Minggu, 07 September 2008

Kenangan Di Sebuah Kedai Kopi

Penulis : Afandi M.
Gendre : Cinta

Kulihati tiap detak jam yang kuletakkan di atas mejaku itu melaju sangat lambat, seumpama ketiga jarum jam itu dengan malasnya melakukan tugasnya untuk mengurusi sang waktu. Aku menghela napas panjang, menandakan bahwa aku tengah menunggu dengan tidak sabar akan sebuah pertemuan. Ya, pertemuan yang telah membuka kedua mataku yang selama ini selalu buta akan keindahan. Kabur akan sebuah mahakarya agung.

Sehari yang lalu aku telah membuat janji dengan gadis itu di sebuah kedai kopi. Sebut saja nama kedai itu, “Ngopi Doeloe”. Kami sepakat bertemu sore keesokan harinya, sekalian buka bersama di tempat itu.

Aku ingat pertama kali aku berkenalan dengannya di sebuah komunitas sastra di internet. Dan sudah beberapa kali kami bercakap-cakap melalui perantara Yahoo Massanger yang sungguh memberikan fasilitas yang luar biasa bagi penggila internet sepertiku. Dari percakapan kami itu, aku tahu bahwa dia sudah bekerja (tapi aku tak tahu jenis bidang yang digeluti perusahaannya). Anaknya cukup asik diajak bercanda dan setelah beberapa kali berbincang-bincang lewat dunia maya, aku memberanikan diri untuk meminta nomor teleponnya. Aku tak berharap banyak sebab yang kutahu banyak orang yang tidak bersedia memberitahukan identitas sebenarnya kepada orang yang belum dikenal sama sekali meskipun hanya dengan chatting apalagi menyangkut nomer telepon. It’s my privacy man! Tapi sungguh keberuntungan yang luar biasa dan tak kuduga, dia memberikan nomernya. Langsung saja kusimpan di phone book handphone-ku dengan memberikan identitas tiga karakter pada nomer telepon itu. Tanpa pikir panjang dan tanpa menunggu ia memintanya, aku berikan saja nomer teleponku kepadanya. Seingatku, lebih dari empat kali aku melakukan kontak dengannya. Baik melalui SMS maupun langsung kutelepon entah saat ia tengah bekerja atau sedang santai di rumahnya.



Pernah sekali ada nomer aneh yang meneleponku pada malam buta, saat aku masih tertidur lelap dan sedang bermain-main di alam mimpi bersama para bidadari. Aku kaget dan langsung terbangun, dan dengan penglihatan yang masih setengah terpejam, kuterima panggilan itu.

“Dasar pengganggu!” umpatku kesal. “Tidak tahu apa, kalau ini waktunya tidur.”

Aku membuka percakapan, “Hallo, ini siapa?” Tak terdengar jawaban, namun beberapa detik kemudian baru terdengar suara samar-samar bagai sebuah bisikan. “Lu nggak kenal gue? Lu udah lupa ya!” katanya seolah menuntut.

“Siapa ya?” kataku benar-benar tak tahu identitas peneleponku itu.

“Oh, jadi lupa neh.”

Sueerr! Gue nggak kenal siapa lu,” kataku tak berbohong.

“Ini gue yang biasa chatting ama lu,” ucapnya memberi petunjuk.

Dengan kesadaran yang masih setengah-setengah, aku kembali mengingat-ingat orang yang pernah kuajak chatting. Dan jujur, aku benar-benar lupa. Untuk menegaskannya, aku diam tak menjawab.

“Anak komunitas sastra sama seperti lu.” Dia memberi clue lagi, seakan-akan dia menginginkan aku untuk segera tahu siapa dia. Aku tetap tak menjawab, sebab terlalu banyak anggota komunitas sastra tersebut yang kuajak berbincang-bincang lewat Yahoo Massanger. Puluhan bahkan.

“Orang yang paling cantik,” jelasnya narsis.

Waduh, percaya diri sekali cewek satu ini, celetukku dalam hati.

“Bukannya lu pernah minta nomer Telkomsel gue. Nah, ini nomernya,” ia melanjutkan.

Bagai disuntikkan cairan pengingat, aku akhirnya menyadari siapa cewek yang menelonku ini. “Oh, lu toh!” kataku. “Sorry, sorry. Tadi gue lupa.”

“Ah! Dasar duduls lu,” katanya mengejek seraya cekikikan.

Pembicaraan kami mengalir begitu saja. Terkadang aku tertawa saat dia menceritakan sebuah lelucon yang bisa kukatakan benar-benar garing. Tapi mungkin karena itulah aku tertawa. Wah-wah, sepertinya si cupid mulai bekerja tanpa sepengetahuanku. Dan sebagai akibatnya, aku tak bisa tidur malam itu. Entah karena insomnia yang telah lama kuderita kambuh lagi atau memang bayang-bayang suaranya memenuhi pikiranku dan membuat mataku ini tak mau menutup untuk sementara waktu hingga waktu sahur tiba.

Ini berbahaya. Aku sudah diracuni tanpa kusadari sendiri racun apa yang sekarang menyebar di tubuhku dan tanpa kusadari apa pula penyebabnya. Aku sudah dihipnotis olehnya terang-terangan.

Kembali menjelang hari pertemuanku dengannya, aku begitu gelisah. Bukan karena aku takut bertatap muka dengannya secara langsung, tapi karena aku begitu malu. Ya, inilah kejelekanku dari dulu. Mungkin ini sudah ditakdirkan untukku, sejak aku masih bersemayam dalam rahim ibuku dan baru kusadari setelah beranjak dewasa kini. Apa mungkin ini karma karena sejak SD hingga SMU aku selalu menghindari gadis-gadis yang mau mendekatiku. Saat itu, pikiranku benar-benar tertutup mengenai pertemanan dengan gadis-gadis. Wanita kenalanku saja hanya ada beberapa. Sepertinya tak lebih dari tiga orang. Secara sembunyi-sembunyi aku selalu melakukan seleksi kepada gadis-gadis itu. Tapi sekarang, semuanya berubah. Aku menyadari bahwa perbuatanku itu tidak benar. Perbuatanku salah sepenuhnya. Mataku terbuka saat menjelang pertemuanku dengan gadis yang satu ini. Seolah-olah aku menemukan sebuah pencerahan, menemukan setitik cahaya dalam buramnya kehidupanku.

Tibalah hari pertemuanku dengannya. Kuguyur seluruh tubuhku dengan air dalam bak mandi. Kusabuni setiap sudut tubuhku dengan niat menciptakan bau harum saat sore nanti kubertemu dengannya. Wah, aku tak menyangka akan segugup ini. Setelah mandi, kupilih baju dan celana yang cocok dan serasi. Kujatuhkan pilihanku kepada baju kaos kuning pemberian ibuku dan jeans yang kubeli sebulan yang lalu. Kuolesi minyak rambut untuk menciptakan kesan lembab pada rambutku. Sebelum pergi, kutatap lagi jarum jam. Waktu sekarang menunjukkan pukul 17.00 sore. Kukunci pintu kosku dan tak lupa mengambil sweeter andalanku lalu membalutkannya ke tubuhku. Aku tak mau membuatnya menunggu kehadiranku. Tidak fair jika membuat wanita menunggu. Sungguh bukan sikap seorang laki-laki jika melanggar aturan dasar tersebut.

Sebelumnya, aku sudah mengirim SMS kepadanya, menanyakan di mana dia berada sekarang. Tak cukup menunggu semenit kemudian, dia membalas singkat saja.

‘Ha?gw mse stgh jam lgi nyampe d sna.’

“Buset, lama banget dia nyampe ke sini,” ucapku mengomentari SMS darinya. Dan dengan cepat kukirim SMS balasan.

‘Gw bru aj nyampe. Tar klu lu dah nyampe sms gw aj.’

Inilah jawabannya yang menurutku sangat singkat tanpa basa basi sedikitpun;

‘Ok..’

Kulihat langit sore yang mulai menghitam. Sinar matahari sudah menghilang dan sebentar lagi akan diganti oleh sinar rembulan. Untuk menghabiskan waktu menunggunya, aku menuju ke masjid terdekat sembari buka puasa dan melaksanakan perintah agama untuk Shalat Maghrib. Dua puluh menit kemudian, Adzan Maghrib berkumandang. Kubuka teh botol yang kubawa dari kosan. Sebelum meneguk segarnya minuman botol itu, kuucapkan doa berbuka dalam hati.

Setelah selesai shalat, aku menghubunginya. Tak disangka, dia masih berada di atas angkutan umum dan sedang dalam perjalanan menuju ke tempat pertemuan kami. Apakah angkutan umum yang digunakan olehnya sedang terjebak macet atau masih diam di suatu tempat menunggu penumpang lain? Ah, sudahlah. Tak kubiarkan pikiran-pikiran jelek itu menguasai diriku. Kulangkahkan kakiku menuju ke toko buku Gramedia, sekali lagi untuk menunggu kedatangannya. Kuperhatikan deretan buku-buku diskon berjejalan di atas rak-rak buku yang memanjang ke samping. Lumayan banyak orang yang berkunjung ke ruangan yang memang dikhususkan untuk buku yang dilabeli diskon itu. Kubaca beberapa sinopsis buku yang masih disegel plastik untuk mengusir kebosanan. Tak ada yang membuatku tertarik meski diskon yang tertera pada buku itu gila-gilaan. Bahkan ada yang mencapai diskon 65%. Seharusnya, begitulah harga buku di setiap toko buku jika memang mereka ingin mencerdaskan bangsa dengan membaca. Bukan malah sebaliknya.

Kurasakan, handphone di dalam kantong jeansku bergetar. Ternyata dia yang menelepon.
“Lu di mana?” tanyanya. Suara bising di kanan-kiriku menyebabkan aku meminta untuk mengulangi kata-katanya.

“Di mana lu sekarang? Gue udah di Ngopi Doeloe nih.”

“Gue masih di Gramedia,” kataku memberitahu. “Oke, gue ke sana sekarang.”

Aku melangkah cepat keluar dari ruangan buku diskon itu lalu menyatu dengan berjibun pejalan kaki di lorong Gramedia yang hilir mudik entah dengan maksud apa. Tak setegar kakiku, jantungku malah berdegup kencang. Ingin sekali organ itu melompat keluar dan berlari untuk menghindari kegugupan yang sudah mulai menjalar di sekujur tubuh tumpangannya. Ditambah lagi, kaki dan tanganku serasa bergetar tanpa penyebab yang pasti. Adrenalinku membuncah dari sekujur tubuhku hingga ke otak. Napasku terengah-engah seperti telah menempuh perjalanan jauh dengan berjalan kaki. Kutelan ludahku berkali-kali bermaksud untuk menghilangkan kegelisahan akan pertemuan yang sebentar lagi akan terlaksana.

“Lu di mana? Gue udah di depan Ngopi Doeloe dekat Factory Outlet,” kataku sekali lagi memberitahu posisiku melalui telepon genggamku.

“Ya udah, masuk aja ke dalam sini. Gue udah di dalam.”

Jantungku makin berdegup kencang. Sekarang, bukan jantungku lagi yang seakan ingin melompat. Kurasakan semua organ dalam tubuhku serta tulang-tulang penunjang tubuhku seolah mau melarikan diri. Ingin rasanya pergi dari tempat itu. Rasa mual tiba-tiba melanda tubuhku.

“Yee, lu keluar aja ke sini. Gue gak tau lu di mana?” kataku memberi saran.

“Masuk ajalah. Gue ada di sudut, jauh dari pintu masuk.” Dia bersikeras.

“Lu keluar aja. Kalau nggak, gue pulang neh,” kataku mengancam.

Akhirnya dia luluh. “Tunggu kalau begitu.”

Di luar, aku menunggu dengan perasaan yang campur aduk dan rasa mual itu makin menjadi-jadi.

Seorang gadis lalu menghampiriku. Tubuhnya tinggi semampai setinggi aku dengan balutan celana jeans dan baju kaos serta sweeter warna merah muda dilingkarkan di lehernya. Matanya agak sipit namun bersinar penuh cahaya. Rambutnya yang sebahu seakan-akan membingkai keindahan wajahnya itu.

“Ah, lama banget lu. Gue udah nunggu dari tadi,” gerutuku mencoba mengusir gugup yang masih bercokol kuat dalam diriku.

Aku lalu mengikutinya masuk sambil sesekali memperhatikan sekeliling ruangan yang tampak penuh dengan orang-orang yang sedang berbuka. Akhirnya kami duduk di bangku paling sudut dengan deretan sofa empuk yang memanjang. Di dinding dibelakangku, sebuah lukisan dinding abstrak terpajang besar. Di depanku, meja pendek setinggi lutut benar-benar membuatku tidak tenang saat duduk.

Dengan malu-malu, aku memperhatikan wajahnya. Kuteliti lagi dirinya yang sekarang sedang terfokus untuk memilih menu makanan pada selembar kertas berlapis plastik seukuran folio.

“Lu mau pesan apa?” tanyanya kepadaku yang seketika membuatku kikuk.

“Emm... lu aja yang duluan.” Aku mengalihkan pandanganku darinya.

Sambil menunggu dia mendapatkan menu makanan yang cocok, mataku menjelajah kedai kopi itu. Beberapa kusi disusun melingkar dengan meja di tengahnya telah secara sempurna dipenuhi sekelompok anak muda yang sedang bermain kartu. Tak jauh dari tempat dudukku, dua orang lelaki (yang satu berambut panjang dan satu lagi mengenakan kupluk) sedang menatap lekat-lekat laptop di hadapannya. Bukannya menggunakan fasilitas hotspot yang secara gratis telah disediakan di tempat itu, mereka malah dengan asik bermain game yang menurut sepengatahuanku dinamakan DOTA yang merupakan kepanjangan dari Defense of the Ancients. Game tersebut merupakan sebuah custom map (peta buatan) untuk permainan komputer buatan Blizzard berjudul Warcraft III:Frozen Throne, yang dibuat berdasarkan map "Aeon of Strife" dari permainan Blizzard lainnya, StarCraft. Tujuan utama permainan ini adalah untuk menghancurkan "Ancient" musuh, sebuah struktur yang dijaga ketat di setiap pojok kiri bawah dan kanan atas.

Kebetulan malam itu malam minggu dan banyak sekali pasangan yang menikmati kebersamaan mereka di tempat itu. Kulihati seorang wanita yang dengan asiknya menyandarkan kepalanya di bahu pacarnya sambil bercanda dan sesekali tertawa. Lanjut tatapanku beralih ke sebuah ruangan kecil yang berada di tengah-tengah kedai tersebut. Di dalamnya beberapa orang pelayan sedang sibuk membuat pesanan dan seorang pelayan wanita tengah memblender antara campuran kopi bubuk dan stroberi.

Aku kaget ketika gadis yang duduk di sampingku itu, tiba-tiba membuyarkan bertanya kepadaku. “Lu mau pesan apa?”

“Hah? Apa?” celetukku.

“Lu pesan apa?” dia mengulangi.

Aku mengambil menu makanan dari tangannya dengan malu-malu sambil menelusuri tiap baris menu yang tersedia.
“Minumnya espresso terus makannya Fettucini,” jawabku. “Lu udah pesan?”

Dia hanya mengangguk untuk menjawab pertanyaanku tadi lalu memanggil seorang pelayan wanita bertubuh mungil. Pelayan itu kemudian mengeluarkan sebuah buku catatan saku dan menulis semua pesanan kami

“Espressonya single atau double?” tanya si pelayan.

Apalagi istilah itu, kataku dalam hati. Kujawab saja asal, “Single.”

Selesai mencatat pesanan, pelayan itu lalu pergi ke markasnya yang berada di dapur tertutup yang terdapat di tengah-tengah ruangan kedai.

Aku pertama yang memulai pembicaraan sebab kulihat dia juga sedikit malu sama sepertiku. Kami bercerita sambil sesekali bertatap muka. Tidak sedikit dia mengurai senyuman saat tengah berbicara. Tak berapa lama, minuman kami datang disertai dua bungkus kecil white sugar. Aku mengaduk espresso pesananku tanpa terlebih dahulu menambahkan gula, mencoba kepekatan kopi yang tenar di Italia itu. Seperti yang telah kuketahui bahwa espresso merupakan kopi yang dikonsentrasikan sangat pekat yang dibuat dengan menyemburkan air yang sangat panas, tapi tidak mendidih ke kopi di bawah tekanan tinggi. Kurasakan rasa pekat espresso mejalar di lidahku. Benar-benar kenikmatan yang luar biasa untukku sebagai pria penggemar kopi.

“Eh, lu udah pernah coba kopi luwak?” tanyaku saat percakapan di antara kami benar-benar di butuhkan.

“Luwak?” katanya kebingungan sembari menaikkan sebelah alis matanya. “Apa tuh?”

“Luwak itu binatang pemakan biji kopi,” jelasku, “sedangkan kopi luwak itu adalah kopi yang dimakan luwak.”

Kulihat dia masih belum mengerti maka aku lanjut menjelaskan. “Luwak itu memilih biji kopi yang akan dia makan. Biji kopi yang dimakan sama luwak merupakan biji kopi terbaik yang setelah dimakan, lalu difermentasikan di dalam perutnya, kemudian dibuang bersama kotorannya.”

“Ihh... jijik banget!” serunya mengkerutkan kening.

“Kelihatannya aja emang jijik tapi enak lho.”

“Emang lu udah pernah nyoba?” tanyanya seketika membuatku bagai disambar halilintar karena malu.

“Belum sih. He... he... he...”

Setalah kami menemati tempat duduk yang baru yang letaknya di tengah-tengah ruangan dekat meja kasir, makanan kami datang. Kami mengobrol panjang lebar. Sesekali dia menceritakan pengalaman hidupnya bersama mantan pacarnya, keceriaan dalam keluarganya, dan tak jarang aku membuka topik baru mengenai film-film kesukaannya. Dari situ, dia mengakui bahwa dia sangat menyukai film Spongebob. Menurutnya film itu sangat lucu dan karakter Spongebob mirip seperti dirinya yang selalu ceria. Aku langsung tertawa ketika mendengar pengakuannya itu. Aku juga sebenarnya mengakui bahwa film kartun itu juga merupakan film faforitku, tapi aku lebih suka karakter bernama Patrick Starfish daripada Spongebob. Tentunya alasanku memilih karakter Patrick sebagai karakter faforitku dalam film tersebut bukan karena kepribadianku mirip dengan tokoh kartun itu. Tapi karena aku lebih suka karena tokoh itu sangat menghibur sekali. Seolah-olah tanpa kehadirannya dalam satu scene film kartun tersebut, membuat film bertemakan kehidupan laut itu berjalan monoton. Selain itu, kami juga membahas kelucuan dalam film Kugfu Panda dan George Clooney yang merupakan aktor faforitnya yang sampai-sampai jika dia bertemu dengan aktor Hollywood tersebut akan langsung dipeluknya saat itu juga tanpa pikir panjang.

Sekitar dua jam lebih kami mengobrol panjang lebar dan tak henti-hentinya membahas topik-topik yang menurutku aneh dan jarang kubahas dengan orang yang pertama kali kukenal. Wah, sebenarnya apa yang terjadi. Kedai semakin ramai dan kami memutuskan untuk pulang. Kupesilahkan dia naik angkutan umum terlebih dahulu, sementara kau sendiri masih menunggu angkutan umum tujuanku.

Jika kuingat-ingat kembali kenangan ini, sering membuatku tertawa dan tak jarang geleng-geleng kepala, karena orang pertama yang bisa seakrab itu denganku saat pertama kali bertemu adalah dia.

Aku harap dia tahu apa yang sedang aku rasakan saat ini...

by Afandi Muhammad

Jumat, 05 September 2008

Di Balik Karya Sang Maestro

Penulis : Afandi M.
Gendre : Biografi (Edit)

Komponis hebat Wolfgang Amadeus Mozart dan istrinya sedang hidup melampui kemampuan mereka di Wina, ibu kota musik Austria. Wolfgang mengubah musik di siang hari dan pergi berpesta di malam hari. Ia tak berbakat ekonomi. Nyonya Mozart tahu bahwa suaminya menghasilkan telur emas, sementara si istri peduli terhadap kesehatan angsa emasnya. Ia bersikap praktis dan ingin meminta harga yang bagus untuk telur-telurnya. Bagaimanapun, si istrilah yang membayar tagihan-tagihan.

Film Amadeus menunjukkan bagaimana si istri memutuskan suatu prosedur untuk mengatasi kesukaran finansial. Ia akan membawa naskah suaminya ke Antonio Salieri, komponis istana dan orang kepercayaan Kaisar, dan memohon bantuannya untuk mempengaruhi Kaisar secara positif agar memberi Mozart pekerjaan. Wolfgang tak pernah bermimpi memohon kemurahan hati. Ia mengharapkan istana tunduk pada kejeniusannya.



Nyonya Mozart hampir tidak mencurigai bahwa Antonio Salieri yang di luarnya begitu mempesona, menyimpan dendam yang dalam teradap suaminya. Alasannya, Mozart akan sangat menganam posisinya sebagai komponis favorit di istana.

Nyonya Mozart tiba di ruang tamu Saleri yang dilengkapi dengan naskah termutakhir suaminya. Awalnya, Salieri menunda-nunda, sambil memintanya untuk kembali nanti , tetapi Nyonya Mozart menolak.

Sebagaimana yang ia jelaskan, naskahnya semuanya asli. Salieri tak dapat menolak. Ia membuka portofolio itu dan berdiri, terpaku, di tengah ruang tamunya, sambil membalikkan halaman demi halaman sementara setiap karya yang sangat indah itu bermain di kepalanya. Pertama-tama sebuah *oboe yang sederhana memainkan melodi yang tak terlupakan, lalu seluruh orkestra, lalu sebuah opera, sebuah simfoni, sebuah piano koserto... karya agung demi karya agung Sang Maestro.

Karya-karya orisinal ini draf pertama dan satu-satunya yang tak diperbaiki, dan tak diubah. Mozart telah benar-benar menulis musik yang telah selesai di dalam kepalanya, halaman demi halaman, seolah-olah ia hanya sedang didikte.

Dan, seperti komentar Salieri, “Musik yang diselesaikan seperti tidak pernah diselesaikan. Gantilah satu not dan akan ada penyusutan. Gantilah satu frasa dan strukturnya akan berantakan. Di sini lagi-lagi ada suara Tuhan sendiri. Saya sedang memandang melalui sangkar saya ke coretan-coretan yang cermat itu, ke suatu keindahan yang absolut.”

Musik yang indah itu membuat Salieri menjadi merasa sangat utuh. Musik itu menghubungkan rantai besar eksistensi dalam dirinya. Inti spiritual quotientnya, kecerdasan emosioalnya, dan Iqnya berada pada saat-saat dalam harmoni itu. sebagaimana semua itu di tahun-tahun kanak-kanaknya ketika ia pertama kali menyukai musik. Identitasnya sementara tergantikan. Ia merasa terangkat dan hampir bebas.

Nyonya Mozart memperhatikan Salieri, hanya sadar apakah wajahnya menyingkapkan keinginan untuk membantu, yang berarti uang.

“Apakah tidak bagus?” tanyanya.

“Menakjubkan,” jawab Salieri.

“Kalau begitu Anda akan membantu kami?” Nyonya Mozart berasumsi.

Sambil menyeringai, Saleri meninggalkan ruangan.

Ia merasa utuh ketika mendengar musik yang indah, namun ia bereaksi terhadap fakta yang tidak menyenangkan, bahwa bukan ia yang telah menciptakan musik itu. ia menilai dari sangkarnya, bahwa musik itu akan mengurangi ketenaran dan kebaikannya.

Orang merasa bahwa seandainya Salieri tidak begitu terobsesi tentang harga dirinya sendiri, identitas komponis istananya yang iri dapat membebaskannya untuk mengubah musik yang akan bersinar lebih cemenrlang. Nilai batin dari dirinya, belum memilih untuk menegaskan kesempatan terhadap diri yang lebih tinggi, dan kecerdasan dari identitas luarnya bertentangan denga kecerdasan batin alaminya.

Ia akhirnya memutuskan untuk membunuh Mozart, alih-alih menderita kontradiksi menyukai musiknya da membenci Tuhan yang tidak memberkatinya dengan kejeniusan yang sama. Tanpa nilai pilihan diri yang jelas pada intinya, ia akan membunuh apa yang paling disukainya, karena ia tak dapat memilikinya bagi diri sendiri.

Salieri adalah sebuah contoh bagus dari diri yang terbagi, sebagaimana disebut R.D. Laing. Ini menyoroti kehidupan yang kita semua hadapi. Kontradiksi yang kita gulati, semakin kita menginginkan kehebatan, semakin identitas yang menguasai kita dan menutupi inti kegeniusan kita bangkit dengan kebencian terhadap respon spiritual quotient yang murni.

Mudah berubah dan bebas. Identitas walau suka berbicara tentang kebebasan, melakukan hal-hal yang hebat, membuat perbedaan, tidaklah bebas dan mencerca siapa saja yang bebas. Dalam saat-saat penilaian seperti itulah, kita mencerca dan memenjarakan tingkat diri kita yang lebih tinggi.

Di atas segalanya, kehebatan adalah pembebasan diri.

“Saya ingin membuat perbedaan di dunia ini”, “Saya ingin menjadi yang terbaik yang dapat saya capai”, “Saya ingin mendapatkan nama baik”. Ini adalah seluruh cita-cita yang kita dengar disuarakan di setiap tingkat masyarakat dan di setiap ruang lingkup, tetapi ada kesenjangan besar antara beranggapan bahwa kita bisa, dan mengetahui bahwa kita mampu.

Kita bisa berbicara dan kita dapat berjalan, tetapi jalur kecil saraf yang mengubungkan kata dan tindakan mungkin tak ada.

------------------------

catatan: *Oboe atau Obo adalah alat musik double reed jenis woodwind. Ia adalah keturunan dari shawm. Kata "obo" berasal dari bahasa Perancis hautbois, berarti "high wood". Alat musik ini kadang-kadang masih disebut hautboy dalam bahasa Inggris.

Karya : Ricard A. Bowell
Diedit : Afandi Muhammad

Quote Vol. 1

"Pengabdian akan terasa pahit untuk pasangan yang tidak memberikannya dengan setulus hati dan pada saat itu juga segenap kesetiaan akan teruji, hingga pada suatu saat mereka akan memilih di antara ketulusan atau perpisahan itu sendiri yang merupakan jawaban tepat bagi keduanya."



by Afandi Muhammad

Rabu, 03 September 2008

Bedah Lagu - Pada Satu Cinta

Penulis : Afandi M.
Gendre : Biografi

Glenn Fredly Deviano Latuihamallo
Jakarta, 30 September 1975

Biografi :

Glenn Fredly atau lengkapnya Glenn Fredly Deviano Latuihamallo, lahir 30 September 1975. Ia dikenal sebagai penyanyi yang pada Anugerah Musik Indonesia 2001 (AMI) pernah meraih penghargaan kategori lagu terbaik dan penyanyi pria terbaik untuk lagu musik R&B.

Sejumlah album Glenn yang pernah dirilis di antaranya GLENN (1998), Kembali (2000), Selamat Pagi, Dunia! (2003), OST Cinta Silver (2005), Aku & Wanita (2006) dan Terang (2006), dll.



Sementara terkait kehidupan pribadinya, Glenn menikah dengan penyanyi Dewi Sandra, yang juga mantan istri aktor Surya Saputra pada 3 April 2006. Pernikahan mereka berlangsung secara tertutup di Bali, beberapa saat setelah bercerai, sehingga mengundang spekulasi bahwa mereka telah menjalin hubungan sejak Dewi masih menjadi istri Surya Saputra. Namun hal ini kemudian dibantah keduannya.

Pada Satu Cinta - Glenn Fredly

Masihkah mungkin
Ku kembali tuk mengisi harimu
Yang jelas hati
Ku tak lagi sanggup jauh darimu

Chorus:
Aku kan berjanji
Takkan mengulang segala kesalahan
Aku kan mengabdi
Pada satu cinta dan itu dirimu
Jujur ku hanya seorang lelaki
Yang terkadang tak lepas dari goda

Harus kumiliki
Kesempatan tuk menyayangmu lagi

Chorus:
Aku kan berjanji
Takkan mengulang segala kesalahan
Aku kan mengabdi
Pada satu cinta dan itu dirimu
Jujur ku hanya seorang lelaki
Yang terkadang tak lepas dari goda

Kulihat kau ragu
Adakah yang telah mengganti aku

Chorus:
Aku kan berjanji
Takkan mengulang segala kesalahan
Aku kan mengabdi
Pada satu cinta dan itu dirimu
Jujur ku hanya seorang lelaki
Yang terkadang tak lepas dari goda



Bedah Lagu "Pada Satu Cinta"

Satu lagi lagu Glenn Fredly yang dalem banget bagi gue, "Pada Satu Cinta". Walaupun liriknya sederhana (bukan seperti puisi yang lalu dibuat jadi lirik lagu) dan instrumen yang digunain buat ngiringin lagunya hanya piano, but over all gue acungin keempat jempol gue. Emang tidak salah kalau pria yang memiliki darah Ambon ini merupakan salah satu maestro musik Indonesia. Suara yang merdu dan ditunjang lirik lagu romantis yang diciptakan sendiri serta musik yang easy listening membuat lagu-lagu Glenn tak jarang laris manis bak buku best seller (hehehe).

Menurut gue, lagu ini menceritakan sebuah pengakuan seorang playboy yang dulunya pernah nyakitin mantan pacarnya karena si cowok itu sendiri gak bisa setia (denger tuh para cowok, woi lu kan cowok juga dodol... hehehe, sorry lupa) ama pasangannya itu dan mereka akhirnya putus deh. Tapi lama-kelamaan si cowok playboy ini akhirnya terbuka matanya (buset kayak sinetron-sinetron Hikayah aja) sebab cewek yang dulunya pernah dia sakitin itu tidak lain adalah cinta sejatinya. Wah-wah gue jadi mikir gini, jangan-jangan alasan sebenernya si cowok itu minta balikan karena dia tuh gak laku lagi or dapet karma/kutukan dari si cewek itu (hehehe)... kidding, kidding bro...

Si cowok yang ngebet banget balikan ini susah payah ngeyakinin si cewek itu dengan berbagai cara dan muncullah alasan yang menurut gue klasik dan cukup klise diucapin ma tuh cowok "Jujur ku hanya seorang lelaki, Yang terkadang tak lepas dari goda". Tapi kayak novel-novel fantasy berseri, ceritanya dibuat gantung dengan si cewek tuh ragu-ragu buat balikan. Entah apa alasannya... (hue hue gue doain dah lu biar balikan lagi)

Sebagai penutup, lagi-lagi gue salut buat Glenn Fredly. Terus berkarya bro n ciptakan karya-karya masterpice selanjutnya. Hidup Musik Indonesia!

Download lagu (hanya contoh) - beli CD originalnya:
Glenn Fredly - Pada Satu Cinta
atau
Glenn Fredly - Pada Satu Cinta (4shared)

Di Bawah Pohon Beringin Tua





Penulis : Afandi M.
Gendre : Kehidupan






MALAM itu, beberapa helai daun beringin tua menanggalkan diri dari ranting yang selama ini menopang hidupnya. Tanpa mengucapkan patah kata terakhir, atau sekadar salam perpisahan, mereka terus terombang-ambing oleh hembusan angin, selembut belaian seorang ibu, sehalus kasih Tuhan. Dedaunan itu terbalik, kemudian terbalik lagi, seolah-olah sedang melepaskan semua beban yang teramat berat yang selama ini terus menghantam pertumbuhannya. Satu yang dilakukannya bersama daun-daun lain, tak akan menyerah sampai akhir, akan bertahan hingga tangkai mungilnya tak mampu menahan lagi bobotnya, atau memang telah habis waktu bagi mereka melihat dunia dan segala isinya.

Daun-daun itu terus melayang jatuh, secara tak sengaja, salah satunya mampir di depan suatu sosok, memperlihatkan kebahagiaan yang tak pernah padam. Sosok itu menengadah, memperhatikan pohon yang kala itu menjadi peneduhnya dari malam. Pohon tua itu bereaksi, mengucapkan ‘hallo’ sebagai tanda perkenalan dengan tarian monolog ranting-rantingnya.

Sosok itupun membalas, menyunggingkan senyuman mistis yang ia punya, beralih menatap daun di depannya, sembari berkata, “Kasihan sekali nasibmu, tanggal di usia muda.”

Entahlah, apakah sebenarnya bulan molek di angkasa dapat mendeskripsikan sosok itu dengan tepat atau tidak, tapi setidaknya inilah yang bisa ia beritahukan; rambut sosok itu panjang terurai, dengan tiap helainya berwarna gelap namun kadang bercahaya jika bulan berniat memfokuskan sorotannya. Bola matanya indah, hitam dengan sedikit lingkar kekuningan yang membatasi warna hitam di bagian tengah, diselimuti kelopak berdaging dengan kulit sewarna tembaga yang menawan. Alisnya hitam lebat, berderet sempurna. Hidungnya lancip, dan bibir yang tak terpoles gincu atau pewarna apa pun, original, pucat, makin menambah mungil bentuknya. Bulan saja kelihatan iri waktu menyampaikan deskripsi fisik sosok itu. Samar-samar, dari balik punggung dan gaunnya, sepasang sayap, entah hanya imajiner ataupun merupakan refleksi atas sesuatu, karena sering kali sepasang sayap itu tak ingin memperlihatkan dirinya, gelap, mirip bulu angsa tetapi dengan tiap helaian hitam yang mengilat, tampak serasi dengan warna gaun semata kaki yang saat itu dikenakannya. Telapak kakinya telanjang, dipenuhi oleh butiran-butiran pasir dari neraka.

Sosok itu, setelah entah bagaimana proses awalnya, merasa percakapan antara dirinya dan pohon beringin (dengan sulur-sulurnya yang banyak menjuntai) telah usai, berpaling ke tubuh di sampingnya (tak jelas apakah itu tubuh, jiwa, atau roh, tapi mari kira sebut saja dia sebagai jiwa, karena itu terasa layak dan tak melanggar aturan apa pun)―jiwa dengan rantai yang mengikat pergelangan kakinya. Sosok yang tengah berdiri itu kembali menyunggingkan senyuman, kini tak dapat dijelaskan apakah senyuman itu termasuk mistis atau tidak, mungkin itulah keahliannya, bisa memanipulasi senyumannya, sembari berkata pelan, “Kenapa kau diam? Padahal tadi saat aku memisahkanmu dari tubuhmu yang terbujur kaku di jalanan karena ditembus timah panas, kau berontak setengah mati dan tak mau keluar dari jasadmu itu,” ia memberi jeda pada kalimat berikutnya, “Apa kau tiba-tiba berubah menjadi makhluk yang bisu? Menyedihkan sekali kau ini, bahkan angin pun bisa bicara.”

Jiwa itu tertawa pendek, terdengar seperti pasrah atau sebaliknya, kemudian membuka mulutnya, “Aku masih belum menyadari kalau aku ini sudah mati. Jujur, aku sendiri tak sanggup menerimanya, meski nyatanya memang tak ada yang menangisi kematianku, tapi bagaimanapun itu penolakanku, semua ini sudah ditakdirkan, bukan? Aku tak bisa apa-apa lagi.” Dan kemudian, entah kata-kata setelahnya itu merupakan sebuah permintaan atau hanya seruan pengharapan, ia kembali bersuara, lemah, “Tapi setidaknya, apakah aku punya pilihan? Yah, kita semua punya pilihan, kan? Lagipula aku merasa belum menentukan pilihanku.”

“Maksudmu?” tanya sosok bergaun hitam itu, melangkah mendekat, berniat duduk, seraya menatap tajam jiwa yang ada di sampingnya. Sayapnya secara tiba-tiba tak terlihat lagi. Sayap imajiner itu menghilang begitu saja. Mungkinkah sayap hitam itu masuk ke punggungnya, atau malah menyamarkan diri serupa udara hingga tak nampak lagi, atau jangan-jangan, perubahan emosi pemiliknya telah memudarkan keberadaan sepasang sayap itu?

“Apakah aku masih punya pilihan?” jiwa itu mengulangi singkat, sepenuhnya berharap kalau jawaban yang akan ia terima adalah jawaban yang memang ia inginkan.

Sosok itu menaikkan sebelah alisnya, “Pilihan antara cahaya atau kegelapan, apa itu maksudmu?”

Jiwa yang dirantai itu terdiam, tak berkata apa pun, sebaliknya, sosok di sampingnya hanya tertawa, seakan-akan setiap huruf maupun kata yang diucapkan jiwa itu hanya sebuah lelucon.

“Apakah kau berbuat kebaikan semasa hidupmu?”

Jiwa itu kembali tak menjawab. Ia malah menengadah ke langit yang tak dihalagi cabang-cabang beringin, memperhatikan tiap bintang yang seolah-olah tersenyum kepadanya. Menyemangatinya dengan memancarkan cahaya yang lebih terang dari biasanya.

Sosok itu kembali tertawa tatkala merasakan kemenangan berada di pihaknya. Kini, tak ada hal menawan yang bisa terlihat dari wujudnya. Sangat berbeda dari wujudnya tadi. Tawa sosok itu keras sekali, merasakan kehadiran lelucon tengah menggelitiknya. Akhirnya, setelah puas dengan tawanya, ia mengambil sebuah buku bersampul hitam yang entah berupa keajaiban, bisa tergeletak di sampingnya. Dengan perlahan, ia membuka tiap lembar kertas catatannya, mencari sebuah nama.

Ia berhenti di lembar pertengahan catatan tersebut setelah menemukan apa yang dicarinya.

“Kurasa kau pasti setuju dengan apa yang akan kukatakan ini. Dari yang kubaca, kau tak pernah berbuat kebaikan. Yang kutahu dari kisah hidupmu adalah, kau itu seorang manusia yang arogan, tak bisa mengontrol emosi, bekerja sebagai pencuri dan perampok, penjudi, suka berkata kasar, menjadi pemerkosa, bahkan tak segan-segan membunuh. Kau sudah sering keluar masuk penjara sejak kau kecil. Tak ada catatan baik dari kelakuan-kelakuanmu. Yang ada hanya tinta merah di setiap perbuatanmu.”

Sosok itu diam, terkejut, tatkala melihat sebuah catatan hitam kecil tertulis di sudut kiri bawah bukunya. Kecil sekali tulisan itu hingga hampir-hampir tak bisa terbaca olehnya.

Bagaimana bisa?

“Hmm... tapi ini takkan cukup untuk memasukkanmu ke dalam cahaya. Tak mungkin bisa dengan hanya melakukan perbuatan sekecil ini. Itu sudah pasti. Kau tak akan pergi ke sana. Kau tentunya akan ikut bersamaku menjadi penghuni kegelapan. Kau akan menjalani semuanya di sana.” Sosok itu tertawa lagi setelah menutup catatannya. “Persiapkan dirimu untuk menemui semua teman-temanmu di bawah sana. Kau akan mendapat tempat yang paling dasar atas semua perbuatan yang telah kaulakukan.”

Sosok itu berdiri. Buku catatan ia genggam di tangan kirinya. Hembusan angin seolah takut membelai rambut dan gaunnya sekarang, malah memilih menghentikan lajunya untuk sesaat. Sepasang sayap sosok itu tiba-tiba muncul lagi, kali ini disertai bias-bias kegelapan yang ada pada setiap kepakannya. Ia menengok, tersenyum keji pada jiwa di belakangnya, menarik ujung rantai yang mengikat kaki jiwa itu untuk menyuruhnya berdiri. Kemudian seperti sekali jentikan jari, sebuah pintu muncul di hadapan mereka. Yah, muncul begitu saja dengan rentangan waktu yang begitu cepat, hingga melebihi kecepatan apa pun yang bisa dan tak mampu terbayangkan. Pintu itu mirip pintu gerbang menuju ke dunia lain, beda dimensi. Secara logis, dunia yang tak akan bisa terjamah oleh ilmu pengetahuan atau semacamnya. Tidak sebelum jiwa ditarik keluar dari jasadnya.

Suasana malam berubah hening, kelam. Tak ada suara satu makhluk pun yang terdengar selain suara pohon beringin yang bergemerisik pilu, kecewa. Keceriaan malam yang sebelumnya tercipta seperti tertelan oleh sesuatu yang menakutkan. Bahkan bulan pun tertutup awan, dan cahaya bintang-bintang pun satu-persatu meredup. Begitu menakutkan hingga angin pun laksana pergi menjauh, air berhenti mengalir, anjing-anjing di seluruh penjuru tempat berhenti menggonggong, serangga-serangga berhenti bermesraan, dan kuncup bunga tak berani bermekaran.

Dari dalam gerbang, terdengar isakan dan teriakan, namun suaranya lebih mirip jeritan minta ampun. Jeritan yang belum sekalipun pernah terdengar di dunia. Jeritan-jeritan yang jelas-jelas dapat mengusir kebahagiaan dan menggantinya dengan kepedihan, atau bahkan dapat memisahkan keceriaan dan kesedihan sekaligus di dua tempat yang sama buruknya. Melebihi suara tangis kelaparan atau jeritan setelah perang usai, yang hanya meninggalkan kesengsaraan dan beragam bentuk penderitaan lain.

Suara pecutan dan hantaman benda dari dalam pintu itu bergantian, jauh lebih keras dari suara hantaman bom yang melanda setiap negara yang terlibat perang, lebih sering ketimbang rentetan senjata, atau lebih dahsyat dari letusan gunung merapi yang debu vulkaniknya memenuhi udara. Semua yang sudah pernah dialami manusia itu tidak ada apa-apanya dengan yang ini. Yang ini jauh berkali-kali lipat lebih besar dan berpangkat-pangkat lebih mengerikan.
“Ayo masuk,” ujar sosok malaikat itu memaksa. “Teman-temanmu sudah lama menunggumu di dalam.” Bibirnya menyeringai lebar. Sangat puas akan intimidasinya.

Dengan langkah berat, jiwa itu berjalan menuju pintu. Bunyi gemericing rantai ikut menyertai kepergiannya. Namun tak tahu kenapa, tiap langkahnya semakin berat, gerakan tangannya kaku lalu berhenti, dan langkahnya lebih berat lagi setelahnya. Kakinya menolak untuk masuk ke pintu tersebut, sementara dari dalam, lidah api mulai menyambar keluar, tak sabar menunggu sedetikpun kehadirannya.

Sebuah cahaya keputihan muncul dari atas langit, semakin membesar dan meluas hingga membentuk sebuah ruang seperti pintu. Kegelapan yang sebelumnya menutupi tempat itu tiba-tiba sirna. Angin kembali berhembus, bulan dan bintang kembali bercahaya, para serangga, meski masih agak ragu, bermesraan di balik sarang-sarang mereka, dan yang lebih mengejutkan lagi, kebahagiaan langsung tercipta beratus hingga beribu kilometer jauhnya.

Sosok bergaun hitam dan jiwa itu diam terpaku. Entah benar atau tidak, mereka seperti menikmati tiap sinar yang menyentuh kulit mereka. Sinar yang bertabur serbuk-serbuk mimpi dan kedamaian. Terasa hangat hingga memenuhi kerongkongan dan akhirnya mengisi paru-paru yang lapang.

Satu sosok lagi, namun bercahaya, melangkah keluar dari pintu tersebut. Langkahnya anggun, turun melalui tangga yang dibentuk udara, hingga akhirnya beberapa detik kemudian, ia memijakkan kakinya di atas tanah. Sayap imajinernya yang berwarna keputihan mengembang, memamerkan tiap helai bulu halusnya yang tak bernoda dari surga.

“Kenapa kau datang ke sini? Jiwa ini bagianku. Kau sudah tahu itu, kan?” ujar sosok malaikat yang bergaun hitam, ketus.

“Apa kau lupa, jiwa-jiwa di alam semesta ini bukan bagian siapa pun, kecuali Dia.” Sosok itu tersenyum, dan itu sungguh menenangkan. “Aku datang untuk menjemputnya. Tempatnya bukan berada di dalam kegelapan, sebab dia sudah membuat pilihan terakhirnya, jauh sebelum dia berada di sini bersama kita.”

“Pilihan? Apa maksudmu dengan kata itu? Aku muak tahu,” sosok tadi tak percaya dan kemudian tertawa. Mulutnya dipenuhi oleh deretan gigi-gigi yang menghitam dan tajam, sekiranya dapat memotong apa saja yang masuk ke dalamnya. “Tidak... tidak, tak mungkin dia punya pilihan. Semuanya sudah ditetapkan dan dia akan ikut bersamaku,” jelasnya. “Tempat terbaiknya adalah bersamaku. Lagipula tak ada hal baik yang pernah dia perbuat.” Sosok malaikat itu berbohong.

Jiwa yang sedang dibicarakan itu terdiam, hanya menunduk, bagaikan menerima saja dengan pasrah semua keputusan yang dicapai.

Sosok lain, yang bercahaya itu, tersenyum.

“Jangan berbohong. Kurasa, kau sendiri telah membacanya di catatanmu, dan catatan itu tidak pernah berbohong, kan. Dia pernah berbuat hal baik meskipun itu hanya sekali dalam seumur hidupnya.”

“Tapi itu tidak cukup,” sosok hitam itu tidak setuju. Ia tetap bersikeras bahwa jiwa itu harus ikut dengannya―ke dalam kegelapan.

“Tetapi, bagi-Nya, itu saja sudah cukup. Hal kecil yang mungkin tak pernah terpikirkan oleh mereka, tetap tercatat sebagai sesuatu yang berharga bagi mereka. Seingatku, dia telah memberi makan ikan-ikan yang kelaparan di sebuah kolam di taman bermain anak-anak di tengah kota. Walaupun perbuatan itu tidak seberapa di matamu, namun berbeda, hal itu besar artinya di mata Penciptamu,” jelas sosok bercahaya bergaun putih.

“Bagaimanapun caranya dia harus tetap ikut denganku. Tak peduli apa pun itu.”

“Meskipun kau mengacuhkan perintah dari-Nya?”

“Kau tahu, aku sudah bosan dengan semua ini. Sudah jadi takdirnya kalau dia harus ikut bersamaku ke dalam kegelapan. Jangan menghalangi jalanku, jika kau tak mau musnah.”

“Aku tak takut, bukan kau yang menentukan aku akan musnah atau tidak.”

Sosok hitam itu mundur, geram, bola matanya yang tadi tampak menawan, berubah menjadi hitam pekat dengan rambut yang ikut berganti menjadi pijaran api yang siap menyambar tanpa ampun. Rumput yang dipijaknya langsung layu, mengering, kemudian mati dengan daun-daun yang menghitam.

Selang beberapa detik, ketika sosok hitam itu bersiap menyerang, tiba-tiba sebuah sinar putih muncul dari langit. Terus turun bagai sinar laser dari luar angkasa, hingga pada akhirnya, cahaya itu menghantam sosok bergaun hitam, membuat seluruh tubuhnya terbakar dan dalam sekejap mengubahnya menjadi serpihan debu-debu kristal. Rumput bekas pijakannya, secara ajaib, kembali menghijau. Jauh lebih hijau dari sebelumnya.

Jiwa itu tercengang melihat peristiwa yang terjadi di hadapannya, tak percaya atas apa yang baru saja dilihatnya. Semenit kemudian sosok bersayap putih itu berkata dengan nada bijaksana, “Kemarilah, ikutlah bersamu ke dalam cahaya.”

“Te... terima kasih, tapi bagaimana aku bisa...”

Sosok itu menyentuh pundaknya dan serta-merta, jiwa itu diliputi kehangatan yang tak terkira banyaknya.

“Kau tak akan pernah tahu dengan pasti, apa yang baik dan yang buruk itu sesungguhnya. Kau―kalian semua hanya menjalaninya. Kalian membuat pilihan dan itulah pilihan kalian. Tapi apa kau tahu, pilihan tidak hanya datang sekali, tapi mereka datang berkali-kali, hanya sekadar untuk mengingatkan kalian bahwa pilihan yang terdahulu kalian ambil adalah pilihan salah, atau jika kalian mengambil pilihan yang baru, itu akan merubah sesuatu, semakin memperbesar diri kalian di mata-Nya. Jadi, pilihanmu telah menentukan di mana tempatmu berada selanjutnya.” []


by Afandi Muhammad

Selasa, 02 September 2008

Aurora Di Antartika


Catatan jiwaku melayang di langit Antartika;
"Aurora cemerlang penuh warna. Indah penuh pesona. Melambangkan cahaya surga yang melintasi juga menghiasi langit Antartika. Warna klasiknya yang membentang dari langit utara hingga langit selatan, seakan-akan mau menandingi indahnya cahaya bulan purnama di puncak Himalaya."


by Afandi Muhammad

Sejumput Kenangan Dariku Untuk Indonesia

Penulis : Afandi M.
Jenis : Artikel

SUDAH 63 tahun sejak proklamator kita, Ir. Soekarno dan Moh. Hatta untuk kali pertama mengumandangkan proklamasi yang melambangkan kemerdekaan bangsa ini, bangsa Indonesia. Setiap tanggal 17 Agustus berbagai macam perayaan yang melambangkan kemerdekaan, dirayakan dengan penuh suka cita dan penuh kebahagiaan karena semua rakyat Indonesia merasa telah merdeka.

Memang benar kita telah merdeka. Merdeka dalam artian terlepas dari penjajahan para penjajah yang telah berlangsung selama ratusan tahun yang lalu. Sekarang arti kemerdekaan bukan cuma mencakup hal tersebut. Banyak sekali arti dari kemerdekaan yang sebenarnya. Salah satu dari arti kemerdekaan yang kuketahui adalah saat kita telah terlepas dari keterbelakangan dan kebodohan.


Coba kita tengok sedikit ke masa lalu. Masa di mana isakan tangis, teriakan ketakutan, kekhawatiran, dan kebengisan penjajah menjadi irama penguji jiwa tiap paginya di tanah Indonesia tercinta ini. Mereka—para penjajah, menebar teror bak setan ke seluruh penjuru Indonesia. Menakut-nakuti setiap orang dengan ancaman bedil yang mengacung di kepala. Jika tidak menurut, nyawalah taruhannya. Keluarga-keluarga yang lemah dan mencoba melawan, dipisahkan. Ayah dan anak laki-lakinya dijadikan pekerja rodi tanpa bayaran sepeser pun untuk membangun tonggak kerajaan mereka, anak wanita yang baru beranjak dewasa dipaksa melayani nafsu binatang para tentara gila, sementara sosok ibu yang dibiarkan menunggu di rumah dengan berbagai perasaan yang berkecamuk dan campur aduk, menangis dan tersiksa hingga hilang nyawanya.

Kadang jika aku kembali mengingat kejadian yang diceritakan oleh Kakekku dulu (tentunya saat ia masih hidup di dunia ini), sekujur tubuhku merinding dan membeku bagai tertimbun di dalam longsoran salju bermeter-meter di bawah tanpa selimut penghangat. Ia menceritakan dengan menggebu-gebu semangat perjuangannya yang kala itu berkobar seumpama lidah api matahari dan menyembur bagai magma ke udara seperti letusan gunung Krakatau. Darah yang berceceran serta onggokan-onggokan mayat yang sudah tak jelas lagi bentuknya berserakan di mana-mana, layaknya sampah di pinggir jalan. Seruan kemerdekaan harus dibayar dengan darah. Tapi semua itu tak mengurangi semangat perjuangan yang menggelora di setiap jiwa para pejuang, termasuk Kakekku. Indonesia harus tetap mendeka walau nyawa taruhannya. Di benak pejuang telah tertanam rasa cinta tanah air yang tinggi dan sebuah semboyan ‘mati satu tumbuh seribu’. Bayangkan, mereka tak takut mati.

Bagaimana jika peristiwa itu di hadapkan kepada rakyat Indonesia zaman sekarang? Rakyat Indonesia yang katanya sudah maju dan berkembang. Semua itu omong kosong! Cuma kedok untuk menutupi ketidakmampuan dan ketakutan mereka kehilangan nyawa. Aku tidak yakin, mereka akan berani menghadapi kematian dengan tangan terbuka seperti nenek moyang kita dahulu. Semangat perjuangan manusia modern sekarang ini telah pupus dan terkikis oleh budaya-budaya tolol yang tetap mereka pertahankan. Tengoklah anak muda sekarang. Mereka semua telah terjerumus ke lembah hitam, lembah yang pastinya sangat sulit untuk keluar dari dalamnya. Banyak sekali anak-anak muda yang menjadi pemakai maupun bandar narkoba, gadis-gadis polos yang berubah profesi sebagai pelacur jalanan, bahkan public figure dan pejabat yang seharusnya menjadi contoh yang baik untuk masyarakat, berbondong-bondong untuk melakukan pelanggaran dan menumpuk harta. Bagaimana jadinya bangsa ini jika tanggung jawab diembankan kepada orang-orang seperti mereka.

Ah, kebusukan Indonesia saat ini mulai tercium. Bentuk boroknya sudah mulai kelihatan. Busuk sekali! Menjijikkan! Tapi menurutku, bukan Indonesia-lah yang salah. Bukan bangsa ini. Kenapa harus Indonesia yang tak tahu apa-apa dihujat sedemikian parah dan rendah. Para petinggi dan orang-orang tolol-lah yang semestinya dicekal dan direndahkan. Orang-orang seperti mereka yang bersembunyi dan bernaung di bangsa Indonesia yang suci ini.

Menggunakan kesucian itu sebagai tameng atas kesalahan mereka. Pantas saja Indonesia tidak maju-maju, lihat saja tingkah petinggi-petingginya. Apakah tindakan yang benar jika tidur saat sidang DPR atau MPR sedang berlangsung? Apakah mereka tak tahu caranya bermusyawarah yang benar? Apakah benar kalau seorang pemimpin mengingkari janjinya setelah ia terpilih menjadi sang penguasa? Jangankan para petinggi, pegawai negri sipil saja belum tentu becus untuk melaksanakan kewajibannya. Yah, instansi milik pemerintah itu hanya menampung orang-orang yang tak berguna. Sejujurnya, mereka masuk ke dalam lembaga itu bukan karena kemampuan mereka. Uang, itulah inti dari semuanya. Mereka yang kepintarannya tak seberapa dengan adanya kekayaan materi berupa tumpukan uang akan sangat dihargai martabatnya layaknya raja.

Seandainya aku hidup di zaman dahulu, masa di mana uang tidak ada. Mereka menggunakan cara barter untuk memperoleh sesuatu. Setidaknya itu lebih baik daripada sekarang.

Jika dipikir-pikir, memang begitu banyak kebusukan orang-orang yang mendiami bangsa tercintaku ini. Aku ingat saat Tuhan mencoba bangsa ini. Diuji dengan pasang berupa Tsunami, gempa Bumi, letusan gunung berapi, longsor, atau kecelakaan pesawat yang hingga saat ini menurutku belum jelas akibatnya. Indonesiaku menangis. Meneteskan air mata pilu akan sifat orang-orang yang mendiaminya. Tuhan merasakan kesedihannya dan mencoba orang-orang itu dengan berbagai jenis kesulian. Apakah mereka pantas ada di Indonesia atau tidak? Pataskah mereka menjadi penghuni bangsa suci ini? Tapi, Tuhan terlalu baik. Dia tak tega melihat orang-orang itu menitikkan air mata dan mengeluarkan jeritan histeris dari mulu-mulutnya. Bagaimanapun orang-orang itu adalah hamba-hamba yang dicintai-Nya. Tuhan tak mungkin setega itu. Dia-lah Maha Penyayang.

Sekarang, bangsaku mencoba bangkit. Usia yang kini menginjak 63 tahun tidak muda lagi untuk sebuah bangsa. Indonesia lebih cocok diumpamakan sebagai bayi yang saat ini baru belajar merangkat lalu nantinya berjalan. Toh, di antara orang-orang tolol tadi masih ada yang mencintai Indonesiaku ini dengan setulus hati. Rela berkorban apapun untuk membangkitkannya dari keterpurukan. Mereka-lah orang-orang yang setia berdiri hingga akhir menjaga Indonesia. Orang-orang yang bekerja tanpa pamrih untuk Indonesia. Orang-orang yang tetap kuat dan tegar menyongsong masa depan yang mungkin satu waktu akan cerah, secerah langit biru di kala hujan reda.

Yang menjadi pertanyaanku sekarang adalah kapan? Kapan lagit Indonesia itu akan cerah? Kapan Indonesia benar-benar merasakan kemerdekaan yang seutuhnya? Kapan? Ah, aku sadar terlalu banyak bicara. Mulut dan tangan ini terlalu bersemangat jika bercerita tentang Indonesia. Banyak sekali kenanganku yang tertoreh di bangsa ini. Pasti semangatku ini diwariskan oleh Kakekku. Yah, Kakekku yang sekarang tengah melihatku dari surga sana. Orang yang selalu menguraikan senyuman terbaiknya untuk Indonesia. Orang yang selalu mengumandangkan bahwa Indonesia tetap jaya. Merdekalah Indonesia.


by Afandi Muhammad

Senin, 01 September 2008

Quote Vol. 1

"Kadang kala untuk mengerti dan memahami arti dari sebuah kebenaran yang hakiki, kita cenderung kehilangan sesuatau yang sangat berharga dalam hidup kita."

Ditulis, saat aku tengah memikirkan tentang kebahagiaan~


by Afandi Muhammad

NightMareS The Novel (Sinopsis)


Penulis : Alexander Bonaparte Cruz
Judul : Nightmares
Penerbit : Masmedia Buana Pustaka
Halaman : 322



Pembunuhan berantai sekaligus misterius menebar bagai teror. Melibatkan nyawa-nyawa pria berumur sebagai korban. Semua pembunuhan identik. Pertama-tama, korban ditusuk tepat di organ vital lalu setelah benar-benar tewas, tubuh mereka disayat-sayat mengenaskan. Mengerikan hingga menjijikan. Pembunuhan dilakukan dengan cermat, cepat, rapih, dan terencana.

***

Hidup tanpa kedua orang tua di usianya yang kini menginjak 25 tahun, tak membuat James Baldwin patah arang, merana lalu menyesali hidupnya. Semuanya dikerjakan sendiri, sesuai dengan rutinitas hariannya yang sudah terorganisir dengan baik. Sesuai jadwal harian. Hingga pada suatu ketika, berbagai mimpi buruk datang bertubi-tubi bak hujaman anak panah yang kian menghantui tidurnya. Membayangi tiap hari-harinya dalam kengerian yang tidak biasa. Membuat hidupnya dikecam dan dilumat rasa ketakutan.

Penderitaannya belum habis sampai di situ. Secara mengejutkan, semua mimpi buruk itu tiba-tiba menjadi kenyataan pada keesokan harinya. Satu persatu orang-orang yang pernah ada dalam mimpinya mati mengenaskan dengan luka tusuk dan sayatan di sekujur tubuh. Benar-benar hampir mirip pembunuhan mutilasi. Seperti legenda pembunuh Jack The Ripper yang menghantui kota Whitechapel, London pada tahun 1888.

***

Inspektur Alexander Ross dan Samuel Bloomberg sebagai asisten, mencoba menyelidiki semua kasus pembunuhan tersebut. Dalam penyelidikan, diketahui bahwa semua pembunuhan yang terjadi saat itu, sama dengan yang terjadi puluhan tahun yang lalu di Watercrock. Perbedaannya adalah misteri pembunuhan massal itu dulu melibatkan para gadis belia, sedangkan kali ini pria-pria berusia lanjut-lah yang kemudian menjadi korban. Muncul dugaan, pengikut aliran sesat pemuja setan merupakan dalang dari semua pembunuhan ini.

Belum setengah penyelidikan berjalan, Inspektur Alexander Ross tiba-tiba turut menjadi korban pembunuhan. Ia ditemukan tewas di rumahnya sendiri. Samuel Bloomberg yang hampir putus asa, kini harus bekerja sendiri bersama secuil bukti-bukti yang ada.

by Afandi Muhammad

Puisi - Warna Kematian


~~~Perjalanan Jiwa~~~

Kegelapan merasuk lalu mendaging
Aliran darah turut merajut kengerian dalam kesendirian
Kusadari jiwaku kian melayang
Terbang mengikuti jalur angin kehidupan
Menembus atmosfer Bumi yang menganga menantikan sebuah harapan

"Bandung, 08 Mei 2008"

----------------------

~~~Jawaban atas Kematian~~~

Ketika itu langit runtuh
Menjadi butiran salju bercahaya
Menjadi titik-titik nafsu dan bencana
Lalu manusia berdoa, merelakan semua
Namun, tetap saja keimanan menjadi jawabannya

"Bandung, 09 Mei 2008"



----------------------

~~~Rindu Mati~~~

Dahulu, maut selalu mengusikku
Menggelitik dengan segala ketakutan yang kian meradang
Mengoyak kulit, membusukkan jantung, lalu melapukkan tulang
Tapi mengapa semua itu malah membuatku senang?
Sekarang...
Aku rindu akan kematian yang tak lagi datang

"Bandung, 10 Mei 2008"

----------------------

~~~Buku Kehidupan~~~

Di buku ini akan kutoreh sebuah kisah
Bercerita tentang elegi manusia
Kombinasi antara cinta, emosi, pengabdian, kesedihan, hingga penantian
Semoga menjadi fakta...
Kuharapkan nyata...

"Bandung, 11 Mei 2008"

-----------------------

~~~Warna Kematian~~~

Pancaran warnanya membias lalu meleleh
Mengubah riuh menjadi senyap,
Melumat senyum juga membekukan hati
Membuat ketenangan di tengah jeritan

Seketika bedil mengacung
Ketegangan memuncak, membentuk awan ilusi
Menumpahkan warna kematian yang merasuk ke pori-pori
Menyebar bagai bisa yang melumpuhkan organ
Menyisakan keheningan di antara puing-puing bangunan.

"Bandung, 12 Mei 2008"

note: "Kehidupan adalah jalan panjang menuju Kematian"

by Afandi Muhammad

Malam ( The End of Night )




Penulis : Afandi M.
Gendre : Kematian dan Kehidupan




MALAM itu lampu jalan bersinar tak seperti biasanya. Cahayanya yang kekuningan menyebar ke segala penjuru arah, membentuk penerangan penunjang cahaya bulan. Beberapa ngengat terbang mengelilingi sumber cahaya itu. Bentuknya menyerupai pesawat jet buatan Amerika Serikat―F/A-18 Hornet yang merupakan pesawat tempur serang yang dirancang untuk bisa menyerang target darat maupun udara, juga dilengkapi kemampuan untuk ditempatkan pada kapal induk. Ngengat itu berakrobatik dengan sayapnya yang kokoh dan lincah serta warnanya yang serupa dengan kegelapan malam. Kerangka tubuhnya yang aerodinamis membelah tiap desiran angin, membentuk seperti ruang hampa udara.

Jalan sudah tampak lengang. Hanya suara jangkrik yang terdengar mengalun bersama suara angin. Derap langkah terdengar beraturan, seperti bergema. Seseorang berjalan sendiri dalam balutan jaket coklat bergaris dengan tas yang melingkari satu sisi bahunya.



Gadis itu sangat cantik, dengan kecantikan yang amat tidak biasa. Rambutnya yang berwarna kuning keemasan terlihat membingkai wajahnya, seperti kabut. Kedua matanya yang terletak berjauhan, berwarna kelabu jernih. Mulut dan dagunya menyerupai Madonna Italia dari zaman kuno.

Sejenak keheningan yang timbul begitu tajam, namun tampaknya gadis itu mengacuhkannya.
“Ini akibatnya kalau aku menerima piket hingga tengah malam,” keluhnya. “Tak ada angkutan umum yang berani beroperasi pada jam segini.”

Ia terus berkomentar pada diri sendiri. “Mengapa tadi aku menolak tumpangan Andri dengan motornya? Jika saja aku menerimanya, aku tak harus berjalan hingga ke tempat kosku seperti sekarang.”

Gadis itu kembali diam. Tampaknya ia sudah menyadari keheningan yang sedang menyelimuti sekitarnya. Sebuah suara dari dalam semak mengagetkannya, hingga membuatnya berteriak. Seekor tikus dengan ukuran yang lumayan besar berlari melintas di depannya, kemudian melompat ke selokan layaknya seorang pelompat indah yang sedang mengikuti Olimpiade memperebutkan mendali emas.

“Dasar, tikus sialan!” umpatnya kesal sambil memegang dada.

Dengan mimik wajah waspada, ia berkata, “Mengapa malam ini begitu berbeda dengan malam-malam sebelumya? Kekosongan jalan ini terlihat begitu menakutkan, begitu sunyi. Apa karena sudah tengah malam?”

Kedua tangannya ia dekap melingkari dada, mencoba mengusir sebuah rasa yang memaksa masuk ke dalam dirinya. Langkahnya dipercepat dan makin dipercepat seiring dengan langkah berikutnya dilakukan. Namun langkahnya kembali pelan ketika mendengar sebuah suara. Keremangan di depannya menimbulkan siluet sosok seorang pria compang-camping lusuh duduk bersandar di tembok. Mirip pengemis, namun saat makin mendekat ia menyadari bahwa pria tua itu adalah seorang pemain biola jalanan.

Tiap gesekannya mirip komposisi musik utuh. Setiap berlanjut ke nada berikutnya, nada-nadanya mengalun aneh, mirip dangan nada-nada peralihan yang lamban dalam gesekan senar biola. Dan semakin aneh sesudahnya.

Gadis itu makin mendekat.

Aneh, mengapa laki-laki itu bisa memainkan biola dengan nada-nada seperti itu. Apakah itu adalah sebuah keahlian? Atau anugerah? Jangan-jangan itu hanya insting? pikir gadis bernama Amanda itu.

Entah mengapa, nada-nada itu seakan memiliki sayap. Amanda memperhatikan sebentar ketika pria tua tadi kini bersenandung. Suaranya yang serak terdengar tidak merdu sama sekali, lebih mirip aungan atau lolongan srigala menyambut kehadiran bulan purnama. Seperti suara tenor dalam sebuah kontes seriosa.


Semua akan mati dengan satu kejadian.... yang menjadi awal kematian...
Semua akan pergi... pergi bersama cahaya... dan terbang menembus awan...
Aku juga akan merasakan kematian... segera... segera... segera...
Hidup akan berakhir...
Selamat tinggal dunia... Selamat tinggal semua...


Tiap baris liriknya membuat dirinya ngeri, begitu menusuk ke jiwa, dan membuat Amanda kembali berfikir tentang kematian. Satu kata yang begitu sakral untuk disebutkan di muka umum. Jujur dalam hatinya, ia mengakui bahwa ia sendiri takut mati―amat sangat takut terhadap kematian. Kematian yang datang dengan kecepatan dan kepastian tak kenal ampun yang mengerikan, tak pandang bulu pada yang miskin ataupun kaya. Semuanya sama di mata kematian.

Amanda mempercepat langkahnya, tapi rasa takut akan kematian itu masih tetap dirasakannya, mengiringi tiap detak langkahnya, menyelimutinya dalam cengkramannya yang dingin membekukan. Ia lalu berbelok di sebuah trotoar yang terang benderang, berupa jalan sempit yang diapit tembok-tembok tinggi yang merupakan jalan pintas menuju tempat kosnya.


***


Malam berikutnya, Amanda kembali pulang tengah malam karena tugas piket yang dibebankan kepadanya. Sekali lagi ia pulang berjalan kaki. Rupanya Andri tidak masuk hari ini. Salah satu teman sekerjanya mengatakan bahwa ibu Andri masuk rumah sakit akibat infeksi saluran kencing dan harus diopname.

Semua teman sekerjanya telah pulang duluan. Ada yang dijemput oleh suami atau keluarga. Sebenarnya, ada teman sekerjanya yang membawa kendaraan, tapi ia malu meminta tumpangan. Amanda adalah tipe wanita yang tidak banyak bicara―sangat pendiam, mungkin itu yang menyebabkannya tidak terlalu dekat dengan rekan-rekan sekerjanya, terkecuali Andri yang memang terkenal pandai bergaul dengan semua orang.

Saat tiba di trotoar, ia menengok kiri dan kanan, bersiap menyeberang. Tak ada kendaraan sama seperti malam sebelumnya. Jalan utama itu begitu sepi. Amanda menyeberang dengan perlahan. Langkahnya beraturan, bergerak konstan dan berirama seperti detak jantungnya saat itu. Namun semua itu buyar ketika sebuah klakson mobil menderu keras memekakkan telinganya. Suara mendecit terdengar kemudian. Untung saja meleset. Mobil itu berhenti tiba-tiba, seakan tidak mau mencari masalah Amanda mempercepat langkahnya. Di belakangnya, orang-orang bermunculan secara ajaib.

Amanda terus berjalan menyusuri jalan biasanya. Ia bersyukur sekali. Untung saja, ujar batinnya.

“Kenapa aku mesti lari tadi?” gumamnya kesal. “Bukankah pengemudi sialan itu yang salah? Sebelumnya aku tak melihat ada mobil sama sekali.”

Ia masih tetap mengeluh. “Tampaknya pengemudi itu mabuk. Semoga saja dia kena razia dan ditangkap Polisi,” katanya mengutuk.

Kembali di telinganya mengalun sebuah irama biola. Seperti irama lagu yang didengarnya kemarin. Ia langsung memperhatikan sekeliling, mencari sumber suara. Tak ada. Ia tak menemukan sumber suara itu. Amanda kembali menajamkan matanya. Di tempat yang sama, di pojokan sebuah toko, seorang pengemis duduk bersandar sambil menggesek tiap senar biolanya.

Lagi-lagi pria tua itu, megganggu saja. Buat apa dia memainkan biolanya? Toh tidak ada yang mendengar dan memberinya uang. Membuang tenaga saja
, pikir Amanda. Ia mencoba mengacuhkan dan berjalan melewati pria tua itu.

Tiba-tiba ada suara yang memanggilnya dari arah belakang. “Hei, tunggu sebentar!”
Amanda menghentikan langkahnya dan menengok. Pria itu bergerak perlahan sambil menenteng biolanya berjalan ke arah Amanda. Namun aneh sekali, tak terasa pria itu telah sampai di hadapan Amanda, padahal baru saja wanita itu mengatupkan mata dan kini pria tersebut sudah berada di depannya. Aneh bin ajaib. Bagai air yang dengan cepat merambat pada pori-pori kapas saat basah atau cahaya yang dibiaskan oleh prisma menjadi tujuh warna yang berbeda. Begitulah pengandaian yang tepat menurut Amanda mengenai kedatangan sosok itu ke arahnya.

Dengan jelas, kini Amanda bisa melihat sosok pria itu. Rambutnya panjang, kusut, dan acak-acakan tak karuan. Hidungnya pesek, kulit bibirnya pecah-pecah, dan saat tersenyum, ia menampakkan deretan giginya yang hitam dan berlubang di sana-sini.

“Ada apa kau memanggilku?” kata Amanda. Nada suaranya terlihat merendahkan sosok yang tengah berdiri di depannya. Menurutnya pria itu tak pantas untuk dihargai dan dihormati sekali pun.

Pria itu hanya tersenyum, lalu berkata, “Kau mau kemana?”

Sebelah alis Amanda naik. “Buat apa kau tahu. Itu urusanku sepenunya,” katanya dengan penekanan penuh di akhir katanya.

Pria tua itu menggeleng, “Tidak, tidak... sekarang itu menjadi urusanku.”

“Apa maksudmu?” Amanda membentak. Ia semakin kesal. Pria tua itu sudah berhasil meluluhkan kesabaran Amanda dan kini emosinya-lah yang mengambil alih.

“Rupanya kau belum menyadarinya ya. Memang sungguh banyak orang sepertimu yang kutangani. Umumnya mereka tidak menyadari kematiannya.”

Amanda makin tidak mengerti. Ia merasa telah dipermainkan dan dipermalukan oleh seseorang yang tak pantas melakukannya. “Jika kau menggangguku, aku akan teriak,” ia mengancam.

“Silahkan saja. Tak ada yang akan mendengarmu, karena kau sudah meninggal,” jelas sosok itu.

Kalimat itu seperti sambaran petir yang mengenai tubuhnya, membantingnya berulang kali kemudian mencabik-cabik seluruh organnya. Dingin langsung menggerayangi tubuhnya.
“A... apa... ma... maksudmu?” suaranya bergetar.

“Kau telah tewas akibat kecelakaan tadi, dan sekarang kau telah berwujud roh,” sosok itu menjelaskan.

“Bagaimana bisa...” kata itu spontan keluar dari mulut Amanda.

“Sebenarnya, tadi kau tidak terserempet mobil itu. Kau tertabrak dan langsung tewas saat itu juga. Rohmu langsung keluar dari ragamu, membuatmu tak sadar akan apa yang telah terjadi.”

Memang Amanda ingat, mobil yang menyerempetnya itu tiba-tiba berhenti dan orang-orang langsung berdatangan. Ia mengira saat itu supirnya akan dimarahi habis-habisan tapi ternyata mereka malah mengerumuni jasadnya yang tak bernyawa lagi. Ia masih belum bisa menerimanya.

“A... aku belum mau mati.” Matanya berkaca-kaca dan sedetik kemudian air matanya langsung bergulir menuruni pipinya.

Sosok itu berbicara dengan lembut, “Ingat, Amanda. Kematian adalah jalan lain yang harus kita tempuh. Semua orang akan mati dan kembali ke tangan Sang Pencipta. Entah kapan waktunya, manusia tak akan diberitahu itu,” ia berhenti sebentar kemudian melanjutkan, “Manusia hanya bisa menerimanya dan tak mungkin bisa menolak. Maka selama kau masih diberi kehidupan di dunia, manfaatkanlah hidupmu dengan sebaik-baiknya. Laksanakanlah perintah-Nya dan jauhilah semua larangan-Nya.”

Sosok itu lalu menutup perkataannya, sembari menyunggingkan sebuah senyuman. "Kematian adalah kematian. Kematian adalah akhir dari kehidupan sebelumnya dan merupakan awal dari kehidupan berikutnya."

Dalam kecepatan melebihi milidetik, sosok itu sudah berubah ke wujud sebenarnya. Sesungguhnya, ia berubah menjadi cahaya gelap namun tetap bersinar dan melayang-layang di udara. Di depannya, Amanda masih menangis, pilu sekali. Entah sedang menyesali hidupnya atau menyesali kematiannya.


by Afandi Muhammad

Arti Kesetiaan Crish.



Penulis : Afandi M.
Gendre : Cinta





Cinta selalu tak akan pernah bisa diungkapkan dengan apapun yang sesuai
dengan kehendak kita, karena bahasa cinta adalah bahasa yang abstrak,
bahasa yang hanya akan bisa dimengerti oleh mereka yang peka dan
mengenal apa itu cinta --- Kahlil Gibran

**

BULAN kian meninggi dan angin pun kunjung bertiup, menerbangkan debu dan mempermainkan dedaunan. Ada empat lampu di tiap sudut taman itu, berdiri bak tugu selamat datang, menjadi penghalang kegelapan. Mengundang kehadiran ngengat, berputar-putar, seakan sedang berpesta karena saatnya melahap habis cahaya.

Dekat sebuah pohon pinus raksasa, dekat salah satu lampu taman, sepasang insan tengah melepaskan kerinduannya, seakan-akan mereka baru saja bertemu setelah berpisah dalam waktu yang sangat lama. Terpisah oleh jarak dan waktu, terpisah oleh lapis demi lapis dimensi. Di sebuah bangku taman, mereka duduk. Pandangan mereka lebih lama makin berkait erat, umpama tak mau terlepas. Mereka selalu punya alasan untuk bercakap-cakap sambil saling menatap. Dari balik tumbuhan semak, terlihat turunan Adam dan Hawa itu berciuman. Bibir mereka merapat, sesaat. Mereka berdua terlarut, jauh lebih dalam. Lembut. Terasa kian lembut dan melekat.

Dalam hitungan detik, mereka menyudahi. Akan tetapi, sensasi tadi belum mau pergi dari kedua bibir mereka. Masih berbekas. Bahkan mungkin bukan bekas biasa, melainkan sebuah magis yang istimewa.

Muka sang wanita memunculkan semburat—malu-malu. Rambut hitam panjangnya berkilau sangat menawan, seperti biasan air laut di kegelapan malam. Wajahnya teduh, mendamaikan. Sementara tak kalah indahnya, bibir mungilnya menebar pesona, menjadi pelengkap semua keindahan fisiknya yang bernilai seni tinggi. Ia mengecap bibirnya sekali. Emm... terasa manis. Lebih dari gula.

“Kenapa kau menciumku?” bisik Julie dengan suara bergetar. Pandangannya tajam menembus kalbu lelaki di hadapannya yang malah ikut tersipu.

“Karena aku ingin menciummu,” kata Chris dengan kekuatan yang entah datang dari mana. Ia sudah bertekad untuk menunjukkan segala perasaannya. Ya, malam ini akan mengakhiri semuanya. Whatever will be, will be. Que sera sera!


“Tetapi, aku tidak ingin...” ucapan Julie terputus, masih bergetar walau agak samar.

Chris tersenyum lembut. Wajahnya yang oval dan penuh pesona tak kuasa untuk diacuhkan. “Tidak ingin dicium?” tanyanya pelan sambil melawan pandangan Julie, sekuat hati.

Julie lalu mengalihkan pandangannya ke depan, ke wajah Chris. Air mukanya tiba-tiba mengeruh, seperti sungai besar yang penuh lumpur akibat hujan berkepanjangan.

Chris diam, kembali menguatkan hati, merasa tidak punya pilihan lain. “Aku mencintaimu, Julie. Aku sayang padamu,” jelas Chris yang lalu dilanjutkan, “Kita sudah berpacaran hampir tiga tahun lamanya. Kau sudah mengenalku luar dan dalam, dan begitu pula aku telah mengetahui baik dan jelek sifatmu.”

Julie tetap memandang lelakinya tanpa gentar. Siluet senyuman muncul di bibirnya. Matanya seolah-olah bertanya, apa yang sebenarnya akan dikatakan Chris?

“Se—sebenarnya, aku mengajakmu ke sini karena ada sesuatu hal yang ingin kusampaikan,” ucap Chris panjang, sedikit kaku.

“Apa?”

Chris terdiam, mengumpulkan setiap inci keberaniannya. Dengan perlahan, ia lalu merogoh sesuatu dari dalam saku celananya, kemudian memberikannya kepada Julie. “Terimalah, Sayang. Tanda bahwa aku benar-benar serius menjalani tiga tahun hubungan kita yang sangat mengesankan.”

“Apa ini?” tanya Julie saat ia menerimanya. Sebuah kotak berukuran kecil, kemerahan, dengan pita mungil di atasnya mewujud pada impian.

“Kotak hadiah. Bukalah. Kau pasti akan suka.”

Julie membukanya, sangat perlahan, dan seketika, matanya langsung terbelalak. Di dalam kotak, ada cincin zambrud, dikelilingi berlian, dipasang pada platina. Julie menatapnya dengan rasa tak percaya.

“Untuk apa… i—ini terlalu mewah sebagai hadiah. Ini...” katanya masih terkejut.

“Aku bahkan akan memberimu bulan bila kau memintanya. Julie, aku mencintaimu dengan segenap hatiku.”

Julie memeluk pria di depannya itu, erat-erat, tenggelam dalam rasa bahagia yang belum pernah dirasakannya. Bukan karena hadiah itu. Bukan karena sesuatu yang bisa dibeli dengan materi. Yang membuat Julie sangat bahagia, tak lain tak bukan adalah, karena Chris mengatakan kata-kata itu dengan sangat tulus. Kedua bola mata pria itu bahkan memunculkan siluet kesungguhan saat mengatakannya.

Akhirnya, Julie pun mengatakan sesuatu.

“Aku juga mencintaimu, Sayang.”

Wajah Chris berseri-seri. “Kalau begitu, maukah kau menikah denganku? Kita...”

“Tidak!” potong Julie. Bunyinya seperti cambukan hebat di telinga Chris.

Chris memandangnya kaget. “Kenapa? Kenapa kau…”

“Aku tidak bisa. Aku… ada sesuatu…”

“Julie, apakah kau tak percaya bahwa aku sangat mencintaimu?”

Sembari menunduk, Julie berkata, “Tentu... tentu saja aku percaya. Aku sangat percaya.”

“Kau mencintaiku?” Chris memastikan.

“Ya.”

Selanjutnya, ia pun bertanya dengan wajah kebingungan. “Tapi, mengapa kau tidak mau menikah denganku? Apa ada yang salah?”

“Bukan, bukan begitu. Tentu saja aku mau sekali, tapi... aku tidak...” suara wanita itu tercekat.

“Kenapa?”

Chris menatapnya bingung. Dan Julie tahu, begitu ia menceritakan rahasia ini kepada Chris, tentang pengalaman traumatis yang pernah terjadi padanya, lelaki itu pasti tidak akan mau bertemu lagi dengannya. Oleh karena itu, rahasia ini terus disimpannya dari Chris selama mereka bersama, berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan terpikir, Julie akan menyimpan kisah itu seumur hidupnya. Namun hari ini—malam ini, ia akan menceritakan semuanya. Julie tidak bisa lagi menolak.

“Aku... aku takkan pernah bisa menjadi istri sesungguhnya bagimu,” katanya. Tak terasa lelehan air mata mengalir di kedua sisi pipinya. Kata-kata itu meletupkan sensor tangis di kedua kelopak matanya.

“Apa maksudmu?”

Ini hal tersulit yang harus Julie katakan.

“Chris, kita tak akan pernah bisa berhubungan seks…” Ia berhenti sebentar. “Saat aku berusia sebelas tahun, aku diperkosa oleh...” ini yang paling sulit yang harus dikatakannya, “oleh… Ayah tiriku sendiri.” Isakan Julie makin terdengar, memilukan. Julie berpaling, menatap pepohonan yang tidak memedulikan dirinya, berusaha sekuat mungkin menceritakan kisahnya yang getir kepada laki-laki pertama yang dicintainya.

Hening. Angin pun seolah tak mau menginterupsi.

“Kalau boleh jujur. Aku sangat kaget saat pertama mendengarnya,” ujar Chris, “Bukan karena peristiwa menyakitkan itu, tapi karena kau baru mengatakannya padaku sekarang.”

Julie tak menanggapi, ia masih menangis. Kotak berisi cincin itu lepas begitu saja dari genggamannya. Namun, tak seorang pun dari mereka yang berusaha mengambilnya.

Akhirnya, setelah waktu yang terasa sangat lama, Chris berkata, “Julie, dengar. Dengankan aku. Kalau memang itu masalahnya, aku mengerti. Aku sangat mengerti. Tapi aku sangat mencintaimu. Aku tak ambil pusing dengan masa lalumu. Setiap orang punya masa lalu yang menyedihkan. Aku pun begitu, kan? Kau sudah mengetahuinya.”

Chris meletakkan tangannya di wajah Julie, menegakkan wajah wanita itu agar melihat api kesungguhan di matanya. Mengusap kesedihan di wajah Julie, seraya tersenyum.

“Apa kau ingat, Sayang. Aku pernah mengatakan ini kepadamu. Ayahku meninggal saat aku berumur sepuluh tahun, dan Ibuku, yang seharusnya menjagaku setelah kematian Ayahku, malah meninggalkanku demi pria lain yang tidak menginginkan keberadaanku. Aku sangat sedih. Di usiaku yang justru begitu menginginkan kasih sayang, aku hidup sebatang kara. Berusaha bertahan hidup seorang diri di dunia yang keras ini. Aku sudah pernah mengalami berbagai macam kesedihan. Lama aku terpuruk, menganggap bahwa Tuhan telah salah menciptakanku ke dunia. Menganggap bahwa Tuhan telah salah dalam menuliskan takdirku. Namun seiring waktu berjalan, aku sedikit-sedikit belajar mengubah kesedihan itu. Mengolahnya dengan sangat hati-hati menjadi semangat baru. Dan saat pertama kali melihatmu, cahaya kehidupan kembali bersinar dalam diriku. Jalan hidupku kembali terbentuk, yaitu hidup bersamamu. Bahagia dan terus bersama.”

Julie membuka suaranya, bergetar. “A—aku tidak tertarik pada seks. Aku bahkan kadang jijik jika memikirkannya… seks membuatku takut. Aku... aku hanya separuh wanita. Aku orang aneh.” Julie terengah, berusaha untuk menghentikan tangisnya.

Chris menyentuhnya lagi, mencoba merasakan kesedihan Julie dari sentuhan tersebut. “Aku sangat menyesal, Julie. Pasti kejadian itu sangat mengerikan dan membuatmu ketakutan.”

Wanita itu diam tak menanggapi.

“Seks memang penting dalam sebuah perkawinan,” gumam Chris.

Julie mengangguk, menggigit bibirnya. Sepertinya, ia telah tahu apa yang akan dikatakan Chris selanjutnya.

“Tetapi, perkawinan tidak hanya meliputi hal itu. Tidak hanya berkutat pada seks. Perkawinan berarti menghabiskan sisa hidupmu bersama seseorang yang kau cintai. Memiliki seseorang yang bisa kau ajak bicara, tempat berbagi suka dan duka, serta berbagi kasih sayang bersamanya. Lagipula, tak ada hal apa pun yang bisa mengganggu cintaku kepadamu. Tak ada yang bisa melunturkannya.”

Julie mendengarkan, terpukau, namun takut mempercayai apa yang baru saja didengarnya.

“Seks pada akhirnya akan hilang, Julie. Tapi cinta sejati tidak. Aku mencintaimu karena hati dan jiwamu. Tulus. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu. Bahkan jika kau mau, aku bisa hidup tanpa seks.”

Julie mencoba berbicara dengan tenang. “Tidak, Chris. Aku tak bisa membiarkanmu...”

“Kenapa?” lelaki itu memotong.

“Karena kelak kau akan menyesalinya. Kau akan jatuh cinta pada orang lain yang bisa memberikanmu apa yang tidak bisa kuberikan, dan kau pasti akan meninggalkan aku. Dan setelahnya, aku akan patah hati.”

Chris mengulurkan tangannya, lalu meraih Julie dan memeluknya. “Kau tahu mengapa aku tak akan pernah bisa meninggalkanmu?”

Julie menggeleng dari balik pelukan. Bimbang saat ini melanda dirinya bagai ombak yang membawanya ke sana kemari.
“Itu karena kau adalah bagian terbaik dari diriku. Separuh dari jiwa dan jasadku yang dulu hilang, dan sekarang, telah kutemukan lagi—padamu. Yang jelas, kita akan segera menikah,” ujar Chris bersemangat.

Julie seketika melepaskan pelukan. Ia menatap jauh ke dalam mata Chris. “Apakah kau betul-betul menyadari keputusanmu?”

Chris tersenyum dan berkata, “Menurutku kau harus mengatakannya dengan cara lain.”

Julie tertawa lalu kembali memeluknya, “Oh, Sayang. Kau yakin bahwa kau...”

Wajah Chris berseri-seri. Senang sekali. “Aku sangat yakin. Apa jawabanmu?”

Air mata kembali mengalir di pipi Julie, kali ini berbeda. “Ya. Aku mau. Aku akan menjadi pendamping hidupmu, Sayang. Selamanya kita akan bersama.”

Chris membungkuk, mengambil kotak kecil dekat kakinya, membukanya, lalu menyelipkan cincin zambrud itu ke jari manis Julie. Setelahnya mereka berpegangan, lama sekali. Kedua pancaran mata mereka menunjukkan bahwa ada semangat hidup baru dengan ikatan yang lebih erat, lebih kuat. Ikatan yang akan terus terjalin hingga sepanjang masa. Tak akan pernah pupus. Apalagi terputus. Takkan terpisahkan. Mereka telah menemukan arti dari sebuah hubungan yang tulus, tanpa batasan. Dengan kejujuran yang selalu diidam-idamkan.

by Afandi Muhammad

Kerajaan Damai



Penulis : Afandi M.
Gendre : Kehidupan




"Manusia berkata semaunya,
Manusia bertindak seenaknya,
Karena mereka tak pernah mau disalahkan atas keburukan yang terjadi."

---

MALAM ITU, hawa dingin menggenangi jajaran bukit. Kabut merayap, mengikuti jejak angin yang coba menuruni lembah pinus tak bertuan. Terkadang, gesekan ranting, ilalang, dan suara penghuni malam memecah keheningan, melantunkan melodi sederhana yang sangat indah. Mungkin yang menyusun tiap notnya adalah semua roh suci penghuni kerajaan damai di bawah sana. Ya, kerajaan damai yang tiap harinya dipenuhi oleh tawa, kebahagiaan, ketulusan hati, batin yang memuji, dan senyuman tanpa prasangka. Jujur, aku juga tak tahu di mana tempatnya.

Di ujung sebuah tebing―tebing yang paling tinggi. Sebuah tebing di mana tubuh bisa merasakan sentuhan awan dan angin, silih berganti membawa pergi kesedihan, dan mengisi kembali kekosongannya dengan kebahagiaan. Di tebing itu tengah berdiri satu sosok. Satu sosok yang menurut mereka cacat dan hina, dan tak pantas berada di koloni mereka, yang katanya memiliki intelegensia tinggi. Koloni yang melihat dengan kacamata palsu, bukan dengan kacamata batin yang justru bicara tanpa kebohongan.

Namun kudengar, bulan dan bintang berkata lain. Mereka mengatakan bahwa tak melihat adanya kecacatan di tubuh sosok tersebut. Ya, aku sepenuhnya tahu, mereka (bulan dan bintang) memang tak bisa bicara, tidak bisa bergerak, apalagi memberikan kode seenaknya. Mereka itu bisu, tapi satu kelebihan yang mereka miliki. Mereka bicara dengan hati, bukan dengan mulut yang diatur oleh kinerja otak yang nyatanya tak seberapa.  Kadang tak jujur, munafik, dan pembohong.

Kini sosok itu tertutup sebuah bayangan. Mungkin ditutupi. Sebuah kabut yang melindunginya dari para penantang. Tak jelas sosoknya, apakah pria atau wanita. Semuanya kuserahkan pada imajinasi kalian. Kurasa daya khayal makhluk-makhluk yang disebut manusia seperti kalian itu lebih tinggi, lebih penuh teori. Sebab yang kutahu, kalian punya pikiran―punya akal yang selalu kalian banggakan. Tapi buktinya, tak ada. Tidak ada sama sekali. Pikiran kalian itu kosong. Tak ada gunanya, bahkan untuk kasta terendah yang disebut tikus sekalipun.

Dengan indra penglihatan yang dipenuhi oleh linangan air mata, sosok itu menatap kembali ke dasar lembah yang dipenuhi daratan air. Sepertinya, ia telah menemukan di mana kerajaan damai itu berada. Ia tersenyum lebar, lebih lebar dari senyuman yang terakhir kali ia perlihatkan ketika ia terlahir ke dunia. Ia mengangkat kedua tangannya ke atas, menembus gumpalan awan yang terus berarak. Rambutnya yang ikal dan bajunya yang penuh tambalan, tak menolak saat dibelai angin. Telapak kakinya terbuka, memperlihatkan goresan zaman yang telah dilaluinya.

“Sebentar lagi aku akan menjadi salah satu rakyat-Mu,” gumamnya pelan, namun tak menggema karena terhalau angin.
“Aku berharap tak ditolak lagi di kerajaan-Mu,” lanjutnya. “Ya... semoga begitu.”

Air mata yang tiba-tiba melepaskan pegangannya, langsung menghilang ditelan udara. Menyatu bersama uap air dan membentuk gumpalan awan baru.

Kedua kakinya melangkah tanpa beban, tangannya pun masih direntangkan, umpama sayap sang pengembara udara. Tubuhnya yang kurus, melayang dihempas angin dan terus meluncur ke bawah, melewati tiap lapis udara. Senyumannya masih dipertahankan dengan air mata tak lagi berlinang. Mengering karena kebahagiaan yang begitu mendalam. Tiba-tiba ia merasakan kehangatan merasuki tubuhnya, bagai kumpulan bulu tengah menyelimutinya, lembut dan penuh kehangatan.

Sedikit lagi aku tiba di kerajaan-Mu, katanya dalam hati. Hanya tinggal satu benturan kecil saja dan aku langsung menetap untuk selamanya di sana.

Beberapa meter mendekati daratan air, ia berkata, “Selamat tinggal dunia. Selamat tinggal penghuninya,” Ia tertawa pelan, “Semoga dengan kepergianku, kalian dapat merasakan ketenangan.”

‘Duarrr’ suara hantaman tubuhnya membahana di dasar lembah, di hamparan air yang kini beriak.

Saksi-saksi bisu diam tak berbuat apa-apa. Dan memang begitulah tugas mereka dari dulu. Hanya diam, membisu sambil menyaksikan setiap peristiwa yang terjadi di tengah-tengah.

Sedikit demi sedikit, gelembung berisi udara terakhir menghilang tersapu gelombang. Dan satu lagi sosok yang katanya cacat dan hina menghilang, terkubur oleh bisunya keadilan.

“Tentunya kalian sangat senang, benar kan wahai manusia?” Terdengar gema dari dalam danau, “Bagaimana menurutmu?”


by Afandi Muhammad