Selasa, 30 Juni 2009

Metamorfosa Cintaku

Kau tahu, seberapa banyak aku kehilangan untuk dapatkanmu?
Sadarkah kau, bagaimana sulitnya aku berusaha agar perhatianmu itu milikku?
Tetapi tetap saja, seribu kali masih tetap saja sama,
Semua itu tidak cukup untuk ungkapkan rasa ini kepadamu,
Tidak di depanmu, tidak pula jujur padamu,
Tak cukup kata-kataku untuk deskripsikan dentuman-dentuman cinta yang terus menyiksa dalam kalbuku,

Ah, aku masih merasa malu…
Masih saja tetap malu,
Hingga kujadikan engkau sebagai alasan kemarahanku—waktu itu.


Dan tahukah engkau sekarang,
Saat kita mulai berjalan berdua dalam pilinan benang cinta yang kita bentangkan,
Namamu seketika itu pula sudah mendarah daging dalam tubuhku,
Mengalir dan menguatkan tiap-tiap sendiku yang rapuh,
Secepat itu pula, suaramu sudah jadi keharusan untuk memuaskan dahaga rinduku,
Parasmu, tak terbantahkan lagi, ikut berkomentar harus diperhatikan oleh imajiku,

Hidupku kini terasa penuh metafora bersamamu;
Tidak ada hari yang bisa membiaskan warna pelangi tanpa senyummu,
Siang akan segelap malam jika kau keluarkan sedihmu,
Kedipanmu bahkan punya arti bagi asupan napasku,
Semenjak saat ini, dunia ada di genggaman tanganmu cintaku,
Bahkan jika mau, alam semesta akan jadi milikmu.

Terimalah persembahanku,
Kalungan bunga kesetiaan dan perhatian hanya untukmu,
Terimalah diamku,
Yang akan buatmu terus berkata bahwa cintamu itu hanya milikku,

Kaulah dewi yang membuatku terus bercerita,
Senyumanmu bahkan melegenda hingga ke tingkatan surga,
Kaulah buih aroma yang menguar dalam kabut dini pagiku,
Kaulah nada rahasia kesuksesan sebuah karya simphoni empat masa,
Aktris dalam tiap adegan percintaan beda dimensi,

Kali ini dan untuk seterusnya,
Kaulah Julietku—jelita satu-satunya dalam hidupku.
Tetaplah seperti ini,
Tetaplah seperti cinta yang selalu jadi kepercayaanku,
Tetaplah menjadi sebentuk cinta dalam hatiku yang baru.
Marilah hidup bersama dalam pesona yang kita ciptakan, Sayangku!

1 komentar:

Takiyo mengatakan...

Tumben buat puisi?
Kalo diraba, puisi ini sangat sederhana dengan balutan emosi yang sangat terasa. Mungkin bawaan seorang penulis prosa atau sejenisnya. Hingga sedikit kaku dengan diksi atau metafor untuk puisi sendiri.