Rabu, 11 Februari 2009

The Triangle Murder - Chap. 02

Penulis : Afandi M.
Gendre : Detektif & Misteri
Lain-lain : Berseri (4)

DUA ORANG POLISI tanpa seragam formal sedang mengobrol di sebuah ruangan, sementara beberapa polisi yang berseragam lengkap hilir mudik di ruangan tersebut, menjadikan ruangan itu seolah tempat persidangan dadakan.

Di luar, pegawai wanita dan pria berdasi perusahaan Summer mencoba melongok jauh ke dalam ruangan tersebut. Banyak di antaranya, khususnya bertubuh pendek terlebih gempal, berjinjit-jinjit ria sembari kepayahan bertumpu pada ujung kaki, tatkala pandangannya terhalang oleh tubuh-tubuh tegap nan tinggi di depannya. Sementara wartawan kriminal dari beberapa majalah ibu kota sedang memotreti depan ruangan tersebut, mencoba mencari celah untuk mengetahui berita yang ada di dalam. Berita mengenai pembunuhan itu cepat sekali tersebar seumpama butiran debu yang terbawa angin dengan begitu mudahnya. Telinga-telinga para pencari berita itu bagaikan radar penangkap gelombang berita mengerikan, sedangkan hidungnya, tak jauh berbeda. Indra itu dapat mengendus bermil-mil jauhnya, bahkan jika ditutup matanya.


Di dalam ruangan yang kini menjadi titik pusat perhatian, dua orang polisi sedang bercakap.

“Korbannya bernama Santi Triyani,” kata seorang polisi melaporkan hasil penemuan susah payahnya. Wajahnya yang berminyak berkilat terkena cahaya lampu yang menjadi alat penerang di ruangan tersebut. “Diperkirakan dia meninggal sekitar pukul dua belas―siang ini,” ia melanjutkan.

“Apa luka ini yang membunuhnya?” tanya Hendra Sucipto menunjuk luka bekas tembakan di dada Santi. Hendra Sucipto merupakan seorang asisten inspektur yang memiliki dedikasi tinggi kepada pekerjaannya, menjunjung tinggi keadilan, dan membenamkan patok-patok kejujuran di tangan-tangan kotor penyuapan.

“Betul,” polisi itu menjawab cepat, tanpa jeda, “peluru itu tepat mengenai jantungnya dan langsung menghentikan detakannya.”

“Apa senjata yang digunakan si pelaku untuk membunuh korban sudah ditemukan?” Hendra Sucipto kembali bertanya.

Polisi itu menggeleng. “Maaf, Pak. Kami belum menemukan senjatanya.”

“Begitu...” ia diam, kemudian melanjutkan dalam rentang waktu mengejutkan. “Kau tahu jenis peluru apa yang digunakan oleh pembunuh?”

“Peluru itu terlalu dalam masuk ke tubuh korban. Perlu penelitian lebih lanjut. Bahkan harus membedah tubuh korban. Menutup hasil autopsi, korban ditembak dari jarak dekat.”

Hendra Sucipto terdiam. Mimik wajahnya tidak berubah. Kini, ia tengah berfikir. “Mungkin disembunyikan di suatu tempat di ruangan ini?” katanya pada akhirnya.
“Tidak, itu tidak mungkin Pak. Kami sudah memeriksa segala penjuru ruangan ini, tapi senjata tersebut tidak ditemukan.”

Asisten inspektur itu mengangguk. Matanya menatap ke seluruh penuju ruangan, seolah-olah jawabannya jelas sekali tertulis di suatu tempat. Entah di mana, hanya dia yang tahu.

“Apa kau sudah coba mencari senjata itu di tempat sampah atau semacamnya?” katanya bersuara. “Biasanya di tempat-tempat seperti itu, para pelaku kejahatan sering membuang barang bukti kejahatan mereka. Membuat orang-orang berfikir alat pembunuh itu hanya sampah, tidak lebih.”

“Baik, Pak. Saya akan memeriksanya segera Pak!” seru polisi itu tegas seraya memberi hormat. Ia kemudian beranjak pergi bersama dua orang polisi yang lain. Satu bertubuh gemuk, tinggi dan seorang lagi bertubuh kekar dengan kepala plontos. Mungkin untuk membantunya mencari barang bukti tersebut.

***

Sekitar sepuluh menit kemudian, polisi tadi kembali dengan wajah bersinar. Bukan karena kumpulan minyak yang terdapat di wajahnya dan bantuan sinar lampu yang membuatnya bersinar, tapi karena keberhasilan. Sunggingan senyuman penuh menghiasi wajahnya. Pergelangan tangannya yang terbalut sarung tangan karet krem membawa sebuah pistol.

“Pak,” katanya girang. “Kami menemukan pistol ini di tempat sampah di toilet wanita. Kami mendapatkannya di tumpukan sampah paling bawah.”

Seolah-olah seperti orang tuli, Hendra Sucipto malah bertanya tak pasti, “Dimana tadi kau temukan pistol itu?” Tatapan matanya meneliti setiap lekuk pistol tersebut. Keseriusannya seakan-akan menghalangi kinerja indera pendengarannya, menumpulkan sepasang kemampuan kupingnya.

“Kami menemukan pistol ini di toilet wanita, Pak. Tepatnya terlindung di bawah tumpukan tisu-tisu toilet dalam tempat sampah.”

Diam sejenak.

Kemudian, layaknya seorang Inspektur, polisi tadi coba menyimpulkan seadanya. “Kalau begitu pelakunya pasti wanita, Pak, sebab pistol ini ditemukan di toilet wanita.” Ia menunjukkan pistol di telapak tangannya.

Hendra Sucipto menggeleng sambil menyunggingkan senyuman.

“Kemungkinan itu bisa saja terjadi, tapi bisa juga tidak,” ia bersiap menjelaskan. “Mungkin saja pembunuh itu sengaja melakukannya untuk mengalihkan perhatian Polisi sehingga membuat kita mengira bahwa pelaku yang membunuh Santi Triyani adalah seorang wanita,” jelasnya. “Dia ingin menipu kita.”

Sambil tersenyum, Hendra Sucipto kembali berkata, “Sebaiknya kau lebih banyak belajar dari Inspektur Andrian dan Tommy. Mereka adalah orang-orang yang hebat ketika bertemu dengan masalah seperti ini.”

Hendra Sucipto berfikir mantap. Otak kirinya kini bekerja sangat baik dalam taraf kewajaran yang sangat tinggi.

“Jika kupikir-pikir lagi, pendapatmu tadi ada benarnya juga, namun ada sedikit kesalahan,” katanya sedikit membenarkan. “Jika si pelaku jeli, dia tidak mungkin mengambil resiko yang sangat besar seperti itu. Umpamanya, si pelaku pembunuhan ini adalah seorang pria, dia tidak akan menyembunyikan pistol itu di dalam toilet wanita, tapi di toilet pria yang bisa digunakannya tanpa ada orang yang curiga,” ia berhenti kemudian melanjutkan dengan penuh kesungguhan, “tapi sebaliknya, jika dia menggunakan toilet wanita. Dia mengambil resiko yang sangat besar. Bahkan dapat mempertaruhkan alibinya sendiri. Sewaktu-waktu bisa saja ada orang yang memergokinya di tempat itu dan selanjutnya, kedoknya pasti akan terbongkar. Pistol di tangannya pasti terlihat. Maka aku juga menarik kesimpulan yang sama denganmu. Pelaku pembunuhan ini adalah seorang wanita.”

Polisi tadi malah membusungkan dadanya, penuh bangga, seolah-olah sedang menyombong kepada atasannya.

Sambil masih berfikir, Hendra Sucipto berkata, “Kini ruang lingkup penyelidikan kita mengenai pembunuhan ini sedikit lebih menyempit berkat penemuan yang tidak diduga ini. Apa ada saksi yang melihat atau menyaksikan pembunuhan itu?”

Polisi di depannya mengangguk membenarkan. “Ada, tapi sebenarnya bisa dikatakan bukan saksi, Pak.”

“Maksudmu apa?” Hendra Sucipto heran.

“Namanya, Jumadi―salah satu office boy di perusahaan ini. Dia adalah orang yang pertama kali menemukan mayat Santi Triyani di ruangannya.”

“Dimana dia sekarang?” tanya Asisten Inspektur Hendra Sucipto tak sabaran.
Polisi itu langsung menjawab tanpa basa-basi. “Sekarang dia sedang dimintai keterangan berkenaan dengan kasus pembunuhan ini.”

“Sebaiknya kita ke sana. Ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan pada office boy itu,” ujar Hendra Sucipto.

Polisi tersebut menyanggupi, sambil berkata seolah memberi hormat. “Baik, Pak!”

***

Pria itu masih sangat terguncang. Raut wajahnya yang cekung dan hidung pesek yang terlihat kecil dapat menegaskan itu semua. Keningnya basah oleh keringat. Tanganya yang kurus tampak gemetar. Matanya yang besar tidak tampak bahagia dengan setiap pertanyaan yang ditanyakan padanya. Malah terlihat sangat ketakutan akan dijadikan tersangka. Dasar orang udik! Ia duduk di sebuah kursi menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan seorang polisi lalu dijawabnya beberapa detik kemudian sambil terbata-bata. Mulutnya seolah kelu.

“Apakah kamu yang pertama kali menemukan mayat Santi Triyani?” tanya Hendra Sucipto pertama kalinya saat lima menit yang lalu memasuki ruangan introgasi dadakan tersebut. Sebelumnya ia mengamati office boy itu, seumpama pria malang itu tidak bisa dipercaya dari penampilannya.

“Sa... saya rasa be... begitu, Pak,” jawabnya ketakutan. Ia merasa dirinyalah pembunuh itu yang sekarang.

“Apa maksudmu?” tanya Hendra Sucipto bingung.

Jumadi mengulangi. Kini suaranya lebih bergetar. “Sa... sa... saya juga tidak begitu ta... tahu, Pak, ka... kalau sayalah yang pertama kali menemukannya... Ta... tapi sewaktu saya sedang menyapu, ti... tidak jauh dari ruangan itu, sa... saya mendengar ada suara pintu dibanting keras...”

“Jam berapa kamu mendengar suara itu? Perjelas!” Hendra Sucipto kembali bertanya namun pertanyaan kali ini, ia terlihat sangat antusias.

Jumadi terdiam, tampaknya sedang berfikir dan mengingat-ingat kembali tepatnya.

“Tenang-tenang, kami tak akan menyakitimu,” ucap Hendra Sucipto menenangkan.
Jumadi menunduk saat menjawab pertanyaan tadi. “Sekitar jam 12. 40.”

“Saat itu kan para pegawai sudah kembali dari istirahat siang. Betul, kan? Mungkin saja ada orang yang melihatnya?” kata Hendra Sucipto.

“Itu tidak mungkin, Pak!” celetuk Jumadi pelan. “Soalnya perusahaan ini kosong waktu itu. Semuanya pergi istirahat, Pak. Di sini, jam istirahatnya berbeda dengan di perusahaan-perusahaan. Kalau di sini, istirahatnya jam 12.00 sampai jam 13.00.”

Perkataan itu membuat Hendra Sucipto bungkam. Otaknya kini mulai menganalisa lagi, mencoba menyusun sebuah kemungkinan. “Tunggu, jam berapa kematian korban tadi diperkirakan?” ia bertanya kepada polisi di sebelahnya.

Antara kaget dan refleks, polisi itu menjawab. “Sekitar jam dua belas lewat tapi yang jelas berdasarkan data dari tim forensik yang memeriksa mayat korban, beberapa menit kemudian korban tewas.”

“Kalau begitu korban tewas jam dua belas lewat, sedangkan suara pintu yang terdengar itu sekitar pukul 12.40,” Hendra Sucipto mengelus-elus keningnya. “Ini aneh. Buat apa si pelaku berada di tempat itu selama selang waktu yang tersisa? Apa yang dia lakukan di sana? Apa ada sesuatu di tempat itu?”

“Iya, Pak, saya juga merasa ada yang aneh,” ujar polisi itu ikut-ikutan setuju.

Hendra Sucipto kembali menyelidik. “Apa kau melihat seseorang yang mencurigakan di sekitar tempat itu, pada waktu itu?”

Jumadi masih menunduk. Sepertinya takut menatap mata polisi yang berdiri di depannya. “Emm... Bu... bukan orang yang mencurigakan, Pak, tapi... aneh saja. Tadi Ibu Helena ke toilet dengan wajah yang ketakutan dan saat keluar dia buru-buru pergi. Sa... saya bingung melihatnya.”

Hendra Sucipto mengurai senyuman dan matanya bersinar terang seolah-olah tersusun oleh kilauan berlian, tanda ia mendapatkan petunjuk sekali lagi. “Kira-kira jam berapa dia ke toilet itu? Jam berapa tepatnya?”

Jumadi dengan ragu memperbaiki posisi duduknya, seolah bantalan kursinya itu disusun oleh duri-duri tajam. “Saya tidak tahu, Pak. Mungkin sekitar jam 12.20. Soalnya, sebelum saya menyapu di tempat itu, sa... saya pergi makan siang jam 12.15.”

Wajah asisten inspektur itu kembali ke kondisi semula, kembali ke bentuk yang lebih berwibawa. “Jadi... kalau begitu, kita bisa membuat rincian kejadiannya sekarang,” katanya. “Helena di sini mungkin saja akan menjadi tersangka utama atas pembunuhan ini. Begini, pertama-tama dia pergi ke ruangan korban, bersembunyi di sana sembari menunggu Santi hingga datang. Tampaknya, dia juga megetahui bahwa ruangan perusahaan korban itu jarang dikunci. Lalu setelah Santi datang dan membuka pintu, Helena langsung menembaknya tepat di dada.

“Kemudian, dia buru-buru ke toilet wanita untuk membuang pistol tersebut di tempat sampah, sebab tempat itulah yang paling aman yang sempat terpikirkan olehnya saat itu. Mungkin dia takut dan panik saat itu, walaupun semua pegawai istirahat pada jam itu. Tapi...” jelas Hendra Sucipto tiba-tiba terputus.

“Tapi apa, Pak? Bukannya semuanya sudah jelas? Helena kan pelakunya?” Polisi tadi ikut-ikutan serius bak seorang jaksa. “Lagipula, tadi kita sudah sempat mengambil kesimpulan, yang membunuh korban adalah seorang wanita. Helena, tentu saja seorang wanita. Ini semua sudah jelas kan, Pak. Pembunuhan ini memang dilakukan oleh dia, oleh Helena.”

“Kau mungkin masih baru dalam pekerjaan ini. Jangan lupa dengan suara pintu dibanting itu. Bagaimana kalau suara pintu itu menandakan bahwa ada orang lain di dalam ruangan itu selain Helena, dan mungkin saja bukan Helena yang membunuh Santi. Dia mungkin hanya dijebak oleh si pelaku sebenarnya.”

Orang-orang di ruangan itu terdiam. Terbungkam oleh kata-kata tadi.

“Kita harus mencerna baik-baik semua penemuan yang kita dapatkan satu persatu... ingat―satu persatu,” ucap Hendra Sucipto tenang.

Polisi yang tadi bicara bungkam seribu bahasa. Wajahnya merah menahan malu yang membludak. “Ma... maafkan saya, Pak,” katanya kemudian.

~Bersambung~

Tidak ada komentar: