Kamis, 05 Februari 2009

The Secret - Finish

Penulis : Afandi M.
Gendre : Detektif & Misteri
Lain-lain : Berseri (3)

SIANG ITU Tommy sedang duduk sendiri di kafe tempat dimana ia pernah bertemu dengan Ivan Ardiyansah beberapa hari yang lalu. Terdengar bunyi alunan musik. Pintu terbuka dengan lebar. Seseorang baru saja masuk. Orang itu mencari-cari seseorang di dalam kafe. Lehernya memanjang memperhatian setiap sudut ruangan.

Tommy melambaikan tangan menuntun wanita itu berjalan ke arahnya. Orang itu terkejut oleh tampang Tommy. Ia tak mengira orang yang menyuruhnya datang ke tempat itu masih terbilang muda, pantas menjadi putranya.

Vira Rahayu Shinta adalah seorang wanita yang sangat luar biasa. Jarang ia melihat sesosok figur yang begitu gemulai, dengan penampilan feminin, dan wajah secantik itu. Rambutnya agak pirang keemasan dan ikal pada ujungnya. Mata yang tajam terlihat begitu indah, dibalik kelopak matanya yang telah dihiasi oleh kosmetik dan selebihnya wajahnya pastilah sangat sempurna. Ia duduk dengan anggun, menggambarkan bahwa ia adalah keturunan seorang ningrat yang menawan, dihormati, dan tahu sopan santun tentunya.


“Selamat siang!” sapa Tommy duluan.

“Apa yang kau maksudkan dari surat yang kau tinggalkan ini?” tanya wanita itu dengan nada tinggi. Semua orang di tempat itu memandang ke arahnya, namun ia tak perduli.

“Ada hal penting yang ingin saya bicarakan dengan Anda. Hal ini berhubungan dengan masalah suami Anda yang terjadi belakangan ini. Anda tentu menyadarinya bukan?”

Sekejap wanita itu tampak kaget. “I... iya, tentu saja. Memangnya ada apa dengan suami saya?” Wajah ayunya tak lagi memancarkan cahayanya yang sesempurna tadi.

“Perkenalkan, nama saya Tommy Arthur Verdhana tapi Anda bisa memanggil saya Tommy,” ia memperkenalkan diri.

“Memangnya ada masalah apa dengan suami saya?” wanita itu mengulang pertanyaannya tadi.

Tommy teringat akan pesan Ivan Ardiyansah saat pertama kali bertemu. “Aku mohon selesaikan masalah ini secepatnya. Aku akan membayarmu berapapun yang kamu mau dan tolong jangan sampai istriku mengetahui hal ini.” Itulah bunyi pesannya. Tommy tidak memperdulikan pesan itu, ini lebih pening dari sekedar pesan. “Wanita ini harus mengetahuinya,” pikirnya.

“Saya ditugaskan untuk mengawasi Anda.”

“Apa maksudmu? Apakah suamiku yang menyuruhmu melakukannya?”

“Ya...” jawab Tommy singkat.

“Apa alasannya?”

“Karena menurutnya sikap Anda sangat aneh akhir-akhir ini, berbeda dari biasanya. Anda menjadi suka keluar rumah dan pulang larut malam, tanpa meminta izin kepadanya terlebih dahulu.”

“Buat apa kau mencampuri masalah rumah tangga orang lain. Apa kau tidak ada pekerjaan lain yang lebih berguna dari ini? Lagipula apakah dia tidak percaya lagi padaku? Aku benar-benar kecewa,” suaranya yang tinggi terdengar oleh pengunjung yang lain.

“Tenang. Anda tenang dulu. Suami Anda, dia adalah pria yang baik, bertanggung jawab, sangat mencintai dan khawatir dengan sikap Anda yang tiba-tiba berubah drastis. Sebenarnya dia melarang saya untuk mengatakan ini pada Anda, tapi hal ini harus saya katakan untuk mengungkap kebenarannya.”

Wanita itu tertunduk beberapa saat.

“Oh ya. Apakah boleh saya bertanya?”

Wanita itu mengangguk, mempersilahkan. “Apa yang Anda kerjakan di apartemen milik pria yang menjadi penanam modal di perusahaan suami Anda itu?”

“Sa... saya hanya ingin membantunya saya agar perusahaannya dapat keluar dari kesulitan. Saya ingin melihatnya bahagia dan menjalankan bisnisnya seperti sebelum masalah keuangan itu datang melandanya. Itu saja, tidak lebih.”

“Kau tahu, saya sangat menyayanginya,” kalimat itu spontan keluar dari mulutnya.

“Iya, saya tahu itu Nyonya,” bisik Tommy.

Wanita itu mulai bercerita lagi, “Saya datang ke apartemen itu untuk memperlancar urusan mengenai penanaman modal di perusahaan suami saya. Pria penghuni apartemen itu adalah teman saya sewaktu bersekolah di Belanda. Apa kau puas sekarang, heh? Kau benar-benar megganggu,” ia geram dan memperlihatkan tatapan sinisnya kepada pemuda di hadapannya.

“Maaf, bukan maksud saya untuk mengganggu Anda...” Tommy melebarkan senyumannya.

“Tapi menurut saya, Anda tidak menemuinya di sana bukan? Karena sebenarnya penanam modal itu adalah Anda sendiri. Anda menyamar menjadi orang lain.”

Wanita itu terkejut, raut wajahnya berubah menjadi lebih dingin dari sebelumnya. “Apa maksudmu?”

“Begini Nyonya, saya sempat datang ke apartemen itu dengan menyamar sebagai seorang cleaning service. Anda masih ingat bukan?”

“Oh! Jadi kau yang menya...” ia tidak menyelesaikan kalimat itu dan langsung menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

Tommy tersenyum lagi. “Ya, Anda benar Nyonya. Jadi Anda sudah mengakuinya sekarang?”

“Mengakui apa? Memang apa yang saya lakukan?” wanita itu berkata ketus.

Sambil mengeluarkan selembar kertas berwarna merah jambu dari dalam kantongnya, Tommy lalu berkata, “apakah Anda mau mengelak lagi jika saya tunjukkan bukti ini?”

Wanita itu terkejut untuk yang kebeberapa kalinya.

“Kwitansi ini saya temukan dari dalam tempat sampah di apartemen itu dan nama Anda tertulis di kwitansi ini sebagai penerima dari barang-barang tersebut. Di bawah tanda tangan ini juga ada nama Anda, berarti jelas sekali ini adalah tanda tangan Anda sendiri bukan? Bukti itulah yang menegaskan bahwa Andalah yang menyamar menjadi pria gendut tersebut. Pria yang menjadi investor di perusahaan Ivan Ardiyansah―suami Anda.”

“Apalagi Anda ahli dalam hal merias wajah dan berakting.”

“Dari mana kau tahu?” tanya wanita itu kaget.

“Saya mengetahui semua itu dari penuturan suami Anda, sewaktu bertemu dengan saya. Dengan kemampuan itu, pasti tidak begitu sulit bagi Anda dalam merubah penampilan dengan bantuan alat-alat kosmetik dan juga pakaian-pakaian yang Anda beli itu. Kemudian Anda berpura-pura menjadi investor di perusahaan suami Anda. Sudah jelas, Anda melakukan penyamaran itu agar bisa membantu perusahaannya. Anda benar-benar mencintainya bukan?”

Wanita itu diam sebentar, kemudian menatap wajah Tommy. “Baiklah saya menyerah. Memang investor itu adalah penyamaran saya. Sebenarnya, saya tidak mau melakukan cara ini. Dia malah menolak ketika saya memberinya uang untuk membantu perusahaannya dan dia juga menolak bantuan dari kedua orang tua saya.”

Suara wanita itu berubah lembut.

“Aku hanya ingin membantunya. Itu semua adalah kado baginya karena telah menyayangi dan menjaga keutuhan rumah tangga kami, selama aku berumah tangga dengannya.” Air mata mengucur dari kedua kelopak matanya.

“Saya rasa sebaiknya Anda mengakui perbuatan ini padanya. Dia begitu cemas dan khawatir akan semua sikap Anda yang berubah drastis akhir-akhir ini. Dia betul-betul sangat mencintai Anda. Dan kalau boleh saya menyarankan, ada delapan kado yang mungkin diinginkan suami Anda atau suami-suami yang lain lebih dari apapun juga. Yang terindah dan tak ternilai harganya, bahkan tidak bisa dibeli di toko manapun juga.”

“A... apa? Apa itu?” tanya wanita itu. Bibirnya kini terlihat bergetar.

“Kehadiran, mendengar, diam, kebebasan, keindahan, kesediaan untuk mengalah, dan yang terakhir adalah senyuman,” jawab Tommy.

Beberapa menit kemudian mereka lalui dalam diam.

“Saya bukannya orang yang sempurna dengan semua hal-hal tersebut. Saya juga tidak bermaksud untuk menasehati Anda, karena itu bukanlah profesi saya.”

Tommy memandang keluar jendela. Di sana ada sepasang kekasih yang sedang duduk berduaan di tengah teriknya sinar matahari.

“Saya juga mempunyai beberapa orang yang saya kasihi dan mungkin dengan memberikan kado tersebut, membuat mereka makin bahagia.”

Tommy menghela napas dan memperhatikan wanita di hadapannya. Tampaknya kini ia sudah bisa menenangkan dirinya.

“Terkadang yang dibutuhkan seseorang bukanlah kekayaan yang kita berikan pada mereka, tetapi apa yang ada di dalam diri kita-lah yang dibutuhkan oleh orang-orang tersebut,” ujar Tommy mengakhiri.


“Yang pertama adalah kehadiran. Kehadiran orang yang dikasihinya rasanya adalah kado yang tak ternilai harganya. Dengan berada disampingnya, Anda dan suami Anda dapat berbagi perasaan, perhatian, dan juga kasih sayang secara lebih utuh dan intensif. Mendengar adalah kado yang kedua. Hanya sedikit orang yang mampu memberikan kado ini. Sebab, kebanyakan orang lebih suka didengarkan, ketimbang mendengarkan. Sudah lama diketehui bahwa keharmonisan sebuah hubungan, dalam hal ini suami-istri, amat ditentukan oleh kesediaan saling mendengarkan. Anda dapat memberikan kado ini kepadanya. Dengan mencurahkan perhatian pada segala ucapannya, dan secara tak langsung Anda juga telah menumbuhkan kesabaran dan kerendahan hati.”

Diam adalah kado selanjutnya. Kado ini bisa menunjukkan kecintaan Anda padanya, dibanding dengan memberinya sejumlah uang. Terlebih jika sehari-hari Anda sudah terbiasa, menasihati, mengatur, mengkritik bahkan mengomelinya.”

Ia diam sebentar mengatur emosinya, lantas ia meneruskan. “Kebebasan adalah kado yang keempat. Mencintai seseorang bukan berarti memberi Anda hak penuh untuk memiliki atau mengatur kehidupan orang tersebut. Bisakah Anda mengaku mencintainya, jika Anda selalu mengekangnya? Memberikan kebebasan adalah salah satu perwujudan cinta. Lebih dalam dari itu, memberi kebebasan adalah memberinya kepercayaan penuh untuk bertanggung jawab atas segala hal yang telah maupun akan dia lakukan.”

“Kelima yaitu keindahan. Semua orang akan bahagia, jika setiap hari Anda berpenampilan indah dan rupawan. Keenam, tanggapan positif. Cobalah Anda hadiahkan tanggapan positif kepadanya. Nyatakan dengan jelas dan tulus. Cobalah ingat, berapa kali dalam seminggu terakhir Anda mengucapkan terima kasih atas segala hal yang telah dilakukannya demi Anda. Ingat pula, pernahkah Anda memujinya. Kedua hal itu, ucapan terima kasih dan pujian, juga permintaan maaf adalah kado cinta yang sering terlupakan oleh setiap pasangan.”

Kesediaan untuk mengalah. Tidak semua masalah layak menjadi bahan pertengkaran. Apalagi sampai menjadi cekcok yang hebat. Semestinya Anda pertimbangkan, apakah benar sebuah hubungan cinta yang selama ini terjalin dikorbankan dan jadi berantakan hanya gara-gara persoalan seperti itu? Bila Anda memikirkan hal ini, berarti Anda siap memberikan kado spesial ini.”

“Terakhir adalah senyuman. Kado terakhir ini, terlebih lagi jika diberikan dengan tulus, bisa menjadi pencair hubungan yang beku, pemberi semangat dalam keputus-asaan, pencerah suasana muram, bahkan obat penenang jiwa yang sedang resah.”

~The End~

Tidak ada komentar: