Senin, 01 September 2008

Kerajaan Damai



Penulis : Afandi M.
Gendre : Kehidupan




"Manusia berkata semaunya,
Manusia bertindak seenaknya,
Karena mereka tak pernah mau disalahkan atas keburukan yang terjadi."

---

MALAM ITU, hawa dingin menggenangi jajaran bukit. Kabut merayap, mengikuti jejak angin yang coba menuruni lembah pinus tak bertuan. Terkadang, gesekan ranting, ilalang, dan suara penghuni malam memecah keheningan, melantunkan melodi sederhana yang sangat indah. Mungkin yang menyusun tiap notnya adalah semua roh suci penghuni kerajaan damai di bawah sana. Ya, kerajaan damai yang tiap harinya dipenuhi oleh tawa, kebahagiaan, ketulusan hati, batin yang memuji, dan senyuman tanpa prasangka. Jujur, aku juga tak tahu di mana tempatnya.

Di ujung sebuah tebing―tebing yang paling tinggi. Sebuah tebing di mana tubuh bisa merasakan sentuhan awan dan angin, silih berganti membawa pergi kesedihan, dan mengisi kembali kekosongannya dengan kebahagiaan. Di tebing itu tengah berdiri satu sosok. Satu sosok yang menurut mereka cacat dan hina, dan tak pantas berada di koloni mereka, yang katanya memiliki intelegensia tinggi. Koloni yang melihat dengan kacamata palsu, bukan dengan kacamata batin yang justru bicara tanpa kebohongan.

Namun kudengar, bulan dan bintang berkata lain. Mereka mengatakan bahwa tak melihat adanya kecacatan di tubuh sosok tersebut. Ya, aku sepenuhnya tahu, mereka (bulan dan bintang) memang tak bisa bicara, tidak bisa bergerak, apalagi memberikan kode seenaknya. Mereka itu bisu, tapi satu kelebihan yang mereka miliki. Mereka bicara dengan hati, bukan dengan mulut yang diatur oleh kinerja otak yang nyatanya tak seberapa.  Kadang tak jujur, munafik, dan pembohong.

Kini sosok itu tertutup sebuah bayangan. Mungkin ditutupi. Sebuah kabut yang melindunginya dari para penantang. Tak jelas sosoknya, apakah pria atau wanita. Semuanya kuserahkan pada imajinasi kalian. Kurasa daya khayal makhluk-makhluk yang disebut manusia seperti kalian itu lebih tinggi, lebih penuh teori. Sebab yang kutahu, kalian punya pikiran―punya akal yang selalu kalian banggakan. Tapi buktinya, tak ada. Tidak ada sama sekali. Pikiran kalian itu kosong. Tak ada gunanya, bahkan untuk kasta terendah yang disebut tikus sekalipun.

Dengan indra penglihatan yang dipenuhi oleh linangan air mata, sosok itu menatap kembali ke dasar lembah yang dipenuhi daratan air. Sepertinya, ia telah menemukan di mana kerajaan damai itu berada. Ia tersenyum lebar, lebih lebar dari senyuman yang terakhir kali ia perlihatkan ketika ia terlahir ke dunia. Ia mengangkat kedua tangannya ke atas, menembus gumpalan awan yang terus berarak. Rambutnya yang ikal dan bajunya yang penuh tambalan, tak menolak saat dibelai angin. Telapak kakinya terbuka, memperlihatkan goresan zaman yang telah dilaluinya.

“Sebentar lagi aku akan menjadi salah satu rakyat-Mu,” gumamnya pelan, namun tak menggema karena terhalau angin.
“Aku berharap tak ditolak lagi di kerajaan-Mu,” lanjutnya. “Ya... semoga begitu.”

Air mata yang tiba-tiba melepaskan pegangannya, langsung menghilang ditelan udara. Menyatu bersama uap air dan membentuk gumpalan awan baru.

Kedua kakinya melangkah tanpa beban, tangannya pun masih direntangkan, umpama sayap sang pengembara udara. Tubuhnya yang kurus, melayang dihempas angin dan terus meluncur ke bawah, melewati tiap lapis udara. Senyumannya masih dipertahankan dengan air mata tak lagi berlinang. Mengering karena kebahagiaan yang begitu mendalam. Tiba-tiba ia merasakan kehangatan merasuki tubuhnya, bagai kumpulan bulu tengah menyelimutinya, lembut dan penuh kehangatan.

Sedikit lagi aku tiba di kerajaan-Mu, katanya dalam hati. Hanya tinggal satu benturan kecil saja dan aku langsung menetap untuk selamanya di sana.

Beberapa meter mendekati daratan air, ia berkata, “Selamat tinggal dunia. Selamat tinggal penghuninya,” Ia tertawa pelan, “Semoga dengan kepergianku, kalian dapat merasakan ketenangan.”

‘Duarrr’ suara hantaman tubuhnya membahana di dasar lembah, di hamparan air yang kini beriak.

Saksi-saksi bisu diam tak berbuat apa-apa. Dan memang begitulah tugas mereka dari dulu. Hanya diam, membisu sambil menyaksikan setiap peristiwa yang terjadi di tengah-tengah.

Sedikit demi sedikit, gelembung berisi udara terakhir menghilang tersapu gelombang. Dan satu lagi sosok yang katanya cacat dan hina menghilang, terkubur oleh bisunya keadilan.

“Tentunya kalian sangat senang, benar kan wahai manusia?” Terdengar gema dari dalam danau, “Bagaimana menurutmu?”


by Afandi Muhammad

Tidak ada komentar: