Selasa, 27 Oktober 2009

The Triangle Murder - Chap. 04

Penulis : Afandi M.
Gendre : Detektif & Misteri
Lain-lain : Berseri (4)


SIANG HARI, setelah peristiwa mengenaskan itu kembali berulang, polisi datang. Kedatangan mereka mendapat banyak tanggapan berbeda dari masing-masing karyawan perusahaan Summer. Mereka takut sekali akan ikut dilibatkan dalam penyelidikan, dan akhirnya berurusan dengan aparat-aparat hukum tersebut. Mereka semua adalah tipe orang yang individualistis. Sifat khas seorang pecundang.

Saat itu, di sebuah ruangan tempat biasanya beberapa direksi mengadakan rapat, Inspektur Andrian duduk mendengarkan keterangan dari Asistennya―Hendra Sucipto.

“Wanita yang menjadi korban adalah Helena Sriwahyuni. Dia bekerja sebagai salah satu designer di perusahaan ini. Dia meninggal akibat keracunan minuman yang ada di atas mejanya.”

“Belum selesai peristiwa pembunuhan yang pertama diusut, telah terjadi lagi pembunuhan yang kedua di perusahaan ini,” keluh asisten itu.


“Aku rasa dia bukan mati karena keracunan tapi karena diracuni. Siapa yang membawa minuman ini kepadanya?” tanya sang inspektur sambil membaui minuman beracun itu dengan hidungnya. “Menurut kesaksian sebagian karyawan yang berada di ruangan ini bersama korban saat itu, Jumadi yang memberikan minuman itu kepada korban sesaat sebelum korban tewas.”

“Bukankah dia juga yang menemukan mayat korban yang pertama di ruangan perusahaannya?” tanya Inspektur Andrian.

“Benar, Inspektur.”

“Bagaimana mengenai pembunuhan pertama? Siapa korbannya?”

“Pembunuhan pertama juga terjadi di perusahaan ini dan korbannya adalah Santi Triyani, kepala bagian perancangan. Dia meninggal akibat tembakan di dadanya dari jarak dekat dan kami juga sudah menemukan barang buktinya di toilet wanita berupa sebuah revolver yang tersembunyi di bawah tumpukan tisu toilet,” jelas Hendra Sucipto.

“Memangnya ada apa dengan waktu kematiannya?”

“Apakah ada yang dicurigai?” Inspektur Andrian tak hentinya bertanya. “Ada Inspektur! Kami mencurigai Helena yang membunuhnya,” ujar asisten itu dengan dengusan pelan.

“Bukankah dia itu adalah korban kedua,” jelas inspektur.

“Memang dialah orangnya, Pak.”

“Coba sebutkan bagaimana analisamu jika memang dia adalah pelakunya?” tanya Inspektur Andrian menguji analisa bawahannya tersebut.

“Pertama-tama Helena pergi ke ruangan korban, menunggu korbannya hingga datang. Setelah korban membuka pintu dia langsung menembaknya. Setelah itu, dia buru-buru ke toilet wanita untuk membuang senjatanya di tempat sampah sebab tempat itulah yang paling aman yang dia pikirkan saat itu. Semua pegawai istirahat pada jam itu, jadi tidak ada yang masuk toilet. Kami juga menemukan sidik jarinya di pistol itu yang semakin mempertegasn bahwa dia adalah pembunuhnya. Tapi sekarang dia tiba-tiba tewas. Ada orang lain yang membunuhnya,” katanya mengakhiri analisanya.

“Bagus! Menurutku memang begitulah kronologi kasus pembunuhan yang pertama itu, dan sekarang mengenai pembunuhan yang kedua ini, apakah kamu sudah mengintrogasi office boy itu?”

“Ya, tadi kami sudah mengintrogasinya. Berdasarkan pengakuannya, minuman itu diberikan oleh Nagita Adelia, wakil direktur di perusahaan ini kepadanya. Si pelayan itu disuruh untuk membawakan minuman tersebut ke Helena sebab sang wakil direktur itu ada rapat mendadak. Tapi saat kami menanyakan apakah Nagita memasukkan racun ke dalam botol plastik tempat minuman itu dia membantahnya. Dia mengatakan bahwa saat diterima botol minuman itu masih dalam kondisi bagus. Tertutup rapat dan masih bersegel pada tutupnya.”

“Katamu ketiga orang ini memiliki dendam satu dengan yang lainnya. Mengapa mereka saling menendam?” seru sang inspektur.

“Korban pertama yaitu Santi Triyani dibenci oleh Helena yang merupakan korban kedua dan Nagita yang merupakan atasannya. Helena yang dulu merupakan teman baiknya membencinya karena telah mencuri hasil rancangannya sehingga Santi Triyani diangkat jabatannya menjadi salah satu kepala bagian di perusahaan ini, sedangkan Nagita membencinya karena ingin merebut jabatannya sebagai wakil direktur.”

Inspektur Andrian tersenyum. “Masalah jabatan ya!”

“Sementara itu Helena juga dibenci oleh Nagita karena telah merebut tunangannya pada saat pernikahan mereka tinggal beberapa bulan lagi.”

“Kalau begitu, Nagita-lah yang memiliki motif yang sangat besar untuk membunuh Helena yang telah merebut tunangannya,” Inspektur Andrian menyimpulkan.

“Pendapat saya juga begitu Pak.”

“Tapi yang menjadi pertanyaan sekarang yaitu bagaimana dia memasukkan racun tersebut ke dalam botol minuman itu. Bukankah office boy itu mengatakan botol minuman itu tertutup rapat, disegel pula.” Asistennya hanya mengangguk menyetujui perkataan atasannya bagaikan binatang peliharaan yang selalu menuruti kehendak majikannya. “Sebaiknya kita mengintrogasi Nagita dulu, sebelum menarik kesimpulan akhir atas pembunuhan yang kedua ini. Lagipula kita dituntut untuk segera memecahkan kasus ini, agar suasana di perusahaan ini kembali tenang dan untuk menghindari citra buruk masyarakat atas kinerja kepolisian.”

**

Nagita sedang menopangkan kakinya di atas kaki yang satunya. Saat itu, dia mengenakan stelan jas dengan dalaman kemeja serta celana panjang kain yang sesuai dengan warna jasnya. Matanya yang licik menatap kedua orang di depannya secara bergantian.

“Apa yang ingin kalian tanyakan kepadaku lagi? Bukankah tadi aku sudah memberikan kesaksianku?” ujarnya dengan nada merendahkan.

“Ada beberapa hal yang ingin kami tanyakan lagi kepada Anda,” ujar Inspektur Andrian sopan.

Dia lalu mengambil kotak rokoknya yang kemarin diberikan oleh Santi sebelum dia meninggal. Sambil memberikan suatu tanda kepada kedua polisi itu dengan batang rokoknya, dia mulai membakar rokok tersebut.

“Apakah betul Anda yang memberikan botol minuman itu kepada Jumadi?” tanya Inspektur Andrian sambil membuka catatan kecilnya. Nagita mengangguk sekali, kemudian raut mukanya berubah, matanya melotot, nafasnya saling memburu. Dijatuhkannya rokok yang semula ada di mulutnya, kemudian kedua tangannya memegangi lehernya. Inspektur Andrian dengan sigap lalu meloncat ke depan kemudian membaringkannya di pangkuannya.
Sesaat kemudian digelengkannya kepalanya. “Dia sudah meninggal,” katanya dengan suara lesu dan desahan nafas panjang. Suasana diam seketika dan hanya terdengar Hendra Sucipto menghembuskan napas penyesalan. Inspektur Andrian kemudian mengamati sesuatu. Dengan ketekunan bak seorang kutu buku, dia memeriksa puntung rokok yang tadi dijatuhkan oleh Nagita.

Dia mendekatkan puntung itu ke hidungnya, membauinya, dan entah mengapa, saat itu juga kepalanya setengah pusing. Ada bau aneh yang menguar dari puntung rokok tersebut. Dengan cepat dialihkannya puntung itu jauh-jauh dari indra penciumannya, mencegah agar sesuatu yang tidak diinginkan terjadi kemudian.

“Kuduga, dia meninggal karena keracunan,” kata sang inspektur.

Dia lalu menyuruh asistennya agar memanggil polisi lain untuk membawa mayat Nagita dari ruangan itu. Jika tidak cepat-cepat dipindahkan, mayat itu secara alamiah akan banyak mengundang orang-orang untuk melihatnya.

Hendra Sucipto berjalan dengan langkah cepat dengan setiap pijakan yang mendentum-dentum dengan lantai porselen. Dia menghampiri atasannya sambil membawa beberapa lembar kertas dan kemudian menyerahkannya.

“Inspektur, memang benar korban yang ketiga ini tewas karena keracunan. Rokok yang tadi sempat dihisapnya memang ternyata mengandung racun. Kami juga sudah memeriksa kotak rokok yang dimiliki korban, dan menurut kesaksian dari beberapa pegawai perusahaan ini, kotak rokok itu milik Santi Triyani.”

“Racun apa yang terkandung dalam rokok itu?”

“Arsenik!” tukas Hendra Sucipto singkat. Tatapan matanya tajam.

“Memang jenis racun yang mematikan. Dapat dengan mudah membunuh seseorang dengan cara merusak sistem pencernaan yang lalu menyebabkan kematian karena shock. Racun ini sangat berbahaya dan dapat membunuh secara tiba-tiba,” jelas sang inspektur.
Asistennya mengangguk-angguk kagum dengan penjelasan tersebut.

“Kasus ini benar-benar memusingkan dan semakin rumit sekali, dan setiap kali aku telah menemukan sebuah titik terang, secepat itu pula titik terang itu berubah menjadi kebingungan,” keluh Inspektur Andrian kesal. “Hubungan di antara mereka tidak berjalan dengan baik. Mereka bertiga saling terlibat satu dengan yang lain dan memiliki motif yang sangat kuat untuk melakukan pembunuhan ini. Dan sayangnya, kasus ini masih gelap di mataku, dan apabila kita telah melangkah maju, makin banyak pertanyaan yang terus muncul sehubungan dengan kasus pembunuhan ini. Benar-benar membuatku tak habis pikir.”

Inspektur Andrian melanjutkan. Tetap mencoba berfikir jernih. Memeras otaknya.
“Pada pembunuhan Helena, kita tidak tahu bagaimana caranya si pembunuh memasukkan racun itu ke dalam botol plastik minuman yang masih tertutup dan tersegel rapih. Dan anehnya lagi mengenai pembunuhan yang terjadi pada Nagita Adelia ini. Cara pembunuhannya memang sederhana, tapi siapa yang membunuhnya? Mereka yang telah dicurigai bertiga kini telah tewas. Kasus ini seolah menjadi buntu bagiku.”

“Bagaimana kalau kita menanyakan hal ini kepada Tommy,” Hendra Sucipto memberikan saran, “mungkin dia bisa membantu kita Inspektur.”

Walau segan dan seolah mengurangi kredibilitasnya sebagai seorang inspektur kepolisian, mau tidak mau dia harus melakukan saran tersebut. Selama yang dia ketahui, Tommy memang adalah sejata terakhirnya. Anak itulah sejata pamungkasnya.

“Benar katamu. Kita memang sudah tidak ada pilihan yang lain lagi.” Sang inspektut mengambil ponsel dari dalam sakunya dan mulai menekan nomor pada keypad-nya membuat ponsel tersebut tersambung ke nomor seseorang.

“Halo... Tommy, bagaimana kabarmu?” tanya Inspektur Andrian. “Kabar Paman baik. Oh, iya. Ya, memang.” Tanpa lama berasa-basi, Inspektur Andrian dengan lugas menceritakan kasus yang sedang ditanganinya itu kepada pemuda tersebut. Di balik ponsel, pemuda itu terfokus.

Tommy terdiam sejenak setelah mendengarkan semuanya, lalu tanpa diduga-duga sebelumnya, dia tertawa. “Kasus pembunuhan yang sangat unik, Paman,” suaranya girang dari balik telepon. “Kalau menurutku, ini adalah segitiga pembunuhan berantai. Di mana jika kita tarik satu garis lurus ke tiga buah titik, maka nantinya garis tersebut akan kembali ke titik permulaan, yaitu titik awal pembunuhannya. Dalam kasus pembunuhan ini sama saja. Dari hasil kronologi penjelasan yang Paman katakan tadi, memang ketiga pembunuhan ini saling berhubungan.”

Tommy melanjutkan dengan kesenangan seorang remaja. “Santi Triyani yang menjadi korban pertama dibunuh dengan menggunakan pistol, dan tersangka yang membunuhnya memang benar adalah Helena. Sebab semua bukti-bukti memang sangat memberatkannya. Terlebih lagi dengan penemuan sidik jarinya pada senjata itu membuatnya semakin jelas dan bersalah atas pembunuhan tersebut. Tapi sanyangnya, dia terbunuh oleh racun yang terdapat dalam jus yang diminumnya,” jelas Tommy dengan nada prihatin.

“Lalu bagaimana cara memasukkan racun itu ke dalam botol yang masih tertutup dan tersegel rapat?” tanya Inspektur Andrian.

“Itu mudah saja Paman jika pembunuhnya tersebut menggunakan jarum suntik untuk memasukkan racunnya. Itu cara yang terpikirkan dan yang paling mungkin dilakukan oleh sang pembunuh.”

Inspektur Andrian diam, mencoba mencerna pemikiran Tommy yang begitu menakjubkan.
“Pada botol plastik jus itu ada bagian yang lentur dan lembek. Mudah sekali ditembus oleh jarum suntik atau benda sejenisnya. Dari situlah pelaku memasukkan racun mematikan itu,” jelas Tommy.

“Tapi kami tidak menemukan jenis jarum suntik atau benda lain yang mirip jarum di manapun di ruangan ketiga orang tersebut,” bantah sang inspektur. Mencoba menggoyahkan teori pembunuhan yang dikemukakan oleh Tommy.

“Apakah Paman sudah mencari di dalam tas Nagita Adelia? Pasti di situlah dia jarum suntik tersebut disembunyikan. Di tempat yang tersamarkan. Mungkin di dalam salah satu alat kosmetiknya. Kemudian pada pembunuhan ketiga, di mana Nagita sendiri dicurigai sebagai tersangka pembunuhan kedua, terbunuh. Dan menurut analisaku, pembunuhan Nagita itu dilakukan oleh Santi Triyani. Itu sudah jelas.”

“Tidak mungkin. Itu tidak mungkin. Bagaimana pembunuhan itu bisa dilakukan sementara Santi Triyani sendiri sudah meninggal jauh sebelum Nagita meninggal?” pekik sang inspektur. “Ingat dia adalah korban pertama dari pembunuhan ini.”

“Korban dalam hal ini, Santi Triyani belum tentu tidak bisa melakukan pembunuhan jika proses pembunuhan itu telah direncanakan olehnya. Dan pembunuhan itu bisa terjadi karena rokok. Rokok-rokok yang diberikan kepada Nagita jauh sebelum dia sendiri meninggal telah dicampur dengan racun yang diyakini sebagai arsenik. Wanita itu sudah merencanakan pembunuhan itu jauh sebelumnya, namun dia sendiri tidak menyadari bahwa dia juga akan menjadi korban pembunuhan nantinya. Ini adalah triangle murder, di mana semua korban memiliki dendam satu dengan yang lainnya, dan pada akhirnya mereka saling membunuh satu sama lain. Pada kasus ini mereka semua akan membunuh musuhnya, dan tidak menyadari bahwa nantinya mereka juga akan terbunuh oleh musuhnya yang lain.” Tommy menghembuskan napas. “Jika kita tarik garis lurus maka pembunuhan ini akan berakhir pada sebuah kondisi di mana korban pertama merupakan pelaku pembunuhan pada kasus pembunuhan terakhir.”

Inspektur Andrian tercengang. Wajahnya menegang. Di sampingnya, Hendra Sucipto merasakan bahwa kasus kali ini telah terpecahkan dengan sangat sempurna.

Sang inspektur memustukan hubungan ponselnya, kemudian samar-samar dia mengucapkan sesuatu yang mengejutkan. “Benar-benar, ini memang pembunuhan yang sangat mengejukan. Ternyata dendam bisa sangat mengerikan hingga terjadi seperti ini. Aku tak habis pikir.”

Senin, 19 Oktober 2009

Perjuangan: The Power of My Love

Penulis : Afandi M.
Gendre : True Love Story


Ini yang sesungguhnya, inilah cinta:

AKHIRNYA hari yang kutunggu-tunggu selama hampir enam bulan, tujuh hari, dan sembilan jam ini datang juga. Jika boleh dikatakan, inilah hari yang teristimewa dan paling berharga dalam hidupku sampai saat ini. Hari yang selama ini membuatku bisa bertahan dan mungkin, tidak bisa tergantikan oleh apa pun nantinya. Hari yang membuatku melangkahkan kaki, berangkat dari Bandung ke Makassar untuk menemui pujaanku—tujuan dan sumber utamaku. Yah, selama ini aku sering kali dibalut oleh duka dan kesendirian yang membosankan lagi memuakkan. Seolah-olah hidupku di dunia ini adalah sebuah kesalahan, semacam salah analisa dan salah prediksi antara Tuhan dan kedua orangtuaku.


Tetapi setelah lama kekacauan perasaan itu bersemayam dalam tubuhku, berpelukan dengan jiwaku, menutup rapat-rapat kesenangan dari dunia luar, tidak mengindahkan apa pun bentuk keceriaan di sekitarku, kini tiba saatnya semua itu menguap, menjadi buih-buih mikroskopik yang dimakan udara dan sinar. Entah sejak kapan bahagia ini menggumpal-gumpal untuk pertama kalinya. Tidak bisa kuketahui tepat kedatangannya. Ah, yang jelas dan bisa kuungkapkan saat ini, aku sangat-sangat bahagia. Kehidupanku telah terbalik dua ratus tujuh puluh derajat.

Pernah sekali waktu, aku sempat meyakini bahwa hari ini tak akan datang menghampiriku setelah sekian lama, namun lihatlah sekarang, hari yang kutunggu ini semakin mendekat, membisik-bisikkan senyawa-senyawa kebahagiaan, dan sekaranglah waktunya. Rindu yang menggelayut dan menggebu-gebu dalam jiwaku, hasrat yang menggelora, serta ribuan perasaan yang bercampur aduk akan terlepaskan, terlampiaskan dengan berbagai bentuk tindakan yang kuyakini mungkin saja akan kulakukan.

Kulirik setiap detakan jarum jam yang menempel kuat di dinding rumahku. Setiap perpindahan waktunya kurasakan membuat tubuhku bergetar penuh kebahagiaan. Rasanya merebak, bagaikan aroma magis telah memabukkan akal sehatku. Ah, inikah rasanya jika ingin bertemu dengan orang terkasih? Beginikah rasanya jatuh cinta, yang sebenarnya? Sulit sekali mendeskripsikan tiap waktu yang kujelajahi bersama ketiga kesatria waktu itu. Seumpama sukma telah meninggalkan raga, kegirangan, bercakap-cakap dengan mereka tentang pentingnya cinta ada di dunia. Tentang berharganya cinta bagi tiap manusia. Sesekali kukatakan kepada mereka, agar mempercepat peralihannya, mempercepat langkahnya, membuat mereka menunjukkan tepat ke angka yang kuharapkan.

“Tolong, percepat langkah kalian. Aku mohon. Buat telunjuk terkecil kalian itu merangkak dan mengarah ke angka 13.00 siang ini,” kataku dalam hati, memelas sejadi-jadinya. “Cepatlah! Ayo, aku mohon pada kalian bertiga.”

Waktu kian mendekat, dan tanpa terduga mengubahku menjadi pribadi yang berbeda dari biasanya. Ini bukan aku. Mana mungkin aku membuat perubahan dengan begitu cepat dalam diriku. Hei ingat, aku ini bukan tipe pria yang menyukai dandan berjam-jam selayaknya wanita di depan cermin. Menyemprotkan parfum ke seluruh baju dan celanaku, dan bahkan semenit sebelumnya, dengan parfum yang sama pula, benda tanda feminisme itu kusemprotkan di tubuhku. Tak lupa pula, handbody kuusapkan ke kedua penjuru lenganku. Aku seakan-akan tidak bisa mengingat, bahwa dahulunya aku ini pribadi yang cuek. Tapi entah mengapa, untuk kali ini, kali ini saja, untuk saat-saat yang menggembirakan ini, aku menginginkan menjadi sesuatu bagi dirinya. Minimal menjadi seorang pria yang begitu diidamkan para wanita, terkhusus untuknya. Menjadi pria yang peduli akan penampilannya. Minimal, aku menjadikan diriku layak berjalan bergandengan tangan dengannya di muka umum. Bersanding bersamanya melangkahi jalur-jalur kebahagiaan. Aku tidak mau mempermalukan dirinya sebagai wanita yang anggun dan memesona. Memiliki daya pikat di atas rata-rata. Yah, aku tahu, usia terkadang menjadi sedikit penghalang di antara kami. Sebagaimana usiaku memang terpaut jauh darinya, tetapi aku terkagum-kagum dengannya, sungguh sangat gembira sekali. Baginya, perbadingan usia yang cukup jauh membentang tidak semestinya menjadi penghalang. Dia menerimaku apa adanya. Sekali lagi, dia memberikanku pengetahuan tentang apa itu cinta yang sebenarnya. Dia memberiku sebuah chemistry tersendiri—mengasikkan dan kadang kala menggairahkan. Membuatku tampak berharga. Sama seperti yang dia katakan berkali-kali kepadaku. Seakan-akan kata-kata itu terus terpatri, menjadi candu yang memabukkan dengan tingkat intensitas kenikmatan yang begitu besar. Usia pula tidak menghalangi perasaan kami berkembang sedemikian pesat hingga sekarang. Cinta kami ini tak berjarak, lengang oleh kapasitas, tanpa ujung, dan tanpa perbandingan berat serta skala pembesaran.

Aku terkadang merasa aneh dengan pasangan-pasangan yang lain. Sambil menangis, wanita atau prianya akan berkata dalam tiap isakannya, “Aku telah menderita oleh cinta yang sia-sia.” Menurutku, ucapan mereka itu salah seratus persen. Sebenarnya, cinta tidak bersalah dalam masalah ini. Perasaan itu tidak boleh disalahkan karena kitalah yang menciptakan perasaan tersebut. Cinta memang yang membangun sebuah kebahagiaan, namun cinta bukanlah yang memberikan kesedihan. Wanita atau pria itu menderita karena dia merasa telah memberikan cinta lebih daripada yang dia terima dari pasangannya. Dia merasa karena cintanya telah bertepuk sebelah tangan. Dia menderita karena dia tidak dapat memaksakan aturan-aturannya sendiri kepada pasangannya. Berbeda dengan cinta kami. Cinta kami ini tidak ada takarannya.

Telah tiba saatnya, jarum jam semakin mendekati angka tujuanku. Telah kuperkirakan sebelumnya, jarak tempuh antara rumahku dan tempat pertemuan kami serta kecepatan rata-rata sebuah angkutan umum, hasilnya adalah lima belas menit. Itupun telah kuhitung-hitung dengan menggunakan rumus fisika untuk menghitung waktu di mana bisa kudeskripsikan yaitu jarak antara rumaku dan tempat pertemuan kami dibagi dengan kecepatan rata-rata angkutan umum. Cinta membuat seseorang lebih peka akan sesuatu. Bagiku, cinta membawa pencerahan ke dalam otakku. Setelah berpamitan, aku melangkahkan kaki menuju tempatku menunggu angkutan umum. Hingga detik ini, semuanya berjalan lancar. Perasaanku semakin menggebu-gebu. Tidak kuperlukan waktu banyak untuk menunggu angkutan umum jurusan BTP—Sentral berhenti di depanku. Siang itu, mungkin karena teriknya sinar matahari, hanya sedikit penumpang di dalamnya. Aku memilih duduk di depan, dekat supir. Kulakukan agar penampilanku tetap terjaga kerapihannya. Angkutan umum berjalan dengan perlahan, dan dengan itu pula hembusan angin seolah menggodaku, membelai wajahku dengan tangan-tangan lembutnya. Jarak demi jarak terlewati, namun getar-getar cinta ini membuatku melupakan setiap tempat di mana angkutan umum itu berhenti.

Tiba-tiba, ini di luar perkiraanku. Semuanya tidak sesuai dengan hasil komputasi otakku. Formula fisika itu ternyata tidak bisa diterapkan dalam kondisiku, sebab ada hal lain yang mempengaruhi hasil dari waktu perjalananku. Faktor penting itu adalah angkutan umum setidaknya memerlukan beberapa kali waktu untuk berhenti mencari penumpang, mengisi tempat duduk yang kosong. Dan hal ini benar-benar membuatku jengkel. Kenapa gangguan seperti ini bisa terjadi? Aku telambat. Ya, pasti aku terlambat sampai di sana sebelum dia tiba. Dan benar saja, ponselku berbunyi, bergetar di dalam kantong celana jeansku. Aku membuka sms, merasa was-was kalau-kalau dia merasa tersinggung, mengira aku mengingkari janji bertemu. Kubalas smsnya dengan singkat dan jelas, menekankan bahwa aku sedang dalam perjalanan ke tempat bertemu kami.

Beberapa menit kemudian, angkutan umum itu berhenti. Aku membuka pintu mobil, mengeluarkan sejumlah uang dari saku jeansku, dan langsung membayar. Dan inilah tempatnya. Sebuah bangunan besar berdiri di depanku. Makassar Town Square tertulis besar dan rapih bak papan reklame di dindingnya. Kurasakan jantungku makin berpacu, adrenalin menyembur-nyembur memberikan keberanian untukku.

Untuk kesekian kalinya, kutetapkan dalam hati. Inilah waktunya. Inilah yang kutunggu-tunggu selama ini—enam bulan, tujuh hari, dan sembilan jam. Sekaranglah saatnya.

Sembari melangkah masuk ke dalam Mall, aku menghubunginya. Menanyakan di mana dia menungguku sekarang. Ah, aku gagal memberikan kesan pertama yang baik untuknya. Semua ini murni kesalahanku, tak bermaksud menyalahkan siapa pun atas bencana ini. Dari balik ponsel, suara lembutnya berkata, bahwa saat ini dia sedang menunggu di sebuah toko buku di dalam Mall. “Aku lagi liat-liat buku,” lanjut dia menjelaskan. Jujur kukatakan, aku semakin terbius oleh kelembutan suaranya. Dan yang tak terbayangkan, aku akan menemuinya. Hari ini juga, gadis idamanku akan menampakkan wujud cantiknya. Keluar dari kepompong jarak yang membentang di antara aku dan dirinya. Keanggunannya yang menggelora, akan terus kusimpan dalam bilik memori indah yang pernah terjadi dalam hidupku. Kunaiki eskalator, dan jantungku tak dapat menahan kuasa, makin mendetak cepat. Seluruh adrenalin kini berlabuh di otakku. Menggulung-gulung ombak memori dari tengah samudra cintaku menuju neuron kerinduan yang menggelegak dalam jiwaku. Kucari-cari toko buku yang dimaksud, mengarahkan sepasang mataku ini ke papan nama toko selayaknya orang yang tersesat akan cintanya.

Toko buku itu kini ada di hadapanku. Aku berhenti sebentar, mengatur napas yang makin berantakan, dan beberapa detik kemudian, perlahan-lahan kulanjutkan kembali langkahku. Jantungku tak lagi berdetak cepat, malahan organ pemompa darah itu mau segera melompat keluar dari tubuhku. Tidak sabaran ingin mencari sosok gadis yang membuatnya tak menentu selama enam bulan, tujuh hari, dan sembilan jam terhitung hingga saat ini. Kurasakan kengiluan dalam perutku. Gejala-gejala ini tentunya baru pertama kali menjangkitiku. Obat penyembuhnya tidak bisa kutemukan di apotek manapun. Bahkan dokter-dokter biasa tidak akan bisa mengobati penyakitku ini. Nah, di sanalah, tepat di depanku dia berdiri. Dia sedang berjalan membelakangiku, tampak mencari-cari satu judul buku yang dinamakan cinta. Aku kenal betul sosoknya, dari foto-foto yang terkadang dia kirimkan kepadaku via email.

Aku tersenyum sendiri. Tubuhku gemetar saking senangnya. Untuk pertama kalinya, kudekati sosok gadis impianku ini—seorang wanita sempurna di mataku. Wanita yang telah membersihkan kerak kesendirian yang berjejalan dalam hatiku. Aku mendekatinya, perlahan, perlahan, dan semakin perlahan, seumpama ingin membuat kejutan kedatangan yang tak terlupakan. Tanpa kusadari, dia menghentikan langkahnya, berbalik dan menatapku tepat ke dalam hatiku. Aku tak menyangka dia langsung mengenaliku. Seakan-akan aura kerinduan yang menguar dari diriku telah memberitahunya bahwa aku sedang berada di belakangnya, mengamati sosoknya. Gadisku tersenyum, matanya berkaca-kaca bahagia. Dia lalu merentangkan kedua tangannya, berniat memelukku. Sesaat kemudian, baru kurasakan tubuhnya mendekapku. Begitu erat. Bak kerinduan yang sekian lama dengan sabar menanti itu, meluapkan segala bentuk kebahagiaannya. Kali ini, aroma tubuhnya kuserap dalam-dalam. Memancarkan berbagai versi kehangatan, kebahagiaan, tawa, kerinduan, cinta, dan pengharapan. Aroma tubuhnya tak akan mungkin hilang dalam hidupku. Tanpa peduli apa kata orang, dia tetap memelukku hingga akhirnya aku bersuara.

“Sudah lama nunggunya?”

Dia hanya mengangguk perlahan. Bulu mata lentiknya seolah melengkapi kecantikannya yang tak mungkin terkalahkan. Parasnya tak terlukiskan. Seumpama keseluruhan fisiknya telah menjadi kriteria bagi setiap lelaki yang sedang mencari-cari cinta. Kuyakini satu hal, dewi-dewi Yunani akan sangat iri tatkala gadisku ini menampakkan wujudnya di istana mereka, bahkan para dewanya sanggup dibuat bertekuk lutut dengan paras dan keanggunan yang dia miliki. Zeus akan rela turun dari tahta dan memilih menjadi manusia untuk mendapatkan cintanya.

Kami keluar dari toko buku. Kugenggam tangannya agar tidak jauh dariku. Perasaan ini bagaikan mimpi yang sangat indah. Dan jika ini memang mimpi, tolong—aku mohon jangan bangunkan aku. Aku tak mau begitu saja menikmati mimpi ini setengah jalan. Aku ingin mengulanginya terus dan terus, walau nyatanya hidup ini tak memerlukan keberadaanku untuk bisa berjalan seperti biasanya.

“Kita pergi ke sana yuk?” dia menyarankan sembari tersenyum, menunjuk sebuah tempat permainan yang ada di Mall itu. Aku tak sanggup berkata-kata, hanya membalas senyumannya dengan senyumanku. Di tempat itu, aku menukar sejumlah uang untuk membeli koin, dan dia tetap berada di sampingku. Kami mengamati sekeliling dan memilih sebuah bangku panjang untuk kami duduk. Suasana canggung mulai terasa. Aku mengerti, ini memang yang pertama untuknya. Dan wajar jika kecanggungan di antara kami ini tercipta. Tapi sesaat kemudian, dia berbicara banyak denganku. Mengatakan apa pun tentangnya; bagaimana dia bisa sampai ke Mall? Kapan dia berangkat? Berapa menit dia menunggu? Dan yang paling tak terlupakan bagiku adalah, saat itu secara tegas dan nyata di depanku, dia menyisipkan panggilan ‘Sayang’ pada akhir kalimatnya. Membuat dentingan irama piano-piano asmara menghambur di tengah kebisingan lagu anak-anak yang mengalun tak tentu di tempat itu.

Beberapa kali kami memasukkan koin di dalam kotak elektronik permainan basket, dan bersamanya, aku beradu untuk memasukkan bola terbanyak ke dalam ring. Semua yang kami lakukan waktu itu penuh dengan tawa riang dan kegembiraan, bahwa kami yang selama ini hanya bisa berkomunikasi melalui handphone telah membuktikan kepada semua orang yang sebelumnya pesimis akan hubungan kami ini, bahwa kami mampu bertahan dan menjaga cinta yang semakin berkembang dalam hati kami. Kami menjunjung tinggi arti kepercayaan dan kesetiaan. Meletakkan keduanya bersanding di atas singgasana bangunan permanen cinta kami.

Dua jam lebih sampai-sampai tidak terasa terlewati bersama dirinya. Bagaimana kami melewati waktu monoton bagi semua orang dengan suka cita. Bagaimana sikapnya saat menatap ke dalam mataku. Bagaimana ekspresinya saat membalas senyumanku. Bagaimana anggapannya tentang cinta kami. Dan masih banyak kata ‘bagaimana’ lagi yang bisa kuutarakan dalam kebersamaan kami itu. Yang kutahu, hari ini adalah hadiah yang paling terindah dalam hidupku, dan tentu pula untuknya.

Sebelum kami berpisah (kami telah merencanakan untuk bertemu empat hari yang akan datang), aku memberikan sebuah boneka untuknya. Aku harap boneka itu walau tak senilai dengan harga cinta kami, bisa mengisi sedikit kerinduan hari-harinya akan keberadaanku di sisinya. Aku—seseorang yang bukan apa-apa di mata orang lain, menjadi sesuatu yang tinggi di matanya. Menjadi bagian dirinya. Menjadi sesuatu penopang hidupnya. Membuatnya bisa bertahan. Untuk itulah, mengapa cintaku kepadanya tak akan pernah berakhir. Dan kuyakin, hingga akhir masa dan akhir dunia, cinta kami akan menjadi sesuatu yang selalu abadi sampai kapan pun.

Dialah yang membuatku berharga. Dialah yang membuatku bermakna. Dia pulalah yang mengajarkanku akan cinta yang sesungguhnya. Dialah Wieldy, kekasih yang ada dalam tiap hembusan napasku. Nama yang tetap kusebut dalam tiap doaku. Gadis yang akan selalu ada dalam tiap mimpiku. Hanya engkaulah wanita yang ada dalam hatiku. Hanya engkaulah labuhan di mana benakku bertumpu.

Tak bisa. Dan untuk terakhir kalinya memang nyatanya aku tak bisa, tak sanggup bernapas tanpamu.