Minggu, 07 September 2008

Kenangan Di Sebuah Kedai Kopi

Penulis : Afandi M.
Gendre : Cinta

Kulihati tiap detak jam yang kuletakkan di atas mejaku itu melaju sangat lambat, seumpama ketiga jarum jam itu dengan malasnya melakukan tugasnya untuk mengurusi sang waktu. Aku menghela napas panjang, menandakan bahwa aku tengah menunggu dengan tidak sabar akan sebuah pertemuan. Ya, pertemuan yang telah membuka kedua mataku yang selama ini selalu buta akan keindahan. Kabur akan sebuah mahakarya agung.

Sehari yang lalu aku telah membuat janji dengan gadis itu di sebuah kedai kopi. Sebut saja nama kedai itu, “Ngopi Doeloe”. Kami sepakat bertemu sore keesokan harinya, sekalian buka bersama di tempat itu.

Aku ingat pertama kali aku berkenalan dengannya di sebuah komunitas sastra di internet. Dan sudah beberapa kali kami bercakap-cakap melalui perantara Yahoo Massanger yang sungguh memberikan fasilitas yang luar biasa bagi penggila internet sepertiku. Dari percakapan kami itu, aku tahu bahwa dia sudah bekerja (tapi aku tak tahu jenis bidang yang digeluti perusahaannya). Anaknya cukup asik diajak bercanda dan setelah beberapa kali berbincang-bincang lewat dunia maya, aku memberanikan diri untuk meminta nomor teleponnya. Aku tak berharap banyak sebab yang kutahu banyak orang yang tidak bersedia memberitahukan identitas sebenarnya kepada orang yang belum dikenal sama sekali meskipun hanya dengan chatting apalagi menyangkut nomer telepon. It’s my privacy man! Tapi sungguh keberuntungan yang luar biasa dan tak kuduga, dia memberikan nomernya. Langsung saja kusimpan di phone book handphone-ku dengan memberikan identitas tiga karakter pada nomer telepon itu. Tanpa pikir panjang dan tanpa menunggu ia memintanya, aku berikan saja nomer teleponku kepadanya. Seingatku, lebih dari empat kali aku melakukan kontak dengannya. Baik melalui SMS maupun langsung kutelepon entah saat ia tengah bekerja atau sedang santai di rumahnya.



Pernah sekali ada nomer aneh yang meneleponku pada malam buta, saat aku masih tertidur lelap dan sedang bermain-main di alam mimpi bersama para bidadari. Aku kaget dan langsung terbangun, dan dengan penglihatan yang masih setengah terpejam, kuterima panggilan itu.

“Dasar pengganggu!” umpatku kesal. “Tidak tahu apa, kalau ini waktunya tidur.”

Aku membuka percakapan, “Hallo, ini siapa?” Tak terdengar jawaban, namun beberapa detik kemudian baru terdengar suara samar-samar bagai sebuah bisikan. “Lu nggak kenal gue? Lu udah lupa ya!” katanya seolah menuntut.

“Siapa ya?” kataku benar-benar tak tahu identitas peneleponku itu.

“Oh, jadi lupa neh.”

Sueerr! Gue nggak kenal siapa lu,” kataku tak berbohong.

“Ini gue yang biasa chatting ama lu,” ucapnya memberi petunjuk.

Dengan kesadaran yang masih setengah-setengah, aku kembali mengingat-ingat orang yang pernah kuajak chatting. Dan jujur, aku benar-benar lupa. Untuk menegaskannya, aku diam tak menjawab.

“Anak komunitas sastra sama seperti lu.” Dia memberi clue lagi, seakan-akan dia menginginkan aku untuk segera tahu siapa dia. Aku tetap tak menjawab, sebab terlalu banyak anggota komunitas sastra tersebut yang kuajak berbincang-bincang lewat Yahoo Massanger. Puluhan bahkan.

“Orang yang paling cantik,” jelasnya narsis.

Waduh, percaya diri sekali cewek satu ini, celetukku dalam hati.

“Bukannya lu pernah minta nomer Telkomsel gue. Nah, ini nomernya,” ia melanjutkan.

Bagai disuntikkan cairan pengingat, aku akhirnya menyadari siapa cewek yang menelonku ini. “Oh, lu toh!” kataku. “Sorry, sorry. Tadi gue lupa.”

“Ah! Dasar duduls lu,” katanya mengejek seraya cekikikan.

Pembicaraan kami mengalir begitu saja. Terkadang aku tertawa saat dia menceritakan sebuah lelucon yang bisa kukatakan benar-benar garing. Tapi mungkin karena itulah aku tertawa. Wah-wah, sepertinya si cupid mulai bekerja tanpa sepengetahuanku. Dan sebagai akibatnya, aku tak bisa tidur malam itu. Entah karena insomnia yang telah lama kuderita kambuh lagi atau memang bayang-bayang suaranya memenuhi pikiranku dan membuat mataku ini tak mau menutup untuk sementara waktu hingga waktu sahur tiba.

Ini berbahaya. Aku sudah diracuni tanpa kusadari sendiri racun apa yang sekarang menyebar di tubuhku dan tanpa kusadari apa pula penyebabnya. Aku sudah dihipnotis olehnya terang-terangan.

Kembali menjelang hari pertemuanku dengannya, aku begitu gelisah. Bukan karena aku takut bertatap muka dengannya secara langsung, tapi karena aku begitu malu. Ya, inilah kejelekanku dari dulu. Mungkin ini sudah ditakdirkan untukku, sejak aku masih bersemayam dalam rahim ibuku dan baru kusadari setelah beranjak dewasa kini. Apa mungkin ini karma karena sejak SD hingga SMU aku selalu menghindari gadis-gadis yang mau mendekatiku. Saat itu, pikiranku benar-benar tertutup mengenai pertemanan dengan gadis-gadis. Wanita kenalanku saja hanya ada beberapa. Sepertinya tak lebih dari tiga orang. Secara sembunyi-sembunyi aku selalu melakukan seleksi kepada gadis-gadis itu. Tapi sekarang, semuanya berubah. Aku menyadari bahwa perbuatanku itu tidak benar. Perbuatanku salah sepenuhnya. Mataku terbuka saat menjelang pertemuanku dengan gadis yang satu ini. Seolah-olah aku menemukan sebuah pencerahan, menemukan setitik cahaya dalam buramnya kehidupanku.

Tibalah hari pertemuanku dengannya. Kuguyur seluruh tubuhku dengan air dalam bak mandi. Kusabuni setiap sudut tubuhku dengan niat menciptakan bau harum saat sore nanti kubertemu dengannya. Wah, aku tak menyangka akan segugup ini. Setelah mandi, kupilih baju dan celana yang cocok dan serasi. Kujatuhkan pilihanku kepada baju kaos kuning pemberian ibuku dan jeans yang kubeli sebulan yang lalu. Kuolesi minyak rambut untuk menciptakan kesan lembab pada rambutku. Sebelum pergi, kutatap lagi jarum jam. Waktu sekarang menunjukkan pukul 17.00 sore. Kukunci pintu kosku dan tak lupa mengambil sweeter andalanku lalu membalutkannya ke tubuhku. Aku tak mau membuatnya menunggu kehadiranku. Tidak fair jika membuat wanita menunggu. Sungguh bukan sikap seorang laki-laki jika melanggar aturan dasar tersebut.

Sebelumnya, aku sudah mengirim SMS kepadanya, menanyakan di mana dia berada sekarang. Tak cukup menunggu semenit kemudian, dia membalas singkat saja.

‘Ha?gw mse stgh jam lgi nyampe d sna.’

“Buset, lama banget dia nyampe ke sini,” ucapku mengomentari SMS darinya. Dan dengan cepat kukirim SMS balasan.

‘Gw bru aj nyampe. Tar klu lu dah nyampe sms gw aj.’

Inilah jawabannya yang menurutku sangat singkat tanpa basa basi sedikitpun;

‘Ok..’

Kulihat langit sore yang mulai menghitam. Sinar matahari sudah menghilang dan sebentar lagi akan diganti oleh sinar rembulan. Untuk menghabiskan waktu menunggunya, aku menuju ke masjid terdekat sembari buka puasa dan melaksanakan perintah agama untuk Shalat Maghrib. Dua puluh menit kemudian, Adzan Maghrib berkumandang. Kubuka teh botol yang kubawa dari kosan. Sebelum meneguk segarnya minuman botol itu, kuucapkan doa berbuka dalam hati.

Setelah selesai shalat, aku menghubunginya. Tak disangka, dia masih berada di atas angkutan umum dan sedang dalam perjalanan menuju ke tempat pertemuan kami. Apakah angkutan umum yang digunakan olehnya sedang terjebak macet atau masih diam di suatu tempat menunggu penumpang lain? Ah, sudahlah. Tak kubiarkan pikiran-pikiran jelek itu menguasai diriku. Kulangkahkan kakiku menuju ke toko buku Gramedia, sekali lagi untuk menunggu kedatangannya. Kuperhatikan deretan buku-buku diskon berjejalan di atas rak-rak buku yang memanjang ke samping. Lumayan banyak orang yang berkunjung ke ruangan yang memang dikhususkan untuk buku yang dilabeli diskon itu. Kubaca beberapa sinopsis buku yang masih disegel plastik untuk mengusir kebosanan. Tak ada yang membuatku tertarik meski diskon yang tertera pada buku itu gila-gilaan. Bahkan ada yang mencapai diskon 65%. Seharusnya, begitulah harga buku di setiap toko buku jika memang mereka ingin mencerdaskan bangsa dengan membaca. Bukan malah sebaliknya.

Kurasakan, handphone di dalam kantong jeansku bergetar. Ternyata dia yang menelepon.
“Lu di mana?” tanyanya. Suara bising di kanan-kiriku menyebabkan aku meminta untuk mengulangi kata-katanya.

“Di mana lu sekarang? Gue udah di Ngopi Doeloe nih.”

“Gue masih di Gramedia,” kataku memberitahu. “Oke, gue ke sana sekarang.”

Aku melangkah cepat keluar dari ruangan buku diskon itu lalu menyatu dengan berjibun pejalan kaki di lorong Gramedia yang hilir mudik entah dengan maksud apa. Tak setegar kakiku, jantungku malah berdegup kencang. Ingin sekali organ itu melompat keluar dan berlari untuk menghindari kegugupan yang sudah mulai menjalar di sekujur tubuh tumpangannya. Ditambah lagi, kaki dan tanganku serasa bergetar tanpa penyebab yang pasti. Adrenalinku membuncah dari sekujur tubuhku hingga ke otak. Napasku terengah-engah seperti telah menempuh perjalanan jauh dengan berjalan kaki. Kutelan ludahku berkali-kali bermaksud untuk menghilangkan kegelisahan akan pertemuan yang sebentar lagi akan terlaksana.

“Lu di mana? Gue udah di depan Ngopi Doeloe dekat Factory Outlet,” kataku sekali lagi memberitahu posisiku melalui telepon genggamku.

“Ya udah, masuk aja ke dalam sini. Gue udah di dalam.”

Jantungku makin berdegup kencang. Sekarang, bukan jantungku lagi yang seakan ingin melompat. Kurasakan semua organ dalam tubuhku serta tulang-tulang penunjang tubuhku seolah mau melarikan diri. Ingin rasanya pergi dari tempat itu. Rasa mual tiba-tiba melanda tubuhku.

“Yee, lu keluar aja ke sini. Gue gak tau lu di mana?” kataku memberi saran.

“Masuk ajalah. Gue ada di sudut, jauh dari pintu masuk.” Dia bersikeras.

“Lu keluar aja. Kalau nggak, gue pulang neh,” kataku mengancam.

Akhirnya dia luluh. “Tunggu kalau begitu.”

Di luar, aku menunggu dengan perasaan yang campur aduk dan rasa mual itu makin menjadi-jadi.

Seorang gadis lalu menghampiriku. Tubuhnya tinggi semampai setinggi aku dengan balutan celana jeans dan baju kaos serta sweeter warna merah muda dilingkarkan di lehernya. Matanya agak sipit namun bersinar penuh cahaya. Rambutnya yang sebahu seakan-akan membingkai keindahan wajahnya itu.

“Ah, lama banget lu. Gue udah nunggu dari tadi,” gerutuku mencoba mengusir gugup yang masih bercokol kuat dalam diriku.

Aku lalu mengikutinya masuk sambil sesekali memperhatikan sekeliling ruangan yang tampak penuh dengan orang-orang yang sedang berbuka. Akhirnya kami duduk di bangku paling sudut dengan deretan sofa empuk yang memanjang. Di dinding dibelakangku, sebuah lukisan dinding abstrak terpajang besar. Di depanku, meja pendek setinggi lutut benar-benar membuatku tidak tenang saat duduk.

Dengan malu-malu, aku memperhatikan wajahnya. Kuteliti lagi dirinya yang sekarang sedang terfokus untuk memilih menu makanan pada selembar kertas berlapis plastik seukuran folio.

“Lu mau pesan apa?” tanyanya kepadaku yang seketika membuatku kikuk.

“Emm... lu aja yang duluan.” Aku mengalihkan pandanganku darinya.

Sambil menunggu dia mendapatkan menu makanan yang cocok, mataku menjelajah kedai kopi itu. Beberapa kusi disusun melingkar dengan meja di tengahnya telah secara sempurna dipenuhi sekelompok anak muda yang sedang bermain kartu. Tak jauh dari tempat dudukku, dua orang lelaki (yang satu berambut panjang dan satu lagi mengenakan kupluk) sedang menatap lekat-lekat laptop di hadapannya. Bukannya menggunakan fasilitas hotspot yang secara gratis telah disediakan di tempat itu, mereka malah dengan asik bermain game yang menurut sepengatahuanku dinamakan DOTA yang merupakan kepanjangan dari Defense of the Ancients. Game tersebut merupakan sebuah custom map (peta buatan) untuk permainan komputer buatan Blizzard berjudul Warcraft III:Frozen Throne, yang dibuat berdasarkan map "Aeon of Strife" dari permainan Blizzard lainnya, StarCraft. Tujuan utama permainan ini adalah untuk menghancurkan "Ancient" musuh, sebuah struktur yang dijaga ketat di setiap pojok kiri bawah dan kanan atas.

Kebetulan malam itu malam minggu dan banyak sekali pasangan yang menikmati kebersamaan mereka di tempat itu. Kulihati seorang wanita yang dengan asiknya menyandarkan kepalanya di bahu pacarnya sambil bercanda dan sesekali tertawa. Lanjut tatapanku beralih ke sebuah ruangan kecil yang berada di tengah-tengah kedai tersebut. Di dalamnya beberapa orang pelayan sedang sibuk membuat pesanan dan seorang pelayan wanita tengah memblender antara campuran kopi bubuk dan stroberi.

Aku kaget ketika gadis yang duduk di sampingku itu, tiba-tiba membuyarkan bertanya kepadaku. “Lu mau pesan apa?”

“Hah? Apa?” celetukku.

“Lu pesan apa?” dia mengulangi.

Aku mengambil menu makanan dari tangannya dengan malu-malu sambil menelusuri tiap baris menu yang tersedia.
“Minumnya espresso terus makannya Fettucini,” jawabku. “Lu udah pesan?”

Dia hanya mengangguk untuk menjawab pertanyaanku tadi lalu memanggil seorang pelayan wanita bertubuh mungil. Pelayan itu kemudian mengeluarkan sebuah buku catatan saku dan menulis semua pesanan kami

“Espressonya single atau double?” tanya si pelayan.

Apalagi istilah itu, kataku dalam hati. Kujawab saja asal, “Single.”

Selesai mencatat pesanan, pelayan itu lalu pergi ke markasnya yang berada di dapur tertutup yang terdapat di tengah-tengah ruangan kedai.

Aku pertama yang memulai pembicaraan sebab kulihat dia juga sedikit malu sama sepertiku. Kami bercerita sambil sesekali bertatap muka. Tidak sedikit dia mengurai senyuman saat tengah berbicara. Tak berapa lama, minuman kami datang disertai dua bungkus kecil white sugar. Aku mengaduk espresso pesananku tanpa terlebih dahulu menambahkan gula, mencoba kepekatan kopi yang tenar di Italia itu. Seperti yang telah kuketahui bahwa espresso merupakan kopi yang dikonsentrasikan sangat pekat yang dibuat dengan menyemburkan air yang sangat panas, tapi tidak mendidih ke kopi di bawah tekanan tinggi. Kurasakan rasa pekat espresso mejalar di lidahku. Benar-benar kenikmatan yang luar biasa untukku sebagai pria penggemar kopi.

“Eh, lu udah pernah coba kopi luwak?” tanyaku saat percakapan di antara kami benar-benar di butuhkan.

“Luwak?” katanya kebingungan sembari menaikkan sebelah alis matanya. “Apa tuh?”

“Luwak itu binatang pemakan biji kopi,” jelasku, “sedangkan kopi luwak itu adalah kopi yang dimakan luwak.”

Kulihat dia masih belum mengerti maka aku lanjut menjelaskan. “Luwak itu memilih biji kopi yang akan dia makan. Biji kopi yang dimakan sama luwak merupakan biji kopi terbaik yang setelah dimakan, lalu difermentasikan di dalam perutnya, kemudian dibuang bersama kotorannya.”

“Ihh... jijik banget!” serunya mengkerutkan kening.

“Kelihatannya aja emang jijik tapi enak lho.”

“Emang lu udah pernah nyoba?” tanyanya seketika membuatku bagai disambar halilintar karena malu.

“Belum sih. He... he... he...”

Setalah kami menemati tempat duduk yang baru yang letaknya di tengah-tengah ruangan dekat meja kasir, makanan kami datang. Kami mengobrol panjang lebar. Sesekali dia menceritakan pengalaman hidupnya bersama mantan pacarnya, keceriaan dalam keluarganya, dan tak jarang aku membuka topik baru mengenai film-film kesukaannya. Dari situ, dia mengakui bahwa dia sangat menyukai film Spongebob. Menurutnya film itu sangat lucu dan karakter Spongebob mirip seperti dirinya yang selalu ceria. Aku langsung tertawa ketika mendengar pengakuannya itu. Aku juga sebenarnya mengakui bahwa film kartun itu juga merupakan film faforitku, tapi aku lebih suka karakter bernama Patrick Starfish daripada Spongebob. Tentunya alasanku memilih karakter Patrick sebagai karakter faforitku dalam film tersebut bukan karena kepribadianku mirip dengan tokoh kartun itu. Tapi karena aku lebih suka karena tokoh itu sangat menghibur sekali. Seolah-olah tanpa kehadirannya dalam satu scene film kartun tersebut, membuat film bertemakan kehidupan laut itu berjalan monoton. Selain itu, kami juga membahas kelucuan dalam film Kugfu Panda dan George Clooney yang merupakan aktor faforitnya yang sampai-sampai jika dia bertemu dengan aktor Hollywood tersebut akan langsung dipeluknya saat itu juga tanpa pikir panjang.

Sekitar dua jam lebih kami mengobrol panjang lebar dan tak henti-hentinya membahas topik-topik yang menurutku aneh dan jarang kubahas dengan orang yang pertama kali kukenal. Wah, sebenarnya apa yang terjadi. Kedai semakin ramai dan kami memutuskan untuk pulang. Kupesilahkan dia naik angkutan umum terlebih dahulu, sementara kau sendiri masih menunggu angkutan umum tujuanku.

Jika kuingat-ingat kembali kenangan ini, sering membuatku tertawa dan tak jarang geleng-geleng kepala, karena orang pertama yang bisa seakrab itu denganku saat pertama kali bertemu adalah dia.

Aku harap dia tahu apa yang sedang aku rasakan saat ini...

by Afandi Muhammad

2 komentar:

Anonim mengatakan...

hahaha,mulai_dari_ketemu_sampe_dota.._lengkap!!_:D

Ayuning mengatakan...

kopi luwak aka civet coffee, itu terkenal lho.. aku jg blm pernah nyobain
sukses!