Rabu, 03 September 2008

Di Bawah Pohon Beringin Tua





Penulis : Afandi M.
Gendre : Kehidupan






MALAM itu, beberapa helai daun beringin tua menanggalkan diri dari ranting yang selama ini menopang hidupnya. Tanpa mengucapkan patah kata terakhir, atau sekadar salam perpisahan, mereka terus terombang-ambing oleh hembusan angin, selembut belaian seorang ibu, sehalus kasih Tuhan. Dedaunan itu terbalik, kemudian terbalik lagi, seolah-olah sedang melepaskan semua beban yang teramat berat yang selama ini terus menghantam pertumbuhannya. Satu yang dilakukannya bersama daun-daun lain, tak akan menyerah sampai akhir, akan bertahan hingga tangkai mungilnya tak mampu menahan lagi bobotnya, atau memang telah habis waktu bagi mereka melihat dunia dan segala isinya.

Daun-daun itu terus melayang jatuh, secara tak sengaja, salah satunya mampir di depan suatu sosok, memperlihatkan kebahagiaan yang tak pernah padam. Sosok itu menengadah, memperhatikan pohon yang kala itu menjadi peneduhnya dari malam. Pohon tua itu bereaksi, mengucapkan ‘hallo’ sebagai tanda perkenalan dengan tarian monolog ranting-rantingnya.

Sosok itupun membalas, menyunggingkan senyuman mistis yang ia punya, beralih menatap daun di depannya, sembari berkata, “Kasihan sekali nasibmu, tanggal di usia muda.”

Entahlah, apakah sebenarnya bulan molek di angkasa dapat mendeskripsikan sosok itu dengan tepat atau tidak, tapi setidaknya inilah yang bisa ia beritahukan; rambut sosok itu panjang terurai, dengan tiap helainya berwarna gelap namun kadang bercahaya jika bulan berniat memfokuskan sorotannya. Bola matanya indah, hitam dengan sedikit lingkar kekuningan yang membatasi warna hitam di bagian tengah, diselimuti kelopak berdaging dengan kulit sewarna tembaga yang menawan. Alisnya hitam lebat, berderet sempurna. Hidungnya lancip, dan bibir yang tak terpoles gincu atau pewarna apa pun, original, pucat, makin menambah mungil bentuknya. Bulan saja kelihatan iri waktu menyampaikan deskripsi fisik sosok itu. Samar-samar, dari balik punggung dan gaunnya, sepasang sayap, entah hanya imajiner ataupun merupakan refleksi atas sesuatu, karena sering kali sepasang sayap itu tak ingin memperlihatkan dirinya, gelap, mirip bulu angsa tetapi dengan tiap helaian hitam yang mengilat, tampak serasi dengan warna gaun semata kaki yang saat itu dikenakannya. Telapak kakinya telanjang, dipenuhi oleh butiran-butiran pasir dari neraka.

Sosok itu, setelah entah bagaimana proses awalnya, merasa percakapan antara dirinya dan pohon beringin (dengan sulur-sulurnya yang banyak menjuntai) telah usai, berpaling ke tubuh di sampingnya (tak jelas apakah itu tubuh, jiwa, atau roh, tapi mari kira sebut saja dia sebagai jiwa, karena itu terasa layak dan tak melanggar aturan apa pun)―jiwa dengan rantai yang mengikat pergelangan kakinya. Sosok yang tengah berdiri itu kembali menyunggingkan senyuman, kini tak dapat dijelaskan apakah senyuman itu termasuk mistis atau tidak, mungkin itulah keahliannya, bisa memanipulasi senyumannya, sembari berkata pelan, “Kenapa kau diam? Padahal tadi saat aku memisahkanmu dari tubuhmu yang terbujur kaku di jalanan karena ditembus timah panas, kau berontak setengah mati dan tak mau keluar dari jasadmu itu,” ia memberi jeda pada kalimat berikutnya, “Apa kau tiba-tiba berubah menjadi makhluk yang bisu? Menyedihkan sekali kau ini, bahkan angin pun bisa bicara.”

Jiwa itu tertawa pendek, terdengar seperti pasrah atau sebaliknya, kemudian membuka mulutnya, “Aku masih belum menyadari kalau aku ini sudah mati. Jujur, aku sendiri tak sanggup menerimanya, meski nyatanya memang tak ada yang menangisi kematianku, tapi bagaimanapun itu penolakanku, semua ini sudah ditakdirkan, bukan? Aku tak bisa apa-apa lagi.” Dan kemudian, entah kata-kata setelahnya itu merupakan sebuah permintaan atau hanya seruan pengharapan, ia kembali bersuara, lemah, “Tapi setidaknya, apakah aku punya pilihan? Yah, kita semua punya pilihan, kan? Lagipula aku merasa belum menentukan pilihanku.”

“Maksudmu?” tanya sosok bergaun hitam itu, melangkah mendekat, berniat duduk, seraya menatap tajam jiwa yang ada di sampingnya. Sayapnya secara tiba-tiba tak terlihat lagi. Sayap imajiner itu menghilang begitu saja. Mungkinkah sayap hitam itu masuk ke punggungnya, atau malah menyamarkan diri serupa udara hingga tak nampak lagi, atau jangan-jangan, perubahan emosi pemiliknya telah memudarkan keberadaan sepasang sayap itu?

“Apakah aku masih punya pilihan?” jiwa itu mengulangi singkat, sepenuhnya berharap kalau jawaban yang akan ia terima adalah jawaban yang memang ia inginkan.

Sosok itu menaikkan sebelah alisnya, “Pilihan antara cahaya atau kegelapan, apa itu maksudmu?”

Jiwa yang dirantai itu terdiam, tak berkata apa pun, sebaliknya, sosok di sampingnya hanya tertawa, seakan-akan setiap huruf maupun kata yang diucapkan jiwa itu hanya sebuah lelucon.

“Apakah kau berbuat kebaikan semasa hidupmu?”

Jiwa itu kembali tak menjawab. Ia malah menengadah ke langit yang tak dihalagi cabang-cabang beringin, memperhatikan tiap bintang yang seolah-olah tersenyum kepadanya. Menyemangatinya dengan memancarkan cahaya yang lebih terang dari biasanya.

Sosok itu kembali tertawa tatkala merasakan kemenangan berada di pihaknya. Kini, tak ada hal menawan yang bisa terlihat dari wujudnya. Sangat berbeda dari wujudnya tadi. Tawa sosok itu keras sekali, merasakan kehadiran lelucon tengah menggelitiknya. Akhirnya, setelah puas dengan tawanya, ia mengambil sebuah buku bersampul hitam yang entah berupa keajaiban, bisa tergeletak di sampingnya. Dengan perlahan, ia membuka tiap lembar kertas catatannya, mencari sebuah nama.

Ia berhenti di lembar pertengahan catatan tersebut setelah menemukan apa yang dicarinya.

“Kurasa kau pasti setuju dengan apa yang akan kukatakan ini. Dari yang kubaca, kau tak pernah berbuat kebaikan. Yang kutahu dari kisah hidupmu adalah, kau itu seorang manusia yang arogan, tak bisa mengontrol emosi, bekerja sebagai pencuri dan perampok, penjudi, suka berkata kasar, menjadi pemerkosa, bahkan tak segan-segan membunuh. Kau sudah sering keluar masuk penjara sejak kau kecil. Tak ada catatan baik dari kelakuan-kelakuanmu. Yang ada hanya tinta merah di setiap perbuatanmu.”

Sosok itu diam, terkejut, tatkala melihat sebuah catatan hitam kecil tertulis di sudut kiri bawah bukunya. Kecil sekali tulisan itu hingga hampir-hampir tak bisa terbaca olehnya.

Bagaimana bisa?

“Hmm... tapi ini takkan cukup untuk memasukkanmu ke dalam cahaya. Tak mungkin bisa dengan hanya melakukan perbuatan sekecil ini. Itu sudah pasti. Kau tak akan pergi ke sana. Kau tentunya akan ikut bersamaku menjadi penghuni kegelapan. Kau akan menjalani semuanya di sana.” Sosok itu tertawa lagi setelah menutup catatannya. “Persiapkan dirimu untuk menemui semua teman-temanmu di bawah sana. Kau akan mendapat tempat yang paling dasar atas semua perbuatan yang telah kaulakukan.”

Sosok itu berdiri. Buku catatan ia genggam di tangan kirinya. Hembusan angin seolah takut membelai rambut dan gaunnya sekarang, malah memilih menghentikan lajunya untuk sesaat. Sepasang sayap sosok itu tiba-tiba muncul lagi, kali ini disertai bias-bias kegelapan yang ada pada setiap kepakannya. Ia menengok, tersenyum keji pada jiwa di belakangnya, menarik ujung rantai yang mengikat kaki jiwa itu untuk menyuruhnya berdiri. Kemudian seperti sekali jentikan jari, sebuah pintu muncul di hadapan mereka. Yah, muncul begitu saja dengan rentangan waktu yang begitu cepat, hingga melebihi kecepatan apa pun yang bisa dan tak mampu terbayangkan. Pintu itu mirip pintu gerbang menuju ke dunia lain, beda dimensi. Secara logis, dunia yang tak akan bisa terjamah oleh ilmu pengetahuan atau semacamnya. Tidak sebelum jiwa ditarik keluar dari jasadnya.

Suasana malam berubah hening, kelam. Tak ada suara satu makhluk pun yang terdengar selain suara pohon beringin yang bergemerisik pilu, kecewa. Keceriaan malam yang sebelumnya tercipta seperti tertelan oleh sesuatu yang menakutkan. Bahkan bulan pun tertutup awan, dan cahaya bintang-bintang pun satu-persatu meredup. Begitu menakutkan hingga angin pun laksana pergi menjauh, air berhenti mengalir, anjing-anjing di seluruh penjuru tempat berhenti menggonggong, serangga-serangga berhenti bermesraan, dan kuncup bunga tak berani bermekaran.

Dari dalam gerbang, terdengar isakan dan teriakan, namun suaranya lebih mirip jeritan minta ampun. Jeritan yang belum sekalipun pernah terdengar di dunia. Jeritan-jeritan yang jelas-jelas dapat mengusir kebahagiaan dan menggantinya dengan kepedihan, atau bahkan dapat memisahkan keceriaan dan kesedihan sekaligus di dua tempat yang sama buruknya. Melebihi suara tangis kelaparan atau jeritan setelah perang usai, yang hanya meninggalkan kesengsaraan dan beragam bentuk penderitaan lain.

Suara pecutan dan hantaman benda dari dalam pintu itu bergantian, jauh lebih keras dari suara hantaman bom yang melanda setiap negara yang terlibat perang, lebih sering ketimbang rentetan senjata, atau lebih dahsyat dari letusan gunung merapi yang debu vulkaniknya memenuhi udara. Semua yang sudah pernah dialami manusia itu tidak ada apa-apanya dengan yang ini. Yang ini jauh berkali-kali lipat lebih besar dan berpangkat-pangkat lebih mengerikan.
“Ayo masuk,” ujar sosok malaikat itu memaksa. “Teman-temanmu sudah lama menunggumu di dalam.” Bibirnya menyeringai lebar. Sangat puas akan intimidasinya.

Dengan langkah berat, jiwa itu berjalan menuju pintu. Bunyi gemericing rantai ikut menyertai kepergiannya. Namun tak tahu kenapa, tiap langkahnya semakin berat, gerakan tangannya kaku lalu berhenti, dan langkahnya lebih berat lagi setelahnya. Kakinya menolak untuk masuk ke pintu tersebut, sementara dari dalam, lidah api mulai menyambar keluar, tak sabar menunggu sedetikpun kehadirannya.

Sebuah cahaya keputihan muncul dari atas langit, semakin membesar dan meluas hingga membentuk sebuah ruang seperti pintu. Kegelapan yang sebelumnya menutupi tempat itu tiba-tiba sirna. Angin kembali berhembus, bulan dan bintang kembali bercahaya, para serangga, meski masih agak ragu, bermesraan di balik sarang-sarang mereka, dan yang lebih mengejutkan lagi, kebahagiaan langsung tercipta beratus hingga beribu kilometer jauhnya.

Sosok bergaun hitam dan jiwa itu diam terpaku. Entah benar atau tidak, mereka seperti menikmati tiap sinar yang menyentuh kulit mereka. Sinar yang bertabur serbuk-serbuk mimpi dan kedamaian. Terasa hangat hingga memenuhi kerongkongan dan akhirnya mengisi paru-paru yang lapang.

Satu sosok lagi, namun bercahaya, melangkah keluar dari pintu tersebut. Langkahnya anggun, turun melalui tangga yang dibentuk udara, hingga akhirnya beberapa detik kemudian, ia memijakkan kakinya di atas tanah. Sayap imajinernya yang berwarna keputihan mengembang, memamerkan tiap helai bulu halusnya yang tak bernoda dari surga.

“Kenapa kau datang ke sini? Jiwa ini bagianku. Kau sudah tahu itu, kan?” ujar sosok malaikat yang bergaun hitam, ketus.

“Apa kau lupa, jiwa-jiwa di alam semesta ini bukan bagian siapa pun, kecuali Dia.” Sosok itu tersenyum, dan itu sungguh menenangkan. “Aku datang untuk menjemputnya. Tempatnya bukan berada di dalam kegelapan, sebab dia sudah membuat pilihan terakhirnya, jauh sebelum dia berada di sini bersama kita.”

“Pilihan? Apa maksudmu dengan kata itu? Aku muak tahu,” sosok tadi tak percaya dan kemudian tertawa. Mulutnya dipenuhi oleh deretan gigi-gigi yang menghitam dan tajam, sekiranya dapat memotong apa saja yang masuk ke dalamnya. “Tidak... tidak, tak mungkin dia punya pilihan. Semuanya sudah ditetapkan dan dia akan ikut bersamaku,” jelasnya. “Tempat terbaiknya adalah bersamaku. Lagipula tak ada hal baik yang pernah dia perbuat.” Sosok malaikat itu berbohong.

Jiwa yang sedang dibicarakan itu terdiam, hanya menunduk, bagaikan menerima saja dengan pasrah semua keputusan yang dicapai.

Sosok lain, yang bercahaya itu, tersenyum.

“Jangan berbohong. Kurasa, kau sendiri telah membacanya di catatanmu, dan catatan itu tidak pernah berbohong, kan. Dia pernah berbuat hal baik meskipun itu hanya sekali dalam seumur hidupnya.”

“Tapi itu tidak cukup,” sosok hitam itu tidak setuju. Ia tetap bersikeras bahwa jiwa itu harus ikut dengannya―ke dalam kegelapan.

“Tetapi, bagi-Nya, itu saja sudah cukup. Hal kecil yang mungkin tak pernah terpikirkan oleh mereka, tetap tercatat sebagai sesuatu yang berharga bagi mereka. Seingatku, dia telah memberi makan ikan-ikan yang kelaparan di sebuah kolam di taman bermain anak-anak di tengah kota. Walaupun perbuatan itu tidak seberapa di matamu, namun berbeda, hal itu besar artinya di mata Penciptamu,” jelas sosok bercahaya bergaun putih.

“Bagaimanapun caranya dia harus tetap ikut denganku. Tak peduli apa pun itu.”

“Meskipun kau mengacuhkan perintah dari-Nya?”

“Kau tahu, aku sudah bosan dengan semua ini. Sudah jadi takdirnya kalau dia harus ikut bersamaku ke dalam kegelapan. Jangan menghalangi jalanku, jika kau tak mau musnah.”

“Aku tak takut, bukan kau yang menentukan aku akan musnah atau tidak.”

Sosok hitam itu mundur, geram, bola matanya yang tadi tampak menawan, berubah menjadi hitam pekat dengan rambut yang ikut berganti menjadi pijaran api yang siap menyambar tanpa ampun. Rumput yang dipijaknya langsung layu, mengering, kemudian mati dengan daun-daun yang menghitam.

Selang beberapa detik, ketika sosok hitam itu bersiap menyerang, tiba-tiba sebuah sinar putih muncul dari langit. Terus turun bagai sinar laser dari luar angkasa, hingga pada akhirnya, cahaya itu menghantam sosok bergaun hitam, membuat seluruh tubuhnya terbakar dan dalam sekejap mengubahnya menjadi serpihan debu-debu kristal. Rumput bekas pijakannya, secara ajaib, kembali menghijau. Jauh lebih hijau dari sebelumnya.

Jiwa itu tercengang melihat peristiwa yang terjadi di hadapannya, tak percaya atas apa yang baru saja dilihatnya. Semenit kemudian sosok bersayap putih itu berkata dengan nada bijaksana, “Kemarilah, ikutlah bersamu ke dalam cahaya.”

“Te... terima kasih, tapi bagaimana aku bisa...”

Sosok itu menyentuh pundaknya dan serta-merta, jiwa itu diliputi kehangatan yang tak terkira banyaknya.

“Kau tak akan pernah tahu dengan pasti, apa yang baik dan yang buruk itu sesungguhnya. Kau―kalian semua hanya menjalaninya. Kalian membuat pilihan dan itulah pilihan kalian. Tapi apa kau tahu, pilihan tidak hanya datang sekali, tapi mereka datang berkali-kali, hanya sekadar untuk mengingatkan kalian bahwa pilihan yang terdahulu kalian ambil adalah pilihan salah, atau jika kalian mengambil pilihan yang baru, itu akan merubah sesuatu, semakin memperbesar diri kalian di mata-Nya. Jadi, pilihanmu telah menentukan di mana tempatmu berada selanjutnya.” []


by Afandi Muhammad

1 komentar:

Anonim mengatakan...

ah, deskripsi yang cantik kali ini... meski alur cerita yang demikian, pembaca masih dapat menikmati setiap kata-katamu kk...
hmm.. hanya saja aku hampir salah tangkap di awal-awal cerita, mungkin hanya karena keteledoranku saja. he he he.. :)