Jumat, 06 Februari 2009

The Triangle Murder - Chap. 01

Penulis : Afandi M.
Gendre : Detektif & Misteri
Lain-lain : Berseri (4)

DUA ORANG sedang duduk di ruangan itu.

“TIDAK, ITU TIDAK ADIL. BENAR-BENAR TIDAK ADIL!” ujar Helena penuh emosi.

“Memangnya apa yang tidak adil menurutmu?” kata wanita yang duduk di depannya seraya menopangkan dagunya dengan sikap angkuh laksana sang penguasa.

“APA MAKSUDMU DENGAN INI?” ujar Helena. Ia memperlihatkan sebuah rancangan busana pada secarik kertas. “Bukankah ini adalah hasil busana rancanganku,” desisnya lalu melanjutkan. “Katamu ini rancangan gagal, tapi mengapa kau tega sekali mencuri rancanganku. Kau sudah kuanggap sebagai saudaraku sendiri. Apa begini balasanmu kepadaku? Kau benar-benar...” mulut Helena kaku seolah dibekukan bongkahan es.

Wanita yang diajaknya bicara itu tersenyum licik, menyeringai, memamerkan deretan giginya yang putih kekuningan.


“Sadarlah. Inilah dunia yang sebenarnya, bukan negeri dongeng yang sering dibacakan para Ibu sebelum anak-anaknya tidur. Inilah hidup, kau harus menyadari itu,” katanya penuh kesombongan. “Sekarang akulah atasanmu dan kau bawahannya. Kau tahu kan, bagaimana seharusnya bawahan itu bersikap kepada atasannya. Nah, begitulah seharusnya yang kau bersikap. Homatlah kepadaku, kelak kau akan bersyukur.”

Air muka Helena berubah panas, seumpama bara api yang melelehkan.

“San, kau benar-benar bajingan betina. Iblis,” makinya, “Kau menusukku dari belakang. Bajingan kau. Lihat saja nanti pembalasanku dan jangan lupa tentang itu. Aku akan melaporkannya kepada Ibu Nagita.”

Saat Helena berbalik, bermaksud keluar dari ruangan, Santi kemudian berseru, “Terimakasih banyak atas segala usahamu hingga membuatku memperoleh jabatan ini. Terimakasih sekali lagi aku ucapkan,” bibirnya menyeringai, “Oh iya, dan bilang saja padanya. Toh si Nagita itu tidak akan percaya kepadamu lagi setelah apa yang kau perbuat padanya.” Ada perasaan jijik saat dia mengucapkan kata-kata itu.
Setelah itu, Helena berjalan cepat ke arah pintu, kemudian terdengar suara debum menggema di dalam ruangan.

***

Kala itu, seorang pegawai wanita sedang memfotokopi berkas-berkas, dan semakin mempercepat gerakannya tatkala seorang wanita dengan rambut sebahu berjalan menyusuri lorong meja pegawai yang tersusun di kanan-kirinya.

“Bu... Ibu Nagita!” panggilnya lengkap. Rok selutut dan sepatu berhak membuatnya kesulitan berlari. Kumpulan berkas tergenggam di tangan kanannya.

Nagita menghentikan langkahnya kemudian dengan anggun lalu berbalik.

“I... ini berkas-berkas dari Ibu Helena yang tadi Ibu minta untuk difotokopi. Sudah saya perbanyak semuanya,” ujar pegawai itu terengah-engah mengatur irama napasnya.
“Oh... sudah selesai. Terimakasih ya. Jangan lupa berikan sisanya ke personalia,” ucap Nagita sambil menyunggingkan sebuah senyuman yang lalu membuat karyawati itu menurut.

***

Nagita terkejut setelah masuk ke dalam ruangannya. Ia mendapati Santi sedang duduk asyik di kursi dan membolak-balik berkasnya.

Santi sontak berdiri dan dengan sikap malu-malu lalu menyunggingkan senyuman termanisna. “Apakah Anda sudah mendapatkan berkasnya?” tanyanya sambil berjalan ke arah atasanya.

“Buat apa kau ke sini?” ketus Nagita.

“Saya hanya mau memastikan berkas itu sampai pada Ibu. Itu saja kok,” ujar Santi penuh kebohongan.

“Menurutku, kau datang ke sini bukan dengan tujuan itu. Betul, kan? Itu hanya basa-basimu saja. Jangan sembunyikan lagi wajah aslimu dan berpura-pura sebagai bawahan yang baik, patuh, dan perhatian. Penjilat kau,” hina Nagita lalu menambahkan, “Aku sudah tahu apa maksudmu yang sebenarnya. Banyak sudah gosip yang beredar tentang dirimu di perusahaan ini. Kau licik. Bukankah kau mau merebut posisiku di sini?”

Santi kembali tersenyum, tetapi senyumannya kali ini lebih menakutkan daripada sebelumnya. “Apa Anda tahu hal itu dari Helena?” tanyanya.

Nagita tidak menjawab. Ia diam membisu dan terus menatap Santi dengan tajam, matanya seolah-olah dapat menembus pikiran wanita itu dan mengetahui apa yang sedang direncanakannya.

“Apa Anda masih percaya dia?” Santi melanjutkan, “Maaf jika saya lancang, tapi dia kan sudah merebut kebahagiaan Anda? Maksud saya, dia sudah merebut kekasih Anda, padahal beberapa hari mendatang Anda akan melangsungkan pernikahan dengannya.” Santi masih memancing emosi atasannya. Tiap kata-katanya bagai bisa yang paling mematikan di Bumi. “Tidak saya sangka, Anda sangat baik hati dan bijak sekali, dapat memaafkan perbuatan orang yang telah menyakiti Anda dengan begitu mudah. Jika saya menjadi Anda, tidak ada tempat lagi buatnya di perusahaan ini. Akan saya ajukan dia untuk dipecat.”

Nagita terdiam, masih mepertahankan gejolak hatinya. Jauh di sana―di hatinya yang paling terdalam, ia tidak dapat berbohong bahwa ia memang kesal setengah mati akan kejadian itu. Peristiwa itu dijadikannya sebagai peristiwa yang paling memuakkan dalam hidupnya. Dendam yang telah lama tertimbun lapis demi lapis jika tidak dikeluarkan akan membusuk di sana. Ya, suatu saat akan menggelegak dengan bau busuk di mana-mana.

Suatu saat. Ya, suatu saat, katanya dalam hati.

“CEPAT KELUAR!” bentak Nagita. “Cepat keluar dari sini sebelum aku berubah pikiran dan memecatmu sekarang juga.”

Ternyata Santi berhasil menggelitik emosi atasannya. Berhasil sekali. “Baik... baiklah. Saya akan keluar. Sejujurnya, saya juga turut bersedih mendengar peristiwa itu, Ibu. Dia memang murahan.”

“CEPAT KELUAR KATAKU!!” suara Nagita langsung naik hingga ke puncak oktaf.

***

Pukul dua belas siang merupakan waktu istirahat bagi semua pegawai perusahaan tersebut. Perusahaan yang terkenal dengan label Summer atau musim panas itu merupakan salah satu penguasa pasar busana anak muda di Indonesia saat ini, bahkan di benua Asia dan beberapa negara di Eropa. Busana-busana pestanya bahkan ada yang dipakai oleh aktor dan aktris luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Korea Selatan bahkan Jepang sekali pun.

Beberapa cabangnya di Eropa meraup untung yang tidak sedikit. Dengan penghasilan jutaan dollar per bulan.

“Kalian tahu tidak, Bu Santi?” ujar seorang wanita berkacamata memulai pembicaraan. Tampaknya mereka sedang asyik bergosip.

“Iya. Memangnya kenapa?” ujar wanita lain bersamaan.

“Gosipnya, dia ingin merebut jabatan Bu Nagita sebagai wakil direktur perusahaan ini. Kau tahu sendiri kan watak wanita itu bagaimana?” ia memelankan suaranya, “Aku malah kadang merasa jijik jika bertemu dengannya, walaupun di mukaku ini masih tersirat senyum manis, tapi di dalam hatiku ingin muntah rasanya. Jujur saja, aku benci dia.”

“Betul. Aku juga merasa begitu,” ujar wanita bertubuh ramping setuju. “Baru naik jabatan saja lagaknya sudah seperti bos besar, memerintah kita dengan seenak jidatnya lagi. Lagipula jabatannya itu diperolehnya dengan cara licik, betul kan?”

Wanita lain berkomentar, “Kabarnya, dia mencuri desain rancangan Helena. Padahal mereka itu dekat. Malah seperti saudara. Tega sekali wanita itu. Bagiku, dia seperti wanita bermuka dua. Benar-benar tidak berperasaan.”

“Wajar saja Ibu Nagita juga tidak menyukainya, bahkan tadi aku mendengar mereka beradu mulut di ruangan Bu Nagita. Dasar wanita licik. Aku betul-betul tidak menyukainya. Sungguh...” ujar wanita berambut pendek.

“Kamu...” ujar wanita berkaca mata.

“Tidak, tidak. Aku tidak menguping. Aku bukan orang yang seperti kok. Tadi, aku tidak sengaja mendengar pembicaraan mereka.”

“Sama saja kalau begitu. Itu juga namanya menguping,” jelas yang lainnya berbarengan. Beberapa dari mereka cekikikan menahan tawa yang meluap-luap.

“Bukan kau saja yang tidak menyukainya. Semua pegawai di sini juga begitu. Mereka semua memendam dendam kepadanya, apalagi Helena,” ujar si wanita bertubuh ramping. “Pernah sekali aku mendengar tangisan gadis itu dari dalam toilet. Sungguh kasihan sekali nasibnya. Padahal hubungan mereka dahulu sudah seperti kakak-adik. Tapi hanya karena jabatan dan kedudukan saja, salah seorang di antara mereka rela berbuat seperti itu. Benar-benar keji sekali si Santi itu.”

“Tapi menurutku, Helena juga tidak betul-betul rugi kok. Buktinya sekarang, dia sudah berpacaran dengan Roman. Sudah wajah pria itu tampan, ditambah lagi dia juga kaya. Kehilangan posisi seperti itu rasanya tidak apa-apa lagi buatnya.”

“Oh ya, kalian tahu tidak,” kata wanita yang paling tua. “Roman itu dulunya bertunangan dengan Ibu Nagita, tapi entah karena masalah apa Roman malah membatalkan pertunangan mereka itu. Namun seminggu kemudian Roman sudah berpacaran lagi dengan Helena, aneh tidak?” ia melanjutkan, “Apa Helena sengaja melakukan itu? Atau, ini hanya kebetulan yang tidak disengaja?”

Pembicaraan para pegawai itu makin menjadi-jadi. Menceritakan semua kebaikan sebagai keburukan, dan kebusukan sebagai bangkai yang menjijikkan. Memang benar kata orang, kita sebagai manusia sepatutnya menjaga lidah dan mulut kita. Dua organ itulah yang selalu berbuat dosa.

“Itu kan sudah wajar. Helena cantik dan Roman tampan. Dia juga punya masa depan yang cerah. Wanita mana yang tidak mau menjadi pendamping hidupnya. Bukankah jika dilihat-lihat, mereka adalah pasangan yang serasi dibandingkan dengan Ibu Nagita sendiri,” jelas wanita berkacamata, mulutnya berkoar-koar bagai kicauan burung di pagi hari.

“Tapi, bagaimana ya perasaan Ibu Nagita sekarang? Apa dia marah pada Helena karena kejadian itu?” tanya wanita berambut pendek.

“Aku rasa tidak. Buktinya hubungan mereka baik-baik saja sampai sekarang, lagipula Helena tidak dipecat karena kejadian itu, bukan?”

Semuanya mengangguk seolah alasan asal itu sudah menjawab pertanyaan tadi.

“Kalau aku yang jadi Ibu Nagita sih, pastinya langsung marah. Mungkin saja aku akan dendam kepada Helena,” kata wanita bertubuh langsing sambil tertawa. “Wanita mana yang rela tunangannya direbut orang.”

“Itu bisa jadi kalau aku juga berada di posisi yang sama seperti Ibu Nagita,” wanita kacamata ikut-ikutan setuju.

“HEI, KALIAN!!! APA YANG KALIAN LAKUKAN BERGEROMBOL DI SINI!” bentak sebuah suara dari belakang. Para wanita yang tadi bergosip terkejut melihat sosok Santi bediri memelototi mereka, memandang dengan garang. Mereka hanya terdiam menerima makian demi makian.

“Bukankah jam istirahat sudah habis dari tadi? Dasar pegawai-pegawai penggosip. Andai saja aku yang menjadi pemimpin kantor ini, sudah kupecat kalian semua dari dulu,” maki Santi. “Wanita-wanita yang hanya pintar bergosip dibanding bekerja. Dasar wanita-wanita payah. Tak punya masa depan cerah. Buat apa kalian digaji kalau kerja kalian hanya seperti ini. Pantas saja jabatan kalian tidak naik-naik, dan hanya tetap menjadi pegawai rendahan seperti sekarang ini. Cih!”

***

Nagita sedang duduk bersantai di ruangannya. Ia mengambil sebungkus rokok dari dalam laci meja.

Tinggal dua batang lagi, gumamnya dalam hati.

Ia mengambil satu kemudian menyulut dan menghisapnya dengan penuh kenikmatan. Dihembuskannya asap berwarna kelabu itu dari mulutnya, membentuk gumpalan awan, sama seperti saat seekor naga mengembuskan kobaran api dari dalam mulutnya. Tampaknya, ia sangat menikmati kegiatan barunya itu belakangan ini, tentu saja ketika pikirannya sedang kalut dan kacau. Di saat itu, rokok seperti obat paling mujarab yang bisa ditemukannya saat ini.

Terdengar suara ketukan dari luar. Dengan buru-buru Nagita mematikan rokok yang baru setengah dihisapnya itu. Suasana hatinya berubah saat seseorang masuk ke dalam ruangan. Wajahnya ditekuk, senyumannya padam, sehingga sifat ramah dan lembut yang tadi terpancar dari wajahnya hilang seketika. Sungguh sangat disayangkan dan tak terduga, di balik wajah yang ramah itu tersimpan sesosok wajah lain yang sangat bertolak belakang dengan kepribadianya yang sebenarnya.

“Mau apa kau datang ke ruanganku?” tanya Nagita sewot.

Santi terus berjalan menuju sebuah kursi di depan atasannya. Dengan nada bicara tanpa sopan santun sedikitpun, ia menjawab pertanyaan itu. “Tidak apa-apa, Bu. Saya hanya ingin mengobrol dengan Anda saja. Ya, tentu saja sambil melihat keadaan atasan terbaik saya.” Lidah iblisnya mulai merangkai kata-kata manis.

“Aku tidak perlu mengobrol dengan wanita sepertimu. Cepat keluar dari ruanganku. Kerjakan tugasmu jika tak ingin kupecat,” jelas Nagita tetap meninggikan suaranya.
“Sejak kapan Anda merokok?” Santi tak mengindahkan perkataan atasannya tadi. “Saya tak tahu kalau sekarang ini Anda hobi merokok. Kalau begitu, kita punya kegemaran yang sama.”

Nagita masih belum merubah sikapnya. Kesabarannya sekarang sedang diuji pada taraf yang paling tinggi. “Buat apa kau menanyakan hal itu? Itu sama sekali tidak ada hubungannya denganmu. Kau tidak perlu tahu kapan aku merokok dan tak penting buatmu. Itu urusanku dan kuperintahkan kau untuk keluar dari ruanganku sekarang juga.”

“Tenang... tenang, Ibu Nagita,” ucap Santi keras kepala. Tampaknya ia tipe bawahan yang tak tahu diri, suka ikut campur, dan bicara seenak perutnya kepada semua orang. “Aku datang ke ruangan Anda ini dengan damai. Aku tak mau memulai permusuhan dengan atasan sendiri, yang lalu membuat pertengkaran baru. Apalagi dengan atasan yang baik dan ramah seperti Anda.”

Nagita diam, mencoba memberi sedikit waktu kepada bawahannya yang satu ini. Ia mencoba menahan amarah yang sudah berdenyut-denyut di kepalanya.

“Saya datang ke sini untuk memperbaiki hubungan di antara kita berdua. Oh iya, saya bisa membantu Anda untuk merebut kembali Roman dari Helena. Tentu saja kalau Anda mau. Gampang sekali buat saya untuk memisahkan mereka berdua. Semudah saya membalik telapak tangan,” Santi menawarkan niat jahatnya.

Bagi Nagita, tawaran itu bagai racun yang terkandung dalam sebuah obat, atau duri yang tertutup oleh bubungan ilalang, atau bahkan bongkahan kotoran yang tertutupi lapisan puding yang lezat.

Santi masih melanjutkan, “Sekarang ini aku juga sudah muak dengannya. Perempuan yang tidak tahu diri itu dengan enaknya saja merebut kekasih orang lain, padahal sudah tahu kalau pria itu tunangan atasannya sendiri. Berani sekali dia merebutnya dari tangan Anda begitu saja.”

Nagita terdiam. Ia tertunduk mendengar Santi berceracau di depannya, menjelek-jelekkan bekas sahabat baiknya sendiri. Bekas? Sebuah kata yang benar-benar merendahkan bagi orang yang menyandang gelar tersebut. Benar-benar memalukan. Seperti barang rongsokan yang tidak ada gunanya lagi. Mengerikan.

Lama terdiam, akhirnya Nagita berbicara. Tampaknya ia sudah bisa mengambil kesimpulan dari semua perkataan bawahannya itu. “Kau tahu, kau ini wanita bermuka dua. Menjijikkan tentunya. Layaknya penjilat yang banyak tersebar di kursi pemerintahan. Di sisi lain menyanjung dan memuja-muja para tetinggi, sementara di sisi yang lainnya menceritakan semua kejelakannya, bahkan jika perlu menjatuhkannya dengan kata-kata manis itu sendiri. Aku tak bisa membayangkan, bagaimana jadinya jika aku sampai termakan dan percaya atas semua kata manis juga rayuan yang kau ucapkan itu. Sahabat baikmu sendiri saja kau campakkan demi sebuah kekuasaan, apalagi aku, atasanmu sendiri.”

Muka Santi berubah kesal. Merasa sangat terhina namun tetap bisa menyembunyikan kekesalannya itu menggunakan senyuman oblongnya. “Terserah apa kata Anda. Anda adalah atasan saya. Andalah yang berkuasa, bukan saya. Yang jelas, saya sudah menawarkan jasa untuk membantu Anda. Jadi jika Anda tidak mau menerimanya, itu urusan Anda sendiri sekarang. Saya hanya memberikan saran untuk Anda yang sedang tertimpa masalah. Itu saja, tidak lebih.”

Wanita itu lalu teringat akan sesuatu. “Oh, saya lupa... ini ada hadiah dari saya sebagai seorang bawahan yang baik. Hadiah dari seorang bawahan kepada atasannya. Semoga ini bisa membuat Anda melupakannya.”

Santi mengambil kotak rokok berinisial namanya dari saku jasnya. Kemudian, menaruhnya di meja. Siluet senyuman yang tercermin dari kedua lapis bibirnya mengiringi kepergiannya. Tak tahu apa artinya. Entah senyuman yang tulus, pengucap basa-basi atau lambang permusuhan.

***

Jam sudah menunjukkan pukul 12.20 siang. Tak tampak kumpulan wanita penggosip seperti hari-hari sebelumnya. Tampaknya, mereka tak ingin membuat kesalahan kedua kalinya, yang nantinya akan mengancam pekerjaan mereka sendiri.

Santi membuka pintu ruang kerjanya. Perlahan, perlahan sekali. Ia seperti menikmati setiap kibasan angin yang menderu di telinganya seperti saat membuka pintu gerbang kerajaan di negeri awan. Penuh rasa pesona yang memabukkan.

Tapi, ada yang aneh. Perasaannya, sebelumnya ia telah menutup pintu itu rapat-rapat, walaupun tidak terkunci memang. Ia memang jarang menguncinya, hanya menutupnya begitu saja. Tapi, mengapa sekarang...

Ah, mungkin hanya perasaanku saja, katanya dalam hati.

Betapa terkejutnya ia saat sudah berada di dalam ruangannya sendiri. Hawa kematian merebak dan menebarkan jejaring kengerian yang menggigit-gigiti kulit. Tepat saat hidungnya menyadari bau orang lain dalam ruangan itu, pistol mengarah kepadanya. Moncong benda pencabut nyawa itu seolah memandangnya sambil sesekali menertawai ketakutannya. Hawa dingin langsung menyelimuti sekujur tubuhnya, bak sebuah selimut tak terlihat menyelubungi raga dan jiwanya. Bibirnya terkatup, gemetaran. Bola matanya membelalak seperti mau keluar dari kelopaknya. Berlari menjauh mau menyelamatkan diri.

“Apa maumu? Apa yang kau mau lakukan dengan benda itu?” tanya Santi ketakutan.
“Tentu saja. Kita bisa bicarakan semuanya dengan baik-baik. Bukankah begitu? Kita bicarakan semuanya?” ia melanjutkan, “Bukan dengan cara seperti ini. Oke...” katanya ketakutan. Senyumannya yang tadi menyeringai garang, meredup menjadi rasa ketakutan yang malang. Baru kali ini dirasakannya, saat kematian begitu sangat dekat dengannya. Kematian yang begitu menakutkan, begitu mengguncang jiwanya. Keberaniannya ciut meninggalkan kekhawatiran.

Orang itu diam, tanpa mengatakan apa-apa.

“A... apa? Me... mengapa kau mau membunuhku? Kumohon... jangan lakukan itu,” ujar Santi memelas. Moncong pistol itu seakan menyuruhnya tutup mulut.

Pistol berperedam itu tiba-tiba memuntahkan sebutir peluru layaknya anak panah tepat mengenai sasaran tembak. Dengan kecepatan tinggi peluru itu melaju, dan kemudian mendarat di dadanya. Santi roboh. Darah merembes dari luka tersebut bersama kesombongannya, berusaha keluar dari satu celah menganga itu.

Senyuman kemenangan menghiasi bibir si pembunuh. Setelah yakin bahwa wanita yang terbaring di lantai itu tewas, ia keluar sambil menyembunyikan pistolnya.

~Bersambung~

Tidak ada komentar: