Senin, 19 Oktober 2009

Perjuangan: The Power of My Love

Penulis : Afandi M.
Gendre : True Love Story


Ini yang sesungguhnya, inilah cinta:

AKHIRNYA hari yang kutunggu-tunggu selama hampir enam bulan, tujuh hari, dan sembilan jam ini datang juga. Jika boleh dikatakan, inilah hari yang teristimewa dan paling berharga dalam hidupku sampai saat ini. Hari yang selama ini membuatku bisa bertahan dan mungkin, tidak bisa tergantikan oleh apa pun nantinya. Hari yang membuatku melangkahkan kaki, berangkat dari Bandung ke Makassar untuk menemui pujaanku—tujuan dan sumber utamaku. Yah, selama ini aku sering kali dibalut oleh duka dan kesendirian yang membosankan lagi memuakkan. Seolah-olah hidupku di dunia ini adalah sebuah kesalahan, semacam salah analisa dan salah prediksi antara Tuhan dan kedua orangtuaku.


Tetapi setelah lama kekacauan perasaan itu bersemayam dalam tubuhku, berpelukan dengan jiwaku, menutup rapat-rapat kesenangan dari dunia luar, tidak mengindahkan apa pun bentuk keceriaan di sekitarku, kini tiba saatnya semua itu menguap, menjadi buih-buih mikroskopik yang dimakan udara dan sinar. Entah sejak kapan bahagia ini menggumpal-gumpal untuk pertama kalinya. Tidak bisa kuketahui tepat kedatangannya. Ah, yang jelas dan bisa kuungkapkan saat ini, aku sangat-sangat bahagia. Kehidupanku telah terbalik dua ratus tujuh puluh derajat.

Pernah sekali waktu, aku sempat meyakini bahwa hari ini tak akan datang menghampiriku setelah sekian lama, namun lihatlah sekarang, hari yang kutunggu ini semakin mendekat, membisik-bisikkan senyawa-senyawa kebahagiaan, dan sekaranglah waktunya. Rindu yang menggelayut dan menggebu-gebu dalam jiwaku, hasrat yang menggelora, serta ribuan perasaan yang bercampur aduk akan terlepaskan, terlampiaskan dengan berbagai bentuk tindakan yang kuyakini mungkin saja akan kulakukan.

Kulirik setiap detakan jarum jam yang menempel kuat di dinding rumahku. Setiap perpindahan waktunya kurasakan membuat tubuhku bergetar penuh kebahagiaan. Rasanya merebak, bagaikan aroma magis telah memabukkan akal sehatku. Ah, inikah rasanya jika ingin bertemu dengan orang terkasih? Beginikah rasanya jatuh cinta, yang sebenarnya? Sulit sekali mendeskripsikan tiap waktu yang kujelajahi bersama ketiga kesatria waktu itu. Seumpama sukma telah meninggalkan raga, kegirangan, bercakap-cakap dengan mereka tentang pentingnya cinta ada di dunia. Tentang berharganya cinta bagi tiap manusia. Sesekali kukatakan kepada mereka, agar mempercepat peralihannya, mempercepat langkahnya, membuat mereka menunjukkan tepat ke angka yang kuharapkan.

“Tolong, percepat langkah kalian. Aku mohon. Buat telunjuk terkecil kalian itu merangkak dan mengarah ke angka 13.00 siang ini,” kataku dalam hati, memelas sejadi-jadinya. “Cepatlah! Ayo, aku mohon pada kalian bertiga.”

Waktu kian mendekat, dan tanpa terduga mengubahku menjadi pribadi yang berbeda dari biasanya. Ini bukan aku. Mana mungkin aku membuat perubahan dengan begitu cepat dalam diriku. Hei ingat, aku ini bukan tipe pria yang menyukai dandan berjam-jam selayaknya wanita di depan cermin. Menyemprotkan parfum ke seluruh baju dan celanaku, dan bahkan semenit sebelumnya, dengan parfum yang sama pula, benda tanda feminisme itu kusemprotkan di tubuhku. Tak lupa pula, handbody kuusapkan ke kedua penjuru lenganku. Aku seakan-akan tidak bisa mengingat, bahwa dahulunya aku ini pribadi yang cuek. Tapi entah mengapa, untuk kali ini, kali ini saja, untuk saat-saat yang menggembirakan ini, aku menginginkan menjadi sesuatu bagi dirinya. Minimal menjadi seorang pria yang begitu diidamkan para wanita, terkhusus untuknya. Menjadi pria yang peduli akan penampilannya. Minimal, aku menjadikan diriku layak berjalan bergandengan tangan dengannya di muka umum. Bersanding bersamanya melangkahi jalur-jalur kebahagiaan. Aku tidak mau mempermalukan dirinya sebagai wanita yang anggun dan memesona. Memiliki daya pikat di atas rata-rata. Yah, aku tahu, usia terkadang menjadi sedikit penghalang di antara kami. Sebagaimana usiaku memang terpaut jauh darinya, tetapi aku terkagum-kagum dengannya, sungguh sangat gembira sekali. Baginya, perbadingan usia yang cukup jauh membentang tidak semestinya menjadi penghalang. Dia menerimaku apa adanya. Sekali lagi, dia memberikanku pengetahuan tentang apa itu cinta yang sebenarnya. Dia memberiku sebuah chemistry tersendiri—mengasikkan dan kadang kala menggairahkan. Membuatku tampak berharga. Sama seperti yang dia katakan berkali-kali kepadaku. Seakan-akan kata-kata itu terus terpatri, menjadi candu yang memabukkan dengan tingkat intensitas kenikmatan yang begitu besar. Usia pula tidak menghalangi perasaan kami berkembang sedemikian pesat hingga sekarang. Cinta kami ini tak berjarak, lengang oleh kapasitas, tanpa ujung, dan tanpa perbandingan berat serta skala pembesaran.

Aku terkadang merasa aneh dengan pasangan-pasangan yang lain. Sambil menangis, wanita atau prianya akan berkata dalam tiap isakannya, “Aku telah menderita oleh cinta yang sia-sia.” Menurutku, ucapan mereka itu salah seratus persen. Sebenarnya, cinta tidak bersalah dalam masalah ini. Perasaan itu tidak boleh disalahkan karena kitalah yang menciptakan perasaan tersebut. Cinta memang yang membangun sebuah kebahagiaan, namun cinta bukanlah yang memberikan kesedihan. Wanita atau pria itu menderita karena dia merasa telah memberikan cinta lebih daripada yang dia terima dari pasangannya. Dia merasa karena cintanya telah bertepuk sebelah tangan. Dia menderita karena dia tidak dapat memaksakan aturan-aturannya sendiri kepada pasangannya. Berbeda dengan cinta kami. Cinta kami ini tidak ada takarannya.

Telah tiba saatnya, jarum jam semakin mendekati angka tujuanku. Telah kuperkirakan sebelumnya, jarak tempuh antara rumahku dan tempat pertemuan kami serta kecepatan rata-rata sebuah angkutan umum, hasilnya adalah lima belas menit. Itupun telah kuhitung-hitung dengan menggunakan rumus fisika untuk menghitung waktu di mana bisa kudeskripsikan yaitu jarak antara rumaku dan tempat pertemuan kami dibagi dengan kecepatan rata-rata angkutan umum. Cinta membuat seseorang lebih peka akan sesuatu. Bagiku, cinta membawa pencerahan ke dalam otakku. Setelah berpamitan, aku melangkahkan kaki menuju tempatku menunggu angkutan umum. Hingga detik ini, semuanya berjalan lancar. Perasaanku semakin menggebu-gebu. Tidak kuperlukan waktu banyak untuk menunggu angkutan umum jurusan BTP—Sentral berhenti di depanku. Siang itu, mungkin karena teriknya sinar matahari, hanya sedikit penumpang di dalamnya. Aku memilih duduk di depan, dekat supir. Kulakukan agar penampilanku tetap terjaga kerapihannya. Angkutan umum berjalan dengan perlahan, dan dengan itu pula hembusan angin seolah menggodaku, membelai wajahku dengan tangan-tangan lembutnya. Jarak demi jarak terlewati, namun getar-getar cinta ini membuatku melupakan setiap tempat di mana angkutan umum itu berhenti.

Tiba-tiba, ini di luar perkiraanku. Semuanya tidak sesuai dengan hasil komputasi otakku. Formula fisika itu ternyata tidak bisa diterapkan dalam kondisiku, sebab ada hal lain yang mempengaruhi hasil dari waktu perjalananku. Faktor penting itu adalah angkutan umum setidaknya memerlukan beberapa kali waktu untuk berhenti mencari penumpang, mengisi tempat duduk yang kosong. Dan hal ini benar-benar membuatku jengkel. Kenapa gangguan seperti ini bisa terjadi? Aku telambat. Ya, pasti aku terlambat sampai di sana sebelum dia tiba. Dan benar saja, ponselku berbunyi, bergetar di dalam kantong celana jeansku. Aku membuka sms, merasa was-was kalau-kalau dia merasa tersinggung, mengira aku mengingkari janji bertemu. Kubalas smsnya dengan singkat dan jelas, menekankan bahwa aku sedang dalam perjalanan ke tempat bertemu kami.

Beberapa menit kemudian, angkutan umum itu berhenti. Aku membuka pintu mobil, mengeluarkan sejumlah uang dari saku jeansku, dan langsung membayar. Dan inilah tempatnya. Sebuah bangunan besar berdiri di depanku. Makassar Town Square tertulis besar dan rapih bak papan reklame di dindingnya. Kurasakan jantungku makin berpacu, adrenalin menyembur-nyembur memberikan keberanian untukku.

Untuk kesekian kalinya, kutetapkan dalam hati. Inilah waktunya. Inilah yang kutunggu-tunggu selama ini—enam bulan, tujuh hari, dan sembilan jam. Sekaranglah saatnya.

Sembari melangkah masuk ke dalam Mall, aku menghubunginya. Menanyakan di mana dia menungguku sekarang. Ah, aku gagal memberikan kesan pertama yang baik untuknya. Semua ini murni kesalahanku, tak bermaksud menyalahkan siapa pun atas bencana ini. Dari balik ponsel, suara lembutnya berkata, bahwa saat ini dia sedang menunggu di sebuah toko buku di dalam Mall. “Aku lagi liat-liat buku,” lanjut dia menjelaskan. Jujur kukatakan, aku semakin terbius oleh kelembutan suaranya. Dan yang tak terbayangkan, aku akan menemuinya. Hari ini juga, gadis idamanku akan menampakkan wujud cantiknya. Keluar dari kepompong jarak yang membentang di antara aku dan dirinya. Keanggunannya yang menggelora, akan terus kusimpan dalam bilik memori indah yang pernah terjadi dalam hidupku. Kunaiki eskalator, dan jantungku tak dapat menahan kuasa, makin mendetak cepat. Seluruh adrenalin kini berlabuh di otakku. Menggulung-gulung ombak memori dari tengah samudra cintaku menuju neuron kerinduan yang menggelegak dalam jiwaku. Kucari-cari toko buku yang dimaksud, mengarahkan sepasang mataku ini ke papan nama toko selayaknya orang yang tersesat akan cintanya.

Toko buku itu kini ada di hadapanku. Aku berhenti sebentar, mengatur napas yang makin berantakan, dan beberapa detik kemudian, perlahan-lahan kulanjutkan kembali langkahku. Jantungku tak lagi berdetak cepat, malahan organ pemompa darah itu mau segera melompat keluar dari tubuhku. Tidak sabaran ingin mencari sosok gadis yang membuatnya tak menentu selama enam bulan, tujuh hari, dan sembilan jam terhitung hingga saat ini. Kurasakan kengiluan dalam perutku. Gejala-gejala ini tentunya baru pertama kali menjangkitiku. Obat penyembuhnya tidak bisa kutemukan di apotek manapun. Bahkan dokter-dokter biasa tidak akan bisa mengobati penyakitku ini. Nah, di sanalah, tepat di depanku dia berdiri. Dia sedang berjalan membelakangiku, tampak mencari-cari satu judul buku yang dinamakan cinta. Aku kenal betul sosoknya, dari foto-foto yang terkadang dia kirimkan kepadaku via email.

Aku tersenyum sendiri. Tubuhku gemetar saking senangnya. Untuk pertama kalinya, kudekati sosok gadis impianku ini—seorang wanita sempurna di mataku. Wanita yang telah membersihkan kerak kesendirian yang berjejalan dalam hatiku. Aku mendekatinya, perlahan, perlahan, dan semakin perlahan, seumpama ingin membuat kejutan kedatangan yang tak terlupakan. Tanpa kusadari, dia menghentikan langkahnya, berbalik dan menatapku tepat ke dalam hatiku. Aku tak menyangka dia langsung mengenaliku. Seakan-akan aura kerinduan yang menguar dari diriku telah memberitahunya bahwa aku sedang berada di belakangnya, mengamati sosoknya. Gadisku tersenyum, matanya berkaca-kaca bahagia. Dia lalu merentangkan kedua tangannya, berniat memelukku. Sesaat kemudian, baru kurasakan tubuhnya mendekapku. Begitu erat. Bak kerinduan yang sekian lama dengan sabar menanti itu, meluapkan segala bentuk kebahagiaannya. Kali ini, aroma tubuhnya kuserap dalam-dalam. Memancarkan berbagai versi kehangatan, kebahagiaan, tawa, kerinduan, cinta, dan pengharapan. Aroma tubuhnya tak akan mungkin hilang dalam hidupku. Tanpa peduli apa kata orang, dia tetap memelukku hingga akhirnya aku bersuara.

“Sudah lama nunggunya?”

Dia hanya mengangguk perlahan. Bulu mata lentiknya seolah melengkapi kecantikannya yang tak mungkin terkalahkan. Parasnya tak terlukiskan. Seumpama keseluruhan fisiknya telah menjadi kriteria bagi setiap lelaki yang sedang mencari-cari cinta. Kuyakini satu hal, dewi-dewi Yunani akan sangat iri tatkala gadisku ini menampakkan wujudnya di istana mereka, bahkan para dewanya sanggup dibuat bertekuk lutut dengan paras dan keanggunan yang dia miliki. Zeus akan rela turun dari tahta dan memilih menjadi manusia untuk mendapatkan cintanya.

Kami keluar dari toko buku. Kugenggam tangannya agar tidak jauh dariku. Perasaan ini bagaikan mimpi yang sangat indah. Dan jika ini memang mimpi, tolong—aku mohon jangan bangunkan aku. Aku tak mau begitu saja menikmati mimpi ini setengah jalan. Aku ingin mengulanginya terus dan terus, walau nyatanya hidup ini tak memerlukan keberadaanku untuk bisa berjalan seperti biasanya.

“Kita pergi ke sana yuk?” dia menyarankan sembari tersenyum, menunjuk sebuah tempat permainan yang ada di Mall itu. Aku tak sanggup berkata-kata, hanya membalas senyumannya dengan senyumanku. Di tempat itu, aku menukar sejumlah uang untuk membeli koin, dan dia tetap berada di sampingku. Kami mengamati sekeliling dan memilih sebuah bangku panjang untuk kami duduk. Suasana canggung mulai terasa. Aku mengerti, ini memang yang pertama untuknya. Dan wajar jika kecanggungan di antara kami ini tercipta. Tapi sesaat kemudian, dia berbicara banyak denganku. Mengatakan apa pun tentangnya; bagaimana dia bisa sampai ke Mall? Kapan dia berangkat? Berapa menit dia menunggu? Dan yang paling tak terlupakan bagiku adalah, saat itu secara tegas dan nyata di depanku, dia menyisipkan panggilan ‘Sayang’ pada akhir kalimatnya. Membuat dentingan irama piano-piano asmara menghambur di tengah kebisingan lagu anak-anak yang mengalun tak tentu di tempat itu.

Beberapa kali kami memasukkan koin di dalam kotak elektronik permainan basket, dan bersamanya, aku beradu untuk memasukkan bola terbanyak ke dalam ring. Semua yang kami lakukan waktu itu penuh dengan tawa riang dan kegembiraan, bahwa kami yang selama ini hanya bisa berkomunikasi melalui handphone telah membuktikan kepada semua orang yang sebelumnya pesimis akan hubungan kami ini, bahwa kami mampu bertahan dan menjaga cinta yang semakin berkembang dalam hati kami. Kami menjunjung tinggi arti kepercayaan dan kesetiaan. Meletakkan keduanya bersanding di atas singgasana bangunan permanen cinta kami.

Dua jam lebih sampai-sampai tidak terasa terlewati bersama dirinya. Bagaimana kami melewati waktu monoton bagi semua orang dengan suka cita. Bagaimana sikapnya saat menatap ke dalam mataku. Bagaimana ekspresinya saat membalas senyumanku. Bagaimana anggapannya tentang cinta kami. Dan masih banyak kata ‘bagaimana’ lagi yang bisa kuutarakan dalam kebersamaan kami itu. Yang kutahu, hari ini adalah hadiah yang paling terindah dalam hidupku, dan tentu pula untuknya.

Sebelum kami berpisah (kami telah merencanakan untuk bertemu empat hari yang akan datang), aku memberikan sebuah boneka untuknya. Aku harap boneka itu walau tak senilai dengan harga cinta kami, bisa mengisi sedikit kerinduan hari-harinya akan keberadaanku di sisinya. Aku—seseorang yang bukan apa-apa di mata orang lain, menjadi sesuatu yang tinggi di matanya. Menjadi bagian dirinya. Menjadi sesuatu penopang hidupnya. Membuatnya bisa bertahan. Untuk itulah, mengapa cintaku kepadanya tak akan pernah berakhir. Dan kuyakin, hingga akhir masa dan akhir dunia, cinta kami akan menjadi sesuatu yang selalu abadi sampai kapan pun.

Dialah yang membuatku berharga. Dialah yang membuatku bermakna. Dia pulalah yang mengajarkanku akan cinta yang sesungguhnya. Dialah Wieldy, kekasih yang ada dalam tiap hembusan napasku. Nama yang tetap kusebut dalam tiap doaku. Gadis yang akan selalu ada dalam tiap mimpiku. Hanya engkaulah wanita yang ada dalam hatiku. Hanya engkaulah labuhan di mana benakku bertumpu.

Tak bisa. Dan untuk terakhir kalinya memang nyatanya aku tak bisa, tak sanggup bernapas tanpamu.


Tidak ada komentar: