Senin, 01 September 2008

Malam ( The End of Night )




Penulis : Afandi M.
Gendre : Kematian dan Kehidupan




MALAM itu lampu jalan bersinar tak seperti biasanya. Cahayanya yang kekuningan menyebar ke segala penjuru arah, membentuk penerangan penunjang cahaya bulan. Beberapa ngengat terbang mengelilingi sumber cahaya itu. Bentuknya menyerupai pesawat jet buatan Amerika Serikat―F/A-18 Hornet yang merupakan pesawat tempur serang yang dirancang untuk bisa menyerang target darat maupun udara, juga dilengkapi kemampuan untuk ditempatkan pada kapal induk. Ngengat itu berakrobatik dengan sayapnya yang kokoh dan lincah serta warnanya yang serupa dengan kegelapan malam. Kerangka tubuhnya yang aerodinamis membelah tiap desiran angin, membentuk seperti ruang hampa udara.

Jalan sudah tampak lengang. Hanya suara jangkrik yang terdengar mengalun bersama suara angin. Derap langkah terdengar beraturan, seperti bergema. Seseorang berjalan sendiri dalam balutan jaket coklat bergaris dengan tas yang melingkari satu sisi bahunya.



Gadis itu sangat cantik, dengan kecantikan yang amat tidak biasa. Rambutnya yang berwarna kuning keemasan terlihat membingkai wajahnya, seperti kabut. Kedua matanya yang terletak berjauhan, berwarna kelabu jernih. Mulut dan dagunya menyerupai Madonna Italia dari zaman kuno.

Sejenak keheningan yang timbul begitu tajam, namun tampaknya gadis itu mengacuhkannya.
“Ini akibatnya kalau aku menerima piket hingga tengah malam,” keluhnya. “Tak ada angkutan umum yang berani beroperasi pada jam segini.”

Ia terus berkomentar pada diri sendiri. “Mengapa tadi aku menolak tumpangan Andri dengan motornya? Jika saja aku menerimanya, aku tak harus berjalan hingga ke tempat kosku seperti sekarang.”

Gadis itu kembali diam. Tampaknya ia sudah menyadari keheningan yang sedang menyelimuti sekitarnya. Sebuah suara dari dalam semak mengagetkannya, hingga membuatnya berteriak. Seekor tikus dengan ukuran yang lumayan besar berlari melintas di depannya, kemudian melompat ke selokan layaknya seorang pelompat indah yang sedang mengikuti Olimpiade memperebutkan mendali emas.

“Dasar, tikus sialan!” umpatnya kesal sambil memegang dada.

Dengan mimik wajah waspada, ia berkata, “Mengapa malam ini begitu berbeda dengan malam-malam sebelumya? Kekosongan jalan ini terlihat begitu menakutkan, begitu sunyi. Apa karena sudah tengah malam?”

Kedua tangannya ia dekap melingkari dada, mencoba mengusir sebuah rasa yang memaksa masuk ke dalam dirinya. Langkahnya dipercepat dan makin dipercepat seiring dengan langkah berikutnya dilakukan. Namun langkahnya kembali pelan ketika mendengar sebuah suara. Keremangan di depannya menimbulkan siluet sosok seorang pria compang-camping lusuh duduk bersandar di tembok. Mirip pengemis, namun saat makin mendekat ia menyadari bahwa pria tua itu adalah seorang pemain biola jalanan.

Tiap gesekannya mirip komposisi musik utuh. Setiap berlanjut ke nada berikutnya, nada-nadanya mengalun aneh, mirip dangan nada-nada peralihan yang lamban dalam gesekan senar biola. Dan semakin aneh sesudahnya.

Gadis itu makin mendekat.

Aneh, mengapa laki-laki itu bisa memainkan biola dengan nada-nada seperti itu. Apakah itu adalah sebuah keahlian? Atau anugerah? Jangan-jangan itu hanya insting? pikir gadis bernama Amanda itu.

Entah mengapa, nada-nada itu seakan memiliki sayap. Amanda memperhatikan sebentar ketika pria tua tadi kini bersenandung. Suaranya yang serak terdengar tidak merdu sama sekali, lebih mirip aungan atau lolongan srigala menyambut kehadiran bulan purnama. Seperti suara tenor dalam sebuah kontes seriosa.


Semua akan mati dengan satu kejadian.... yang menjadi awal kematian...
Semua akan pergi... pergi bersama cahaya... dan terbang menembus awan...
Aku juga akan merasakan kematian... segera... segera... segera...
Hidup akan berakhir...
Selamat tinggal dunia... Selamat tinggal semua...


Tiap baris liriknya membuat dirinya ngeri, begitu menusuk ke jiwa, dan membuat Amanda kembali berfikir tentang kematian. Satu kata yang begitu sakral untuk disebutkan di muka umum. Jujur dalam hatinya, ia mengakui bahwa ia sendiri takut mati―amat sangat takut terhadap kematian. Kematian yang datang dengan kecepatan dan kepastian tak kenal ampun yang mengerikan, tak pandang bulu pada yang miskin ataupun kaya. Semuanya sama di mata kematian.

Amanda mempercepat langkahnya, tapi rasa takut akan kematian itu masih tetap dirasakannya, mengiringi tiap detak langkahnya, menyelimutinya dalam cengkramannya yang dingin membekukan. Ia lalu berbelok di sebuah trotoar yang terang benderang, berupa jalan sempit yang diapit tembok-tembok tinggi yang merupakan jalan pintas menuju tempat kosnya.


***


Malam berikutnya, Amanda kembali pulang tengah malam karena tugas piket yang dibebankan kepadanya. Sekali lagi ia pulang berjalan kaki. Rupanya Andri tidak masuk hari ini. Salah satu teman sekerjanya mengatakan bahwa ibu Andri masuk rumah sakit akibat infeksi saluran kencing dan harus diopname.

Semua teman sekerjanya telah pulang duluan. Ada yang dijemput oleh suami atau keluarga. Sebenarnya, ada teman sekerjanya yang membawa kendaraan, tapi ia malu meminta tumpangan. Amanda adalah tipe wanita yang tidak banyak bicara―sangat pendiam, mungkin itu yang menyebabkannya tidak terlalu dekat dengan rekan-rekan sekerjanya, terkecuali Andri yang memang terkenal pandai bergaul dengan semua orang.

Saat tiba di trotoar, ia menengok kiri dan kanan, bersiap menyeberang. Tak ada kendaraan sama seperti malam sebelumnya. Jalan utama itu begitu sepi. Amanda menyeberang dengan perlahan. Langkahnya beraturan, bergerak konstan dan berirama seperti detak jantungnya saat itu. Namun semua itu buyar ketika sebuah klakson mobil menderu keras memekakkan telinganya. Suara mendecit terdengar kemudian. Untung saja meleset. Mobil itu berhenti tiba-tiba, seakan tidak mau mencari masalah Amanda mempercepat langkahnya. Di belakangnya, orang-orang bermunculan secara ajaib.

Amanda terus berjalan menyusuri jalan biasanya. Ia bersyukur sekali. Untung saja, ujar batinnya.

“Kenapa aku mesti lari tadi?” gumamnya kesal. “Bukankah pengemudi sialan itu yang salah? Sebelumnya aku tak melihat ada mobil sama sekali.”

Ia masih tetap mengeluh. “Tampaknya pengemudi itu mabuk. Semoga saja dia kena razia dan ditangkap Polisi,” katanya mengutuk.

Kembali di telinganya mengalun sebuah irama biola. Seperti irama lagu yang didengarnya kemarin. Ia langsung memperhatikan sekeliling, mencari sumber suara. Tak ada. Ia tak menemukan sumber suara itu. Amanda kembali menajamkan matanya. Di tempat yang sama, di pojokan sebuah toko, seorang pengemis duduk bersandar sambil menggesek tiap senar biolanya.

Lagi-lagi pria tua itu, megganggu saja. Buat apa dia memainkan biolanya? Toh tidak ada yang mendengar dan memberinya uang. Membuang tenaga saja
, pikir Amanda. Ia mencoba mengacuhkan dan berjalan melewati pria tua itu.

Tiba-tiba ada suara yang memanggilnya dari arah belakang. “Hei, tunggu sebentar!”
Amanda menghentikan langkahnya dan menengok. Pria itu bergerak perlahan sambil menenteng biolanya berjalan ke arah Amanda. Namun aneh sekali, tak terasa pria itu telah sampai di hadapan Amanda, padahal baru saja wanita itu mengatupkan mata dan kini pria tersebut sudah berada di depannya. Aneh bin ajaib. Bagai air yang dengan cepat merambat pada pori-pori kapas saat basah atau cahaya yang dibiaskan oleh prisma menjadi tujuh warna yang berbeda. Begitulah pengandaian yang tepat menurut Amanda mengenai kedatangan sosok itu ke arahnya.

Dengan jelas, kini Amanda bisa melihat sosok pria itu. Rambutnya panjang, kusut, dan acak-acakan tak karuan. Hidungnya pesek, kulit bibirnya pecah-pecah, dan saat tersenyum, ia menampakkan deretan giginya yang hitam dan berlubang di sana-sini.

“Ada apa kau memanggilku?” kata Amanda. Nada suaranya terlihat merendahkan sosok yang tengah berdiri di depannya. Menurutnya pria itu tak pantas untuk dihargai dan dihormati sekali pun.

Pria itu hanya tersenyum, lalu berkata, “Kau mau kemana?”

Sebelah alis Amanda naik. “Buat apa kau tahu. Itu urusanku sepenunya,” katanya dengan penekanan penuh di akhir katanya.

Pria tua itu menggeleng, “Tidak, tidak... sekarang itu menjadi urusanku.”

“Apa maksudmu?” Amanda membentak. Ia semakin kesal. Pria tua itu sudah berhasil meluluhkan kesabaran Amanda dan kini emosinya-lah yang mengambil alih.

“Rupanya kau belum menyadarinya ya. Memang sungguh banyak orang sepertimu yang kutangani. Umumnya mereka tidak menyadari kematiannya.”

Amanda makin tidak mengerti. Ia merasa telah dipermainkan dan dipermalukan oleh seseorang yang tak pantas melakukannya. “Jika kau menggangguku, aku akan teriak,” ia mengancam.

“Silahkan saja. Tak ada yang akan mendengarmu, karena kau sudah meninggal,” jelas sosok itu.

Kalimat itu seperti sambaran petir yang mengenai tubuhnya, membantingnya berulang kali kemudian mencabik-cabik seluruh organnya. Dingin langsung menggerayangi tubuhnya.
“A... apa... ma... maksudmu?” suaranya bergetar.

“Kau telah tewas akibat kecelakaan tadi, dan sekarang kau telah berwujud roh,” sosok itu menjelaskan.

“Bagaimana bisa...” kata itu spontan keluar dari mulut Amanda.

“Sebenarnya, tadi kau tidak terserempet mobil itu. Kau tertabrak dan langsung tewas saat itu juga. Rohmu langsung keluar dari ragamu, membuatmu tak sadar akan apa yang telah terjadi.”

Memang Amanda ingat, mobil yang menyerempetnya itu tiba-tiba berhenti dan orang-orang langsung berdatangan. Ia mengira saat itu supirnya akan dimarahi habis-habisan tapi ternyata mereka malah mengerumuni jasadnya yang tak bernyawa lagi. Ia masih belum bisa menerimanya.

“A... aku belum mau mati.” Matanya berkaca-kaca dan sedetik kemudian air matanya langsung bergulir menuruni pipinya.

Sosok itu berbicara dengan lembut, “Ingat, Amanda. Kematian adalah jalan lain yang harus kita tempuh. Semua orang akan mati dan kembali ke tangan Sang Pencipta. Entah kapan waktunya, manusia tak akan diberitahu itu,” ia berhenti sebentar kemudian melanjutkan, “Manusia hanya bisa menerimanya dan tak mungkin bisa menolak. Maka selama kau masih diberi kehidupan di dunia, manfaatkanlah hidupmu dengan sebaik-baiknya. Laksanakanlah perintah-Nya dan jauhilah semua larangan-Nya.”

Sosok itu lalu menutup perkataannya, sembari menyunggingkan sebuah senyuman. "Kematian adalah kematian. Kematian adalah akhir dari kehidupan sebelumnya dan merupakan awal dari kehidupan berikutnya."

Dalam kecepatan melebihi milidetik, sosok itu sudah berubah ke wujud sebenarnya. Sesungguhnya, ia berubah menjadi cahaya gelap namun tetap bersinar dan melayang-layang di udara. Di depannya, Amanda masih menangis, pilu sekali. Entah sedang menyesali hidupnya atau menyesali kematiannya.


by Afandi Muhammad

Tidak ada komentar: