Kamis, 05 Februari 2009

The Secret - Chap. 02

Penulis : Afandi M.
Gendre : Detektif & Misteri
Lain-lain : Berseri (3)

KEESOKAN HARINYA langit begitu cerah, matahari bersinar tidak begitu terik, jalanan penuh dengan tubuh orang yang berjalan hilir mudik.

Tommy keluar seperti biasa dengan penampilannya yang sederhana, ia menemui Nadia yang sejak tadi telah duduk setia menunggunya di ruang tamu. Kali ini gadis itu terlihat begitu feminin dengan rok putih yang menutupi samapi pergelangan kakinya. Rambutnya yang panjang diikat dua seperti ekor kuda.

“Tom, aku mau ikut pergi denganmu!” pinta Nadia berharap.

Tommy menatapnya. Sebenarnya tatapan itu sudah menjadi jawaban bagi kalimat tadi. “Tidak...”


“Memangnya kenapa?”

“Sebaiknya kamu menunggu aku di sini. Kau tahu, ini sangat berbahaya. Bagaimana jika ini adalah kasus pemerasan atau kasus berbahaya lainnya, pasti ada resiko besar yang harus ditanggung. Aku tidak ingin melibatkanmu dalam penyelidikanku.”

“Oh ya. Sama seperti perkataan laki-laki itu yang juga tidak mau melibatkan istrinya untuk membantunya,” kata Nadia dalam hati.

“Tunggulah di sini okey. Kemarin aku membeli beberapa DVD, mugkin kamu mau menontonnya sembari menungguku pulang. Semuanya ada di lemari itu,” katanya menunjuk sebuah lemari kecil dekat TV. “Aku akan secepatnya pulang. Mungkin sekitar tiga atau empat jam aku akan pergi.”

Ia lalu melihat jam tangannya. Kedua jarum itu sekarang telah menunjuk jam delapan tiga puluh tepat.

“Baiklah aku pergi dulu.”

“Tom, hati-hati ya! Aku mau kamu pulang dengan selamat,” ujar Nadia saat pemuda itu hendak pergi. Anggukan perpisahan dan siluet senyuman merekah dari bibirnya, membuat gadis itu juga menghadiahkan sebuah senyuman balasan yang mengiringi kepergian pemuda tersebut.


Film yang dibintangi oleh Daniel Radcliffe, Rupert Grint, dan Emma Watson kini telah memasuki frame terakhir, dimana yang tersisa hanya layar berlatar hitam dan beberapa tulisan yang muncul dari bawahnya, seolah-olah melayang entah kemana.

Tiga jam berlalu begitu lama tetapi Tommy belum juga muncul dari balik pintu yang tadi memisahkan mereka berdua. Baru kira-kira pukul 13.15 siang, pintu itu terbuka untuk yang kedua kalinya. Seorang pemuda masuk. Tampangnya lusuh, bajunya yang tadi kering sekarang sudah basah oleh keringat yang keluar dari pori-pori kulitnya. Matanya berbinar-binar cemerlang, wajahnya memancarkan kepuasan menandakan penyelidikannya mengalami kemajuan. Dia kemudian menjatuhkan tubuhnya yang lemas itu di atas sofa terdekat. Dengan sigap gadis yang jejak tadi melihat tingkahnya itu lalu mengambil segelas air.

Belum sempat Tommy meneguk habis air mineralnya, gadis itu lalu mengajukan pertanyaan. “Bagaimana hasil penyelidikanmu? Apakah biasa saja, memuaskan atau sangat memuaskan? Cepat katakan kepadaku. Semuanya.”

“Lumayan...”

“Lumayan?” Nadia melanjutkan, “Maksudmu?”

“Memuaskan. Semuanya memuaskanku, tapi sebaiknya nanti saja setelah makan siang aku menceritakannya kepadamu, perutku sudah keroncongan dari tadi. Aku lapar sekali.”

Ada taman kecil yang terawat baik dengan sebuah kolam ikan di sebelah kirinya. Miniatur air terjun memercikkan titik-titik air seperti melantunkan sebuah nada sumbang, membuat ikan-ikan koi di bawahnya tampak sangat menikmati setiap tetes-tetes air yang berjatuhan. Beberapa jenis angrek yang mendominasi taman tersebut merekatkan akar-akarnya di batang-batang pohon mangga tumpangannya. Dinding pembatas menjulang tinggi dan ditumbuhi tanaman merambat berdaun kecil. Sulur-sulurnya yang pendek seperti akar mengukuhkan tempatnya di situ. Tommy dan Nadia duduk di sebuah rumah kecil menyerupai saung di tengah taman tersebut.

“Nah! Sekarang tepati janjimu tadi. Ceritakan dengan lengkap hasil penyelidikanmu,” Nadia menagih janji.

“Ok, akan aku ceritakan, tapi ingat jangan menyelaku.”

Nadia mengangguk patuh, namun dalam hati ia berkata, “memangnya aku selalu berbuat seperti itu? Dasar.”

“Darimana sebaiknya aku harus memulainya?”

“Saat kamu berada di sana saja,” ujar Nadia sudah tidak sabar lagi. Ia membetulkan duduknya dan mulai menajamkan indra pendengarnya.

“Setelah aku tiba di apartemennya, aku bertanya kepada resepsionis di tempat itu mengenai wanita bernama Vira Rahayu Shinta. Dari situ aku mengetahui nomor apartemennya adalah 201. Aku mau menyelinap ke sana tapi sistem keamanan dan penjagaan di apartemen itu sangat ketat.”

“Lalu aku menyelinap ke ruangan petugas kebersihan di apartemen tersebut dengan maksdu menyamar menjadi salah satu dari mereka. Aku mengetahui ruangan itu berkat denah yang kulihat di lobby apartemen. Di sana, aku hampir saja ketahuan. Cleaning service yang tiba-tiba datang untuk beristirahat memergokiku saat hendak memakai baju petugas kebersihan yang tertinggal di ruangan tersebut, tapi aku tidak kehilangan akal. Dari wajahnya terlihat bahwa pria itu sangat mudah dipengaruhi dan mudah percaya pada perkataan orang.”

“Benarkah?” pikir Nadia.

“Saat ku katakan bahwa aku merupakan cleaning service baru di apartemen itu, dia langsung percaya begitu saja tanpa rasa curiga sedikitpun. Benar-benar payah.” Ia tertawa kecil.

“Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan yang langka itu. Aku bertanya tentang wanita yang tinggal di apartemen 201. Dia menjawab dengan santai dan jawabannya saat itu sungguh tak terduga olehku. Orang yang tinggal di kamar itu bukanlah seorang wanita menurutnya, melainkan seorang pria gendut dengan ciri yang sama diceritakan oleh Pak Ivan Ardiyansah. Berdasarkan informasi yang diberikan oleh pria itu, laki-laki gendut tersebut sudah tinggal di sana sejak empat hari yang lalu.”

“Oh iya! Bukankah itu merupakan hari yang sama dimana sikap istrinya berubah drastis,” celetuk Nadia sok tahu.

“Betul. Yang anehnya lagi, cleaning service itu mengatakan bahwa saat pertama kali kamar itu terisi, yang mengisinya adalah seorang wanita cantik, namun pada hari-hari berikutnya yang tinggal di sana adalah pria gendut tadi. Itu aneh bukan?”

Ia mengangkat suara lebih tinggi ketimbang sebelumnya dan berkata dengan suara santai. “Namun saat aku akan menyelidiki kamarnya lelaki gendut itu sudah pulang. Entah kenapa bisa secepat itu? Apa yang menyebabkan pria itu kembali lagi? Jadi aku membatalkan saja niatku untuk menyusup ke kamar apartemennya. Memang sedikit kecewa, tapi aku mendapatkan informasi penting seperti yang sudah kusampaikan tadi bahwa yang tinggal di apartemen itu bukanlah wanita melainkan pria,” jelas Tommy membuat kesimpulan atas ceritanya sendiri.

“Apakah besok kamu akan pergi ke tempat itu lagi? Kamu tahukan maksudku, melakukan penyelidikan ulang,” jelas Nadia.

“Tentu saja. Kasus ini semakin membuatku tertarik,” jawabnya optimis.


Seorang cleaning service bendiri di depan sebuah pintu apartemen. Badannya yang bungkuk terlihat menyedihkan. Wajahnya lesu, tatapan matanya kosong, alisnya hitam tebal dan sepasang gigi seri yang besar terlihat meonjol walaupun mulutnya sudah tertutup rapat. Ia memarkir troli logam berisi alat-alat kebersihan di sampingnya.
Pria bungkuk itu berdiri lama di depan pintu. Pintu itu otomatis, dengan sebuah kotak box dari logam melekat di sisi bagian kiri gagangnya. Jika pintu ditutup dari luar, maka akan langsung terkunci tanpa perlu susah payah memasukkan anak kunci lagi ke dalam liangnya. Tiga menit kemudian ia mengetuk pintu, tapi tak ada reaksi dari orang di dalam kamar tersebut. Diketuknya pintu itu lagi, kini dengan ketukan keras. Pintu terbuka dan ia langsung berhadapan dengan pria penghuni kamar itu.

Sambil mengunyah permen karet, cleaning service itu menatap pria pemilik apartemen tersebut dengan tatapan semu. Pakaian pria penghuni kamar itu rapih dan tampaknya ia ada kegiatan lain di luar sana yang harus ia kerjakan.

Room service.”

“Kemana cleaning service yang biasa membersihkan kamar saya?” tanya laki-laki itu curiga.

“Dia sedang cuti, Pak. Katanya menengok istrinya yang sedang sakit di kampung halamannya,” jelasnya.

“Oh, baiklah kalau begitu. Silahkan masuk!”

“Terimakasih.”

Cleaning service itu meninggalkan trolinya di luar, lalu mengambil sapu dan sendok sampah untuk dibawanya ke dalam. Ia mulai meyapu dari bawah kolong meja. Sebuah foto berbingkai indah terpajang di atas meja itu. Orang-orang di foto tersebut tampak begitu ceria. Ketiga orang itu memamerkan senyuman terbaiknya.

“Ada apa?”

“Emm... tidak apa-apa Pak.”

Laki-laki itu memandangnya curiga.

“Apakah karpetnya mau sekalian dibersihkan Pak?” ia langsung berkata.

“Tidak perlu. Saya ada keperluan lain di luar. Saya buru-buru sekali.”

“Baiklah Pak. Saya permisi dulu.” Cleaning service itu menghentikan pekerjaannya, padahal ia baru memulai pekerjaannya lima menit yang lalu. “Pria yang aneh...” katanya dalam hati.

Sebelum keluar, ia tersenyum kepada pria di dalam apartemen lalu pintu tertutup pelan.

Setelah sepuluh menit berlalu dengan cepat, pintu itu terbuka lagi. Kali ini pemiliknya yang keluar. Ia membawa koper kecil di tangan kanannya. Menutup pintu lalu pergi dan menekan sebuah tombol di depan lift. Beberapa saat kemudian pintu lift terbuka. Ia masuk. Pintu lift tertutup lagi.

Seorang pria muncul dari balik tembok di ujung lorong. Sejak tadi ia memperhatikan pria gendut yang baru saja naik lift. Ia berjalan menyusuri lorong itu lalu berhenti di depan lift. Lampu di atas pintu lift tersebut menyala dan berhenti di angka ke lima kemudian turun lagi hingga ke menampilkan angka satu.

“Akhirnya aku bisa leluasa,” katanya. Ia menganga mengambil sesuatu dai mulutnya. “Aduh gigi ini benar-benar menyusahkan. Penyamaran ini berjalan dengan lancar. Kurasa tadi ia tidak menyadarinya.”

Ia mengantongi gigi palsunya kemudian kembali berjalan.

Kini Tommy berada di depan kamar apartemen 201, ia lalu mendorong pintunya dan ternyata terbuka.

“Berguna juga permen karet ini.”

Tadi Saat ia masih menyamar menjadi cleaning service, ia menempelkan permen karet yang tadi dikunyahnya saat ia keluar dari kamar apartemen tersebut. Ia menepelkannya pada kotak box logam yang terdapat di samping gagang pintu, mengakibatkan pintu itu tidak dapat terkunci dengan sempurna.

Dengan ketelitian penuh, ia menggeledah setiap sisi ruangan di kamar itu tetapi tidak menemukan apa-apa. Pandangannya lalu tertuju ke tempat sampah yang terletak di samping meja.

“Dasar bodoh, bagaimana aku bisa melupakan tempat berharga ini?” umpatnya pada diri sendiri.

Tommy mengambil secarik kertas tipis berwarna merah jambu dari dalam tempat sampah itu. Kertas itu merupakan sebuah kwitansi pembelian celana panjang, lengkap dengan kemeja, jas dan sepatunya di sebuah toko busana terkenal. Nama si pembeli tertera di kanan atasnya. Nama itu ditulis dengan tinta hitam tebal.

“Misteri ini sudah terpecahkan. Rupanya hanya begitu triknya. Bagaimana aku bisa dikelabui olehnya? Aku memikirkan kasus ini terlalu tinggi, hingga pikiranku terfokus pada satu titik saja,” katanya dalam hati.

Ia mengambil pulpen dan secarik kertas dari atas meja lalu mulai menulis sesuatu pada kertas tersebut. Setelah selesai ia biarkan kertas itu di atas meja. Ia tersenyum sambil menengadah ke langit-langit kamar.

“Bukti ini saja sudah cukup untuk membuka kedoknya.” Ia mengantongi kwitansi tersebut lalu keluar.

~Bersambung~

Tidak ada komentar: