Sabtu, 21 Februari 2009

Misteri Mumi di Dunia


SEMUA ORANG pasti tahu mumi. Anak kecil sekalipun pasti bergidik dan menutup telinga kala mendengar nama itu disebutkan. Jelas sudah bahwa dalam film-film thriller sekelas Resident Evil besutan sutradara sekaligus produser Paul Anderson yang mempertontonkan mayat-mayat hidup sebagai pemeran utama yang berjalan oleng di perempatan jalan, berjingkat-jingkat di lorong-lorong nan gelap yang tak tersentuh cahaya matahari, menyeret-nyeret tubuhnya yang sudah terkoyak karena tertebas parang, membuat keberadaan mereka di dunia sering diidentikkan sebagai pembawa bencana, kegelapan, teror, wabah penyakit, dan lain-lain. Bahkan di Mesir sekalipun yang telah menjadi sejarah awal mula pembentukan, sang mumi dikenal sebagai pembawa kehancuran di dunia.

Di Mesir, tubuh raja yang telah mangkat, salah satu contohnya adalah raja Tuntankhamun, tidak serta merta dikubur di dalam tanah sebagaimana yang dilakukan dalam prosesi penguburan di Indonesia, ataupun dibakar di atas susunan tumpukan kayu seperti yang diyakini oleh kepercayaan umat Hindu. Pada zaman Mesir kuno, mayat raja akan diawetkan. Tindakan itu dikarenakan untuk menjaga bentuk awal tubuh tersebut hingga beratus-ratus tahun lamanya. Dan juga orang-orang mesir kuno percaya bahwa badan adalah tempat Ka—seseorang yang sangat penting dalam masa setelah hidup.


Rongga perut mayat yang akan dijadikan mumi akan dibuka dan isinya dikeluarkan: jantung, hati, paru-paru, dan usus dimasukkan dalam guci. Mereka percaya mumi membutuhkan organ itu pada kehidupan selanjutnya. Karena fungsi otak saat itu belum diketahui, organ terpenting tersebut dibuang dengan melubangi tengkorak lewat hidung. Mayat yang telah kosong itu akan dilapisi natron—sejenis mineral garam higroskopis untuk mempercepat proses dehidrasi sekaligus mencegah pembusukan. Selanjutnya, mayat dibungkus gulungan pita linen yang amat kuat untuk membantu mumifikasi. Setelah proses pembungkusan dan pembalsaman mumi itu telah selesai dilakukan lalu mumi tersebut akan dimasukkan ke dalam piramid, yang dimaksudkan agar mumi yang sudah dibalsam tersebut, terhindar dari proses dekoposisi oleh para mikroorganisme dekomposer, menjaga agar mumi tersebut kering, dingin karena ketiadaan oksigen.

Namun apakah ada riset ilmiah yang dilakukan oleh para ilmuan untuk menguak misteri pengawetan mumi tersebut. Salah satu riset yang katanya menguak misteri itu telah dilakukan sebuah lembaga riset pertanian Amerika. Riset tersebut menggunakan beberapa ekor ayam sebagai kelinci percobaan. Ayam-ayam tersebut dimasukan ke dalam dua ruangan yang terkontaminasi bakteri pembusuk. Ruangan pertama diberi ion negatif sedangkan ruangan kedua tidak. Setelah menunggu beberapa waktu, riset pun menunjukkan hasilnya. Kondisi ayam di ruang yang diberi ion negatif tetap sehat. Sementara itu kondisi ayam di ruangan kedua telah menemui ajal.

Setelah diteliti lebih mendalam penyebab tidak matinya ayam di ruangan pertama ialah ion negatif. Ion negatif merupakan ion yang tidak stabil atau ion yang elektron bebasnya terlepas. Akibatnya, ion tersebut selalu mencari pasangan agar tetap stabil. Prinsip kestabilan ion inilah yang dimanfaatkan oleh masyarakat Mesir untuk mengawetkan mumi. Ruangan tempat mumi bersemayam ternyata penuh dengan ion negatif. Ion negatif yang mengisi peti mumi itu berikatan dengan bakteri yang berada di dalam ruangan maupun di dalam peti. Ikatan yang terbentuk membunuh sekaligus menghentikan aktivitas bakteri. Menakjubkan, ternyata pengetahuan kita masa kini telah dimiliki ribuan tahun lalu oleh masyarakat Mesir.

Kemudian baru-baru ini juga terkuak sebuah rahasia yang begitu mengesankan mengenai sebuah mumi yang terdapat di kota Palermo, Italia. Mayat Rosalia Lombardo, seorang anak perempuan Sisilia berusia dua tahun yang meninggal pada 1920, masih terlihat tetap segar. Mumi Rosalia ini dikenal dengan sebutan “Sleeping Beauty” disimpan aman dalam kotak kaca.



Dario Piombino-Mascali, seorang ahli antropologi biologi dari Institute for Mummies and the Iceman telah berhasil mengungkap rahasia racikan ramuan yang dipakai untuk mengawetkan mayat si gadis “Sleeping Beauty” itu. Dari catatan tangan yang dibuat oleh Alfredo Salafia—seorang taksidermis atau ahli pembuat awetan yang tewas tahun 1933, terungkap bahwa Salafia menyuntikkan zat-zat kimia ke tubuh Rosalia berupa formalin, alkohol, asam salisilat, gliserol, dan garam seng.

Kita tahu bahwa saat ini formalin adalah zat kimia yang paling umum digunakan untuk mengawetkan mayat. Campuran formalin dapat membunuh semua bakteri pembusuk daging. Sementara alkohol, di daerah yang kering digunakan untuk mempertahankan mayat agar tetap kering, awet terhadap perubahan suhu dan kelembaban. Gliserol, seperti minyak, akan mencegah tubuh terlalu kering, sedangkan asam salisilat mencegah tumbuhnya jamur yang tentunya akan menjadi organisme dekomposer. Namun kunci dari itu semua terletak pada garam seng. Menurut Melissa Johnsons Williams, Direktur Eksekutif American Society of Embalmers, seng tidak digunakan dalam proses pengawetan di AS. Dia mengatakan.

“Seng membuatnya kaku. Anda dapat mengangkatnya dari peti dan membiarkannya berdiri,” jelas Williams.

Di Cina, pengawetan mayat dilakukan dengan merendam peti mati dari kayu cemara yang dipadati dengan tumbuhan obat.

Pada pertengahan Mei tahun 2006, tim arkeologi mengumumkan penemuan mumi perempuan bertato dari peradaban Moche di Peru. Mumi yang diperkirakan berasal dari tahun 450 itu adalah mumi dengan kondisi terbaik yang pernah ditemukan karena kulitnya masih utuh untuk memamerkan tatonya. Ketika ditemukan, mumi perempuan elite Peru iti juga terbungkus dengan ratusan meter kain katun. Mumi yang dinamai Lady of Cao karena ditemukan di piramida Huaca Cao Viejo. Mumi tersebut diawetkan dengan menggunakan zat merkuri sulfida untuk memusnahkan mikroorganisme dan membantu pengawetan.

Di indonesia juga terdapat sebuah mumi yang konon telah berusia sekitar 400 tahun. Nama mumi itu adalah Mimindo Mabel, merupakan bekas kepala suku Mabel yang terletak di Kampung Sumpaima, Wamena—Papua. Arti nama Mimindo Mabel menurut suku Mabel tersebut adalah suka berperang. Banyak masyarakat Wamena yang mengatakan bahwa, jika orang dari luar Papua pergi ke Wamena tapi belum mampir ke Kampung Sumpaima, dianggap belum ke Wamena.

Pada intinya, untuk mengawetkan mayat menjadi mumi dibutuhkan tempat yang kering, dingin, sedikit oksigen, serta bantuan zat-zat kimia atau ramuan tertentu yang dapat menghidarkan tubuh tersebut dari proses terjadinya dekomposisi.

Rabu, 11 Februari 2009

The Triangle Murder - Chap. 03

Penulis : Afandi M.
Gendre : Detektif & Misteri
Lain-lain : Berseri (4)

SINAR MATAHARI yang terik panas membakar, menggosongkan, menyelidik, berkilat dari balik kaca tebal setiap jendela perusahaan yang saat itu baru tertimpa kemalangan mengenaskan. Sinar yang berpijar dari pusat tata surya itu memancarkan cahaya kekuningan bercampur jingga yang terang menyala. Perusahaan Summer masih diliputi oleh bayang-bayang kejadian kemarin, disinggahi ketakutan, diselimuti kegamangan akan takdir. Kejadian itu membuat setiap karyawan yang bekerja di perusahan tersebut ikut terguncang, dan beberapa dari mereka masih tetap saja membicarakan peristiwa mengerikan itu. Masih menjadi topik yang hangat untuk santapan gosip-gosip harian.

Beberapa polisi masih hilir-mudik di perusahaan tersebut. Bertanya-tanya ke setiap pegawai yang mempunyai hubungan dekat dengan korban pembunuhan—Santi Triyani, baik sebagai teman dekat atau hanya sebatas teman kerja saja. Santi dan Helena juga dimintai keterangannya. Penelusuran informasi lebih difokuskan kepada Helena, sebab menurut penuturan pekerja lain, wanita itu dulunya merupakan teman baik Santi Triyani. Terlebih lagi dia juga dicurigai merupakan tersangka utama dalam peristiwa pembunuhan tersebut.


Office boy yang kemarin dijadikan saksi atas penemuan mayat Santi Triyani―Jumadi, tiba-tiba menjadi sangat terkenal di perusahaan Summer, layaknya seorang selebriti di perusahaan tersebut. Setiap jam, bahkan setiap menit ada saja yang ingin mendengarkan ceritanya. Tapi beberapa orang dari pendengarnya, mendengus tidak puas akan cerita tersebut. Mereka ingin tahu lebih detail lagi. Lebih seram, lebih menggidik kulit, lebih menakutkan. Siapa tahu nantinya dapat dijadikan bahan gosip saat istirahat kerja tiba.


“Hai, apa kabar?” sapa Helena kepada Nagita, yang saat itu tidak sengaja ditemuinya sedang menaiki tangga menuju lantai atas. Entah kenapa wanita itu mau-maunya naik tangga ke lantai atas, padahal ada sekitar empat lift yang efektif di setiap lantainya. Kebetulan, hanya mereka berdualah yang ada di lorong tersebut. Pajangan poster serta beberapa kertas pemberitahuan tertempel di dinding kayu beralaskan sterofom hijau dengan penutup kaca berukuran persegi panjang. Nagita memandanginya sejenak. Tatapan sinis terpancar dari matanya yang tegas dan sigap seperti burung elang.

“Baik. Aku baik-baik saja,” katanya dengan suara agak ditekan.

“Kamu tidak mengikuti pemakaman Santi, ya?” tanya Nagita kemudian.

Helena tidak menjawab, hanya terdiam, tak berani sepertinya memandang mata atasannya itu, seolah-olah mata itu ingin melukainya dan menelannya bulat-bulat. Ia menyadari bahwa dirinya telah membuat sebuah kesalahan besar. Sangat mengancam karirnya.

Tak berhasil mendapatkan jawaban yang ia inginkan, Nagita kembali bersuara, “Bukankah dia itu temanmu? Maksudku sahabat baikmu, kan?”

“Bukan... dia bukan sahabatku,” ujar Helena. “Memang dulu kami sering bersama. Berbagi suka dan duka bersama-sama, tapi setelah dia melakukan perbuatan licik seperti itu dan hanya untuk menaikkan pamor serta jabatannya, aku tidak mau lagi menjadi sahabatnya. Tidak akan pernah. Meskipun dia memohon di kedua telapak kakiku,” ujarnya geram. “Entah mengapa sifatnya berubah drastis dan menjadi gila harta seperti itu―sangat gila kekuasaan. Memang benar kata orang-orang kalau kita tidak bisa melihat orang dari luarnya saja, pasti ada sesuatu yang tersembunyi dalam hatinya, jika bukan niat baik pastilah niat jahat yang busuk.”

Nagita masih mengurai senyum. “Biar bagaimanapun dia tetap sahabatmu, kan? Apa kau tidak merasa kehilangan dia?”

Helena menggeleng. “Tidak. Sedikit pun aku tidak sedih kehilangan orang yang telah menghianatiku. Sekarang orang-orang jahat di perusahaan ini makin berkurang. Bukankah Anda juga senang kalau Santi meninggal, Bu?” celetuk Helena sinis.

Bagai mendapat serangan balik, Nagita kaget. Seolah tertancap busur panah dari jarak dekat yang tak mungkin bisa dihindari. “Apa maksudmu?”

“Emm... maaf jika saya tidak sopan pada Anda, tapi... sudah jelas bukan...” ujarnya sambil menegakkan bahunya. Terbersit sebuah senyuman buas dan licik dari balik bibirnya yang ranum itu. “Dia sangat menginginkan posisi Anda sebelum wanita iblis itu meninggal. Dia melakukan apa saja untuk merebut jabatan itu dari Anda, bukan? Seperti yang telah dia lakukan padaku. Membuat jabatan Anda itu terancam. Bukankah kematian itu yang membuat Anda senang.”

Nagita tidak berkomentar apa-apa. Mukanya memerah menahan amarah yang sedari tadi meluap-luap dan coba disembunyikannya di balik senyumannya yang terlihat ramah tamah itu. Tiba-tiba ponsel Helena berbunyi nyaring. Sebuah lagu dari band pop ternama Indonesia menjadi ringtone ponselnya.


Kupetik bintang, untuk kau simpan
Cahayanya tenang berikan kau perlindungan
Sebagai pengingat teman
Juga s’bagai jawaban
Semua tantangan



Ekspresi wajah Helena langsung berubah gembira saat melihat nama orang yang meneleponnya itu. Helena membalikkan badan bermaksud menyembunyikan ekspresi kesenangannya itu, kemudian membuka pembicaraan dengan suara lembut yang dibuat-buat. Mesra sekali. Pembicaraan itu berakhir dua menit kemudian dan sebuah kecupan jauh terdengar mesra di telinga Nagita yang sedari tadi tak sengaja menguping di belakangnya.

“Itu Roman, kan?” tanya Nagita.

“Ya. Tadi itu Roman,” jawab Helena kemudian mengernyit, “Memangnya ada apa, Bu? Anda tidak apa-apa bukan?”

“Oh! Tidak apa-apa. Aku turut bahagia kalian bisa bersama-sama. Semoga langgeng. Ya, semoga saja,” katanya dengan suara pelan, menyunggingkan senyuman penuh kebohongan, lalu mereka pun berpisah dengan membawa bongkahan kebencian masing-masing yang sewaktu-waktu akan dikeluarkan.

***

Jumadi sedang menyeduh secangkir kopi ketika Nagita masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. “Eh, Ibu!” serunya kaget. “Ada yang bisa saya bantu, Bu?”
Sambil menyerahkan sebuah botol orange juice yang terbuat dari plastik serupa kemasan botol mineral, Nagita berkata dengan suara agak berbisik. “Tadi saya sempat keluar sebentar dan Helena menitipkan uang kepada saya agar uang tersebut dibelikan jus ini. Katanya, dia ingin minum orange juice. Tapi, saya tidak sempat memberikan jus ini kepadanya sendiri sekarang. Saya harus menghadiri rapat penting sekarang juga. Jadi, tolong kamu berikan minuman ini padanya. Jangan lupa ya...” ia mengingatkan.
Jumadi mengangguk sekali sambil menerima botol berisi jus tersebut.

“Ini ada sedikit uang buatmu.” Dua lembar uang seratus ribuan langsung diberikannya tanpa pikir panjang kepada Jumadi.

“Te... terima kasih Bu! Nanti saya antarkan minuman ini kepada Bu Helena,” kata Jumadi mengakhiri pembicaraan. Diapun melanjutkan kembali membuat kopi yang tadi sempat tertunda.


Kala itu, Helena sedang menggambar sesuatu di atas kertas gambarnya dengan pensil-pensil segala rupa dan warna dibiarkan tidak teraut tajam, maksudnya untuk mendapatkan arsiran garis yang terbaik. Lebih berseni. Lebih eksotis, mungkin. Gambar sebuah gaun pesta setengah jadi dengan belahan pada sampingannya menghiasi kertas gambar yang tadinya polos itu. Garisnya mulus dan begitu sempurna. Tiap lekukannya seolah tergores dengan rincian yang sangat teliti.

Kini, untuk lebih mempertajam desainnya, ia bersiap mewarnai gambar itu ketika Jumadi datang sambil membawa sesuatu. “Bu, ini yang tadi ibu pesan,” kata Jumadi langsung menyuguhkan segelas orange juice kesenangan Helena.

Helena menekuk alis matanya, sementara sebelah matanya ikut disipitkan.

Orange juice? Perasaan, saya tidak minta orange juice,” katanya heran.
Jumadi yang sekarang terlihat kebingungan. “Bukannya tadi ibu minta dibuatkan ini?”
Helena tetap kokoh pada sikapnya semula. “Tidak... saya tidak minta orange juice. Memangnya, siapa yang memberitahumu kalau aku mau dibuatkan minuman ini?”
Jumadi takut, merasa akan disalahkan lagi-lagi. Nasib orang kecil.

“Tadi ibu Nagita bilang, katanya, Bu Helena mau dibuatkan orange juice ini,” Jumadi juga menambahkan, “Bu Nagita juga yang mengantar botol jusnya sendiri kepada saya. Tadi sebenarnya, dia sendiri yang bermaksud mengantarkannya ke ibu, tapi karena ada rapat penting jadi Bu Nagita menyuruh saya untuk mengantarkannya ke sini.”

Apalagi yang diinginkan wanita itu? Ada-ada saja, batin Helena berbisik kesal.
Ia kemudian melanjutkan pekerjaannya. “Kalau begitu, taruh saja gelas itu, nanti aku akan meminumnya setelah aku menyelesaikan pekerjaan ini. Kebetulan cuaca hari ini sangat panas.”

“Terimakasih ya, Madi!” ujar Helena tak mempedulikan.


Cuaca siang itu memang terasa sangat panas. Terik menggeliat-geliat dengan senang hati, bagai berada di gurun pasir tanpa perlindungan dari cahaya matahari yang semakin lama semakin menyengat kulit. Walaupun AC sudah menghembuskan embun segar, namun tetap saja hawa panas yang sedari tadi merasuk dan mengembang di dalam ruangan jauh lebih kuat.

Tanpa sengaja Helena memandangi gelas di depannya. Embun berupa titik-titik air sudah memenuhi luar gelas tersebut, membuat genangan air kecil di bawahnya. Dingin. Terasa sangat menyejukkan badan jika meneguknya secara utuh. Es yang tadinya berukuran kotak telah mencair. Sekarang, hanya meninggalkan bongkahan es kecil berbentuk abstrak tak punya arti.

Helena tidak tahan lagi. Panas yang menggeliat-geliat dan tidak bisa dikontrol membutakan matanya. Kebetulan, minuman yang sedari tadi ada itu terus menarik-narik perhatiannya. Meniup-niupi tenggorokannya. Membayangi pikirannya dengan kenikmatan luar biasa.

Dengan sikap tanpa curiga, Helena meminumnya. Membiarkan minuman itu membasahi tenggorokannya. Seketika hausnya terobati, dahaganya hilang sembari menghembuskan napas puas yang tidak bisa terucapkan. Tapi, tiba-tiba kepalanya pusing, tenggorokannya terasa dicekik kuat-kuat. Terakhir, napasnya ikut-ikutan sesak—berat. Beberapa detik kemudian, Helena sulit sekali bernapas. Ia memegangi lehernya, berharap organ-organ di dalam tubuhnya bisa menjalankan fungsinya seperti sebagaimana mestinya. Ia mencoba berteriak, mencoba mengumandangkan rasa sakit yang menggerayangi tubuhnya. Namun, sekarang sudah terlambat. Tubuhnya langsung limbung, terjatuh dari kursi kerjanya.

Orang-orang muncul dengan ajaib, mengelilingi tubuh Helena yang tidak berdaya lagi. Salah seorang di antara mereka maju kemudian mengecek detak nadi di pergelangan tangan gadis itu.

Hilang. Tak berasa.

“Di... dia sudah mati,” katanya ketakutan sembari berteriak. Semua pegawai histeris, dan jumlah orang yang berdatangan makin bertambah. Helena tewas entah apa penyebabnya. Dia kini meregang nyawa seperti mantan sahabatnya.

~Bersambung~

The Triangle Murder - Chap. 02

Penulis : Afandi M.
Gendre : Detektif & Misteri
Lain-lain : Berseri (4)

DUA ORANG POLISI tanpa seragam formal sedang mengobrol di sebuah ruangan, sementara beberapa polisi yang berseragam lengkap hilir mudik di ruangan tersebut, menjadikan ruangan itu seolah tempat persidangan dadakan.

Di luar, pegawai wanita dan pria berdasi perusahaan Summer mencoba melongok jauh ke dalam ruangan tersebut. Banyak di antaranya, khususnya bertubuh pendek terlebih gempal, berjinjit-jinjit ria sembari kepayahan bertumpu pada ujung kaki, tatkala pandangannya terhalang oleh tubuh-tubuh tegap nan tinggi di depannya. Sementara wartawan kriminal dari beberapa majalah ibu kota sedang memotreti depan ruangan tersebut, mencoba mencari celah untuk mengetahui berita yang ada di dalam. Berita mengenai pembunuhan itu cepat sekali tersebar seumpama butiran debu yang terbawa angin dengan begitu mudahnya. Telinga-telinga para pencari berita itu bagaikan radar penangkap gelombang berita mengerikan, sedangkan hidungnya, tak jauh berbeda. Indra itu dapat mengendus bermil-mil jauhnya, bahkan jika ditutup matanya.


Di dalam ruangan yang kini menjadi titik pusat perhatian, dua orang polisi sedang bercakap.

“Korbannya bernama Santi Triyani,” kata seorang polisi melaporkan hasil penemuan susah payahnya. Wajahnya yang berminyak berkilat terkena cahaya lampu yang menjadi alat penerang di ruangan tersebut. “Diperkirakan dia meninggal sekitar pukul dua belas―siang ini,” ia melanjutkan.

“Apa luka ini yang membunuhnya?” tanya Hendra Sucipto menunjuk luka bekas tembakan di dada Santi. Hendra Sucipto merupakan seorang asisten inspektur yang memiliki dedikasi tinggi kepada pekerjaannya, menjunjung tinggi keadilan, dan membenamkan patok-patok kejujuran di tangan-tangan kotor penyuapan.

“Betul,” polisi itu menjawab cepat, tanpa jeda, “peluru itu tepat mengenai jantungnya dan langsung menghentikan detakannya.”

“Apa senjata yang digunakan si pelaku untuk membunuh korban sudah ditemukan?” Hendra Sucipto kembali bertanya.

Polisi itu menggeleng. “Maaf, Pak. Kami belum menemukan senjatanya.”

“Begitu...” ia diam, kemudian melanjutkan dalam rentang waktu mengejutkan. “Kau tahu jenis peluru apa yang digunakan oleh pembunuh?”

“Peluru itu terlalu dalam masuk ke tubuh korban. Perlu penelitian lebih lanjut. Bahkan harus membedah tubuh korban. Menutup hasil autopsi, korban ditembak dari jarak dekat.”

Hendra Sucipto terdiam. Mimik wajahnya tidak berubah. Kini, ia tengah berfikir. “Mungkin disembunyikan di suatu tempat di ruangan ini?” katanya pada akhirnya.
“Tidak, itu tidak mungkin Pak. Kami sudah memeriksa segala penjuru ruangan ini, tapi senjata tersebut tidak ditemukan.”

Asisten inspektur itu mengangguk. Matanya menatap ke seluruh penuju ruangan, seolah-olah jawabannya jelas sekali tertulis di suatu tempat. Entah di mana, hanya dia yang tahu.

“Apa kau sudah coba mencari senjata itu di tempat sampah atau semacamnya?” katanya bersuara. “Biasanya di tempat-tempat seperti itu, para pelaku kejahatan sering membuang barang bukti kejahatan mereka. Membuat orang-orang berfikir alat pembunuh itu hanya sampah, tidak lebih.”

“Baik, Pak. Saya akan memeriksanya segera Pak!” seru polisi itu tegas seraya memberi hormat. Ia kemudian beranjak pergi bersama dua orang polisi yang lain. Satu bertubuh gemuk, tinggi dan seorang lagi bertubuh kekar dengan kepala plontos. Mungkin untuk membantunya mencari barang bukti tersebut.

***

Sekitar sepuluh menit kemudian, polisi tadi kembali dengan wajah bersinar. Bukan karena kumpulan minyak yang terdapat di wajahnya dan bantuan sinar lampu yang membuatnya bersinar, tapi karena keberhasilan. Sunggingan senyuman penuh menghiasi wajahnya. Pergelangan tangannya yang terbalut sarung tangan karet krem membawa sebuah pistol.

“Pak,” katanya girang. “Kami menemukan pistol ini di tempat sampah di toilet wanita. Kami mendapatkannya di tumpukan sampah paling bawah.”

Seolah-olah seperti orang tuli, Hendra Sucipto malah bertanya tak pasti, “Dimana tadi kau temukan pistol itu?” Tatapan matanya meneliti setiap lekuk pistol tersebut. Keseriusannya seakan-akan menghalangi kinerja indera pendengarannya, menumpulkan sepasang kemampuan kupingnya.

“Kami menemukan pistol ini di toilet wanita, Pak. Tepatnya terlindung di bawah tumpukan tisu-tisu toilet dalam tempat sampah.”

Diam sejenak.

Kemudian, layaknya seorang Inspektur, polisi tadi coba menyimpulkan seadanya. “Kalau begitu pelakunya pasti wanita, Pak, sebab pistol ini ditemukan di toilet wanita.” Ia menunjukkan pistol di telapak tangannya.

Hendra Sucipto menggeleng sambil menyunggingkan senyuman.

“Kemungkinan itu bisa saja terjadi, tapi bisa juga tidak,” ia bersiap menjelaskan. “Mungkin saja pembunuh itu sengaja melakukannya untuk mengalihkan perhatian Polisi sehingga membuat kita mengira bahwa pelaku yang membunuh Santi Triyani adalah seorang wanita,” jelasnya. “Dia ingin menipu kita.”

Sambil tersenyum, Hendra Sucipto kembali berkata, “Sebaiknya kau lebih banyak belajar dari Inspektur Andrian dan Tommy. Mereka adalah orang-orang yang hebat ketika bertemu dengan masalah seperti ini.”

Hendra Sucipto berfikir mantap. Otak kirinya kini bekerja sangat baik dalam taraf kewajaran yang sangat tinggi.

“Jika kupikir-pikir lagi, pendapatmu tadi ada benarnya juga, namun ada sedikit kesalahan,” katanya sedikit membenarkan. “Jika si pelaku jeli, dia tidak mungkin mengambil resiko yang sangat besar seperti itu. Umpamanya, si pelaku pembunuhan ini adalah seorang pria, dia tidak akan menyembunyikan pistol itu di dalam toilet wanita, tapi di toilet pria yang bisa digunakannya tanpa ada orang yang curiga,” ia berhenti kemudian melanjutkan dengan penuh kesungguhan, “tapi sebaliknya, jika dia menggunakan toilet wanita. Dia mengambil resiko yang sangat besar. Bahkan dapat mempertaruhkan alibinya sendiri. Sewaktu-waktu bisa saja ada orang yang memergokinya di tempat itu dan selanjutnya, kedoknya pasti akan terbongkar. Pistol di tangannya pasti terlihat. Maka aku juga menarik kesimpulan yang sama denganmu. Pelaku pembunuhan ini adalah seorang wanita.”

Polisi tadi malah membusungkan dadanya, penuh bangga, seolah-olah sedang menyombong kepada atasannya.

Sambil masih berfikir, Hendra Sucipto berkata, “Kini ruang lingkup penyelidikan kita mengenai pembunuhan ini sedikit lebih menyempit berkat penemuan yang tidak diduga ini. Apa ada saksi yang melihat atau menyaksikan pembunuhan itu?”

Polisi di depannya mengangguk membenarkan. “Ada, tapi sebenarnya bisa dikatakan bukan saksi, Pak.”

“Maksudmu apa?” Hendra Sucipto heran.

“Namanya, Jumadi―salah satu office boy di perusahaan ini. Dia adalah orang yang pertama kali menemukan mayat Santi Triyani di ruangannya.”

“Dimana dia sekarang?” tanya Asisten Inspektur Hendra Sucipto tak sabaran.
Polisi itu langsung menjawab tanpa basa-basi. “Sekarang dia sedang dimintai keterangan berkenaan dengan kasus pembunuhan ini.”

“Sebaiknya kita ke sana. Ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan pada office boy itu,” ujar Hendra Sucipto.

Polisi tersebut menyanggupi, sambil berkata seolah memberi hormat. “Baik, Pak!”

***

Pria itu masih sangat terguncang. Raut wajahnya yang cekung dan hidung pesek yang terlihat kecil dapat menegaskan itu semua. Keningnya basah oleh keringat. Tanganya yang kurus tampak gemetar. Matanya yang besar tidak tampak bahagia dengan setiap pertanyaan yang ditanyakan padanya. Malah terlihat sangat ketakutan akan dijadikan tersangka. Dasar orang udik! Ia duduk di sebuah kursi menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan seorang polisi lalu dijawabnya beberapa detik kemudian sambil terbata-bata. Mulutnya seolah kelu.

“Apakah kamu yang pertama kali menemukan mayat Santi Triyani?” tanya Hendra Sucipto pertama kalinya saat lima menit yang lalu memasuki ruangan introgasi dadakan tersebut. Sebelumnya ia mengamati office boy itu, seumpama pria malang itu tidak bisa dipercaya dari penampilannya.

“Sa... saya rasa be... begitu, Pak,” jawabnya ketakutan. Ia merasa dirinyalah pembunuh itu yang sekarang.

“Apa maksudmu?” tanya Hendra Sucipto bingung.

Jumadi mengulangi. Kini suaranya lebih bergetar. “Sa... sa... saya juga tidak begitu ta... tahu, Pak, ka... kalau sayalah yang pertama kali menemukannya... Ta... tapi sewaktu saya sedang menyapu, ti... tidak jauh dari ruangan itu, sa... saya mendengar ada suara pintu dibanting keras...”

“Jam berapa kamu mendengar suara itu? Perjelas!” Hendra Sucipto kembali bertanya namun pertanyaan kali ini, ia terlihat sangat antusias.

Jumadi terdiam, tampaknya sedang berfikir dan mengingat-ingat kembali tepatnya.

“Tenang-tenang, kami tak akan menyakitimu,” ucap Hendra Sucipto menenangkan.
Jumadi menunduk saat menjawab pertanyaan tadi. “Sekitar jam 12. 40.”

“Saat itu kan para pegawai sudah kembali dari istirahat siang. Betul, kan? Mungkin saja ada orang yang melihatnya?” kata Hendra Sucipto.

“Itu tidak mungkin, Pak!” celetuk Jumadi pelan. “Soalnya perusahaan ini kosong waktu itu. Semuanya pergi istirahat, Pak. Di sini, jam istirahatnya berbeda dengan di perusahaan-perusahaan. Kalau di sini, istirahatnya jam 12.00 sampai jam 13.00.”

Perkataan itu membuat Hendra Sucipto bungkam. Otaknya kini mulai menganalisa lagi, mencoba menyusun sebuah kemungkinan. “Tunggu, jam berapa kematian korban tadi diperkirakan?” ia bertanya kepada polisi di sebelahnya.

Antara kaget dan refleks, polisi itu menjawab. “Sekitar jam dua belas lewat tapi yang jelas berdasarkan data dari tim forensik yang memeriksa mayat korban, beberapa menit kemudian korban tewas.”

“Kalau begitu korban tewas jam dua belas lewat, sedangkan suara pintu yang terdengar itu sekitar pukul 12.40,” Hendra Sucipto mengelus-elus keningnya. “Ini aneh. Buat apa si pelaku berada di tempat itu selama selang waktu yang tersisa? Apa yang dia lakukan di sana? Apa ada sesuatu di tempat itu?”

“Iya, Pak, saya juga merasa ada yang aneh,” ujar polisi itu ikut-ikutan setuju.

Hendra Sucipto kembali menyelidik. “Apa kau melihat seseorang yang mencurigakan di sekitar tempat itu, pada waktu itu?”

Jumadi masih menunduk. Sepertinya takut menatap mata polisi yang berdiri di depannya. “Emm... Bu... bukan orang yang mencurigakan, Pak, tapi... aneh saja. Tadi Ibu Helena ke toilet dengan wajah yang ketakutan dan saat keluar dia buru-buru pergi. Sa... saya bingung melihatnya.”

Hendra Sucipto mengurai senyuman dan matanya bersinar terang seolah-olah tersusun oleh kilauan berlian, tanda ia mendapatkan petunjuk sekali lagi. “Kira-kira jam berapa dia ke toilet itu? Jam berapa tepatnya?”

Jumadi dengan ragu memperbaiki posisi duduknya, seolah bantalan kursinya itu disusun oleh duri-duri tajam. “Saya tidak tahu, Pak. Mungkin sekitar jam 12.20. Soalnya, sebelum saya menyapu di tempat itu, sa... saya pergi makan siang jam 12.15.”

Wajah asisten inspektur itu kembali ke kondisi semula, kembali ke bentuk yang lebih berwibawa. “Jadi... kalau begitu, kita bisa membuat rincian kejadiannya sekarang,” katanya. “Helena di sini mungkin saja akan menjadi tersangka utama atas pembunuhan ini. Begini, pertama-tama dia pergi ke ruangan korban, bersembunyi di sana sembari menunggu Santi hingga datang. Tampaknya, dia juga megetahui bahwa ruangan perusahaan korban itu jarang dikunci. Lalu setelah Santi datang dan membuka pintu, Helena langsung menembaknya tepat di dada.

“Kemudian, dia buru-buru ke toilet wanita untuk membuang pistol tersebut di tempat sampah, sebab tempat itulah yang paling aman yang sempat terpikirkan olehnya saat itu. Mungkin dia takut dan panik saat itu, walaupun semua pegawai istirahat pada jam itu. Tapi...” jelas Hendra Sucipto tiba-tiba terputus.

“Tapi apa, Pak? Bukannya semuanya sudah jelas? Helena kan pelakunya?” Polisi tadi ikut-ikutan serius bak seorang jaksa. “Lagipula, tadi kita sudah sempat mengambil kesimpulan, yang membunuh korban adalah seorang wanita. Helena, tentu saja seorang wanita. Ini semua sudah jelas kan, Pak. Pembunuhan ini memang dilakukan oleh dia, oleh Helena.”

“Kau mungkin masih baru dalam pekerjaan ini. Jangan lupa dengan suara pintu dibanting itu. Bagaimana kalau suara pintu itu menandakan bahwa ada orang lain di dalam ruangan itu selain Helena, dan mungkin saja bukan Helena yang membunuh Santi. Dia mungkin hanya dijebak oleh si pelaku sebenarnya.”

Orang-orang di ruangan itu terdiam. Terbungkam oleh kata-kata tadi.

“Kita harus mencerna baik-baik semua penemuan yang kita dapatkan satu persatu... ingat―satu persatu,” ucap Hendra Sucipto tenang.

Polisi yang tadi bicara bungkam seribu bahasa. Wajahnya merah menahan malu yang membludak. “Ma... maafkan saya, Pak,” katanya kemudian.

~Bersambung~

Jumat, 06 Februari 2009

The Triangle Murder - Chap. 01

Penulis : Afandi M.
Gendre : Detektif & Misteri
Lain-lain : Berseri (4)

DUA ORANG sedang duduk di ruangan itu.

“TIDAK, ITU TIDAK ADIL. BENAR-BENAR TIDAK ADIL!” ujar Helena penuh emosi.

“Memangnya apa yang tidak adil menurutmu?” kata wanita yang duduk di depannya seraya menopangkan dagunya dengan sikap angkuh laksana sang penguasa.

“APA MAKSUDMU DENGAN INI?” ujar Helena. Ia memperlihatkan sebuah rancangan busana pada secarik kertas. “Bukankah ini adalah hasil busana rancanganku,” desisnya lalu melanjutkan. “Katamu ini rancangan gagal, tapi mengapa kau tega sekali mencuri rancanganku. Kau sudah kuanggap sebagai saudaraku sendiri. Apa begini balasanmu kepadaku? Kau benar-benar...” mulut Helena kaku seolah dibekukan bongkahan es.

Wanita yang diajaknya bicara itu tersenyum licik, menyeringai, memamerkan deretan giginya yang putih kekuningan.


“Sadarlah. Inilah dunia yang sebenarnya, bukan negeri dongeng yang sering dibacakan para Ibu sebelum anak-anaknya tidur. Inilah hidup, kau harus menyadari itu,” katanya penuh kesombongan. “Sekarang akulah atasanmu dan kau bawahannya. Kau tahu kan, bagaimana seharusnya bawahan itu bersikap kepada atasannya. Nah, begitulah seharusnya yang kau bersikap. Homatlah kepadaku, kelak kau akan bersyukur.”

Air muka Helena berubah panas, seumpama bara api yang melelehkan.

“San, kau benar-benar bajingan betina. Iblis,” makinya, “Kau menusukku dari belakang. Bajingan kau. Lihat saja nanti pembalasanku dan jangan lupa tentang itu. Aku akan melaporkannya kepada Ibu Nagita.”

Saat Helena berbalik, bermaksud keluar dari ruangan, Santi kemudian berseru, “Terimakasih banyak atas segala usahamu hingga membuatku memperoleh jabatan ini. Terimakasih sekali lagi aku ucapkan,” bibirnya menyeringai, “Oh iya, dan bilang saja padanya. Toh si Nagita itu tidak akan percaya kepadamu lagi setelah apa yang kau perbuat padanya.” Ada perasaan jijik saat dia mengucapkan kata-kata itu.
Setelah itu, Helena berjalan cepat ke arah pintu, kemudian terdengar suara debum menggema di dalam ruangan.

***

Kala itu, seorang pegawai wanita sedang memfotokopi berkas-berkas, dan semakin mempercepat gerakannya tatkala seorang wanita dengan rambut sebahu berjalan menyusuri lorong meja pegawai yang tersusun di kanan-kirinya.

“Bu... Ibu Nagita!” panggilnya lengkap. Rok selutut dan sepatu berhak membuatnya kesulitan berlari. Kumpulan berkas tergenggam di tangan kanannya.

Nagita menghentikan langkahnya kemudian dengan anggun lalu berbalik.

“I... ini berkas-berkas dari Ibu Helena yang tadi Ibu minta untuk difotokopi. Sudah saya perbanyak semuanya,” ujar pegawai itu terengah-engah mengatur irama napasnya.
“Oh... sudah selesai. Terimakasih ya. Jangan lupa berikan sisanya ke personalia,” ucap Nagita sambil menyunggingkan sebuah senyuman yang lalu membuat karyawati itu menurut.

***

Nagita terkejut setelah masuk ke dalam ruangannya. Ia mendapati Santi sedang duduk asyik di kursi dan membolak-balik berkasnya.

Santi sontak berdiri dan dengan sikap malu-malu lalu menyunggingkan senyuman termanisna. “Apakah Anda sudah mendapatkan berkasnya?” tanyanya sambil berjalan ke arah atasanya.

“Buat apa kau ke sini?” ketus Nagita.

“Saya hanya mau memastikan berkas itu sampai pada Ibu. Itu saja kok,” ujar Santi penuh kebohongan.

“Menurutku, kau datang ke sini bukan dengan tujuan itu. Betul, kan? Itu hanya basa-basimu saja. Jangan sembunyikan lagi wajah aslimu dan berpura-pura sebagai bawahan yang baik, patuh, dan perhatian. Penjilat kau,” hina Nagita lalu menambahkan, “Aku sudah tahu apa maksudmu yang sebenarnya. Banyak sudah gosip yang beredar tentang dirimu di perusahaan ini. Kau licik. Bukankah kau mau merebut posisiku di sini?”

Santi kembali tersenyum, tetapi senyumannya kali ini lebih menakutkan daripada sebelumnya. “Apa Anda tahu hal itu dari Helena?” tanyanya.

Nagita tidak menjawab. Ia diam membisu dan terus menatap Santi dengan tajam, matanya seolah-olah dapat menembus pikiran wanita itu dan mengetahui apa yang sedang direncanakannya.

“Apa Anda masih percaya dia?” Santi melanjutkan, “Maaf jika saya lancang, tapi dia kan sudah merebut kebahagiaan Anda? Maksud saya, dia sudah merebut kekasih Anda, padahal beberapa hari mendatang Anda akan melangsungkan pernikahan dengannya.” Santi masih memancing emosi atasannya. Tiap kata-katanya bagai bisa yang paling mematikan di Bumi. “Tidak saya sangka, Anda sangat baik hati dan bijak sekali, dapat memaafkan perbuatan orang yang telah menyakiti Anda dengan begitu mudah. Jika saya menjadi Anda, tidak ada tempat lagi buatnya di perusahaan ini. Akan saya ajukan dia untuk dipecat.”

Nagita terdiam, masih mepertahankan gejolak hatinya. Jauh di sana―di hatinya yang paling terdalam, ia tidak dapat berbohong bahwa ia memang kesal setengah mati akan kejadian itu. Peristiwa itu dijadikannya sebagai peristiwa yang paling memuakkan dalam hidupnya. Dendam yang telah lama tertimbun lapis demi lapis jika tidak dikeluarkan akan membusuk di sana. Ya, suatu saat akan menggelegak dengan bau busuk di mana-mana.

Suatu saat. Ya, suatu saat, katanya dalam hati.

“CEPAT KELUAR!” bentak Nagita. “Cepat keluar dari sini sebelum aku berubah pikiran dan memecatmu sekarang juga.”

Ternyata Santi berhasil menggelitik emosi atasannya. Berhasil sekali. “Baik... baiklah. Saya akan keluar. Sejujurnya, saya juga turut bersedih mendengar peristiwa itu, Ibu. Dia memang murahan.”

“CEPAT KELUAR KATAKU!!” suara Nagita langsung naik hingga ke puncak oktaf.

***

Pukul dua belas siang merupakan waktu istirahat bagi semua pegawai perusahaan tersebut. Perusahaan yang terkenal dengan label Summer atau musim panas itu merupakan salah satu penguasa pasar busana anak muda di Indonesia saat ini, bahkan di benua Asia dan beberapa negara di Eropa. Busana-busana pestanya bahkan ada yang dipakai oleh aktor dan aktris luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Korea Selatan bahkan Jepang sekali pun.

Beberapa cabangnya di Eropa meraup untung yang tidak sedikit. Dengan penghasilan jutaan dollar per bulan.

“Kalian tahu tidak, Bu Santi?” ujar seorang wanita berkacamata memulai pembicaraan. Tampaknya mereka sedang asyik bergosip.

“Iya. Memangnya kenapa?” ujar wanita lain bersamaan.

“Gosipnya, dia ingin merebut jabatan Bu Nagita sebagai wakil direktur perusahaan ini. Kau tahu sendiri kan watak wanita itu bagaimana?” ia memelankan suaranya, “Aku malah kadang merasa jijik jika bertemu dengannya, walaupun di mukaku ini masih tersirat senyum manis, tapi di dalam hatiku ingin muntah rasanya. Jujur saja, aku benci dia.”

“Betul. Aku juga merasa begitu,” ujar wanita bertubuh ramping setuju. “Baru naik jabatan saja lagaknya sudah seperti bos besar, memerintah kita dengan seenak jidatnya lagi. Lagipula jabatannya itu diperolehnya dengan cara licik, betul kan?”

Wanita lain berkomentar, “Kabarnya, dia mencuri desain rancangan Helena. Padahal mereka itu dekat. Malah seperti saudara. Tega sekali wanita itu. Bagiku, dia seperti wanita bermuka dua. Benar-benar tidak berperasaan.”

“Wajar saja Ibu Nagita juga tidak menyukainya, bahkan tadi aku mendengar mereka beradu mulut di ruangan Bu Nagita. Dasar wanita licik. Aku betul-betul tidak menyukainya. Sungguh...” ujar wanita berambut pendek.

“Kamu...” ujar wanita berkaca mata.

“Tidak, tidak. Aku tidak menguping. Aku bukan orang yang seperti kok. Tadi, aku tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka.”

“Sama saja kalau begitu. Itu juga namanya menguping,” jelas yang lainnya berbarengan. Beberapa dari mereka cekikikan menahan tawa yang meluap-luap.

“Bukan kau saja yang tidak menyukainya. Semua pegawai di sini juga begitu. Mereka semua memendam dendam kepadanya, apalagi Helena,” ujar si wanita bertubuh ramping. “Pernah sekali aku mendengar tangisan gadis itu dari dalam toilet. Sungguh kasihan sekali nasibnya. Padahal hubungan mereka dahulu sudah seperti kakak-adik. Tapi hanya karena jabatan dan kedudukan saja, salah seorang di antara mereka rela berbuat seperti itu. Benar-benar keji sekali si Santi itu.”

“Tapi menurutku, Helena juga tidak betul-betul rugi kok. Buktinya sekarang, dia sudah berpacaran dengan Roman. Sudah wajah pria itu tampan, ditambah lagi dia juga kaya. Kehilangan posisi seperti itu rasanya tidak apa-apa lagi buatnya.”

“Oh ya, kalian tahu tidak,” kata wanita yang paling tua. “Roman itu dulunya bertunangan dengan Ibu Nagita, tapi entah karena masalah apa Roman malah membatalkan pertunangan mereka itu. Namun seminggu kemudian Roman sudah berpacaran lagi dengan Helena, aneh tidak?” ia melanjutkan, “Apa Helena sengaja melakukan itu? Atau, ini hanya kebetulan yang tidak disengaja?”

Pembicaraan para pegawai itu makin menjadi-jadi. Menceritakan semua kebaikan sebagai keburukan, dan kebusukan sebagai bangkai yang menjijikkan. Memang benar kata orang, kita sebagai manusia sepatutnya menjaga lidah dan mulut kita. Dua organ itulah yang selalu berbuat dosa.

“Itu kan sudah wajar. Helena cantik dan Roman tampan. Dia juga punya masa depan yang cerah. Wanita mana yang tidak mau menjadi pendamping hidupnya. Bukankah jika dilihat-lihat, mereka adalah pasangan yang serasi dibandingkan dengan Ibu Nagita sendiri,” jelas wanita berkacamata, mulutnya berkoar-koar bagai kicauan burung di pagi hari.

“Tapi, bagaimana ya perasaan Ibu Nagita sekarang? Apa dia marah pada Helena karena kejadian itu?” tanya wanita berambut pendek.

“Aku rasa tidak. Buktinya hubungan mereka baik-baik saja sampai sekarang, lagipula Helena tidak dipecat karena kejadian itu, bukan?”

Semuanya mengangguk seolah alasan asal itu sudah menjawab pertanyaan tadi.

“Kalau aku yang jadi Ibu Nagita sih, pastinya langsung marah. Mungkin saja aku akan dendam kepada Helena,” kata wanita bertubuh langsing sambil tertawa. “Wanita mana yang rela tunangannya direbut orang.”

“Itu bisa jadi kalau aku juga berada di posisi yang sama seperti Ibu Nagita,” wanita kacamata ikut-ikutan setuju.

“HEI, KALIAN!!! APA YANG KALIAN LAKUKAN BERGEROMBOL DI SINI!” bentak sebuah suara dari belakang. Para wanita yang tadi bergosip terkejut melihat sosok Santi bediri memelototi mereka, memandang dengan garang. Mereka hanya terdiam menerima makian demi makian.

“Bukankah jam istirahat sudah habis dari tadi? Dasar pegawai-pegawai penggosip. Andai saja aku yang menjadi pemimpin kantor ini, sudah kupecat kalian semua dari dulu,” maki Santi. “Wanita-wanita yang hanya pintar bergosip dibanding bekerja. Dasar wanita-wanita payah. Tak punya masa depan cerah. Buat apa kalian digaji kalau kerja kalian hanya seperti ini. Pantas saja jabatan kalian tidak naik-naik, dan hanya tetap menjadi pegawai rendahan seperti sekarang ini. Cih!”

***

Nagita sedang duduk bersantai di ruangannya. Ia mengambil sebungkus rokok dari dalam laci meja.

Tinggal dua batang lagi, gumamnya dalam hati.

Ia mengambil satu kemudian menyulut dan menghisapnya dengan penuh kenikmatan. Dihembuskannya asap berwarna kelabu itu dari mulutnya, membentuk gumpalan awan, sama seperti saat seekor naga mengembuskan kobaran api dari dalam mulutnya. Tampaknya, ia sangat menikmati kegiatan barunya itu belakangan ini, tentu saja ketika pikirannya sedang kalut dan kacau. Di saat itu, rokok seperti obat paling mujarab yang bisa ditemukannya saat ini.

Terdengar suara ketukan dari luar. Dengan buru-buru Nagita mematikan rokok yang baru setengah dihisapnya itu. Suasana hatinya berubah saat seseorang masuk ke dalam ruangan. Wajahnya ditekuk, senyumannya padam, sehingga sifat ramah dan lembut yang tadi terpancar dari wajahnya hilang seketika. Sungguh sangat disayangkan dan tak terduga, di balik wajah yang ramah itu tersimpan sesosok wajah lain yang sangat bertolak belakang dengan kepribadianya yang sebenarnya.

“Mau apa kau datang ke ruanganku?” tanya Nagita sewot.

Santi terus berjalan menuju sebuah kursi di depan atasannya. Dengan nada bicara tanpa sopan santun sedikitpun, ia menjawab pertanyaan itu. “Tidak apa-apa, Bu. Saya hanya ingin mengobrol dengan Anda saja. Ya, tentu saja sambil melihat keadaan atasan terbaik saya.” Lidah iblisnya mulai merangkai kata-kata manis.

“Aku tidak perlu mengobrol dengan wanita sepertimu. Cepat keluar dari ruanganku. Kerjakan tugasmu jika tak ingin kupecat,” jelas Nagita tetap meninggikan suaranya.
“Sejak kapan Anda merokok?” Santi tak mengindahkan perkataan atasannya tadi. “Saya tak tahu kalau sekarang ini Anda hobi merokok. Kalau begitu, kita punya kegemaran yang sama.”

Nagita masih belum merubah sikapnya. Kesabarannya sekarang sedang diuji pada taraf yang paling tinggi. “Buat apa kau menanyakan hal itu? Itu sama sekali tidak ada hubungannya denganmu. Kau tidak perlu tahu kapan aku merokok dan tak penting buatmu. Itu urusanku dan kuperintahkan kau untuk keluar dari ruanganku sekarang juga.”

“Tenang... tenang, Ibu Nagita,” ucap Santi keras kepala. Tampaknya ia tipe bawahan yang tak tahu diri, suka ikut campur, dan bicara seenak perutnya kepada semua orang. “Aku datang ke ruangan Anda ini dengan damai. Aku tak mau memulai permusuhan dengan atasan sendiri, yang lalu membuat pertengkaran baru. Apalagi dengan atasan yang baik dan ramah seperti Anda.”

Nagita diam, mencoba memberi sedikit waktu kepada bawahannya yang satu ini. Ia mencoba menahan amarah yang sudah berdenyut-denyut di kepalanya.

“Saya datang ke sini untuk memperbaiki hubungan di antara kita berdua. Oh iya, saya bisa membantu Anda untuk merebut kembali Roman dari Helena. Tentu saja kalau Anda mau. Gampang sekali buat saya untuk memisahkan mereka berdua. Semudah saya membalik telapak tangan,” Santi menawarkan niat jahatnya.

Bagi Nagita, tawaran itu bagai racun yang terkandung dalam sebuah obat, atau duri yang tertutup oleh bubungan ilalang, atau bahkan bongkahan kotoran yang tertutupi lapisan puding yang lezat.

Santi masih melanjutkan, “Sekarang ini aku juga sudah muak dengannya. Perempuan yang tidak tahu diri itu dengan enaknya saja merebut kekasih orang lain, padahal sudah tahu kalau pria itu tunangan atasannya sendiri. Berani sekali dia merebutnya dari tangan Anda begitu saja.”

Nagita terdiam. Ia tertunduk mendengar Santi berceracau di depannya, menjelek-jelekkan bekas sahabat baiknya sendiri. Bekas? Sebuah kata yang benar-benar merendahkan bagi orang yang menyandang gelar tersebut. Benar-benar memalukan. Seperti barang rongsokan yang tidak ada gunanya lagi. Mengerikan.

Lama terdiam, akhirnya Nagita berbicara. Tampaknya ia sudah bisa mengambil kesimpulan dari semua perkataan bawahannya itu. “Kau tahu, kau ini wanita bermuka dua. Menjijikkan tentunya. Layaknya penjilat yang banyak tersebar di kursi pemerintahan. Di sisi lain menyanjung dan memuja-muja para tetinggi, sementara di sisi yang lainnya menceritakan semua kejelakannya, bahkan jika perlu menjatuhkannya dengan kata-kata manis itu sendiri. Aku tak bisa membayangkan, bagaimana jadinya jika aku sampai termakan dan percaya atas semua kata manis juga rayuan yang kau ucapkan itu. Sahabat baikmu sendiri saja kau campakkan demi sebuah kekuasaan, apalagi aku, atasanmu sendiri.”

Muka Santi berubah kesal. Merasa sangat terhina namun tetap bisa menyembunyikan kekesalannya itu menggunakan senyuman oblongnya. “Terserah apa kata Anda. Anda adalah atasan saya. Andalah yang berkuasa, bukan saya. Yang jelas, saya sudah menawarkan jasa untuk membantu Anda. Jadi jika Anda tidak mau menerimanya, itu urusan Anda sendiri sekarang. Saya hanya memberikan saran untuk Anda yang sedang tertimpa masalah. Itu saja, tidak lebih.”

Wanita itu lalu teringat akan sesuatu. “Oh, saya lupa... ini ada hadiah dari saya sebagai seorang bawahan yang baik. Hadiah dari seorang bawahan kepada atasannya. Semoga ini bisa membuat Anda melupakannya.”

Santi mengambil kotak rokok berinisial namanya dari saku jasnya. Kemudian, menaruhnya di meja. Siluet senyuman yang tercermin dari kedua lapis bibirnya mengiringi kepergiannya. Tak tahu apa artinya. Entah senyuman yang tulus, pengucap basa-basi atau lambang permusuhan.

***

Jam sudah menunjukkan pukul 12.20 siang. Tak tampak kumpulan wanita penggosip seperti hari-hari sebelumnya. Tampaknya, mereka tak ingin membuat kesalahan kedua kalinya, yang nantinya akan mengancam pekerjaan mereka sendiri.

Santi membuka pintu ruang kerjanya. Perlahan, perlahan sekali. Ia seperti menikmati setiap kibasan angin yang menderu di telinganya seperti saat membuka pintu gerbang kerajaan di negeri awan. Penuh rasa pesona yang memabukkan.

Tapi, ada yang aneh. Perasaannya, sebelumnya ia telah menutup pintu itu rapat-rapat, walaupun tidak terkunci memang. Ia memang jarang menguncinya, hanya menutupnya begitu saja. Tapi, mengapa sekarang...

Ah, mungkin hanya perasaanku saja, katanya dalam hati.

Betapa terkejutnya ia saat sudah berada di dalam ruangannya sendiri. Hawa kematian merebak dan menebarkan jejaring kengerian yang menggigit-gigiti kulit. Tepat saat hidungnya menyadari bau orang lain dalam ruangan itu, pistol mengarah kepadanya. Moncong benda pencabut nyawa itu seolah memandangnya sambil sesekali menertawai ketakutannya. Hawa dingin langsung menyelimuti sekujur tubuhnya, bak sebuah selimut tak terlihat menyelubungi raga dan jiwanya. Bibirnya terkatup, gemetaran. Bola matanya membelalak seperti mau keluar dari kelopaknya. Berlari menjauh mau menyelamatkan diri.

“Apa maumu? Apa yang kau mau lakukan dengan benda itu?” tanya Santi ketakutan.
“Tentu saja. Kita bisa bicarakan semuanya dengan baik-baik. Bukankah begitu? Kita bicarakan semuanya?” ia melanjutkan, “Bukan dengan cara seperti ini. Oke...” katanya ketakutan. Senyumannya yang tadi menyeringai garang, meredup menjadi rasa ketakutan yang malang. Baru kali ini dirasakannya, saat kematian begitu sangat dekat dengannya. Kematian yang begitu menakutkan, begitu mengguncang jiwanya. Keberaniannya ciut meninggalkan kekhawatiran.

Orang itu diam, tanpa mengatakan apa-apa.

“A... apa? Me... mengapa kau mau membunuhku? Kumohon... jangan lakukan itu,” ujar Santi memelas. Moncong pistol itu seakan menyuruhnya tutup mulut.

Pistol berperedam itu tiba-tiba memuntahkan sebutir peluru layaknya anak panah tepat mengenai sasaran tembak. Dengan kecepatan tinggi peluru itu melaju, dan kemudian mendarat di dadanya. Santi roboh. Darah merembes dari luka tersebut bersama kesombongannya, berusaha keluar dari satu celah menganga itu.

Senyuman kemenangan menghiasi bibir si pembunuh. Setelah yakin bahwa wanita yang terbaring di lantai itu tewas, ia keluar sambil menyembunyikan pistolnya.

~Bersambung~

Kamis, 05 Februari 2009

Metamorfosis Hujan

Pertama,
Kilat dan guntur berkolaborasi
Tak ada guna bersembunyi di balik selimut
Kabut merobek turun, memenuhi kaki bukit

Satu tetesan, dua ketukan, tiga rintikan, seterusnya…
“Tik… tik… tik…”

Jatuhnya tak tertahankan,
Meteor cair mengambil alih kekuasaan
Menambah ketakutan dan kemuraman
Tak ada yang berani menentang kebuasan


Akhirnya,
Langit meranum, kembali tersenyum
Jalinan tujuh warna membentang, menoreh angkasa
Waktunya melanjutkan hidup penuh dosa

- Menunggu -

Kala itu lenguhan napasmu terasa basah di telingaku
Menggelitik naluri merah jambu yang bersembunyi di peti sanubari jasadku
Mengusik cinta yang dulu keras membatu
Mencairkan kebekuan yang tak peka oleh jejaring cinta semu

Kaulah wanita imajinasi yang dulu serupa bayangan terhampar
Menjadikanmu buih di kala cahaya sepenuhnya menghilang terseret gelombang fajar
Sekarang, kau tampak nyata, tak hanya jadi fiksi belaka
Tak sekadar jadi ilusi optik semata


Suara sayumu itu, hadir di selasar pikiran jiwa
Menghipnotisku untuk terus berdoa akan datangnya sebuah keajaiban bertabur makna
Membuatku terus berkarya, serasa nuansa ilham turut membakar dada
Merasakan nyatanya keindahan aurora murni keberadaan hasrat pesonamu
Membuat dewa kematian luluh, bersimpuh, tak jadi mencabut nyawaku

Perhatianmu itu, meretaskan kehausanku akan kasih dan sayang
Meriuhkan suasana hatiku yang dahulu terasa lengang
Membubuhkan dua pasang sayap untuk mengejarmu melewati pekatnya kelabu awan

Senyumanmu itu, buatku terlena serasa di surga
Tak peduli apa yang membuatku tetap terjaga
Walau kaki harus melangkahi lembah atmosfer tujuh samudra magma
Tak peduli harus menghindari pecutan kilat yang berbahaya
Walau rajangan pisau membekas menoreh aib dan merobek kehormatan di dada
Aku tetap melaju ke tempatmu berada
Lari dari aturan yang dibuat oleh sang penguasa

Ya, kutahu sayangku...
Puji-puji ini tak berarti banyak untukmu
Rangkaian kata-kata ini tak bisa bebaskan sosokmu
Sangkar umur itu masih setia mengurungmu,
Membentengi kita berdua dalam dunia yang jauh berbeda

Tapi kutak peduli,
Kuacuhkan itu semua
Apa daya, ego cinta sudah meracuni jiwa

Tetap kumelaju,
Walau harus berdarah-darah melawan seratus serdadu
Walau tubuhku meronta, menolak mengikuti niatku

Terus kupaksa, namun tetap tak bisa
Kugunakan kapak dewa, kemudian jeruji sangkarmu dengan malas hanya berkata,
“Cinta adalah keegoisan, namun menunggu cinta jauh melampaui kesetiaan.”

The Secret - Finish

Penulis : Afandi M.
Gendre : Detektif & Misteri
Lain-lain : Berseri (3)

SIANG ITU Tommy sedang duduk sendiri di kafe tempat dimana ia pernah bertemu dengan Ivan Ardiyansah beberapa hari yang lalu. Terdengar bunyi alunan musik. Pintu terbuka dengan lebar. Seseorang baru saja masuk. Orang itu mencari-cari seseorang di dalam kafe. Lehernya memanjang memperhatian setiap sudut ruangan.

Tommy melambaikan tangan menuntun wanita itu berjalan ke arahnya. Orang itu terkejut oleh tampang Tommy. Ia tak mengira orang yang menyuruhnya datang ke tempat itu masih terbilang muda, pantas menjadi putranya.

Vira Rahayu Shinta adalah seorang wanita yang sangat luar biasa. Jarang ia melihat sesosok figur yang begitu gemulai, dengan penampilan feminin, dan wajah secantik itu. Rambutnya agak pirang keemasan dan ikal pada ujungnya. Mata yang tajam terlihat begitu indah, dibalik kelopak matanya yang telah dihiasi oleh kosmetik dan selebihnya wajahnya pastilah sangat sempurna. Ia duduk dengan anggun, menggambarkan bahwa ia adalah keturunan seorang ningrat yang menawan, dihormati, dan tahu sopan santun tentunya.


“Selamat siang!” sapa Tommy duluan.

“Apa yang kau maksudkan dari surat yang kau tinggalkan ini?” tanya wanita itu dengan nada tinggi. Semua orang di tempat itu memandang ke arahnya, namun ia tak perduli.

“Ada hal penting yang ingin saya bicarakan dengan Anda. Hal ini berhubungan dengan masalah suami Anda yang terjadi belakangan ini. Anda tentu menyadarinya bukan?”

Sekejap wanita itu tampak kaget. “I... iya, tentu saja. Memangnya ada apa dengan suami saya?” Wajah ayunya tak lagi memancarkan cahayanya yang sesempurna tadi.

“Perkenalkan, nama saya Tommy Arthur Verdhana tapi Anda bisa memanggil saya Tommy,” ia memperkenalkan diri.

“Memangnya ada masalah apa dengan suami saya?” wanita itu mengulang pertanyaannya tadi.

Tommy teringat akan pesan Ivan Ardiyansah saat pertama kali bertemu. “Aku mohon selesaikan masalah ini secepatnya. Aku akan membayarmu berapapun yang kamu mau dan tolong jangan sampai istriku mengetahui hal ini.” Itulah bunyi pesannya. Tommy tidak memperdulikan pesan itu, ini lebih pening dari sekedar pesan. “Wanita ini harus mengetahuinya,” pikirnya.

“Saya ditugaskan untuk mengawasi Anda.”

“Apa maksudmu? Apakah suamiku yang menyuruhmu melakukannya?”

“Ya...” jawab Tommy singkat.

“Apa alasannya?”

“Karena menurutnya sikap Anda sangat aneh akhir-akhir ini, berbeda dari biasanya. Anda menjadi suka keluar rumah dan pulang larut malam, tanpa meminta izin kepadanya terlebih dahulu.”

“Buat apa kau mencampuri masalah rumah tangga orang lain. Apa kau tidak ada pekerjaan lain yang lebih berguna dari ini? Lagipula apakah dia tidak percaya lagi padaku? Aku benar-benar kecewa,” suaranya yang tinggi terdengar oleh pengunjung yang lain.

“Tenang. Anda tenang dulu. Suami Anda, dia adalah pria yang baik, bertanggung jawab, sangat mencintai dan khawatir dengan sikap Anda yang tiba-tiba berubah drastis. Sebenarnya dia melarang saya untuk mengatakan ini pada Anda, tapi hal ini harus saya katakan untuk mengungkap kebenarannya.”

Wanita itu tertunduk beberapa saat.

“Oh ya. Apakah boleh saya bertanya?”

Wanita itu mengangguk, mempersilahkan. “Apa yang Anda kerjakan di apartemen milik pria yang menjadi penanam modal di perusahaan suami Anda itu?”

“Sa... saya hanya ingin membantunya saya agar perusahaannya dapat keluar dari kesulitan. Saya ingin melihatnya bahagia dan menjalankan bisnisnya seperti sebelum masalah keuangan itu datang melandanya. Itu saja, tidak lebih.”

“Kau tahu, saya sangat menyayanginya,” kalimat itu spontan keluar dari mulutnya.

“Iya, saya tahu itu Nyonya,” bisik Tommy.

Wanita itu mulai bercerita lagi, “Saya datang ke apartemen itu untuk memperlancar urusan mengenai penanaman modal di perusahaan suami saya. Pria penghuni apartemen itu adalah teman saya sewaktu bersekolah di Belanda. Apa kau puas sekarang, heh? Kau benar-benar megganggu,” ia geram dan memperlihatkan tatapan sinisnya kepada pemuda di hadapannya.

“Maaf, bukan maksud saya untuk mengganggu Anda...” Tommy melebarkan senyumannya.

“Tapi menurut saya, Anda tidak menemuinya di sana bukan? Karena sebenarnya penanam modal itu adalah Anda sendiri. Anda menyamar menjadi orang lain.”

Wanita itu terkejut, raut wajahnya berubah menjadi lebih dingin dari sebelumnya. “Apa maksudmu?”

“Begini Nyonya, saya sempat datang ke apartemen itu dengan menyamar sebagai seorang cleaning service. Anda masih ingat bukan?”

“Oh! Jadi kau yang menya...” ia tidak menyelesaikan kalimat itu dan langsung menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

Tommy tersenyum lagi. “Ya, Anda benar Nyonya. Jadi Anda sudah mengakuinya sekarang?”

“Mengakui apa? Memang apa yang saya lakukan?” wanita itu berkata ketus.

Sambil mengeluarkan selembar kertas berwarna merah jambu dari dalam kantongnya, Tommy lalu berkata, “apakah Anda mau mengelak lagi jika saya tunjukkan bukti ini?”

Wanita itu terkejut untuk yang kebeberapa kalinya.

“Kwitansi ini saya temukan dari dalam tempat sampah di apartemen itu dan nama Anda tertulis di kwitansi ini sebagai penerima dari barang-barang tersebut. Di bawah tanda tangan ini juga ada nama Anda, berarti jelas sekali ini adalah tanda tangan Anda sendiri bukan? Bukti itulah yang menegaskan bahwa Andalah yang menyamar menjadi pria gendut tersebut. Pria yang menjadi investor di perusahaan Ivan Ardiyansah―suami Anda.”

“Apalagi Anda ahli dalam hal merias wajah dan berakting.”

“Dari mana kau tahu?” tanya wanita itu kaget.

“Saya mengetahui semua itu dari penuturan suami Anda, sewaktu bertemu dengan saya. Dengan kemampuan itu, pasti tidak begitu sulit bagi Anda dalam merubah penampilan dengan bantuan alat-alat kosmetik dan juga pakaian-pakaian yang Anda beli itu. Kemudian Anda berpura-pura menjadi investor di perusahaan suami Anda. Sudah jelas, Anda melakukan penyamaran itu agar bisa membantu perusahaannya. Anda benar-benar mencintainya bukan?”

Wanita itu diam sebentar, kemudian menatap wajah Tommy. “Baiklah saya menyerah. Memang investor itu adalah penyamaran saya. Sebenarnya, saya tidak mau melakukan cara ini. Dia malah menolak ketika saya memberinya uang untuk membantu perusahaannya dan dia juga menolak bantuan dari kedua orang tua saya.”

Suara wanita itu berubah lembut.

“Aku hanya ingin membantunya. Itu semua adalah kado baginya karena telah menyayangi dan menjaga keutuhan rumah tangga kami, selama aku berumah tangga dengannya.” Air mata mengucur dari kedua kelopak matanya.

“Saya rasa sebaiknya Anda mengakui perbuatan ini padanya. Dia begitu cemas dan khawatir akan semua sikap Anda yang berubah drastis akhir-akhir ini. Dia betul-betul sangat mencintai Anda. Dan kalau boleh saya menyarankan, ada delapan kado yang mungkin diinginkan suami Anda atau suami-suami yang lain lebih dari apapun juga. Yang terindah dan tak ternilai harganya, bahkan tidak bisa dibeli di toko manapun juga.”

“A... apa? Apa itu?” tanya wanita itu. Bibirnya kini terlihat bergetar.

“Kehadiran, mendengar, diam, kebebasan, keindahan, kesediaan untuk mengalah, dan yang terakhir adalah senyuman,” jawab Tommy.

Beberapa menit kemudian mereka lalui dalam diam.

“Saya bukannya orang yang sempurna dengan semua hal-hal tersebut. Saya juga tidak bermaksud untuk menasehati Anda, karena itu bukanlah profesi saya.”

Tommy memandang keluar jendela. Di sana ada sepasang kekasih yang sedang duduk berduaan di tengah teriknya sinar matahari.

“Saya juga mempunyai beberapa orang yang saya kasihi dan mungkin dengan memberikan kado tersebut, membuat mereka makin bahagia.”

Tommy menghela napas dan memperhatikan wanita di hadapannya. Tampaknya kini ia sudah bisa menenangkan dirinya.

“Terkadang yang dibutuhkan seseorang bukanlah kekayaan yang kita berikan pada mereka, tetapi apa yang ada di dalam diri kita-lah yang dibutuhkan oleh orang-orang tersebut,” ujar Tommy mengakhiri.


“Yang pertama adalah kehadiran. Kehadiran orang yang dikasihinya rasanya adalah kado yang tak ternilai harganya. Dengan berada disampingnya, Anda dan suami Anda dapat berbagi perasaan, perhatian, dan juga kasih sayang secara lebih utuh dan intensif. Mendengar adalah kado yang kedua. Hanya sedikit orang yang mampu memberikan kado ini. Sebab, kebanyakan orang lebih suka didengarkan, ketimbang mendengarkan. Sudah lama diketehui bahwa keharmonisan sebuah hubungan, dalam hal ini suami-istri, amat ditentukan oleh kesediaan saling mendengarkan. Anda dapat memberikan kado ini kepadanya. Dengan mencurahkan perhatian pada segala ucapannya, dan secara tak langsung Anda juga telah menumbuhkan kesabaran dan kerendahan hati.”

Diam adalah kado selanjutnya. Kado ini bisa menunjukkan kecintaan Anda padanya, dibanding dengan memberinya sejumlah uang. Terlebih jika sehari-hari Anda sudah terbiasa, menasihati, mengatur, mengkritik bahkan mengomelinya.”

Ia diam sebentar mengatur emosinya, lantas ia meneruskan. “Kebebasan adalah kado yang keempat. Mencintai seseorang bukan berarti memberi Anda hak penuh untuk memiliki atau mengatur kehidupan orang tersebut. Bisakah Anda mengaku mencintainya, jika Anda selalu mengekangnya? Memberikan kebebasan adalah salah satu perwujudan cinta. Lebih dalam dari itu, memberi kebebasan adalah memberinya kepercayaan penuh untuk bertanggung jawab atas segala hal yang telah maupun akan dia lakukan.”

“Kelima yaitu keindahan. Semua orang akan bahagia, jika setiap hari Anda berpenampilan indah dan rupawan. Keenam, tanggapan positif. Cobalah Anda hadiahkan tanggapan positif kepadanya. Nyatakan dengan jelas dan tulus. Cobalah ingat, berapa kali dalam seminggu terakhir Anda mengucapkan terima kasih atas segala hal yang telah dilakukannya demi Anda. Ingat pula, pernahkah Anda memujinya. Kedua hal itu, ucapan terima kasih dan pujian, juga permintaan maaf adalah kado cinta yang sering terlupakan oleh setiap pasangan.”

Kesediaan untuk mengalah. Tidak semua masalah layak menjadi bahan pertengkaran. Apalagi sampai menjadi cekcok yang hebat. Semestinya Anda pertimbangkan, apakah benar sebuah hubungan cinta yang selama ini terjalin dikorbankan dan jadi berantakan hanya gara-gara persoalan seperti itu? Bila Anda memikirkan hal ini, berarti Anda siap memberikan kado spesial ini.”

“Terakhir adalah senyuman. Kado terakhir ini, terlebih lagi jika diberikan dengan tulus, bisa menjadi pencair hubungan yang beku, pemberi semangat dalam keputus-asaan, pencerah suasana muram, bahkan obat penenang jiwa yang sedang resah.”

~The End~

The Secret - Chap. 02

Penulis : Afandi M.
Gendre : Detektif & Misteri
Lain-lain : Berseri (3)

KEESOKAN HARINYA langit begitu cerah, matahari bersinar tidak begitu terik, jalanan penuh dengan tubuh orang yang berjalan hilir mudik.

Tommy keluar seperti biasa dengan penampilannya yang sederhana, ia menemui Nadia yang sejak tadi telah duduk setia menunggunya di ruang tamu. Kali ini gadis itu terlihat begitu feminin dengan rok putih yang menutupi samapi pergelangan kakinya. Rambutnya yang panjang diikat dua seperti ekor kuda.

“Tom, aku mau ikut pergi denganmu!” pinta Nadia berharap.

Tommy menatapnya. Sebenarnya tatapan itu sudah menjadi jawaban bagi kalimat tadi. “Tidak...”


“Memangnya kenapa?”

“Sebaiknya kamu menunggu aku di sini. Kau tahu, ini sangat berbahaya. Bagaimana jika ini adalah kasus pemerasan atau kasus berbahaya lainnya, pasti ada resiko besar yang harus ditanggung. Aku tidak ingin melibatkanmu dalam penyelidikanku.”

“Oh ya. Sama seperti perkataan laki-laki itu yang juga tidak mau melibatkan istrinya untuk membantunya,” kata Nadia dalam hati.

“Tunggulah di sini okey. Kemarin aku membeli beberapa DVD, mugkin kamu mau menontonnya sembari menungguku pulang. Semuanya ada di lemari itu,” katanya menunjuk sebuah lemari kecil dekat TV. “Aku akan secepatnya pulang. Mungkin sekitar tiga atau empat jam aku akan pergi.”

Ia lalu melihat jam tangannya. Kedua jarum itu sekarang telah menunjuk jam delapan tiga puluh tepat.

“Baiklah aku pergi dulu.”

“Tom, hati-hati ya! Aku mau kamu pulang dengan selamat,” ujar Nadia saat pemuda itu hendak pergi. Anggukan perpisahan dan siluet senyuman merekah dari bibirnya, membuat gadis itu juga menghadiahkan sebuah senyuman balasan yang mengiringi kepergian pemuda tersebut.


Film yang dibintangi oleh Daniel Radcliffe, Rupert Grint, dan Emma Watson kini telah memasuki frame terakhir, dimana yang tersisa hanya layar berlatar hitam dan beberapa tulisan yang muncul dari bawahnya, seolah-olah melayang entah kemana.

Tiga jam berlalu begitu lama tetapi Tommy belum juga muncul dari balik pintu yang tadi memisahkan mereka berdua. Baru kira-kira pukul 13.15 siang, pintu itu terbuka untuk yang kedua kalinya. Seorang pemuda masuk. Tampangnya lusuh, bajunya yang tadi kering sekarang sudah basah oleh keringat yang keluar dari pori-pori kulitnya. Matanya berbinar-binar cemerlang, wajahnya memancarkan kepuasan menandakan penyelidikannya mengalami kemajuan. Dia kemudian menjatuhkan tubuhnya yang lemas itu di atas sofa terdekat. Dengan sigap gadis yang jejak tadi melihat tingkahnya itu lalu mengambil segelas air.

Belum sempat Tommy meneguk habis air mineralnya, gadis itu lalu mengajukan pertanyaan. “Bagaimana hasil penyelidikanmu? Apakah biasa saja, memuaskan atau sangat memuaskan? Cepat katakan kepadaku. Semuanya.”

“Lumayan...”

“Lumayan?” Nadia melanjutkan, “Maksudmu?”

“Memuaskan. Semuanya memuaskanku, tapi sebaiknya nanti saja setelah makan siang aku menceritakannya kepadamu, perutku sudah keroncongan dari tadi. Aku lapar sekali.”

Ada taman kecil yang terawat baik dengan sebuah kolam ikan di sebelah kirinya. Miniatur air terjun memercikkan titik-titik air seperti melantunkan sebuah nada sumbang, membuat ikan-ikan koi di bawahnya tampak sangat menikmati setiap tetes-tetes air yang berjatuhan. Beberapa jenis angrek yang mendominasi taman tersebut merekatkan akar-akarnya di batang-batang pohon mangga tumpangannya. Dinding pembatas menjulang tinggi dan ditumbuhi tanaman merambat berdaun kecil. Sulur-sulurnya yang pendek seperti akar mengukuhkan tempatnya di situ. Tommy dan Nadia duduk di sebuah rumah kecil menyerupai saung di tengah taman tersebut.

“Nah! Sekarang tepati janjimu tadi. Ceritakan dengan lengkap hasil penyelidikanmu,” Nadia menagih janji.

“Ok, akan aku ceritakan, tapi ingat jangan menyelaku.”

Nadia mengangguk patuh, namun dalam hati ia berkata, “memangnya aku selalu berbuat seperti itu? Dasar.”

“Darimana sebaiknya aku harus memulainya?”

“Saat kamu berada di sana saja,” ujar Nadia sudah tidak sabar lagi. Ia membetulkan duduknya dan mulai menajamkan indra pendengarnya.

“Setelah aku tiba di apartemennya, aku bertanya kepada resepsionis di tempat itu mengenai wanita bernama Vira Rahayu Shinta. Dari situ aku mengetahui nomor apartemennya adalah 201. Aku mau menyelinap ke sana tapi sistem keamanan dan penjagaan di apartemen itu sangat ketat.”

“Lalu aku menyelinap ke ruangan petugas kebersihan di apartemen tersebut dengan maksdu menyamar menjadi salah satu dari mereka. Aku mengetahui ruangan itu berkat denah yang kulihat di lobby apartemen. Di sana, aku hampir saja ketahuan. Cleaning service yang tiba-tiba datang untuk beristirahat memergokiku saat hendak memakai baju petugas kebersihan yang tertinggal di ruangan tersebut, tapi aku tidak kehilangan akal. Dari wajahnya terlihat bahwa pria itu sangat mudah dipengaruhi dan mudah percaya pada perkataan orang.”

“Benarkah?” pikir Nadia.

“Saat ku katakan bahwa aku merupakan cleaning service baru di apartemen itu, dia langsung percaya begitu saja tanpa rasa curiga sedikitpun. Benar-benar payah.” Ia tertawa kecil.

“Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan yang langka itu. Aku bertanya tentang wanita yang tinggal di apartemen 201. Dia menjawab dengan santai dan jawabannya saat itu sungguh tak terduga olehku. Orang yang tinggal di kamar itu bukanlah seorang wanita menurutnya, melainkan seorang pria gendut dengan ciri yang sama diceritakan oleh Pak Ivan Ardiyansah. Berdasarkan informasi yang diberikan oleh pria itu, laki-laki gendut tersebut sudah tinggal di sana sejak empat hari yang lalu.”

“Oh iya! Bukankah itu merupakan hari yang sama dimana sikap istrinya berubah drastis,” celetuk Nadia sok tahu.

“Betul. Yang anehnya lagi, cleaning service itu mengatakan bahwa saat pertama kali kamar itu terisi, yang mengisinya adalah seorang wanita cantik, namun pada hari-hari berikutnya yang tinggal di sana adalah pria gendut tadi. Itu aneh bukan?”

Ia mengangkat suara lebih tinggi ketimbang sebelumnya dan berkata dengan suara santai. “Namun saat aku akan menyelidiki kamarnya lelaki gendut itu sudah pulang. Entah kenapa bisa secepat itu? Apa yang menyebabkan pria itu kembali lagi? Jadi aku membatalkan saja niatku untuk menyusup ke kamar apartemennya. Memang sedikit kecewa, tapi aku mendapatkan informasi penting seperti yang sudah kusampaikan tadi bahwa yang tinggal di apartemen itu bukanlah wanita melainkan pria,” jelas Tommy membuat kesimpulan atas ceritanya sendiri.

“Apakah besok kamu akan pergi ke tempat itu lagi? Kamu tahukan maksudku, melakukan penyelidikan ulang,” jelas Nadia.

“Tentu saja. Kasus ini semakin membuatku tertarik,” jawabnya optimis.


Seorang cleaning service bendiri di depan sebuah pintu apartemen. Badannya yang bungkuk terlihat menyedihkan. Wajahnya lesu, tatapan matanya kosong, alisnya hitam tebal dan sepasang gigi seri yang besar terlihat meonjol walaupun mulutnya sudah tertutup rapat. Ia memarkir troli logam berisi alat-alat kebersihan di sampingnya.
Pria bungkuk itu berdiri lama di depan pintu. Pintu itu otomatis, dengan sebuah kotak box dari logam melekat di sisi bagian kiri gagangnya. Jika pintu ditutup dari luar, maka akan langsung terkunci tanpa perlu susah payah memasukkan anak kunci lagi ke dalam liangnya. Tiga menit kemudian ia mengetuk pintu, tapi tak ada reaksi dari orang di dalam kamar tersebut. Diketuknya pintu itu lagi, kini dengan ketukan keras. Pintu terbuka dan ia langsung berhadapan dengan pria penghuni kamar itu.

Sambil mengunyah permen karet, cleaning service itu menatap pria pemilik apartemen tersebut dengan tatapan semu. Pakaian pria penghuni kamar itu rapih dan tampaknya ia ada kegiatan lain di luar sana yang harus ia kerjakan.

Room service.”

“Kemana cleaning service yang biasa membersihkan kamar saya?” tanya laki-laki itu curiga.

“Dia sedang cuti, Pak. Katanya menengok istrinya yang sedang sakit di kampung halamannya,” jelasnya.

“Oh, baiklah kalau begitu. Silahkan masuk!”

“Terimakasih.”

Cleaning service itu meninggalkan trolinya di luar, lalu mengambil sapu dan sendok sampah untuk dibawanya ke dalam. Ia mulai meyapu dari bawah kolong meja. Sebuah foto berbingkai indah terpajang di atas meja itu. Orang-orang di foto tersebut tampak begitu ceria. Ketiga orang itu memamerkan senyuman terbaiknya.

“Ada apa?”

“Emm... tidak apa-apa Pak.”

Laki-laki itu memandangnya curiga.

“Apakah karpetnya mau sekalian dibersihkan Pak?” ia langsung berkata.

“Tidak perlu. Saya ada keperluan lain di luar. Saya buru-buru sekali.”

“Baiklah Pak. Saya permisi dulu.” Cleaning service itu menghentikan pekerjaannya, padahal ia baru memulai pekerjaannya lima menit yang lalu. “Pria yang aneh...” katanya dalam hati.

Sebelum keluar, ia tersenyum kepada pria di dalam apartemen lalu pintu tertutup pelan.

Setelah sepuluh menit berlalu dengan cepat, pintu itu terbuka lagi. Kali ini pemiliknya yang keluar. Ia membawa koper kecil di tangan kanannya. Menutup pintu lalu pergi dan menekan sebuah tombol di depan lift. Beberapa saat kemudian pintu lift terbuka. Ia masuk. Pintu lift tertutup lagi.

Seorang pria muncul dari balik tembok di ujung lorong. Sejak tadi ia memperhatikan pria gendut yang baru saja naik lift. Ia berjalan menyusuri lorong itu lalu berhenti di depan lift. Lampu di atas pintu lift tersebut menyala dan berhenti di angka ke lima kemudian turun lagi hingga ke menampilkan angka satu.

“Akhirnya aku bisa leluasa,” katanya. Ia menganga mengambil sesuatu dai mulutnya. “Aduh gigi ini benar-benar menyusahkan. Penyamaran ini berjalan dengan lancar. Kurasa tadi ia tidak menyadarinya.”

Ia mengantongi gigi palsunya kemudian kembali berjalan.

Kini Tommy berada di depan kamar apartemen 201, ia lalu mendorong pintunya dan ternyata terbuka.

“Berguna juga permen karet ini.”

Tadi Saat ia masih menyamar menjadi cleaning service, ia menempelkan permen karet yang tadi dikunyahnya saat ia keluar dari kamar apartemen tersebut. Ia menepelkannya pada kotak box logam yang terdapat di samping gagang pintu, mengakibatkan pintu itu tidak dapat terkunci dengan sempurna.

Dengan ketelitian penuh, ia menggeledah setiap sisi ruangan di kamar itu tetapi tidak menemukan apa-apa. Pandangannya lalu tertuju ke tempat sampah yang terletak di samping meja.

“Dasar bodoh, bagaimana aku bisa melupakan tempat berharga ini?” umpatnya pada diri sendiri.

Tommy mengambil secarik kertas tipis berwarna merah jambu dari dalam tempat sampah itu. Kertas itu merupakan sebuah kwitansi pembelian celana panjang, lengkap dengan kemeja, jas dan sepatunya di sebuah toko busana terkenal. Nama si pembeli tertera di kanan atasnya. Nama itu ditulis dengan tinta hitam tebal.

“Misteri ini sudah terpecahkan. Rupanya hanya begitu triknya. Bagaimana aku bisa dikelabui olehnya? Aku memikirkan kasus ini terlalu tinggi, hingga pikiranku terfokus pada satu titik saja,” katanya dalam hati.

Ia mengambil pulpen dan secarik kertas dari atas meja lalu mulai menulis sesuatu pada kertas tersebut. Setelah selesai ia biarkan kertas itu di atas meja. Ia tersenyum sambil menengadah ke langit-langit kamar.

“Bukti ini saja sudah cukup untuk membuka kedoknya.” Ia mengantongi kwitansi tersebut lalu keluar.

~Bersambung~