungkin terkalahkan. Parasnya tak terlukiskan. Seumpama keseluruhan fisiknya telah menjadi kriteria bagi setiap lelaki yang sedang mencari-cari cinta. Kuyakini satu hal, dewi-dewi Yunani akan sangat iri tatkala gadisku ini menampakkan wujudnya di istana mereka, bahkan para dewanya sanggup dibuat bertekuk lutut dengan paras dan keanggunan yang dia miliki. Zeus akan rela turun dari tahta dan memilih menjadi manusia untuk mendapatkan cintanya.

Kami keluar dari toko buku. Kugenggam tangannya agar tidak jauh dariku. Perasaan ini bagaikan mimpi yang sangat indah. Dan jika ini memang mimpi, tolong—aku mohon jangan bangunkan aku. Aku tak mau begitu saja menikmati mimpi ini setengah jalan. Aku ingin mengulanginya terus dan terus, walau nyatanya hidup ini tak memerlukan keberadaanku untuk bisa berjalan seperti biasanya.

“Kita pergi ke sana yuk?” dia menyarankan sembari tersenyum, menunjuk sebuah tempat permainan yang ada di Mall itu. Aku tak sanggup berkata-kata, hanya membalas senyumannya dengan senyumanku. Di tempat itu, aku menukar sejumlah uang untuk membeli koin, dan dia tetap berada di sampingku. Kami mengamati sekeliling dan memilih sebuah bangku panjang untuk kami duduk. Suasana canggung mulai terasa. Aku mengerti, ini memang yang pertama untuknya. Dan wajar jika kecanggungan di antara kami ini tercipta. Tapi sesaat kemudian, dia berbicara banyak denganku. Mengatakan apa pun tentangnya; bagaimana dia bisa sampai ke Mall? Kapan dia berangkat? Berapa menit dia menunggu? Dan yang paling tak terlupakan bagiku adalah, saat itu secara tegas dan nyata di depanku, dia menyisipkan panggilan ‘Sayang’ pada akhir kalimatnya. Membuat dentingan irama piano-piano asmara menghambur di tengah kebisingan lagu anak-anak yang mengalun tak tentu di tempat itu.

Beberapa kali kami memasukkan koin di dalam kotak elektronik permainan basket, dan bersamanya, aku beradu untuk memasukkan bola terbanyak ke dalam ring. Semua yang kami lakukan waktu itu penuh dengan tawa riang dan kegembiraan, bahwa kami yang selama ini hanya bisa berkomunikasi melalui handphone telah membuktikan kepada semua orang yang sebelumnya pesimis akan hubungan kami ini, bahwa kami mampu bertahan dan menjaga cinta yang semakin berkembang dalam hati kami. Kami menjunjung tinggi arti kepercayaan dan kesetiaan. Meletakkan keduanya bersanding di atas singgasana bangunan permanen cinta kami.

Dua jam lebih sampai-sampai tidak terasa terlewati bersama dirinya. Bagaimana kami melewati waktu monoton bagi semua orang dengan suka cita. Bagaimana sikapnya saat menatap ke dalam mataku. Bagaimana ekspresinya saat membalas senyumanku. Bagaimana anggapannya tentang cinta kami. Dan masih banyak kata ‘bagaimana’ lagi yang bisa kuutarakan dalam kebersamaan kami itu. Yang kutahu, hari ini adalah hadiah yang paling terindah dalam hidupku, dan tentu pula untuknya.

Sebelum kami berpisah (kami telah merencanakan untuk bertemu empat hari yang akan datang), aku memberikan sebuah boneka untuknya. Aku harap boneka itu walau tak senilai dengan harga cinta kami, bisa mengisi sedikit kerinduan hari-harinya akan keberadaanku di sisinya. Aku—seseorang yang bukan apa-apa di mata orang lain, menjadi sesuatu yang tinggi di matanya. Menjadi bagian dirinya. Menjadi sesuatu penopang hidupnya. Membuatnya bisa bertahan. Untuk itulah, mengapa cintaku kepadanya tak akan pernah berakhir. Dan kuyakin, hingga akhir masa dan akhir dunia, cinta kami akan menjadi sesuatu yang selalu abadi sampai kapan pun.

Dialah yang membuatku berharga. Dialah yang membuatku bermakna. Dia pulalah yang mengajarkanku akan cinta yang sesungguhnya. Dialah Wieldy, kekasih yang ada dalam tiap hembusan napasku. Nama yang tetap kusebut dalam tiap doaku. Gadis yang akan selalu ada dalam tiap mimpiku. Hanya engkaulah wanita yang ada dalam hatiku. Hanya engkaulah labuhan di mana benakku bertumpu.

Tak bisa. Dan untuk terakhir kalinya memang nyatanya aku tak bisa, tak sanggup bernapas tanpamu.


Sabtu, 22 Agustus 2009

Aku Jadi Ingat Ibu

Diambil dari
Buku : Berhenti Sejenak, Melihat Lebih Dalam Untuk Memperbaiki Diri
Penulis : Bayu Gawtama
Penerbit : Hikmah (Kelompok Mizan)
Tahun Terbit : 2005
ISBN : 979-3674-73-3


Perawakannya kurus, meski ia mengakalinya dengan menggunakan blazer layaknya pegawai kantoran tetap saja terlihat bentuk tubuhnya yang ramping. Rambutnya lurus sebahu nampak kumal, sorot matanya sayu dan tak pernah berani mendekati orang ada kemauan yang teramat untuk mendekat.


Aromanya tak sesedap kebanyakan karyawati yang pernah saya temui. Blazer-nya pun lusuh, saya pun sempat menduga itu pemberian orang lain. Kulitnya hitam, tak manis, tak cantik, tapi wanita tiga puluh tahunan itu tetap berusaha memberikan senyuman yang bersebelahan dengannya.

Pertama kali bertemu dengannya, saya sudah menduga ada yang ganjil dengannya. Benar saja, ia yang duduk di sebelah saya di angkutan menuju Blok M langsung berbisik perlahan, sebisa mungkin ia berusaha tidak terdengar oleh orang lain kecuali saya.

“Bapak, maaf ongkos bis ini berapa ya?” tanyanya lembut.

“Seribu dua ratus bu, ibu mau ke mana?”

“Ke Blok M. Tapi saya nggak punya uang...” senyumnya tertahan. Getir.

Saya tak banyak bicara ketika kondektur tiba di sisi saya, selain mengeluarkan uang untuk ongkos dua orang. Tapi...

“Bapak punya uang lebih? Dua ribu saja. Agar saya bisa sampai ke Ciledug...”

Tak pikir panjang, saya keluarkan uang lebih dari yang diminta. Dan itu membuat senyunya tak lagi tertahan.

***

Untuk kedua kalinya, saya bertemu dengannya di Stasiun Kalibata. Masih dengan blazer merah marunnya yang lusuh, rambut sebahu yang agak kemerah-merahan, mata yang sayu dan senyumnya yang tetap tertahan.

Saya lemparkan senyum terlebih dulu ketika ia menatap saya. Mungkin ia masih mengingat saya. Ia duduk persis di sebelahnya saya, berbaris sejajar dengan calon penumpang kereta lainnya.

Saya bisa merasakan geraknya yang mendekat dan mencoba merapat, “Pak, punya uang nggak, dua ribu saja untuk ongkos pulang...” pintanya.

Lagi-lagi saya tak banyak tanya, tiga lembar ribuan saya berikan kepadanya. Dan lagi-lagi senyumnya tak tertahankan.

***

Entah apa yang ada di pikirannya, sore itu menjelang maghrib ia kembali menghampiri saya. Dan Anda pasti sudah tahu apa yang ia minta dari saya. Hanya dua ribu rupiah.

Saya sempat ragu untuk mengeluarkan uang, saya perhatikan wanita itu sejenak dan menduga ia hanyalah seorang penipu yang berpura-pura tak punya uang dan memanfaatkan kebaikan orang lain. Entah berapa banyak orang seperti saya yang berhasil ia tipu dan berapa banyak pula ‘dua ribu’ yang ia raup hari ini, kemarin, atau hari-hari sebelumnya.

Tapi, wajah itu, tangan lemah itu, mata sayu itu nampaknya telah berkata yang sebenarnya.
Satu lembar lima ribuan mampir ke tangannya. Serta merta ia menarik tangan saya hendak mencium tangan saya... segera saya tarik karena saya tak menghendaki ia berlaku demikian hanya karena lima ribu rupiah.

Saya tak mengenalnya dengan baik, di mana ia tinggal, apa pekerjaannya, dan ke mana setiap hari ia berjalan. Tapi saya bisa merasa ada beberapa mulut kacil di rumahnya yang menunggu setia kepulangannya.

Sungguh saya menangis, saat menatap wajahnya saya jadi ingat ibu sewaktu saya kecil. Ibu sering pergi jauh menawarkan jasanya mengajarkan Al Qur’an dengan ongkos seadanya, “Nanti juga dikasih ongkos dari sana,” yang dimaksud ibu adalah orang yang diajarkan mengaji.

Bagaimana jika saat ibu datang mereka tak di rumah? Bagaimana ibu pulang? Siapa yang memberinya ongkos pulang? Seperti yang sering saya temukan tentang cara ibu bisa pulang ke rumah setiap malam?

Kepada siapa pun yangpernah memberi ibu bantuan, terima kasih tulus dari.

Selasa, 18 Agustus 2009

Jika

Jika aku kehidupan,
Jika aku takdir,
Jika aku nasib itu sendiri,
Aku akan melukiskan kebahagiaan pada kisah setiap orang.

Quote 3

"Bermimpilah sampai setidak mungkinnya mimpi itu dapat tercapai olehmu, dan bercita-citalah yang nyata, yang dapat kau capai dengan kemampuan yang telah kau kerahkan demi untuk impianmu. Karena impian akan membawamu untuk terus berusaha dalam hidup."

Untuk Sang Kekasih

Aku terbangun tengah malam. Tersentak kaget oleh sebuah peristiwa yang begitu istimewa. Begitu amat sanggup memprovokasi imaji yang sedang bertenaga dan bertahta dalam puncak derita. Jika kau tahu, malam itu, parasmu berkali-kali muncul dalam berbagai versi keindahan yang tak dapat dibuat, dilukis, dan dibayangkan oleh satupun benak yang kala itu terjaga di dunia. Begitu amat sangat murni, dihargai, dan asli, tanpa adanya efek-efek khusus yang dimanipulasi oleh pantulan cahaya. Sejujurnya, waktu itu juga telah kusadari bahwa kau milikku seutuhnya. Satu-satunya milikku di dunia.

Senin, 06 Juli 2009

Mirackle Jackson was His Name

MICHAEL JACKSON atau dikenal sebagai Jacko, namun orang biasa menyingkat namanya menjadi ‘MJ’, tapi aku menyebutnya sebagai Mirackle Jackson. Bagiku, dia adalah sebuah figure yang sangat membanggakan, tak lain untuk seluruh dunia. Mengapa kukatakan demikian, sebab dia adalah salah satu icon dunia yang sangat tulus menentang perbedaan, perusakan alam, penindasan, dan sangat-sangat menentang peperangan.

Sebagai seorang penyanyi, Michael Jackson, dengan sangat sempurna memberikan kesan peduli di tiap-tiap lirik lagu yang dia ciptakan. Aku tak habis pikir, dari mana dia mendapatkan kata-kata ajaib itu? Dari manakah munculnya syair yang bisa membuatku sampai meneteskan air mata? Apakah dia, sesuai namanya (Michael) merupakan seorang malaikat yang diturunkan ke Bumi untuk membuat umat manusia sadar atas apa yang telah mereka lakukan selama ini.

Banyangkan, hanya segelintir penyanyi saja yang melakukan hal demikian. Kebanyakan dari penyanyi yang kukenal (selain Michael Jackson tentu saja) hanya membungkus lagu-lagunya dengan lirik mengenai percintaan, atau kalau tidak tentang patah hati. Kalau bisa aku berkata jujur di sini, lagu-lagu seperti itu hanya menjadi racun bagi generasi-generasi muda. Bukankah yang kuketahui dari dulu kalau lagu adalah salah satu sarana untuk menyampaikan kepedulian? Menyampaikan cinta kepada sesama?


Aku tidak peduli mengenai semua permasalahan pribadinya. Aku hanya menganggap semua itu adalah omong kosong yang disampaikan semua orang atas dirinya. Ingin menjatuhkan dirinya. Tapi tetap saja, orang baik akan selalu mendapatkan satu tempat di hati setiap orang. Sampai sekarang yang paling banyak digunjingkan dan menjadi kontroversi orang adalah mengenai warna kulitnya yang semakin berubah dari tahun ke tahun. Menurut berita yang kudengar di televisi, dia menderita penyakit vertiligo, yang kalau tidak salah merupakan penyakit yang akan membuat seluruh kulit menjadi putih, pucat, berbeda dengan orang normal kebanyakan. Sekali lagi, aku tidak peduli semua itu. Yang jelas-jelas kuketahui tentangnya pada saat itu adalah bahwa Michael Jackson melewatkan masa kecilnya di tengah kondisi bangsa yang sangat mempermasalahkan perbedaan ras. Apalagi menurut kabar kalau Michael Jackson sangat membenci ayahnya karena dianggap telah mengeksploitasi dirinya sejak masa kanak-kanak secara habis-habisan. Coba bayangkan untuk yang kesekian kalinya, apakah seorang ayah yang seharusnya menjadi figure pemberi contoh untuk anak-anaknya, pantas melakukan hal tersebut?

Berjuta-juta dollar uangnya dikeluarkan untuk membantu sesama, dari mengeluarkan uang untuk membantu rakyat yang kelaparan di negara-negara miskin atau untuk hal lainnya yang baik untuk sesama. Tapi, sekali lagi sangat disayangkan, dia telah tiada. Dia masih akan dan selamanya akan menjadi panutan dalam hidupku. Dialah sosok orang yang pantas dibanggakan. Meskipun telah tiada, dia akan terus menjadi pondasi kuat bagi perdamaian dan seluruh hal baik yang dilakukan umat manusia. Istirahatlah dengan telang Mirackle Jackson. Semoga kau mendapatkan tempat yang layak di sisi-Nya. Amin...

Beberapa di antara banyak lagunya yang sangat amat mampu menggugah hatiku selama ini antara lain, yaitu:
1)One day in your life
2)Black or white
3)Heal the world
4)Stranger in Moskow
5)Earthsong
6)You are not alone
7)Will you be there

Sabtu, 04 Juli 2009

Sang Pembawa Pesan


Aku, 30 tahun—Sekarang...

Ketika sebuah kejadian, atau bisa dikatakan sebagai sebuah malapetaka yang paling buruk datang melanda, terkadang ada satu jenis manusia yang terpuruk dalam kesedihan. Bertubi-tubi tenggelam dalam titik nadir kesedihan. Begitu dapat menghancurkan sisa hidup yang akan dijalaninya, tanpa pernah tahu apakah hidup itu sendiri bisa dikembalikan dengan suatu bentuk usaha, yang bisa jadi telah dilakukan tanpa pernah disadari oleh diri sendiri. Namun keterpurukan yang sudah menginvasi jauh sebelumnya, telah teramat sangat meracuni seluruh jiwa dan raga. Memburamkan pikiran normal yang dulunya pernah bertahta dengan tongkat kebesaran logika dan mahkota nalar yang begitu amat sangat dipuja-puja dan dibanggakan kehadirannya, bahkan, untuk sebagian orang yang setia menjunjung hal-hal logis dan selalu mengagung-agungkannya dengan berbagai macam julukan, yang menurut mereka adalah ‘sangat suci’—tak bisa tergantikan. Sang inventor, pengembang dari sebuah adikarya yang mantap, pemikir ulung—apa pun itu, pasti bisa dilakukannya. Tidak ada yang tidak mungkin. Semuanya hanya akan merangkai satu kata—‘pasti’. Sebuah sentral supervisori dari kinerja suatu sistem syaraf. Mengatur dan mengkoordinir sebagian besar gerakan, prilaku, dan fungsi homeostasis tubuh. Bertanggung jawab atas fungsi pengenalan, emosi, ingatan, pembelajaran motorik, dan segala bentuk pembelajaran lainnya.


Aku ingat, peristiwa itu datang tanpa diduga-duga jauh sebelum terjadinya. Amat sangat tak dijadwalkan. Tepat pada saat langit menorehkan kegelapan yang mutlak, dengan semburat kengerian yang menyebar di seluruh jagad. Malam itu, aku menatap langit, mencoba mencari-cari serpihan cahaya yang masih tersisa di antara angkara murka kegelapan yang berkuasa di atas sana, seperti mencari kebaikan manusia di dalam jiwa kelam yang sudah terbentuk bertahun-tahun lamanya walau sekecil apa pun. Tetapi tepat di atas sana, serpihan cahaya mungil itu tak tampak sama sekali. Seumpama ditunda kedatangannya untuk mampir dan menyinari Bumi. Bahkan di saat seperti itupun bulan merasa tak sanggup memberikan secercah sinar kebahagiaan yang sangat kuharapkan kedatangannya. Mengapa begitu?

Pertama kali pertemuanku dengan laki-laki tua itu juga terjadi di malam yang serupa seperti ini. Di malam yang tidak punya bintang, tak tampak rembulan, tanpa suara-suara makhluk malam yang berkeliaran di angkasa dan daratan. Seolah-olah kedatangan laki-laki tua itu telah melahap semua keceriaan yang ada pada malam tersebut. Semuanya hilang. Tetapi di balik itu semua, aku yakin kedatangannya yang entah disengaja atau telah ditakdirkan untuk mengisi lembaran nasibku ini, sudah diselingi oleh satu maksud dan tujuan yang jelas-jelas tersembunyi, sebab, aku langsung tersentak menyadari tatkala dia menghilang, di tempat yang sama, serupa seperti awal kemunculannya. Hidup, bagaimanapun itu, punya rencana lain—saat takdir telah begitu berbaik hati pada kita, selalu saja ada sebuah sumur ke mana semua impian itu akan terjatuh.

Angin malam yang dingin menyentuh kulitku yang langsung merinding dan bergetar, begitu pula nasibku yang sekarang beku dan terombang-ambing di antara lembaran kehidupan logis yang kujalani. Tak tahu mau ke mana, sampai sekarang masih terasa sia-sia dan tak ada makna yang bisa kutorehkan pada satupun lembarannya. Di depanku, debu-debu mikroskopik beterbangan ke satu tujuan, mendaratkan diri pada suatu nasib yang telah ditentukan untuknya dan teman-temannya. Beberapa plastik hitam ikut melayang tatkala angin semakin besar hembusannya. Aku duduk mengamati, seperti sedang melihat takdirku sendiri yang digambarkan secara gamblang di depan mataku.

Yah, bisa saja yang muncul di pikiranku kali ini mungkin hanya bagian dari persepsi bodohku saja, tapi setidaknya, coba simak sedikit walau sebetulnya maksud kalian hanya untuk sekedar menghormatiku sebagai seorang manusia seperti kalian. Sebetulnya, semua yang terjadi di dunia ini; baik itu yang disadari maupun tidak, pasti punya satu tujuan dan merupakan gambaran untuk suatu kejadian yang akan terjadi bagi yang melihatnya. Dalam hal ini, aku sendiri. Aku adalah aktor dari takdir yang coba menampakkan diri di depan mataku. Aku adalah lakonnya, lakon dari drama kehidupan yang khusus dibuat untukku.

~Bersambung~

Selasa, 30 Juni 2009

Wanita Istimewa

Lampu kamarku mati tiba-tiba
Kepanikan lalu muncul dan meracuni raga
Menggelontorkan keberanian,
Membekapku dengan ketakutan

Tapi, wajahmu kian terbayang
Bersinar laksana sang fajar,
Membara dan menciptakan keajaiban

Kau tahu,
Aku ini bodoh
Aku ini pria yang gagal
Menyedihkan sebagai manusia yang terbuang


Tapi, kau akan selalu ada di sisiku
Memberi sejuta harapan untuk membangkitkanku
Mendekapku dengan pelukan manjamu
Merayapkan semangat dalam sel-sel kalbuku

Kau teristimewa
Kau yang berharga
Kau satu dalam jiwa
Penyembuh luka untuk menghabiskan setiap masa

~Untuk seseorang yang kini membuatku merasakan bahagia, terima kasih sayangku~

Puji Cinta

Kala itu lenguhan napasmu terasa basah di telingaku
Menggelitik naluri merah jambu yang bersembunyi di peti sanubari jasadku
Mengusik cinta yang dulu keras membatu
Mencairkan kebekuan yang tak peka oleh jejaring cinta semu

Kaulah wanita imajinasi yang dulu serupa bayangan terhampar
Menjadikanmu buih di kala cahaya sepenuhnya menghilang terseret gelombang fajar
Sekarang, kau tampak nyata, tak hanya jadi fiksi belaka
Tak sekedar ilusi optik semata


Suara sayumu itu, hadir di selasar pikiran jiwa
Menghipnotisku untuk terus berdoa akan datangnya sebuah keajaiban bertabur makna
Membuatku terus berkarya, serasa nuansa ilham turut membakar dada
Merasakan nyatanya keindahan aurora murni keberadaan hasrat pesonamu
Membuat dewa kematian luluh, bersimpuh, tak jadi mencabut nyawaku

Perhatianmu itu, meretaskan kehausanku akan kasih dan sayang
Meriuhkan suasana hatiku yang dahulu terasa lengang
Membubuhkan dua pasang sayap untuk mengejarmu melewati pekatnya kelabu awan

Senyumanmu itu, buatku terlena serasa di surga
Tak peduli apa yang membuatku tetap terjaga
Walau kaki harus melangkahi lembah atmosfer tujuh samudra magma
Tak peduli harus menghindari pecutan kilat yang berbahaya
Walau rajangan pisau membekas menorehkan aib dan merobek kehormatan di dada
Aku tetap melaju ke tempatmu berada
Lari dari aturan yang dibuat oleh penguasa

Ya, kutahu sayangku...
Puji-puji ini tak berarti banyak untukmu
Rangkaian kata-kata ini tak bisa bebaskan sosokmu
Sangkar umur itu masih mengurungmu,
Membentengi kita berdua dalam dunia yang jauh berbeda

Tak peduli,
Kuacuhkan itu semua
Apa daya, ego cinta sudah meracuni jiwa

Tetap kumelaju,
Walau harus berdarah-darah melawan seratus serdadu
Walau tubuhku meronta, menolak mengikuti niatku

Terus kupaksa, namun tetap tak bisa
Kugunakan kapak dewa, kemudian jeruji sangkarmu dengan malas hanya berkata,
"Cinta adalah keegoisan, namun menunggu cinta jauh melampaui kesetiaan."

Metamorfosa Cintaku

Kau tahu, seberapa banyak aku kehilangan untuk dapatkanmu?
Sadarkah kau, bagaimana sulitnya aku berusaha agar perhatianmu itu milikku?
Tetapi tetap saja, seribu kali masih tetap saja sama,
Semua itu tidak cukup untuk ungkapkan rasa ini kepadamu,
Tidak di depanmu, tidak pula jujur padamu,
Tak cukup kata-kataku untuk deskripsikan dentuman-dentuman cinta yang terus menyiksa dalam kalbuku,

Ah, aku masih merasa malu…
Masih saja tetap malu,
Hingga kujadikan engkau sebagai alasan kemarahanku—waktu itu.


Dan tahukah engkau sekarang,
Saat kita mulai berjalan berdua dalam pilinan benang cinta yang kita bentangkan,
Namamu seketika itu pula sudah mendarah daging dalam tubuhku,
Mengalir dan menguatkan tiap-tiap sendiku yang rapuh,
Secepat itu pula, suaramu sudah jadi keharusan untuk memuaskan dahaga rinduku,
Parasmu, tak terbantahkan lagi, ikut berkomentar harus diperhatikan oleh imajiku,

Hidupku kini terasa penuh metafora bersamamu;
Tidak ada hari yang bisa membiaskan warna pelangi tanpa senyummu,
Siang akan segelap malam jika kau keluarkan sedihmu,
Kedipanmu bahkan punya arti bagi asupan napasku,
Semenjak saat ini, dunia ada di genggaman tanganmu cintaku,
Bahkan jika mau, alam semesta akan jadi milikmu.

Terimalah persembahanku,
Kalungan bunga kesetiaan dan perhatian hanya untukmu,
Terimalah diamku,
Yang akan buatmu terus berkata bahwa cintamu itu hanya milikku,

Kaulah dewi yang membuatku terus bercerita,
Senyumanmu bahkan melegenda hingga ke tingkatan surga,
Kaulah buih aroma yang menguar dalam kabut dini pagiku,
Kaulah nada rahasia kesuksesan sebuah karya simphoni empat masa,
Aktris dalam tiap adegan percintaan beda dimensi,

Kali ini dan untuk seterusnya,
Kaulah Julietku—jelita satu-satunya dalam hidupku.
Tetaplah seperti ini,
Tetaplah seperti cinta yang selalu jadi kepercayaanku,
Tetaplah menjadi sebentuk cinta dalam hatiku yang baru.
Marilah hidup bersama dalam pesona yang kita ciptakan, Sayangku!

Jumat, 17 April 2009

The Missing Man "Sinopsis"

Judul : The Missing Man
Penulis : Alexander Bonaparte Cruz
Penerbit : Masmedia Buana Pustaka
Halaman : 606
Harga : Rp 42.000


“Ada banyak cara untuk menunjukkan keberadaan kita yang rapuh. Banyak cara untuk membuat keberadaan kita berarti. Tapi, ingatan kitalah yang membentuk tujuan keberadaan kita, dan memberi arti pada keberadaan kita. Ingatan pribadi tentang suatu gambaran ketakutan, cinta, kesedihan, dan penyesalan. Merupakan sebuah ironi kehidupan yang kejam, bahwa kita ditakdirkan untuk tetap menyatukan gelap dengan terang, tawa dengan kesedihan, kebaikan dan kejahatan, kesuksesan dan kekecewaan. Inilah yang membedakan kita. Inilah yang menjadikan kita—manusia. Dan, pada akhirnya, kita harus berjuang untuk mempertahankannya, atau jika perlu, bertarung untuk menemukannya kembali...”


~ ~ ~

Ketika bangun, dia bingung akan semuanya. Dia bingung ketika melihat apa yang tertangkap oleh indra penglihatannya itu. Bingung dengan semua pertanyaan yang tiba-tiba muncul begitu saja di pikirannya: ada di mana dia sekarang? Mengapa kepala dan tubuhnya begitu sakit untuk diajak bergerak? Mengapa banyak bekas cakaran di pakaiannya? Kenapa sinar matahari begitu menyilaukan penglihatannya? Bagaimana tubuhnya bisa mendapatkan luka-luka seperti ini? Parahnya lagi, muncul pertanyaan yang tak terduga; siapakah dirinya? Siapa dia sebenarnya?



~ ~ ~

Di pedalaman hutan, pria yang lupa asal usulnya itu harus berusaha keras untuk bisa bertahan hidup dari segala terjangan kebuasan dan keganasan para penghuni rimba. ‘Yang terkuatlah yang menang’, itu merupakan hukum yang selalu dipegang teguh oleh setiap penghuni di belantara raya. Tak ada yang bisa mengubah hukum itu atau mencampakkannya begitu saja. Semuanya harus patuh, tunduk pada hukum yang telah dibuat dan ditaati selama turun-temurun.

Ketika kelaparan datang melanda, dia mengunyah pucuk daun, menggali umbi-umbian, mencari buah dan pucuk rotan muda, atau berburu binatang. Untuk minum, dia memanfaatkan lumut dan genangan air seadanya, tentunya sebelum menemukan aliran sungai yang dihuni dengan buaya lapar. Sergapan srigala pada malam buta, menderita malaria, dikejar oleh gerombolan kera penghuni reruntuhan bangunan tua, hingga penyerangan suku primitif pemburu kepala yang pada akhirnya membuatnya tak sadarkan diri, adalah sebagian kecil dari petualangannya untuk keluar dari belantara Kalimantan, dan menemukan jawaban dari segala pertanyaan yang terus-menerus membebani pikirannya.

Dunia air bawah tanah yang begitu memesona dan penuh dengan eksotika masa lampau, secara tidak sengaja ditemukan olehnya. Gua yang dipenuhi stalagmit dan stalagtit terendam oleh ribuan galonan air.

Akhirnya, sebuah kebenaran mengungkapkan realita mengenai siapa dirinya yang sebenarnya. Namun, apakah dengan terungkapnya realita itu, semuanya dapat berakhir seperti yang telah diharapkan? Apakah bisa? Ya, lihat saja petualangannya.


Lembar Petualangan

1. Prolog
2. Sebuah Berita
3. Siapa Aku?
4. Selembar Identitas
5. Terungkapnya Sebuah Kebenaran
6. Sebuah Rencana
7. Jejak Gelap
8. Mozaik Mimpi
9. Sang Pemangsa
10. Datangnya Bala Bantuan
11. Bukit Baka–Bukit Raya
12. Hukum Rimba yang Sebenarnya
13. Jebakan Dari Alam
14. Monster Dari Balik Kegelapan Malam
15. Pak Indrawan Memberikan Jawaban
16. Melakukan Pencarian Bertiga
17. Puing–Puing yang Tersembunyi
18. Kehilangan Besar Dalam Kabut
19. Pencarian Berkelompok; Dua Arah
20. Negeri yang Bercahaya di Bawah Air
21. Makhluk Setengah Purba
22. Masa Lalu yang Menyedihkan
23. Yang Dicari-Cari
24. Rahasia Awal Mula Keberadaan
25. Manusia-Manusia Prasejarah
26. Pahitnya Kebenaran
27. Terungkapnya Kebohongan Sang Nyonya
28. Kembali Dari Kegelapan
29. Bertarung Melawan Kematian
30. Satu Bayangan Ketakutan
31. Terdampar
32. Jati Diri yang Sebenarnya
33. Telepon Dari Pak Nanang
34. Akhir Dari Ceritanya
35. Epilog

Sabtu, 21 Februari 2009

Misteri Mumi di Dunia


SEMUA ORANG pasti tahu mumi. Anak kecil sekalipun pasti bergidik dan menutup telinga kala mendengar nama itu disebutkan. Jelas sudah bahwa dalam film-film thriller sekelas Resident Evil besutan sutradara sekaligus produser Paul Anderson yang mempertontonkan mayat-mayat hidup sebagai pemeran utama yang berjalan oleng di perempatan jalan, berjingkat-jingkat di lorong-lorong nan gelap yang tak tersentuh cahaya matahari, menyeret-nyeret tubuhnya yang sudah terkoyak karena tertebas parang, membuat keberadaan mereka di dunia sering diidentikkan sebagai pembawa bencana, kegelapan, teror, wabah penyakit, dan lain-lain. Bahkan di Mesir sekalipun yang telah menjadi sejarah awal mula pembentukan, sang mumi dikenal sebagai pembawa kehancuran di dunia.

Di Mesir, tubuh raja yang telah mangkat, salah satu contohnya adalah raja Tuntankhamun, tidak serta merta dikubur di dalam tanah sebagaimana yang dilakukan dalam prosesi penguburan di Indonesia, ataupun dibakar di atas susunan tumpukan kayu seperti yang diyakini oleh kepercayaan umat Hindu. Pada zaman Mesir kuno, mayat raja akan diawetkan. Tindakan itu dikarenakan untuk menjaga bentuk awal tubuh tersebut hingga beratus-ratus tahun lamanya. Dan juga orang-orang mesir kuno percaya bahwa badan adalah tempat Ka—seseorang yang sangat penting dalam masa setelah hidup.


Rongga perut mayat yang akan dijadikan mumi akan dibuka dan isinya dikeluarkan: jantung, hati, paru-paru, dan usus dimasukkan dalam guci. Mereka percaya mumi membutuhkan organ itu pada kehidupan selanjutnya. Karena fungsi otak saat itu belum diketahui, organ terpenting tersebut dibuang dengan melubangi tengkorak lewat hidung. Mayat yang telah kosong itu akan dilapisi natron—sejenis mineral garam higroskopis untuk mempercepat proses dehidrasi sekaligus mencegah pembusukan. Selanjutnya, mayat dibungkus gulungan pita linen yang amat kuat untuk membantu mumifikasi. Setelah proses pembungkusan dan pembalsaman mumi itu telah selesai dilakukan lalu mumi tersebut akan dimasukkan ke dalam piramid, yang dimaksudkan agar mumi yang sudah dibalsam tersebut, terhindar dari proses dekoposisi oleh para mikroorganisme dekomposer, menjaga agar mumi tersebut kering, dingin karena ketiadaan oksigen.

Namun apakah ada riset ilmiah yang dilakukan oleh para ilmuan untuk menguak misteri pengawetan mumi tersebut. Salah satu riset yang katanya menguak misteri itu telah dilakukan sebuah lembaga riset pertanian Amerika. Riset tersebut menggunakan beberapa ekor ayam sebagai kelinci percobaan. Ayam-ayam tersebut dimasukan ke dalam dua ruangan yang terkontaminasi bakteri pembusuk. Ruangan pertama diberi ion negatif sedangkan ruangan kedua tidak. Setelah menunggu beberapa waktu, riset pun menunjukkan hasilnya. Kondisi ayam di ruang yang diberi ion negatif tetap sehat. Sementara itu kondisi ayam di ruangan kedua telah menemui ajal.

Setelah diteliti lebih mendalam penyebab tidak matinya ayam di ruangan pertama ialah ion negatif. Ion negatif merupakan ion yang tidak stabil atau ion yang elektron bebasnya terlepas. Akibatnya, ion tersebut selalu mencari pasangan agar tetap stabil. Prinsip kestabilan ion inilah yang dimanfaatkan oleh masyarakat Mesir untuk mengawetkan mumi. Ruangan tempat mumi bersemayam ternyata penuh dengan ion negatif. Ion negatif yang mengisi peti mumi itu berikatan dengan bakteri yang berada di dalam ruangan maupun di dalam peti. Ikatan yang terbentuk membunuh sekaligus menghentikan aktivitas bakteri. Menakjubkan, ternyata pengetahuan kita masa kini telah dimiliki ribuan tahun lalu oleh masyarakat Mesir.

Kemudian baru-baru ini juga terkuak sebuah rahasia yang begitu mengesankan mengenai sebuah mumi yang terdapat di kota Palermo, Italia. Mayat Rosalia Lombardo, seorang anak perempuan Sisilia berusia dua tahun yang meninggal pada 1920, masih terlihat tetap segar. Mumi Rosalia ini dikenal dengan sebutan “Sleeping Beauty” disimpan aman dalam kotak kaca.



Dario Piombino-Mascali, seorang ahli antropologi biologi dari Institute for Mummies and the Iceman telah berhasil mengungkap rahasia racikan ramuan yang dipakai untuk mengawetkan mayat si gadis “Sleeping Beauty” itu. Dari catatan tangan yang dibuat oleh Alfredo Salafia—seorang taksidermis atau ahli pembuat awetan yang tewas tahun 1933, terungkap bahwa Salafia menyuntikkan zat-zat kimia ke tubuh Rosalia berupa formalin, alkohol, asam salisilat, gliserol, dan garam seng.

Kita tahu bahwa saat ini formalin adalah zat kimia yang paling umum digunakan untuk mengawetkan mayat. Campuran formalin dapat membunuh semua bakteri pembusuk daging. Sementara alkohol, di daerah yang kering digunakan untuk mempertahankan mayat agar tetap kering, awet terhadap perubahan suhu dan kelembaban. Gliserol, seperti minyak, akan mencegah tubuh terlalu kering, sedangkan asam salisilat mencegah tumbuhnya jamur yang tentunya akan menjadi organisme dekomposer. Namun kunci dari itu semua terletak pada garam seng. Menurut Melissa Johnsons Williams, Direktur Eksekutif American Society of Embalmers, seng tidak digunakan dalam proses pengawetan di AS. Dia mengatakan.

“Seng membuatnya kaku. Anda dapat mengangkatnya dari peti dan membiarkannya berdiri,” jelas Williams.

Di Cina, pengawetan mayat dilakukan dengan merendam peti mati dari kayu cemara yang dipadati dengan tumbuhan obat.

Pada pertengahan Mei tahun 2006, tim arkeologi mengumumkan penemuan mumi perempuan bertato dari peradaban Moche di Peru. Mumi yang diperkirakan berasal dari tahun 450 itu adalah mumi dengan kondisi terbaik yang pernah ditemukan karena kulitnya masih utuh untuk memamerkan tatonya. Ketika ditemukan, mumi perempuan elite Peru iti juga terbungkus dengan ratusan meter kain katun. Mumi yang dinamai Lady of Cao karena ditemukan di piramida Huaca Cao Viejo. Mumi tersebut diawetkan dengan menggunakan zat merkuri sulfida untuk memusnahkan mikroorganisme dan membantu pengawetan.

Di indonesia juga terdapat sebuah mumi yang konon telah berusia sekitar 400 tahun. Nama mumi itu adalah Mimindo Mabel, merupakan bekas kepala suku Mabel yang terletak di Kampung Sumpaima, Wamena—Papua. Arti nama Mimindo Mabel menurut suku Mabel tersebut adalah suka berperang. Banyak masyarakat Wamena yang mengatakan bahwa, jika orang dari luar Papua pergi ke Wamena tapi belum mampir ke Kampung Sumpaima, dianggap belum ke Wamena.

Pada intinya, untuk mengawetkan mayat menjadi mumi dibutuhkan tempat yang kering, dingin, sedikit oksigen, serta bantuan zat-zat kimia atau ramuan tertentu yang dapat menghidarkan tubuh tersebut dari proses terjadinya dekomposisi.

Rabu, 11 Februari 2009

The Triangle Murder - Chap. 03

Penulis : Afandi M.
Gendre : Detektif & Misteri
Lain-lain : Berseri (4)

SINAR MATAHARI yang terik panas membakar, menggosongkan, menyelidik, berkilat dari balik kaca tebal setiap jendela perusahaan yang saat itu baru tertimpa kemalangan mengenaskan. Sinar yang berpijar dari pusat tata surya itu memancarkan cahaya kekuningan bercampur jingga yang terang menyala. Perusahaan Summer masih diliputi oleh bayang-bayang kejadian kemarin, disinggahi ketakutan, diselimuti kegamangan akan takdir. Kejadian itu membuat setiap karyawan yang bekerja di perusahan tersebut ikut terguncang, dan beberapa dari mereka masih tetap saja membicarakan peristiwa mengerikan itu. Masih menjadi topik yang hangat untuk santapan gosip-gosip harian.

Beberapa polisi masih hilir-mudik di perusahaan tersebut. Bertanya-tanya ke setiap pegawai yang mempunyai hubungan dekat dengan korban pembunuhan—Santi Triyani, baik sebagai teman dekat atau hanya sebatas teman kerja saja. Santi dan Helena juga dimintai keterangannya. Penelusuran informasi lebih difokuskan kepada Helena, sebab menurut penuturan pekerja lain, wanita itu dulunya merupakan teman baik Santi Triyani. Terlebih lagi dia juga dicurigai merupakan tersangka utama dalam peristiwa pembunuhan tersebut.


Office boy yang kemarin dijadikan saksi atas penemuan mayat Santi Triyani―Jumadi, tiba-tiba menjadi sangat terkenal di perusahaan Summer, layaknya seorang selebriti di perusahaan tersebut. Setiap jam, bahkan setiap menit ada saja yang ingin mendengarkan ceritanya. Tapi beberapa orang dari pendengarnya, mendengus tidak puas akan cerita tersebut. Mereka ingin tahu lebih detail lagi. Lebih seram, lebih menggidik kulit, lebih menakutkan. Siapa tahu nantinya dapat dijadikan bahan gosip saat istirahat kerja tiba.


“Hai, apa kabar?” sapa Helena kepada Nagita, yang saat itu tidak sengaja ditemuinya sedang menaiki tangga menuju lantai atas. Entah kenapa wanita itu mau-maunya naik tangga ke lantai atas, padahal ada sekitar empat lift yang efektif di setiap lantainya. Kebetulan, hanya mereka berdualah yang ada di lorong tersebut. Pajangan poster serta beberapa kertas pemberitahuan tertempel di dinding kayu beralaskan sterofom hijau dengan penutup kaca berukuran persegi panjang. Nagita memandanginya sejenak. Tatapan sinis terpancar dari matanya yang tegas dan sigap seperti burung elang.

“Baik. Aku baik-baik saja,” katanya dengan suara agak ditekan.

“Kamu tidak mengikuti pemakaman Santi, ya?” tanya Nagita kemudian.

Helena tidak menjawab, hanya terdiam, tak berani sepertinya memandang mata atasannya itu, seolah-olah mata itu ingin melukainya dan menelannya bulat-bulat. Ia menyadari bahwa dirinya telah membuat sebuah kesalahan besar. Sangat mengancam karirnya.

Tak berhasil mendapatkan jawaban yang ia inginkan, Nagita kembali bersuara, “Bukankah dia itu temanmu? Maksudku sahabat baikmu, kan?”

“Bukan... dia bukan sahabatku,” ujar Helena. “Memang dulu kami sering bersama. Berbagi suka dan duka bersama-sama, tapi setelah dia melakukan perbuatan licik seperti itu dan hanya untuk menaikkan pamor serta jabatannya, aku tidak mau lagi menjadi sahabatnya. Tidak akan pernah. Meskipun dia memohon di kedua telapak kakiku,” ujarnya geram. “Entah mengapa sifatnya berubah drastis dan menjadi gila harta seperti itu―sangat gila kekuasaan. Memang benar kata orang-orang kalau kita tidak bisa melihat orang dari luarnya saja, pasti ada sesuatu yang tersembunyi dalam hatinya, jika bukan niat baik pastilah niat jahat yang busuk.”

Nagita masih mengurai senyum. “Biar bagaimanapun dia tetap sahabatmu, kan? Apa kau tidak merasa kehilangan dia?”

Helena menggeleng. “Tidak. Sedikit pun aku tidak sedih kehilangan orang yang telah menghianatiku. Sekarang orang-orang jahat di perusahaan ini makin berkurang. Bukankah Anda juga senang kalau Santi meninggal, Bu?” celetuk Helena sinis.

Bagai mendapat serangan balik, Nagita kaget. Seolah tertancap busur panah dari jarak dekat yang tak mungkin bisa dihindari. “Apa maksudmu?”

“Emm... maaf jika saya tidak sopan pada Anda, tapi... sudah jelas bukan...” ujarnya sambil menegakkan bahunya. Terbersit sebuah senyuman buas dan licik dari balik bibirnya yang ranum itu. “Dia sangat menginginkan posisi Anda sebelum wanita iblis itu meninggal. Dia melakukan apa saja untuk merebut jabatan itu dari Anda, bukan? Seperti yang telah dia lakukan padaku. Membuat jabatan Anda itu terancam. Bukankah kematian itu yang membuat Anda senang.”

Nagita tidak berkomentar apa-apa. Mukanya memerah menahan amarah yang sedari tadi meluap-luap dan coba disembunyikannya di balik senyumannya yang terlihat ramah tamah itu. Tiba-tiba ponsel Helena berbunyi nyaring. Sebuah lagu dari band pop ternama Indonesia menjadi ringtone ponselnya.


Kupetik bintang, untuk kau simpan
Cahayanya tenang berikan kau perlindungan
Sebagai pengingat teman
Juga s’bagai jawaban
Semua tantangan



Ekspresi wajah Helena langsung berubah gembira saat melihat nama orang yang meneleponnya itu. Helena membalikkan badan bermaksud menyembunyikan ekspresi kesenangannya itu, kemudian membuka pembicaraan dengan suara lembut yang dibuat-buat. Mesra sekali. Pembicaraan itu berakhir dua menit kemudian dan sebuah kecupan jauh terdengar mesra di telinga Nagita yang sedari tadi tak sengaja menguping di belakangnya.

“Itu Roman, kan?” tanya Nagita.

“Ya. Tadi itu Roman,” jawab Helena kemudian mengernyit, “Memangnya ada apa, Bu? Anda tidak apa-apa bukan?”

“Oh! Tidak apa-apa. Aku turut bahagia kalian bisa bersama-sama. Semoga langgeng. Ya, semoga saja,” katanya dengan suara pelan, menyunggingkan senyuman penuh kebohongan, lalu mereka pun berpisah dengan membawa bongkahan kebencian masing-masing yang sewaktu-waktu akan dikeluarkan.

***

Jumadi sedang menyeduh secangkir kopi ketika Nagita masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. “Eh, Ibu!” serunya kaget. “Ada yang bisa saya bantu, Bu?”
Sambil menyerahkan sebuah botol orange juice yang terbuat dari plastik serupa kemasan botol mineral, Nagita berkata dengan suara agak berbisik. “Tadi saya sempat keluar sebentar dan Helena menitipkan uang kepada saya agar uang tersebut dibelikan jus ini. Katanya, dia ingin minum orange juice. Tapi, saya tidak sempat memberikan jus ini kepadanya sendiri sekarang. Saya harus menghadiri rapat penting sekarang juga. Jadi, tolong kamu berikan minuman ini padanya. Jangan lupa ya...” ia mengingatkan.
Jumadi mengangguk sekali sambil menerima botol berisi jus tersebut.

“Ini ada sedikit uang buatmu.” Dua lembar uang seratus ribuan langsung diberikannya tanpa pikir panjang kepada Jumadi.

“Te... terima kasih Bu! Nanti saya antarkan minuman ini kepada Bu Helena,” kata Jumadi mengakhiri pembicaraan. Diapun melanjutkan kembali membuat kopi yang tadi sempat tertunda.


Kala itu, Helena sedang menggambar sesuatu di atas kertas gambarnya dengan pensil-pensil segala rupa dan warna dibiarkan tidak teraut tajam, maksudnya untuk mendapatkan arsiran garis yang terbaik. Lebih berseni. Lebih eksotis, mungkin. Gambar sebuah gaun pesta setengah jadi dengan belahan pada sampingannya menghiasi kertas gambar yang tadinya polos itu. Garisnya mulus dan begitu sempurna. Tiap lekukannya seolah tergores dengan rincian yang sangat teliti.

Kini, untuk lebih mempertajam desainnya, ia bersiap mewarnai gambar itu ketika Jumadi datang sambil membawa sesuatu. “Bu, ini yang tadi ibu pesan,” kata Jumadi langsung menyuguhkan segelas orange juice kesenangan Helena.

Helena menekuk alis matanya, sementara sebelah matanya ikut disipitkan.

Orange juice? Perasaan, saya tidak minta orange juice,” katanya heran.
Jumadi yang sekarang terlihat kebingungan. “Bukannya tadi ibu minta dibuatkan ini?”
Helena tetap kokoh pada sikapnya semula. “Tidak... saya tidak minta orange juice. Memangnya, siapa yang memberitahumu kalau aku mau dibuatkan minuman ini?”
Jumadi takut, merasa akan disalahkan lagi-lagi. Nasib orang kecil.

“Tadi ibu Nagita bilang, katanya, Bu Helena mau dibuatkan orange juice ini,” Jumadi juga menambahkan, “Bu Nagita juga yang mengantar botol jusnya sendiri kepada saya. Tadi sebenarnya, dia sendiri yang bermaksud mengantarkannya ke ibu, tapi karena ada rapat penting jadi Bu Nagita menyuruh saya untuk mengantarkannya ke sini.”

Apalagi yang diinginkan wanita itu? Ada-ada saja, batin Helena berbisik kesal.
Ia kemudian melanjutkan pekerjaannya. “Kalau begitu, taruh saja gelas itu, nanti aku akan meminumnya setelah aku menyelesaikan pekerjaan ini. Kebetulan cuaca hari ini sangat panas.”

“Terimakasih ya, Madi!” ujar Helena tak mempedulikan.


Cuaca siang itu memang terasa sangat panas. Terik menggeliat-geliat dengan senang hati, bagai berada di gurun pasir tanpa perlindungan dari cahaya matahari yang semakin lama semakin menyengat kulit. Walaupun AC sudah menghembuskan embun segar, namun tetap saja hawa panas yang sedari tadi merasuk dan mengembang di dalam ruangan jauh lebih kuat.

Tanpa sengaja Helena memandangi gelas di depannya. Embun berupa titik-titik air sudah memenuhi luar gelas tersebut, membuat genangan air kecil di bawahnya. Dingin. Terasa sangat menyejukkan badan jika meneguknya secara utuh. Es yang tadinya berukuran kotak telah mencair. Sekarang, hanya meninggalkan bongkahan es kecil berbentuk abstrak tak punya arti.

Helena tidak tahan lagi. Panas yang menggeliat-geliat dan tidak bisa dikontrol membutakan matanya. Kebetulan, minuman yang sedari tadi ada itu terus menarik-narik perhatiannya. Meniup-niupi tenggorokannya. Membayangi pikirannya dengan kenikmatan luar biasa.

Dengan sikap tanpa curiga, Helena meminumnya. Membiarkan minuman itu membasahi tenggorokannya. Seketika hausnya terobati, dahaganya hilang sembari menghembuskan napas puas yang tidak bisa terucapkan. Tapi, tiba-tiba kepalanya pusing, tenggorokannya terasa dicekik kuat-kuat. Terakhir, napasnya ikut-ikutan sesak—berat. Beberapa detik kemudian, Helena sulit sekali bernapas. Ia memegangi lehernya, berharap organ-organ di dalam tubuhnya bisa menjalankan fungsinya seperti sebagaimana mestinya. Ia mencoba berteriak, mencoba mengumandangkan rasa sakit yang menggerayangi tubuhnya. Namun, sekarang sudah terlambat. Tubuhnya langsung limbung, terjatuh dari kursi kerjanya.

Orang-orang muncul dengan ajaib, mengelilingi tubuh Helena yang tidak berdaya lagi. Salah seorang di antara mereka maju kemudian mengecek detak nadi di pergelangan tangan gadis itu.

Hilang. Tak berasa.

“Di... dia sudah mati,” katanya ketakutan sembari berteriak. Semua pegawai histeris, dan jumlah orang yang berdatangan makin bertambah. Helena tewas entah apa penyebabnya. Dia kini meregang nyawa seperti mantan sahabatnya.

~Bersambung~

The Triangle Murder - Chap. 02

Penulis : Afandi M.
Gendre : Detektif & Misteri
Lain-lain : Berseri (4)

DUA ORANG POLISI tanpa seragam formal sedang mengobrol di sebuah ruangan, sementara beberapa polisi yang berseragam lengkap hilir mudik di ruangan tersebut, menjadikan ruangan itu seolah tempat persidangan dadakan.

Di luar, pegawai wanita dan pria berdasi perusahaan Summer mencoba melongok jauh ke dalam ruangan tersebut. Banyak di antaranya, khususnya bertubuh pendek terlebih gempal, berjinjit-jinjit ria sembari kepayahan bertumpu pada ujung kaki, tatkala pandangannya terhalang oleh tubuh-tubuh tegap nan tinggi di depannya. Sementara wartawan kriminal dari beberapa majalah ibu kota sedang memotreti depan ruangan tersebut, mencoba mencari celah untuk mengetahui berita yang ada di dalam. Berita mengenai pembunuhan itu cepat sekali tersebar seumpama butiran debu yang terbawa angin dengan begitu mudahnya. Telinga-telinga para pencari berita itu bagaikan radar penangkap gelombang berita mengerikan, sedangkan hidungnya, tak jauh berbeda. Indra itu dapat mengendus bermil-mil jauhnya, bahkan jika ditutup matanya.


Di dalam ruangan yang kini menjadi titik pusat perhatian, dua orang polisi sedang bercakap.

“Korbannya bernama Santi Triyani,” kata seorang polisi melaporkan hasil penemuan susah payahnya. Wajahnya yang berminyak berkilat terkena cahaya lampu yang menjadi alat penerang di ruangan tersebut. “Diperkirakan dia meninggal sekitar pukul dua belas―siang ini,” ia melanjutkan.

“Apa luka ini yang membunuhnya?” tanya Hendra Sucipto menunjuk luka bekas tembakan di dada Santi. Hendra Sucipto merupakan seorang asisten inspektur yang memiliki dedikasi tinggi kepada pekerjaannya, menjunjung tinggi keadilan, dan membenamkan patok-patok kejujuran di tangan-tangan kotor penyuapan.

“Betul,” polisi itu menjawab cepat, tanpa jeda, “peluru itu tepat mengenai jantungnya dan langsung menghentikan detakannya.”

“Apa senjata yang digunakan si pelaku untuk membunuh korban sudah ditemukan?” Hendra Sucipto kembali bertanya.

Polisi itu menggeleng. “Maaf, Pak. Kami belum menemukan senjatanya.”

“Begitu...” ia diam, kemudian melanjutkan dalam rentang waktu mengejutkan. “Kau tahu jenis peluru apa yang digunakan oleh pembunuh?”

“Peluru itu terlalu dalam masuk ke tubuh korban. Perlu penelitian lebih lanjut. Bahkan harus membedah tubuh korban. Menutup hasil autopsi, korban ditembak dari jarak dekat.”

Hendra Sucipto terdiam. Mimik wajahnya tidak berubah. Kini, ia tengah berfikir. “Mungkin disembunyikan di suatu tempat di ruangan ini?” katanya pada akhirnya.
“Tidak, itu tidak mungkin Pak. Kami sudah memeriksa segala penjuru ruangan ini, tapi senjata tersebut tidak ditemukan.”

Asisten inspektur itu mengangguk. Matanya menatap ke seluruh penuju ruangan, seolah-olah jawabannya jelas sekali tertulis di suatu tempat. Entah di mana, hanya dia yang tahu.

“Apa kau sudah coba mencari senjata itu di tempat sampah atau semacamnya?” katanya bersuara. “Biasanya di tempat-tempat seperti itu, para pelaku kejahatan sering membuang barang bukti kejahatan mereka. Membuat orang-orang berfikir alat pembunuh itu hanya sampah, tidak lebih.”

“Baik, Pak. Saya akan memeriksanya segera Pak!” seru polisi itu tegas seraya memberi hormat. Ia kemudian beranjak pergi bersama dua orang polisi yang lain. Satu bertubuh gemuk, tinggi dan seorang lagi bertubuh kekar dengan kepala plontos. Mungkin untuk membantunya mencari barang bukti tersebut.

***

Sekitar sepuluh menit kemudian, polisi tadi kembali dengan wajah bersinar. Bukan karena kumpulan minyak yang terdapat di wajahnya dan bantuan sinar lampu yang membuatnya bersinar, tapi karena keberhasilan. Sunggingan senyuman penuh menghiasi wajahnya. Pergelangan tangannya yang terbalut sarung tangan karet krem membawa sebuah pistol.

“Pak,” katanya girang. “Kami menemukan pistol ini di tempat sampah di toilet wanita. Kami mendapatkannya di tumpukan sampah paling bawah.”

Seolah-olah seperti orang tuli, Hendra Sucipto malah bertanya tak pasti, “Dimana tadi kau temukan pistol itu?” Tatapan matanya meneliti setiap lekuk pistol tersebut. Keseriusannya seakan-akan menghalangi kinerja indera pendengarannya, menumpulkan sepasang kemampuan kupingnya.

“Kami menemukan pistol ini di toilet wanita, Pak. Tepatnya terlindung di bawah tumpukan tisu-tisu toilet dalam tempat sampah.”

Diam sejenak.

Kemudian, layaknya seorang Inspektur, polisi tadi coba menyimpulkan seadanya. “Kalau begitu pelakunya pasti wanita, Pak, sebab pistol ini ditemukan di toilet wanita.” Ia menunjukkan pistol di telapak tangannya.

Hendra Sucipto menggeleng sambil menyunggingkan senyuman.

“Kemungkinan itu bisa saja terjadi, tapi bisa juga tidak,” ia bersiap menjelaskan. “Mungkin saja pembunuh itu sengaja melakukannya untuk mengalihkan perhatian Polisi sehingga membuat kita mengira bahwa pelaku yang membunuh Santi Triyani adalah seorang wanita,” jelasnya. “Dia ingin menipu kita.”

Sambil tersenyum, Hendra Sucipto kembali berkata, “Sebaiknya kau lebih banyak belajar dari Inspektur Andrian dan Tommy. Mereka adalah orang-orang yang hebat ketika bertemu dengan masalah seperti ini.”

Hendra Sucipto berfikir mantap. Otak kirinya kini bekerja sangat baik dalam taraf kewajaran yang sangat tinggi.

“Jika kupikir-pikir lagi, pendapatmu tadi ada benarnya juga, namun ada sedikit kesalahan,” katanya sedikit membenarkan. “Jika si pelaku jeli, dia tidak mungkin mengambil resiko yang sangat besar seperti itu. Umpamanya, si pelaku pembunuhan ini adalah seorang pria, dia tidak akan menyembunyikan pistol itu di dalam toilet wanita, tapi di toilet pria yang bisa digunakannya tanpa ada orang yang curiga,” ia berhenti kemudian melanjutkan dengan penuh kesungguhan, “tapi sebaliknya, jika dia menggunakan toilet wanita. Dia mengambil resiko yang sangat besar. Bahkan dapat mempertaruhkan alibinya sendiri. Sewaktu-waktu bisa saja ada orang yang memergokinya di tempat itu dan selanjutnya, kedoknya pasti akan terbongkar. Pistol di tangannya pasti terlihat. Maka aku juga menarik kesimpulan yang sama denganmu. Pelaku pembunuhan ini adalah seorang wanita.”

Polisi tadi malah membusungkan dadanya, penuh bangga, seolah-olah sedang menyombong kepada atasannya.

Sambil masih berfikir, Hendra Sucipto berkata, “Kini ruang lingkup penyelidikan kita mengenai pembunuhan ini sedikit lebih menyempit berkat penemuan yang tidak diduga ini. Apa ada saksi yang melihat atau menyaksikan pembunuhan itu?”

Polisi di depannya mengangguk membenarkan. “Ada, tapi sebenarnya bisa dikatakan bukan saksi, Pak.”

“Maksudmu apa?” Hendra Sucipto heran.

“Namanya, Jumadi―salah satu office boy di perusahaan ini. Dia adalah orang yang pertama kali menemukan mayat Santi Triyani di ruangannya.”

“Dimana dia sekarang?” tanya Asisten Inspektur Hendra Sucipto tak sabaran.
Polisi itu langsung menjawab tanpa basa-basi. “Sekarang dia sedang dimintai keterangan berkenaan dengan kasus pembunuhan ini.”

“Sebaiknya kita ke sana. Ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan pada office boy itu,” ujar Hendra Sucipto.

Polisi tersebut menyanggupi, sambil berkata seolah memberi hormat. “Baik, Pak!”

***

Pria itu masih sangat terguncang. Raut wajahnya yang cekung dan hidung pesek yang terlihat kecil dapat menegaskan itu semua. Keningnya basah oleh keringat. Tanganya yang kurus tampak gemetar. Matanya yang besar tidak tampak bahagia dengan setiap pertanyaan yang ditanyakan padanya. Malah terlihat sangat ketakutan akan dijadikan tersangka. Dasar orang udik! Ia duduk di sebuah kursi menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan seorang polisi lalu dijawabnya beberapa detik kemudian sambil terbata-bata. Mulutnya seolah kelu.

“Apakah kamu yang pertama kali menemukan mayat Santi Triyani?” tanya Hendra Sucipto pertama kalinya saat lima menit yang lalu memasuki ruangan introgasi dadakan tersebut. Sebelumnya ia mengamati office boy itu, seumpama pria malang itu tidak bisa dipercaya dari penampilannya.

“Sa... saya rasa be... begitu, Pak,” jawabnya ketakutan. Ia merasa dirinyalah pembunuh itu yang sekarang.

“Apa maksudmu?” tanya Hendra Sucipto bingung.

Jumadi mengulangi. Kini suaranya lebih bergetar. “Sa... sa... saya juga tidak begitu ta... tahu, Pak, ka... kalau sayalah yang pertama kali menemukannya... Ta... tapi sewaktu saya sedang menyapu, ti... tidak jauh dari ruangan itu, sa... saya mendengar ada suara pintu dibanting keras...”

“Jam berapa kamu mendengar suara itu? Perjelas!” Hendra Sucipto kembali bertanya namun pertanyaan kali ini, ia terlihat sangat antusias.

Jumadi terdiam, tampaknya sedang berfikir dan mengingat-ingat kembali tepatnya.

“Tenang-tenang, kami tak akan menyakitimu,” ucap Hendra Sucipto menenangkan.
Jumadi menunduk saat menjawab pertanyaan tadi. “Sekitar jam 12. 40.”

“Saat itu kan para pegawai sudah kembali dari istirahat siang. Betul, kan? Mungkin saja ada orang yang melihatnya?” kata Hendra Sucipto.

“Itu tidak mungkin, Pak!” celetuk Jumadi pelan. “Soalnya perusahaan ini kosong waktu itu. Semuanya pergi istirahat, Pak. Di sini, jam istirahatnya berbeda dengan di perusahaan-perusahaan. Kalau di sini, istirahatnya jam 12.00 sampai jam 13.00.”

Perkataan itu membuat Hendra Sucipto bungkam. Otaknya kini mulai menganalisa lagi, mencoba menyusun sebuah kemungkinan. “Tunggu, jam berapa kematian korban tadi diperkirakan?” ia bertanya kepada polisi di sebelahnya.

Antara kaget dan refleks, polisi itu menjawab. “Sekitar jam dua belas lewat tapi yang jelas berdasarkan data dari tim forensik yang memeriksa mayat korban, beberapa menit kemudian korban tewas.”

“Kalau begitu korban tewas jam dua belas lewat, sedangkan suara pintu yang terdengar itu sekitar pukul 12.40,” Hendra Sucipto mengelus-elus keningnya. “Ini aneh. Buat apa si pelaku berada di tempat itu selama selang waktu yang tersisa? Apa yang dia lakukan di sana? Apa ada sesuatu di tempat itu?”

“Iya, Pak, saya juga merasa ada yang aneh,” ujar polisi itu ikut-ikutan setuju.

Hendra Sucipto kembali menyelidik. “Apa kau melihat seseorang yang mencurigakan di sekitar tempat itu, pada waktu itu?”

Jumadi masih menunduk. Sepertinya takut menatap mata polisi yang berdiri di depannya. “Emm... Bu... bukan orang yang mencurigakan, Pak, tapi... aneh saja. Tadi Ibu Helena ke toilet dengan wajah yang ketakutan dan saat keluar dia buru-buru pergi. Sa... saya bingung melihatnya.”

Hendra Sucipto mengurai senyuman dan matanya bersinar terang seolah-olah tersusun oleh kilauan berlian, tanda ia mendapatkan petunjuk sekali lagi. “Kira-kira jam berapa dia ke toilet itu? Jam berapa tepatnya?”

Jumadi dengan ragu memperbaiki posisi duduknya, seolah bantalan kursinya itu disusun oleh duri-duri tajam. “Saya tidak tahu, Pak. Mungkin sekitar jam 12.20. Soalnya, sebelum saya menyapu di tempat itu, sa... saya pergi makan siang jam 12.15.”

Wajah asisten inspektur itu kembali ke kondisi semula, kembali ke bentuk yang lebih berwibawa. “Jadi... kalau begitu, kita bisa membuat rincian kejadiannya sekarang,” katanya. “Helena di sini mungkin saja akan menjadi tersangka utama atas pembunuhan ini. Begini, pertama-tama dia pergi ke ruangan korban, bersembunyi di sana sembari menunggu Santi hingga datang. Tampaknya, dia juga megetahui bahwa ruangan perusahaan korban itu jarang dikunci. Lalu setelah Santi datang dan membuka pintu, Helena langsung menembaknya tepat di dada.

“Kemudian, dia buru-buru ke toilet wanita untuk membuang pistol tersebut di tempat sampah, sebab tempat itulah yang paling aman yang sempat terpikirkan olehnya saat itu. Mungkin dia takut dan panik saat itu, walaupun semua pegawai istirahat pada jam itu. Tapi...” jelas Hendra Sucipto tiba-tiba terputus.

“Tapi apa, Pak? Bukannya semuanya sudah jelas? Helena kan pelakunya?” Polisi tadi ikut-ikutan serius bak seorang jaksa. “Lagipula, tadi kita sudah sempat mengambil kesimpulan, yang membunuh korban adalah seorang wanita. Helena, tentu saja seorang wanita. Ini semua sudah jelas kan, Pak. Pembunuhan ini memang dilakukan oleh dia, oleh Helena.”

“Kau mungkin masih baru dalam pekerjaan ini. Jangan lupa dengan suara pintu dibanting itu. Bagaimana kalau suara pintu itu menandakan bahwa ada orang lain di dalam ruangan itu selain Helena, dan mungkin saja bukan Helena yang membunuh Santi. Dia mungkin hanya dijebak oleh si pelaku sebenarnya.”

Orang-orang di ruangan itu terdiam. Terbungkam oleh kata-kata tadi.

“Kita harus mencerna baik-baik semua penemuan yang kita dapatkan satu persatu... ingat―satu persatu,” ucap Hendra Sucipto tenang.

Polisi yang tadi bicara bungkam seribu bahasa. Wajahnya merah menahan malu yang membludak. “Ma... maafkan saya, Pak,” katanya kemudian.

~Bersambung~

Jumat, 06 Februari 2009

The Triangle Murder - Chap. 01

Penulis : Afandi M.
Gendre : Detektif & Misteri
Lain-lain : Berseri (4)

DUA ORANG sedang duduk di ruangan itu.

“TIDAK, ITU TIDAK ADIL. BENAR-BENAR TIDAK ADIL!” ujar Helena penuh emosi.

“Memangnya apa yang tidak adil menurutmu?” kata wanita yang duduk di depannya seraya menopangkan dagunya dengan sikap angkuh laksana sang penguasa.

“APA MAKSUDMU DENGAN INI?” ujar Helena. Ia memperlihatkan sebuah rancangan busana pada secarik kertas. “Bukankah ini adalah hasil busana rancanganku,” desisnya lalu melanjutkan. “Katamu ini rancangan gagal, tapi mengapa kau tega sekali mencuri rancanganku. Kau sudah kuanggap sebagai saudaraku sendiri. Apa begini balasanmu kepadaku? Kau benar-benar...” mulut Helena kaku seolah dibekukan bongkahan es.

Wanita yang diajaknya bicara itu tersenyum licik, menyeringai, memamerkan deretan giginya yang putih kekuningan.


“Sadarlah. Inilah dunia yang sebenarnya, bukan negeri dongeng yang sering dibacakan para Ibu sebelum anak-anaknya tidur. Inilah hidup, kau harus menyadari itu,” katanya penuh kesombongan. “Sekarang akulah atasanmu dan kau bawahannya. Kau tahu kan, bagaimana seharusnya bawahan itu bersikap kepada atasannya. Nah, begitulah seharusnya yang kau bersikap. Homatlah kepadaku, kelak kau akan bersyukur.”

Air muka Helena berubah panas, seumpama bara api yang melelehkan.

“San, kau benar-benar bajingan betina. Iblis,” makinya, “Kau menusukku dari belakang. Bajingan kau. Lihat saja nanti pembalasanku dan jangan lupa tentang itu. Aku akan melaporkannya kepada Ibu Nagita.”

Saat Helena berbalik, bermaksud keluar dari ruangan, Santi kemudian berseru, “Terimakasih banyak atas segala usahamu hingga membuatku memperoleh jabatan ini. Terimakasih sekali lagi aku ucapkan,” bibirnya menyeringai, “Oh iya, dan bilang saja padanya. Toh si Nagita itu tidak akan percaya kepadamu lagi setelah apa yang kau perbuat padanya.” Ada perasaan jijik saat dia mengucapkan kata-kata itu.
Setelah itu, Helena berjalan cepat ke arah pintu, kemudian terdengar suara debum menggema di dalam ruangan.

***

Kala itu, seorang pegawai wanita sedang memfotokopi berkas-berkas, dan semakin mempercepat gerakannya tatkala seorang wanita dengan rambut sebahu berjalan menyusuri lorong meja pegawai yang tersusun di kanan-kirinya.

“Bu... Ibu Nagita!” panggilnya lengkap. Rok selutut dan sepatu berhak membuatnya kesulitan berlari. Kumpulan berkas tergenggam di tangan kanannya.

Nagita menghentikan langkahnya kemudian dengan anggun lalu berbalik.

“I... ini berkas-berkas dari Ibu Helena yang tadi Ibu minta untuk difotokopi. Sudah saya perbanyak semuanya,” ujar pegawai itu terengah-engah mengatur irama napasnya.
“Oh... sudah selesai. Terimakasih ya. Jangan lupa berikan sisanya ke personalia,” ucap Nagita sambil menyunggingkan sebuah senyuman yang lalu membuat karyawati itu menurut.

***

Nagita terkejut setelah masuk ke dalam ruangannya. Ia mendapati Santi sedang duduk asyik di kursi dan membolak-balik berkasnya.

Santi sontak berdiri dan dengan sikap malu-malu lalu menyunggingkan senyuman termanisna. “Apakah Anda sudah mendapatkan berkasnya?” tanyanya sambil berjalan ke arah atasanya.

“Buat apa kau ke sini?” ketus Nagita.

“Saya hanya mau memastikan berkas itu sampai pada Ibu. Itu saja kok,” ujar Santi penuh kebohongan.

“Menurutku, kau datang ke sini bukan dengan tujuan itu. Betul, kan? Itu hanya basa-basimu saja. Jangan sembunyikan lagi wajah aslimu dan berpura-pura sebagai bawahan yang baik, patuh, dan perhatian. Penjilat kau,” hina Nagita lalu menambahkan, “Aku sudah tahu apa maksudmu yang sebenarnya. Banyak sudah gosip yang beredar tentang dirimu di perusahaan ini. Kau licik. Bukankah kau mau merebut posisiku di sini?”

Santi kembali tersenyum, tetapi senyumannya kali ini lebih menakutkan daripada sebelumnya. “Apa Anda tahu hal itu dari Helena?” tanyanya.

Nagita tidak menjawab. Ia diam membisu dan terus menatap Santi dengan tajam, matanya seolah-olah dapat menembus pikiran wanita itu dan mengetahui apa yang sedang direncanakannya.

“Apa Anda masih percaya dia?” Santi melanjutkan, “Maaf jika saya lancang, tapi dia kan sudah merebut kebahagiaan Anda? Maksud saya, dia sudah merebut kekasih Anda, padahal beberapa hari mendatang Anda akan melangsungkan pernikahan dengannya.” Santi masih memancing emosi atasannya. Tiap kata-katanya bagai bisa yang paling mematikan di Bumi. “Tidak saya sangka, Anda sangat baik hati dan bijak sekali, dapat memaafkan perbuatan orang yang telah menyakiti Anda dengan begitu mudah. Jika saya menjadi Anda, tidak ada tempat lagi buatnya di perusahaan ini. Akan saya ajukan dia untuk dipecat.”

Nagita terdiam, masih mepertahankan gejolak hatinya. Jauh di sana―di hatinya yang paling terdalam, ia tidak dapat berbohong bahwa ia memang kesal setengah mati akan kejadian itu. Peristiwa itu dijadikannya sebagai peristiwa yang paling memuakkan dalam hidupnya. Dendam yang telah lama tertimbun lapis demi lapis jika tidak dikeluarkan akan membusuk di sana. Ya, suatu saat akan menggelegak dengan bau busuk di mana-mana.

Suatu saat. Ya, suatu saat, katanya dalam hati.

“CEPAT KELUAR!” bentak Nagita. “Cepat keluar dari sini sebelum aku berubah pikiran dan memecatmu sekarang juga.”

Ternyata Santi berhasil menggelitik emosi atasannya. Berhasil sekali. “Baik... baiklah. Saya akan keluar. Sejujurnya, saya juga turut bersedih mendengar peristiwa itu, Ibu. Dia memang murahan.”

“CEPAT KELUAR KATAKU!!” suara Nagita langsung naik hingga ke puncak oktaf.

***

Pukul dua belas siang merupakan waktu istirahat bagi semua pegawai perusahaan tersebut. Perusahaan yang terkenal dengan label Summer atau musim panas itu merupakan salah satu penguasa pasar busana anak muda di Indonesia saat ini, bahkan di benua Asia dan beberapa negara di Eropa. Busana-busana pestanya bahkan ada yang dipakai oleh aktor dan aktris luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Korea Selatan bahkan Jepang sekali pun.

Beberapa cabangnya di Eropa meraup untung yang tidak sedikit. Dengan penghasilan jutaan dollar per bulan.

“Kalian tahu tidak, Bu Santi?” ujar seorang wanita berkacamata memulai pembicaraan. Tampaknya mereka sedang asyik bergosip.

“Iya. Memangnya kenapa?” ujar wanita lain bersamaan.

“Gosipnya, dia ingin merebut jabatan Bu Nagita sebagai wakil direktur perusahaan ini. Kau tahu sendiri kan watak wanita itu bagaimana?” ia memelankan suaranya, “Aku malah kadang merasa jijik jika bertemu dengannya, walaupun di mukaku ini masih tersirat senyum manis, tapi di dalam hatiku ingin muntah rasanya. Jujur saja, aku benci dia.”

“Betul. Aku juga merasa begitu,” ujar wanita bertubuh ramping setuju. “Baru naik jabatan saja lagaknya sudah seperti bos besar, memerintah kita dengan seenak jidatnya lagi. Lagipula jabatannya itu diperolehnya dengan cara licik, betul kan?”

Wanita lain berkomentar, “Kabarnya, dia mencuri desain rancangan Helena. Padahal mereka itu dekat. Malah seperti saudara. Tega sekali wanita itu. Bagiku, dia seperti wanita bermuka dua. Benar-benar tidak berperasaan.”

“Wajar saja Ibu Nagita juga tidak menyukainya, bahkan tadi aku mendengar mereka beradu mulut di ruangan Bu Nagita. Dasar wanita licik. Aku betul-betul tidak menyukainya. Sungguh...” ujar wanita berambut pendek.

“Kamu...” ujar wanita berkaca mata.

“Tidak, tidak. Aku tidak menguping. Aku bukan orang yang seperti kok. Tadi, aku tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka.”

“Sama saja kalau begitu. Itu juga namanya menguping,” jelas yang lainnya berbarengan. Beberapa dari mereka cekikikan menahan tawa yang meluap-luap.

“Bukan kau saja yang tidak menyukainya. Semua pegawai di sini juga begitu. Mereka semua memendam dendam kepadanya, apalagi Helena,” ujar si wanita bertubuh ramping. “Pernah sekali aku mendengar tangisan gadis itu dari dalam toilet. Sungguh kasihan sekali nasibnya. Padahal hubungan mereka dahulu sudah seperti kakak-adik. Tapi hanya karena jabatan dan kedudukan saja, salah seorang di antara mereka rela berbuat seperti itu. Benar-benar keji sekali si Santi itu.”

“Tapi menurutku, Helena juga tidak betul-betul rugi kok. Buktinya sekarang, dia sudah berpacaran dengan Roman. Sudah wajah pria itu tampan, ditambah lagi dia juga kaya. Kehilangan posisi seperti itu rasanya tidak apa-apa lagi buatnya.”

“Oh ya, kalian tahu tidak,” kata wanita yang paling tua. “Roman itu dulunya bertunangan dengan Ibu Nagita, tapi entah karena masalah apa Roman malah membatalkan pertunangan mereka itu. Namun seminggu kemudian Roman sudah berpacaran lagi dengan Helena, aneh tidak?” ia melanjutkan, “Apa Helena sengaja melakukan itu? Atau, ini hanya kebetulan yang tidak disengaja?”

Pembicaraan para pegawai itu makin menjadi-jadi. Menceritakan semua kebaikan sebagai keburukan, dan kebusukan sebagai bangkai yang menjijikkan. Memang benar kata orang, kita sebagai manusia sepatutnya menjaga lidah dan mulut kita. Dua organ itulah yang selalu berbuat dosa.

“Itu kan sudah wajar. Helena cantik dan Roman tampan. Dia juga punya masa depan yang cerah. Wanita mana yang tidak mau menjadi pendamping hidupnya. Bukankah jika dilihat-lihat, mereka adalah pasangan yang serasi dibandingkan dengan Ibu Nagita sendiri,” jelas wanita berkacamata, mulutnya berkoar-koar bagai kicauan burung di pagi hari.

“Tapi, bagaimana ya perasaan Ibu Nagita sekarang? Apa dia marah pada Helena karena kejadian itu?” tanya wanita berambut pendek.

“Aku rasa tidak. Buktinya hubungan mereka baik-baik saja sampai sekarang, lagipula Helena tidak dipecat karena kejadian itu, bukan?”

Semuanya mengangguk seolah alasan asal itu sudah menjawab pertanyaan tadi.

“Kalau aku yang jadi Ibu Nagita sih, pastinya langsung marah. Mungkin saja aku akan dendam kepada Helena,” kata wanita bertubuh langsing sambil tertawa. “Wanita mana yang rela tunangannya direbut orang.”

“Itu bisa jadi kalau aku juga berada di posisi yang sama seperti Ibu Nagita,” wanita kacamata ikut-ikutan setuju.

“HEI, KALIAN!!! APA YANG KALIAN LAKUKAN BERGEROMBOL DI SINI!” bentak sebuah suara dari belakang. Para wanita yang tadi bergosip terkejut melihat sosok Santi bediri memelototi mereka, memandang dengan garang. Mereka hanya terdiam menerima makian demi makian.

“Bukankah jam istirahat sudah habis dari tadi? Dasar pegawai-pegawai penggosip. Andai saja aku yang menjadi pemimpin kantor ini, sudah kupecat kalian semua dari dulu,” maki Santi. “Wanita-wanita yang hanya pintar bergosip dibanding bekerja. Dasar wanita-wanita payah. Tak punya masa depan cerah. Buat apa kalian digaji kalau kerja kalian hanya seperti ini. Pantas saja jabatan kalian tidak naik-naik, dan hanya tetap menjadi pegawai rendahan seperti sekarang ini. Cih!”

***

Nagita sedang duduk bersantai di ruangannya. Ia mengambil sebungkus rokok dari dalam laci meja.

Tinggal dua batang lagi, gumamnya dalam hati.

Ia mengambil satu kemudian menyulut dan menghisapnya dengan penuh kenikmatan. Dihembuskannya asap berwarna kelabu itu dari mulutnya, membentuk gumpalan awan, sama seperti saat seekor naga mengembuskan kobaran api dari dalam mulutnya. Tampaknya, ia sangat menikmati kegiatan barunya itu belakangan ini, tentu saja ketika pikirannya sedang kalut dan kacau. Di saat itu, rokok seperti obat paling mujarab yang bisa ditemukannya saat ini.

Terdengar suara ketukan dari luar. Dengan buru-buru Nagita mematikan rokok yang baru setengah dihisapnya itu. Suasana hatinya berubah saat seseorang masuk ke dalam ruangan. Wajahnya ditekuk, senyumannya padam, sehingga sifat ramah dan lembut yang tadi terpancar dari wajahnya hilang seketika. Sungguh sangat disayangkan dan tak terduga, di balik wajah yang ramah itu tersimpan sesosok wajah lain yang sangat bertolak belakang dengan kepribadianya yang sebenarnya.

“Mau apa kau datang ke ruanganku?” tanya Nagita sewot.

Santi terus berjalan menuju sebuah kursi di depan atasannya. Dengan nada bicara tanpa sopan santun sedikitpun, ia menjawab pertanyaan itu. “Tidak apa-apa, Bu. Saya hanya ingin mengobrol dengan Anda saja. Ya, tentu saja sambil melihat keadaan atasan terbaik saya.” Lidah iblisnya mulai merangkai kata-kata manis.

“Aku tidak perlu mengobrol dengan wanita sepertimu. Cepat keluar dari ruanganku. Kerjakan tugasmu jika tak ingin kupecat,” jelas Nagita tetap meninggikan suaranya.
“Sejak kapan Anda merokok?” Santi tak mengindahkan perkataan atasannya tadi. “Saya tak tahu kalau sekarang ini Anda hobi merokok. Kalau begitu, kita punya kegemaran yang sama.”

Nagita masih belum merubah sikapnya. Kesabarannya sekarang sedang diuji pada taraf yang paling tinggi. “Buat apa kau menanyakan hal itu? Itu sama sekali tidak ada hubungannya denganmu. Kau tidak perlu tahu kapan aku merokok dan tak penting buatmu. Itu urusanku dan kuperintahkan kau untuk keluar dari ruanganku sekarang juga.”

“Tenang... tenang, Ibu Nagita,” ucap Santi keras kepala. Tampaknya ia tipe bawahan yang tak tahu diri, suka ikut campur, dan bicara seenak perutnya kepada semua orang. “Aku datang ke ruangan Anda ini dengan damai. Aku tak mau memulai permusuhan dengan atasan sendiri, yang lalu membuat pertengkaran baru. Apalagi dengan atasan yang baik dan ramah seperti Anda.”

Nagita diam, mencoba memberi sedikit waktu kepada bawahannya yang satu ini. Ia mencoba menahan amarah yang sudah berdenyut-denyut di kepalanya.

“Saya datang ke sini untuk memperbaiki hubungan di antara kita berdua. Oh iya, saya bisa membantu Anda untuk merebut kembali Roman dari Helena. Tentu saja kalau Anda mau. Gampang sekali buat saya untuk memisahkan mereka berdua. Semudah saya membalik telapak tangan,” Santi menawarkan niat jahatnya.

Bagi Nagita, tawaran itu bagai racun yang terkandung dalam sebuah obat, atau duri yang tertutup oleh bubungan ilalang, atau bahkan bongkahan kotoran yang tertutupi lapisan puding yang lezat.

Santi masih melanjutkan, “Sekarang ini aku juga sudah muak dengannya. Perempuan yang tidak tahu diri itu dengan enaknya saja merebut kekasih orang lain, padahal sudah tahu kalau pria itu tunangan atasannya sendiri. Berani sekali dia merebutnya dari tangan Anda begitu saja.”

Nagita terdiam. Ia tertunduk mendengar Santi berceracau di depannya, menjelek-jelekkan bekas sahabat baiknya sendiri. Bekas? Sebuah kata yang benar-benar merendahkan bagi orang yang menyandang gelar tersebut. Benar-benar memalukan. Seperti barang rongsokan yang tidak ada gunanya lagi. Mengerikan.

Lama terdiam, akhirnya Nagita berbicara. Tampaknya ia sudah bisa mengambil kesimpulan dari semua perkataan bawahannya itu. “Kau tahu, kau ini wanita bermuka dua. Menjijikkan tentunya. Layaknya penjilat yang banyak tersebar di kursi pemerintahan. Di sisi lain menyanjung dan memuja-muja para tetinggi, sementara di sisi yang lainnya menceritakan semua kejelakannya, bahkan jika perlu menjatuhkannya dengan kata-kata manis itu sendiri. Aku tak bisa membayangkan, bagaimana jadinya jika aku sampai termakan dan percaya atas semua kata manis juga rayuan yang kau ucapkan itu. Sahabat baikmu sendiri saja kau campakkan demi sebuah kekuasaan, apalagi aku, atasanmu sendiri.”

Muka Santi berubah kesal. Merasa sangat terhina namun tetap bisa menyembunyikan kekesalannya itu menggunakan senyuman oblongnya. “Terserah apa kata Anda. Anda adalah atasan saya. Andalah yang berkuasa, bukan saya. Yang jelas, saya sudah menawarkan jasa untuk membantu Anda. Jadi jika Anda tidak mau menerimanya, itu urusan Anda sendiri sekarang. Saya hanya memberikan saran untuk Anda yang sedang tertimpa masalah. Itu saja, tidak lebih.”

Wanita itu lalu teringat akan sesuatu. “Oh, saya lupa... ini ada hadiah dari saya sebagai seorang bawahan yang baik. Hadiah dari seorang bawahan kepada atasannya. Semoga ini bisa membuat Anda melupakannya.”

Santi mengambil kotak rokok berinisial namanya dari saku jasnya. Kemudian, menaruhnya di meja. Siluet senyuman yang tercermin dari kedua lapis bibirnya mengiringi kepergiannya. Tak tahu apa artinya. Entah senyuman yang tulus, pengucap basa-basi atau lambang permusuhan.

***

Jam sudah menunjukkan pukul 12.20 siang. Tak tampak kumpulan wanita penggosip seperti hari-hari sebelumnya. Tampaknya, mereka tak ingin membuat kesalahan kedua kalinya, yang nantinya akan mengancam pekerjaan mereka sendiri.

Santi membuka pintu ruang kerjanya. Perlahan, perlahan sekali. Ia seperti menikmati setiap kibasan angin yang menderu di telinganya seperti saat membuka pintu gerbang kerajaan di negeri awan. Penuh rasa pesona yang memabukkan.

Tapi, ada yang aneh. Perasaannya, sebelumnya ia telah menutup pintu itu rapat-rapat, walaupun tidak terkunci memang. Ia memang jarang menguncinya, hanya menutupnya begitu saja. Tapi, mengapa sekarang...

Ah, mungkin hanya perasaanku saja, katanya dalam hati.

Betapa terkejutnya ia saat sudah berada di dalam ruangannya sendiri. Hawa kematian merebak dan menebarkan jejaring kengerian yang menggigit-gigiti kulit. Tepat saat hidungnya menyadari bau orang lain dalam ruangan itu, pistol mengarah kepadanya. Moncong benda pencabut nyawa itu seolah memandangnya sambil sesekali menertawai ketakutannya. Hawa dingin langsung menyelimuti sekujur tubuhnya, bak sebuah selimut tak terlihat menyelubungi raga dan jiwanya. Bibirnya terkatup, gemetaran. Bola matanya membelalak seperti mau keluar dari kelopaknya. Berlari menjauh mau menyelamatkan diri.

“Apa maumu? Apa yang kau mau lakukan dengan benda itu?” tanya Santi ketakutan.
“Tentu saja. Kita bisa bicarakan semuanya dengan baik-baik. Bukankah begitu? Kita bicarakan semuanya?” ia melanjutkan, “Bukan dengan cara seperti ini. Oke...” katanya ketakutan. Senyumannya yang tadi menyeringai garang, meredup menjadi rasa ketakutan yang malang. Baru kali ini dirasakannya, saat kematian begitu sangat dekat dengannya. Kematian yang begitu menakutkan, begitu mengguncang jiwanya. Keberaniannya ciut meninggalkan kekhawatiran.

Orang itu diam, tanpa mengatakan apa-apa.

“A... apa? Me... mengapa kau mau membunuhku? Kumohon... jangan lakukan itu,” ujar Santi memelas. Moncong pistol itu seakan menyuruhnya tutup mulut.

Pistol berperedam itu tiba-tiba memuntahkan sebutir peluru layaknya anak panah tepat mengenai sasaran tembak. Dengan kecepatan tinggi peluru itu melaju, dan kemudian mendarat di dadanya. Santi roboh. Darah merembes dari luka tersebut bersama kesombongannya, berusaha keluar dari satu celah menganga itu.

Senyuman kemenangan menghiasi bibir si pembunuh. Setelah yakin bahwa wanita yang terbaring di lantai itu tewas, ia keluar sambil menyembunyikan pistolnya.

~Bersambung~