Senin, 01 September 2008

Arti Kesetiaan Crish.



Penulis : Afandi M.
Gendre : Cinta





Cinta selalu tak akan pernah bisa diungkapkan dengan apapun yang sesuai
dengan kehendak kita, karena bahasa cinta adalah bahasa yang abstrak,
bahasa yang hanya akan bisa dimengerti oleh mereka yang peka dan
mengenal apa itu cinta --- Kahlil Gibran

**

BULAN kian meninggi dan angin pun kunjung bertiup, menerbangkan debu dan mempermainkan dedaunan. Ada empat lampu di tiap sudut taman itu, berdiri bak tugu selamat datang, menjadi penghalang kegelapan. Mengundang kehadiran ngengat, berputar-putar, seakan sedang berpesta karena saatnya melahap habis cahaya.

Dekat sebuah pohon pinus raksasa, dekat salah satu lampu taman, sepasang insan tengah melepaskan kerinduannya, seakan-akan mereka baru saja bertemu setelah berpisah dalam waktu yang sangat lama. Terpisah oleh jarak dan waktu, terpisah oleh lapis demi lapis dimensi. Di sebuah bangku taman, mereka duduk. Pandangan mereka lebih lama makin berkait erat, umpama tak mau terlepas. Mereka selalu punya alasan untuk bercakap-cakap sambil saling menatap. Dari balik tumbuhan semak, terlihat turunan Adam dan Hawa itu berciuman. Bibir mereka merapat, sesaat. Mereka berdua terlarut, jauh lebih dalam. Lembut. Terasa kian lembut dan melekat.

Dalam hitungan detik, mereka menyudahi. Akan tetapi, sensasi tadi belum mau pergi dari kedua bibir mereka. Masih berbekas. Bahkan mungkin bukan bekas biasa, melainkan sebuah magis yang istimewa.

Muka sang wanita memunculkan semburat—malu-malu. Rambut hitam panjangnya berkilau sangat menawan, seperti biasan air laut di kegelapan malam. Wajahnya teduh, mendamaikan. Sementara tak kalah indahnya, bibir mungilnya menebar pesona, menjadi pelengkap semua keindahan fisiknya yang bernilai seni tinggi. Ia mengecap bibirnya sekali. Emm... terasa manis. Lebih dari gula.

“Kenapa kau menciumku?” bisik Julie dengan suara bergetar. Pandangannya tajam menembus kalbu lelaki di hadapannya yang malah ikut tersipu.

“Karena aku ingin menciummu,” kata Chris dengan kekuatan yang entah datang dari mana. Ia sudah bertekad untuk menunjukkan segala perasaannya. Ya, malam ini akan mengakhiri semuanya. Whatever will be, will be. Que sera sera!


“Tetapi, aku tidak ingin...” ucapan Julie terputus, masih bergetar walau agak samar.

Chris tersenyum lembut. Wajahnya yang oval dan penuh pesona tak kuasa untuk diacuhkan. “Tidak ingin dicium?” tanyanya pelan sambil melawan pandangan Julie, sekuat hati.

Julie lalu mengalihkan pandangannya ke depan, ke wajah Chris. Air mukanya tiba-tiba mengeruh, seperti sungai besar yang penuh lumpur akibat hujan berkepanjangan.

Chris diam, kembali menguatkan hati, merasa tidak punya pilihan lain. “Aku mencintaimu, Julie. Aku sayang padamu,” jelas Chris yang lalu dilanjutkan, “Kita sudah berpacaran hampir tiga tahun lamanya. Kau sudah mengenalku luar dan dalam, dan begitu pula aku telah mengetahui baik dan jelek sifatmu.”

Julie tetap memandang lelakinya tanpa gentar. Siluet senyuman muncul di bibirnya. Matanya seolah-olah bertanya, apa yang sebenarnya akan dikatakan Chris?

“Se—sebenarnya, aku mengajakmu ke sini karena ada sesuatu hal yang ingin kusampaikan,” ucap Chris panjang, sedikit kaku.

“Apa?”

Chris terdiam, mengumpulkan setiap inci keberaniannya. Dengan perlahan, ia lalu merogoh sesuatu dari dalam saku celananya, kemudian memberikannya kepada Julie. “Terimalah, Sayang. Tanda bahwa aku benar-benar serius menjalani tiga tahun hubungan kita yang sangat mengesankan.”

“Apa ini?” tanya Julie saat ia menerimanya. Sebuah kotak berukuran kecil, kemerahan, dengan pita mungil di atasnya mewujud pada impian.

“Kotak hadiah. Bukalah. Kau pasti akan suka.”

Julie membukanya, sangat perlahan, dan seketika, matanya langsung terbelalak. Di dalam kotak, ada cincin zambrud, dikelilingi berlian, dipasang pada platina. Julie menatapnya dengan rasa tak percaya.

“Untuk apa… i—ini terlalu mewah sebagai hadiah. Ini...” katanya masih terkejut.

“Aku bahkan akan memberimu bulan bila kau memintanya. Julie, aku mencintaimu dengan segenap hatiku.”

Julie memeluk pria di depannya itu, erat-erat, tenggelam dalam rasa bahagia yang belum pernah dirasakannya. Bukan karena hadiah itu. Bukan karena sesuatu yang bisa dibeli dengan materi. Yang membuat Julie sangat bahagia, tak lain tak bukan adalah, karena Chris mengatakan kata-kata itu dengan sangat tulus. Kedua bola mata pria itu bahkan memunculkan siluet kesungguhan saat mengatakannya.

Akhirnya, Julie pun mengatakan sesuatu.

“Aku juga mencintaimu, Sayang.”

Wajah Chris berseri-seri. “Kalau begitu, maukah kau menikah denganku? Kita...”

“Tidak!” potong Julie. Bunyinya seperti cambukan hebat di telinga Chris.

Chris memandangnya kaget. “Kenapa? Kenapa kau…”

“Aku tidak bisa. Aku… ada sesuatu…”

“Julie, apakah kau tak percaya bahwa aku sangat mencintaimu?”

Sembari menunduk, Julie berkata, “Tentu... tentu saja aku percaya. Aku sangat percaya.”

“Kau mencintaiku?” Chris memastikan.

“Ya.”

Selanjutnya, ia pun bertanya dengan wajah kebingungan. “Tapi, mengapa kau tidak mau menikah denganku? Apa ada yang salah?”

“Bukan, bukan begitu. Tentu saja aku mau sekali, tapi... aku tidak...” suara wanita itu tercekat.

“Kenapa?”

Chris menatapnya bingung. Dan Julie tahu, begitu ia menceritakan rahasia ini kepada Chris, tentang pengalaman traumatis yang pernah terjadi padanya, lelaki itu pasti tidak akan mau bertemu lagi dengannya. Oleh karena itu, rahasia ini terus disimpannya dari Chris selama mereka bersama, berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan terpikir, Julie akan menyimpan kisah itu seumur hidupnya. Namun hari ini—malam ini, ia akan menceritakan semuanya. Julie tidak bisa lagi menolak.

“Aku... aku takkan pernah bisa menjadi istri sesungguhnya bagimu,” katanya. Tak terasa lelehan air mata mengalir di kedua sisi pipinya. Kata-kata itu meletupkan sensor tangis di kedua kelopak matanya.

“Apa maksudmu?”

Ini hal tersulit yang harus Julie katakan.

“Chris, kita tak akan pernah bisa berhubungan seks…” Ia berhenti sebentar. “Saat aku berusia sebelas tahun, aku diperkosa oleh...” ini yang paling sulit yang harus dikatakannya, “oleh… Ayah tiriku sendiri.” Isakan Julie makin terdengar, memilukan. Julie berpaling, menatap pepohonan yang tidak memedulikan dirinya, berusaha sekuat mungkin menceritakan kisahnya yang getir kepada laki-laki pertama yang dicintainya.

Hening. Angin pun seolah tak mau menginterupsi.

“Kalau boleh jujur. Aku sangat kaget saat pertama mendengarnya,” ujar Chris, “Bukan karena peristiwa menyakitkan itu, tapi karena kau baru mengatakannya padaku sekarang.”

Julie tak menanggapi, ia masih menangis. Kotak berisi cincin itu lepas begitu saja dari genggamannya. Namun, tak seorang pun dari mereka yang berusaha mengambilnya.

Akhirnya, setelah waktu yang terasa sangat lama, Chris berkata, “Julie, dengar. Dengankan aku. Kalau memang itu masalahnya, aku mengerti. Aku sangat mengerti. Tapi aku sangat mencintaimu. Aku tak ambil pusing dengan masa lalumu. Setiap orang punya masa lalu yang menyedihkan. Aku pun begitu, kan? Kau sudah mengetahuinya.”

Chris meletakkan tangannya di wajah Julie, menegakkan wajah wanita itu agar melihat api kesungguhan di matanya. Mengusap kesedihan di wajah Julie, seraya tersenyum.

“Apa kau ingat, Sayang. Aku pernah mengatakan ini kepadamu. Ayahku meninggal saat aku berumur sepuluh tahun, dan Ibuku, yang seharusnya menjagaku setelah kematian Ayahku, malah meninggalkanku demi pria lain yang tidak menginginkan keberadaanku. Aku sangat sedih. Di usiaku yang justru begitu menginginkan kasih sayang, aku hidup sebatang kara. Berusaha bertahan hidup seorang diri di dunia yang keras ini. Aku sudah pernah mengalami berbagai macam kesedihan. Lama aku terpuruk, menganggap bahwa Tuhan telah salah menciptakanku ke dunia. Menganggap bahwa Tuhan telah salah dalam menuliskan takdirku. Namun seiring waktu berjalan, aku sedikit-sedikit belajar mengubah kesedihan itu. Mengolahnya dengan sangat hati-hati menjadi semangat baru. Dan saat pertama kali melihatmu, cahaya kehidupan kembali bersinar dalam diriku. Jalan hidupku kembali terbentuk, yaitu hidup bersamamu. Bahagia dan terus bersama.”

Julie membuka suaranya, bergetar. “A—aku tidak tertarik pada seks. Aku bahkan kadang jijik jika memikirkannya… seks membuatku takut. Aku... aku hanya separuh wanita. Aku orang aneh.” Julie terengah, berusaha untuk menghentikan tangisnya.

Chris menyentuhnya lagi, mencoba merasakan kesedihan Julie dari sentuhan tersebut. “Aku sangat menyesal, Julie. Pasti kejadian itu sangat mengerikan dan membuatmu ketakutan.”

Wanita itu diam tak menanggapi.

“Seks memang penting dalam sebuah perkawinan,” gumam Chris.

Julie mengangguk, menggigit bibirnya. Sepertinya, ia telah tahu apa yang akan dikatakan Chris selanjutnya.

“Tetapi, perkawinan tidak hanya meliputi hal itu. Tidak hanya berkutat pada seks. Perkawinan berarti menghabiskan sisa hidupmu bersama seseorang yang kau cintai. Memiliki seseorang yang bisa kau ajak bicara, tempat berbagi suka dan duka, serta berbagi kasih sayang bersamanya. Lagipula, tak ada hal apa pun yang bisa mengganggu cintaku kepadamu. Tak ada yang bisa melunturkannya.”

Julie mendengarkan, terpukau, namun takut mempercayai apa yang baru saja didengarnya.

“Seks pada akhirnya akan hilang, Julie. Tapi cinta sejati tidak. Aku mencintaimu karena hati dan jiwamu. Tulus. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu. Bahkan jika kau mau, aku bisa hidup tanpa seks.”

Julie mencoba berbicara dengan tenang. “Tidak, Chris. Aku tak bisa membiarkanmu...”

“Kenapa?” lelaki itu memotong.

“Karena kelak kau akan menyesalinya. Kau akan jatuh cinta pada orang lain yang bisa memberikanmu apa yang tidak bisa kuberikan, dan kau pasti akan meninggalkan aku. Dan setelahnya, aku akan patah hati.”

Chris mengulurkan tangannya, lalu meraih Julie dan memeluknya. “Kau tahu mengapa aku tak akan pernah bisa meninggalkanmu?”

Julie menggeleng dari balik pelukan. Bimbang saat ini melanda dirinya bagai ombak yang membawanya ke sana kemari.
“Itu karena kau adalah bagian terbaik dari diriku. Separuh dari jiwa dan jasadku yang dulu hilang, dan sekarang, telah kutemukan lagi—padamu. Yang jelas, kita akan segera menikah,” ujar Chris bersemangat.

Julie seketika melepaskan pelukan. Ia menatap jauh ke dalam mata Chris. “Apakah kau betul-betul menyadari keputusanmu?”

Chris tersenyum dan berkata, “Menurutku kau harus mengatakannya dengan cara lain.”

Julie tertawa lalu kembali memeluknya, “Oh, Sayang. Kau yakin bahwa kau...”

Wajah Chris berseri-seri. Senang sekali. “Aku sangat yakin. Apa jawabanmu?”

Air mata kembali mengalir di pipi Julie, kali ini berbeda. “Ya. Aku mau. Aku akan menjadi pendamping hidupmu, Sayang. Selamanya kita akan bersama.”

Chris membungkuk, mengambil kotak kecil dekat kakinya, membukanya, lalu menyelipkan cincin zambrud itu ke jari manis Julie. Setelahnya mereka berpegangan, lama sekali. Kedua pancaran mata mereka menunjukkan bahwa ada semangat hidup baru dengan ikatan yang lebih erat, lebih kuat. Ikatan yang akan terus terjalin hingga sepanjang masa. Tak akan pernah pupus. Apalagi terputus. Takkan terpisahkan. Mereka telah menemukan arti dari sebuah hubungan yang tulus, tanpa batasan. Dengan kejujuran yang selalu diidam-idamkan.

by Afandi Muhammad

Tidak ada komentar: