Rabu, 11 Februari 2009

The Triangle Murder - Chap. 03

Penulis : Afandi M.
Gendre : Detektif & Misteri
Lain-lain : Berseri (4)

SINAR MATAHARI yang terik panas membakar, menggosongkan, menyelidik, berkilat dari balik kaca tebal setiap jendela perusahaan yang saat itu baru tertimpa kemalangan mengenaskan. Sinar yang berpijar dari pusat tata surya itu memancarkan cahaya kekuningan bercampur jingga yang terang menyala. Perusahaan Summer masih diliputi oleh bayang-bayang kejadian kemarin, disinggahi ketakutan, diselimuti kegamangan akan takdir. Kejadian itu membuat setiap karyawan yang bekerja di perusahan tersebut ikut terguncang, dan beberapa dari mereka masih tetap saja membicarakan peristiwa mengerikan itu. Masih menjadi topik yang hangat untuk santapan gosip-gosip harian.

Beberapa polisi masih hilir-mudik di perusahaan tersebut. Bertanya-tanya ke setiap pegawai yang mempunyai hubungan dekat dengan korban pembunuhan—Santi Triyani, baik sebagai teman dekat atau hanya sebatas teman kerja saja. Santi dan Helena juga dimintai keterangannya. Penelusuran informasi lebih difokuskan kepada Helena, sebab menurut penuturan pekerja lain, wanita itu dulunya merupakan teman baik Santi Triyani. Terlebih lagi dia juga dicurigai merupakan tersangka utama dalam peristiwa pembunuhan tersebut.


Office boy yang kemarin dijadikan saksi atas penemuan mayat Santi Triyani―Jumadi, tiba-tiba menjadi sangat terkenal di perusahaan Summer, layaknya seorang selebriti di perusahaan tersebut. Setiap jam, bahkan setiap menit ada saja yang ingin mendengarkan ceritanya. Tapi beberapa orang dari pendengarnya, mendengus tidak puas akan cerita tersebut. Mereka ingin tahu lebih detail lagi. Lebih seram, lebih menggidik kulit, lebih menakutkan. Siapa tahu nantinya dapat dijadikan bahan gosip saat istirahat kerja tiba.


“Hai, apa kabar?” sapa Helena kepada Nagita, yang saat itu tidak sengaja ditemuinya sedang menaiki tangga menuju lantai atas. Entah kenapa wanita itu mau-maunya naik tangga ke lantai atas, padahal ada sekitar empat lift yang efektif di setiap lantainya. Kebetulan, hanya mereka berdualah yang ada di lorong tersebut. Pajangan poster serta beberapa kertas pemberitahuan tertempel di dinding kayu beralaskan sterofom hijau dengan penutup kaca berukuran persegi panjang. Nagita memandanginya sejenak. Tatapan sinis terpancar dari matanya yang tegas dan sigap seperti burung elang.

“Baik. Aku baik-baik saja,” katanya dengan suara agak ditekan.

“Kamu tidak mengikuti pemakaman Santi, ya?” tanya Nagita kemudian.

Helena tidak menjawab, hanya terdiam, tak berani sepertinya memandang mata atasannya itu, seolah-olah mata itu ingin melukainya dan menelannya bulat-bulat. Ia menyadari bahwa dirinya telah membuat sebuah kesalahan besar. Sangat mengancam karirnya.

Tak berhasil mendapatkan jawaban yang ia inginkan, Nagita kembali bersuara, “Bukankah dia itu temanmu? Maksudku sahabat baikmu, kan?”

“Bukan... dia bukan sahabatku,” ujar Helena. “Memang dulu kami sering bersama. Berbagi suka dan duka bersama-sama, tapi setelah dia melakukan perbuatan licik seperti itu dan hanya untuk menaikkan pamor serta jabatannya, aku tidak mau lagi menjadi sahabatnya. Tidak akan pernah. Meskipun dia memohon di kedua telapak kakiku,” ujarnya geram. “Entah mengapa sifatnya berubah drastis dan menjadi gila harta seperti itu―sangat gila kekuasaan. Memang benar kata orang-orang kalau kita tidak bisa melihat orang dari luarnya saja, pasti ada sesuatu yang tersembunyi dalam hatinya, jika bukan niat baik pastilah niat jahat yang busuk.”

Nagita masih mengurai senyum. “Biar bagaimanapun dia tetap sahabatmu, kan? Apa kau tidak merasa kehilangan dia?”

Helena menggeleng. “Tidak. Sedikit pun aku tidak sedih kehilangan orang yang telah menghianatiku. Sekarang orang-orang jahat di perusahaan ini makin berkurang. Bukankah Anda juga senang kalau Santi meninggal, Bu?” celetuk Helena sinis.

Bagai mendapat serangan balik, Nagita kaget. Seolah tertancap busur panah dari jarak dekat yang tak mungkin bisa dihindari. “Apa maksudmu?”

“Emm... maaf jika saya tidak sopan pada Anda, tapi... sudah jelas bukan...” ujarnya sambil menegakkan bahunya. Terbersit sebuah senyuman buas dan licik dari balik bibirnya yang ranum itu. “Dia sangat menginginkan posisi Anda sebelum wanita iblis itu meninggal. Dia melakukan apa saja untuk merebut jabatan itu dari Anda, bukan? Seperti yang telah dia lakukan padaku. Membuat jabatan Anda itu terancam. Bukankah kematian itu yang membuat Anda senang.”

Nagita tidak berkomentar apa-apa. Mukanya memerah menahan amarah yang sedari tadi meluap-luap dan coba disembunyikannya di balik senyumannya yang terlihat ramah tamah itu. Tiba-tiba ponsel Helena berbunyi nyaring. Sebuah lagu dari band pop ternama Indonesia menjadi ringtone ponselnya.


Kupetik bintang, untuk kau simpan
Cahayanya tenang berikan kau perlindungan
Sebagai pengingat teman
Juga s’bagai jawaban
Semua tantangan



Ekspresi wajah Helena langsung berubah gembira saat melihat nama orang yang meneleponnya itu. Helena membalikkan badan bermaksud menyembunyikan ekspresi kesenangannya itu, kemudian membuka pembicaraan dengan suara lembut yang dibuat-buat. Mesra sekali. Pembicaraan itu berakhir dua menit kemudian dan sebuah kecupan jauh terdengar mesra di telinga Nagita yang sedari tadi tak sengaja menguping di belakangnya.

“Itu Roman, kan?” tanya Nagita.

“Ya. Tadi itu Roman,” jawab Helena kemudian mengernyit, “Memangnya ada apa, Bu? Anda tidak apa-apa bukan?”

“Oh! Tidak apa-apa. Aku turut bahagia kalian bisa bersama-sama. Semoga langgeng. Ya, semoga saja,” katanya dengan suara pelan, menyunggingkan senyuman penuh kebohongan, lalu mereka pun berpisah dengan membawa bongkahan kebencian masing-masing yang sewaktu-waktu akan dikeluarkan.

***

Jumadi sedang menyeduh secangkir kopi ketika Nagita masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. “Eh, Ibu!” serunya kaget. “Ada yang bisa saya bantu, Bu?”
Sambil menyerahkan sebuah botol orange juice yang terbuat dari plastik serupa kemasan botol mineral, Nagita berkata dengan suara agak berbisik. “Tadi saya sempat keluar sebentar dan Helena menitipkan uang kepada saya agar uang tersebut dibelikan jus ini. Katanya, dia ingin minum orange juice. Tapi, saya tidak sempat memberikan jus ini kepadanya sendiri sekarang. Saya harus menghadiri rapat penting sekarang juga. Jadi, tolong kamu berikan minuman ini padanya. Jangan lupa ya...” ia mengingatkan.
Jumadi mengangguk sekali sambil menerima botol berisi jus tersebut.

“Ini ada sedikit uang buatmu.” Dua lembar uang seratus ribuan langsung diberikannya tanpa pikir panjang kepada Jumadi.

“Te... terima kasih Bu! Nanti saya antarkan minuman ini kepada Bu Helena,” kata Jumadi mengakhiri pembicaraan. Diapun melanjutkan kembali membuat kopi yang tadi sempat tertunda.


Kala itu, Helena sedang menggambar sesuatu di atas kertas gambarnya dengan pensil-pensil segala rupa dan warna dibiarkan tidak teraut tajam, maksudnya untuk mendapatkan arsiran garis yang terbaik. Lebih berseni. Lebih eksotis, mungkin. Gambar sebuah gaun pesta setengah jadi dengan belahan pada sampingannya menghiasi kertas gambar yang tadinya polos itu. Garisnya mulus dan begitu sempurna. Tiap lekukannya seolah tergores dengan rincian yang sangat teliti.

Kini, untuk lebih mempertajam desainnya, ia bersiap mewarnai gambar itu ketika Jumadi datang sambil membawa sesuatu. “Bu, ini yang tadi ibu pesan,” kata Jumadi langsung menyuguhkan segelas orange juice kesenangan Helena.

Helena menekuk alis matanya, sementara sebelah matanya ikut disipitkan.

Orange juice? Perasaan, saya tidak minta orange juice,” katanya heran.
Jumadi yang sekarang terlihat kebingungan. “Bukannya tadi ibu minta dibuatkan ini?”
Helena tetap kokoh pada sikapnya semula. “Tidak... saya tidak minta orange juice. Memangnya, siapa yang memberitahumu kalau aku mau dibuatkan minuman ini?”
Jumadi takut, merasa akan disalahkan lagi-lagi. Nasib orang kecil.

“Tadi ibu Nagita bilang, katanya, Bu Helena mau dibuatkan orange juice ini,” Jumadi juga menambahkan, “Bu Nagita juga yang mengantar botol jusnya sendiri kepada saya. Tadi sebenarnya, dia sendiri yang bermaksud mengantarkannya ke ibu, tapi karena ada rapat penting jadi Bu Nagita menyuruh saya untuk mengantarkannya ke sini.”

Apalagi yang diinginkan wanita itu? Ada-ada saja, batin Helena berbisik kesal.
Ia kemudian melanjutkan pekerjaannya. “Kalau begitu, taruh saja gelas itu, nanti aku akan meminumnya setelah aku menyelesaikan pekerjaan ini. Kebetulan cuaca hari ini sangat panas.”

“Terimakasih ya, Madi!” ujar Helena tak mempedulikan.


Cuaca siang itu memang terasa sangat panas. Terik menggeliat-geliat dengan senang hati, bagai berada di gurun pasir tanpa perlindungan dari cahaya matahari yang semakin lama semakin menyengat kulit. Walaupun AC sudah menghembuskan embun segar, namun tetap saja hawa panas yang sedari tadi merasuk dan mengembang di dalam ruangan jauh lebih kuat.

Tanpa sengaja Helena memandangi gelas di depannya. Embun berupa titik-titik air sudah memenuhi luar gelas tersebut, membuat genangan air kecil di bawahnya. Dingin. Terasa sangat menyejukkan badan jika meneguknya secara utuh. Es yang tadinya berukuran kotak telah mencair. Sekarang, hanya meninggalkan bongkahan es kecil berbentuk abstrak tak punya arti.

Helena tidak tahan lagi. Panas yang menggeliat-geliat dan tidak bisa dikontrol membutakan matanya. Kebetulan, minuman yang sedari tadi ada itu terus menarik-narik perhatiannya. Meniup-niupi tenggorokannya. Membayangi pikirannya dengan kenikmatan luar biasa.

Dengan sikap tanpa curiga, Helena meminumnya. Membiarkan minuman itu membasahi tenggorokannya. Seketika hausnya terobati, dahaganya hilang sembari menghembuskan napas puas yang tidak bisa terucapkan. Tapi, tiba-tiba kepalanya pusing, tenggorokannya terasa dicekik kuat-kuat. Terakhir, napasnya ikut-ikutan sesak—berat. Beberapa detik kemudian, Helena sulit sekali bernapas. Ia memegangi lehernya, berharap organ-organ di dalam tubuhnya bisa menjalankan fungsinya seperti sebagaimana mestinya. Ia mencoba berteriak, mencoba mengumandangkan rasa sakit yang menggerayangi tubuhnya. Namun, sekarang sudah terlambat. Tubuhnya langsung limbung, terjatuh dari kursi kerjanya.

Orang-orang muncul dengan ajaib, mengelilingi tubuh Helena yang tidak berdaya lagi. Salah seorang di antara mereka maju kemudian mengecek detak nadi di pergelangan tangan gadis itu.

Hilang. Tak berasa.

“Di... dia sudah mati,” katanya ketakutan sembari berteriak. Semua pegawai histeris, dan jumlah orang yang berdatangan makin bertambah. Helena tewas entah apa penyebabnya. Dia kini meregang nyawa seperti mantan sahabatnya.

~Bersambung~

Tidak ada komentar: