Selasa, 02 September 2008

Sejumput Kenangan Dariku Untuk Indonesia

Penulis : Afandi M.
Jenis : Artikel

SUDAH 63 tahun sejak proklamator kita, Ir. Soekarno dan Moh. Hatta untuk kali pertama mengumandangkan proklamasi yang melambangkan kemerdekaan bangsa ini, bangsa Indonesia. Setiap tanggal 17 Agustus berbagai macam perayaan yang melambangkan kemerdekaan, dirayakan dengan penuh suka cita dan penuh kebahagiaan karena semua rakyat Indonesia merasa telah merdeka.

Memang benar kita telah merdeka. Merdeka dalam artian terlepas dari penjajahan para penjajah yang telah berlangsung selama ratusan tahun yang lalu. Sekarang arti kemerdekaan bukan cuma mencakup hal tersebut. Banyak sekali arti dari kemerdekaan yang sebenarnya. Salah satu dari arti kemerdekaan yang kuketahui adalah saat kita telah terlepas dari keterbelakangan dan kebodohan.


Coba kita tengok sedikit ke masa lalu. Masa di mana isakan tangis, teriakan ketakutan, kekhawatiran, dan kebengisan penjajah menjadi irama penguji jiwa tiap paginya di tanah Indonesia tercinta ini. Mereka—para penjajah, menebar teror bak setan ke seluruh penjuru Indonesia. Menakut-nakuti setiap orang dengan ancaman bedil yang mengacung di kepala. Jika tidak menurut, nyawalah taruhannya. Keluarga-keluarga yang lemah dan mencoba melawan, dipisahkan. Ayah dan anak laki-lakinya dijadikan pekerja rodi tanpa bayaran sepeser pun untuk membangun tonggak kerajaan mereka, anak wanita yang baru beranjak dewasa dipaksa melayani nafsu binatang para tentara gila, sementara sosok ibu yang dibiarkan menunggu di rumah dengan berbagai perasaan yang berkecamuk dan campur aduk, menangis dan tersiksa hingga hilang nyawanya.

Kadang jika aku kembali mengingat kejadian yang diceritakan oleh Kakekku dulu (tentunya saat ia masih hidup di dunia ini), sekujur tubuhku merinding dan membeku bagai tertimbun di dalam longsoran salju bermeter-meter di bawah tanpa selimut penghangat. Ia menceritakan dengan menggebu-gebu semangat perjuangannya yang kala itu berkobar seumpama lidah api matahari dan menyembur bagai magma ke udara seperti letusan gunung Krakatau. Darah yang berceceran serta onggokan-onggokan mayat yang sudah tak jelas lagi bentuknya berserakan di mana-mana, layaknya sampah di pinggir jalan. Seruan kemerdekaan harus dibayar dengan darah. Tapi semua itu tak mengurangi semangat perjuangan yang menggelora di setiap jiwa para pejuang, termasuk Kakekku. Indonesia harus tetap mendeka walau nyawa taruhannya. Di benak pejuang telah tertanam rasa cinta tanah air yang tinggi dan sebuah semboyan ‘mati satu tumbuh seribu’. Bayangkan, mereka tak takut mati.

Bagaimana jika peristiwa itu di hadapkan kepada rakyat Indonesia zaman sekarang? Rakyat Indonesia yang katanya sudah maju dan berkembang. Semua itu omong kosong! Cuma kedok untuk menutupi ketidakmampuan dan ketakutan mereka kehilangan nyawa. Aku tidak yakin, mereka akan berani menghadapi kematian dengan tangan terbuka seperti nenek moyang kita dahulu. Semangat perjuangan manusia modern sekarang ini telah pupus dan terkikis oleh budaya-budaya tolol yang tetap mereka pertahankan. Tengoklah anak muda sekarang. Mereka semua telah terjerumus ke lembah hitam, lembah yang pastinya sangat sulit untuk keluar dari dalamnya. Banyak sekali anak-anak muda yang menjadi pemakai maupun bandar narkoba, gadis-gadis polos yang berubah profesi sebagai pelacur jalanan, bahkan public figure dan pejabat yang seharusnya menjadi contoh yang baik untuk masyarakat, berbondong-bondong untuk melakukan pelanggaran dan menumpuk harta. Bagaimana jadinya bangsa ini jika tanggung jawab diembankan kepada orang-orang seperti mereka.

Ah, kebusukan Indonesia saat ini mulai tercium. Bentuk boroknya sudah mulai kelihatan. Busuk sekali! Menjijikkan! Tapi menurutku, bukan Indonesia-lah yang salah. Bukan bangsa ini. Kenapa harus Indonesia yang tak tahu apa-apa dihujat sedemikian parah dan rendah. Para petinggi dan orang-orang tolol-lah yang semestinya dicekal dan direndahkan. Orang-orang seperti mereka yang bersembunyi dan bernaung di bangsa Indonesia yang suci ini.

Menggunakan kesucian itu sebagai tameng atas kesalahan mereka. Pantas saja Indonesia tidak maju-maju, lihat saja tingkah petinggi-petingginya. Apakah tindakan yang benar jika tidur saat sidang DPR atau MPR sedang berlangsung? Apakah mereka tak tahu caranya bermusyawarah yang benar? Apakah benar kalau seorang pemimpin mengingkari janjinya setelah ia terpilih menjadi sang penguasa? Jangankan para petinggi, pegawai negri sipil saja belum tentu becus untuk melaksanakan kewajibannya. Yah, instansi milik pemerintah itu hanya menampung orang-orang yang tak berguna. Sejujurnya, mereka masuk ke dalam lembaga itu bukan karena kemampuan mereka. Uang, itulah inti dari semuanya. Mereka yang kepintarannya tak seberapa dengan adanya kekayaan materi berupa tumpukan uang akan sangat dihargai martabatnya layaknya raja.

Seandainya aku hidup di zaman dahulu, masa di mana uang tidak ada. Mereka menggunakan cara barter untuk memperoleh sesuatu. Setidaknya itu lebih baik daripada sekarang.

Jika dipikir-pikir, memang begitu banyak kebusukan orang-orang yang mendiami bangsa tercintaku ini. Aku ingat saat Tuhan mencoba bangsa ini. Diuji dengan pasang berupa Tsunami, gempa Bumi, letusan gunung berapi, longsor, atau kecelakaan pesawat yang hingga saat ini menurutku belum jelas akibatnya. Indonesiaku menangis. Meneteskan air mata pilu akan sifat orang-orang yang mendiaminya. Tuhan merasakan kesedihannya dan mencoba orang-orang itu dengan berbagai jenis kesulian. Apakah mereka pantas ada di Indonesia atau tidak? Pataskah mereka menjadi penghuni bangsa suci ini? Tapi, Tuhan terlalu baik. Dia tak tega melihat orang-orang itu menitikkan air mata dan mengeluarkan jeritan histeris dari mulu-mulutnya. Bagaimanapun orang-orang itu adalah hamba-hamba yang dicintai-Nya. Tuhan tak mungkin setega itu. Dia-lah Maha Penyayang.

Sekarang, bangsaku mencoba bangkit. Usia yang kini menginjak 63 tahun tidak muda lagi untuk sebuah bangsa. Indonesia lebih cocok diumpamakan sebagai bayi yang saat ini baru belajar merangkat lalu nantinya berjalan. Toh, di antara orang-orang tolol tadi masih ada yang mencintai Indonesiaku ini dengan setulus hati. Rela berkorban apapun untuk membangkitkannya dari keterpurukan. Mereka-lah orang-orang yang setia berdiri hingga akhir menjaga Indonesia. Orang-orang yang bekerja tanpa pamrih untuk Indonesia. Orang-orang yang tetap kuat dan tegar menyongsong masa depan yang mungkin satu waktu akan cerah, secerah langit biru di kala hujan reda.

Yang menjadi pertanyaanku sekarang adalah kapan? Kapan lagit Indonesia itu akan cerah? Kapan Indonesia benar-benar merasakan kemerdekaan yang seutuhnya? Kapan? Ah, aku sadar terlalu banyak bicara. Mulut dan tangan ini terlalu bersemangat jika bercerita tentang Indonesia. Banyak sekali kenanganku yang tertoreh di bangsa ini. Pasti semangatku ini diwariskan oleh Kakekku. Yah, Kakekku yang sekarang tengah melihatku dari surga sana. Orang yang selalu menguraikan senyuman terbaiknya untuk Indonesia. Orang yang selalu mengumandangkan bahwa Indonesia tetap jaya. Merdekalah Indonesia.


by Afandi Muhammad

Tidak ada komentar: