Selasa, 27 Oktober 2009

The Triangle Murder - Chap. 04

Penulis : Afandi M.
Gendre : Detektif & Misteri
Lain-lain : Berseri (4)


SIANG HARI, setelah peristiwa mengenaskan itu kembali berulang, polisi datang. Kedatangan mereka mendapat banyak tanggapan berbeda dari masing-masing karyawan perusahaan Summer. Mereka takut sekali akan ikut dilibatkan dalam penyelidikan, dan akhirnya berurusan dengan aparat-aparat hukum tersebut. Mereka semua adalah tipe orang yang individualistis. Sifat khas seorang pecundang.

Saat itu, di sebuah ruangan tempat biasanya beberapa direksi mengadakan rapat, Inspektur Andrian duduk mendengarkan keterangan dari Asistennya―Hendra Sucipto.

“Wanita yang menjadi korban adalah Helena Sriwahyuni. Dia bekerja sebagai salah satu designer di perusahaan ini. Dia meninggal akibat keracunan minuman yang ada di atas mejanya.”

“Belum selesai peristiwa pembunuhan yang pertama diusut, telah terjadi lagi pembunuhan yang kedua di perusahaan ini,” keluh asisten itu.


“Aku rasa dia bukan mati karena keracunan tapi karena diracuni. Siapa yang membawa minuman ini kepadanya?” tanya sang inspektur sambil membaui minuman beracun itu dengan hidungnya. “Menurut kesaksian sebagian karyawan yang berada di ruangan ini bersama korban saat itu, Jumadi yang memberikan minuman itu kepada korban sesaat sebelum korban tewas.”

“Bukankah dia juga yang menemukan mayat korban yang pertama di ruangan perusahaannya?” tanya Inspektur Andrian.

“Benar, Inspektur.”

“Bagaimana mengenai pembunuhan pertama? Siapa korbannya?”

“Pembunuhan pertama juga terjadi di perusahaan ini dan korbannya adalah Santi Triyani, kepala bagian perancangan. Dia meninggal akibat tembakan di dadanya dari jarak dekat dan kami juga sudah menemukan barang buktinya di toilet wanita berupa sebuah revolver yang tersembunyi di bawah tumpukan tisu toilet,” jelas Hendra Sucipto.

“Memangnya ada apa dengan waktu kematiannya?”

“Apakah ada yang dicurigai?” Inspektur Andrian tak hentinya bertanya. “Ada Inspektur! Kami mencurigai Helena yang membunuhnya,” ujar asisten itu dengan dengusan pelan.

“Bukankah dia itu adalah korban kedua,” jelas inspektur.

“Memang dialah orangnya, Pak.”

“Coba sebutkan bagaimana analisamu jika memang dia adalah pelakunya?” tanya Inspektur Andrian menguji analisa bawahannya tersebut.

“Pertama-tama Helena pergi ke ruangan korban, menunggu korbannya hingga datang. Setelah korban membuka pintu dia langsung menembaknya. Setelah itu, dia buru-buru ke toilet wanita untuk membuang senjatanya di tempat sampah sebab tempat itulah yang paling aman yang dia pikirkan saat itu. Semua pegawai istirahat pada jam itu, jadi tidak ada yang masuk toilet. Kami juga menemukan sidik jarinya di pistol itu yang semakin mempertegasn bahwa dia adalah pembunuhnya. Tapi sekarang dia tiba-tiba tewas. Ada orang lain yang membunuhnya,” katanya mengakhiri analisanya.

“Bagus! Menurutku memang begitulah kronologi kasus pembunuhan yang pertama itu, dan sekarang mengenai pembunuhan yang kedua ini, apakah kamu sudah mengintrogasi office boy itu?”

“Ya, tadi kami sudah mengintrogasinya. Berdasarkan pengakuannya, minuman itu diberikan oleh Nagita Adelia, wakil direktur di perusahaan ini kepadanya. Si pelayan itu disuruh untuk membawakan minuman tersebut ke Helena sebab sang wakil direktur itu ada rapat mendadak. Tapi saat kami menanyakan apakah Nagita memasukkan racun ke dalam botol plastik tempat minuman itu dia membantahnya. Dia mengatakan bahwa saat diterima botol minuman itu masih dalam kondisi bagus. Tertutup rapat dan masih bersegel pada tutupnya.”

“Katamu ketiga orang ini memiliki dendam satu dengan yang lainnya. Mengapa mereka saling menendam?” seru sang inspektur.

“Korban pertama yaitu Santi Triyani dibenci oleh Helena yang merupakan korban kedua dan Nagita yang merupakan atasannya. Helena yang dulu merupakan teman baiknya membencinya karena telah mencuri hasil rancangannya sehingga Santi Triyani diangkat jabatannya menjadi salah satu kepala bagian di perusahaan ini, sedangkan Nagita membencinya karena ingin merebut jabatannya sebagai wakil direktur.”

Inspektur Andrian tersenyum. “Masalah jabatan ya!”

“Sementara itu Helena juga dibenci oleh Nagita karena telah merebut tunangannya pada saat pernikahan mereka tinggal beberapa bulan lagi.”

“Kalau begitu, Nagita-lah yang memiliki motif yang sangat besar untuk membunuh Helena yang telah merebut tunangannya,” Inspektur Andrian menyimpulkan.

“Pendapat saya juga begitu Pak.”

“Tapi yang menjadi pertanyaan sekarang yaitu bagaimana dia memasukkan racun tersebut ke dalam botol minuman itu. Bukankah office boy itu mengatakan botol minuman itu tertutup rapat, disegel pula.” Asistennya hanya mengangguk menyetujui perkataan atasannya bagaikan binatang peliharaan yang selalu menuruti kehendak majikannya. “Sebaiknya kita mengintrogasi Nagita dulu, sebelum menarik kesimpulan akhir atas pembunuhan yang kedua ini. Lagipula kita dituntut untuk segera memecahkan kasus ini, agar suasana di perusahaan ini kembali tenang dan untuk menghindari citra buruk masyarakat atas kinerja kepolisian.”

**

Nagita sedang menopangkan kakinya di atas kaki yang satunya. Saat itu, dia mengenakan stelan jas dengan dalaman kemeja serta celana panjang kain yang sesuai dengan warna jasnya. Matanya yang licik menatap kedua orang di depannya secara bergantian.

“Apa yang ingin kalian tanyakan kepadaku lagi? Bukankah tadi aku sudah memberikan kesaksianku?” ujarnya dengan nada merendahkan.

“Ada beberapa hal yang ingin kami tanyakan lagi kepada Anda,” ujar Inspektur Andrian sopan.

Dia lalu mengambil kotak rokoknya yang kemarin diberikan oleh Santi sebelum dia meninggal. Sambil memberikan suatu tanda kepada kedua polisi itu dengan batang rokoknya, dia mulai membakar rokok tersebut.

“Apakah betul Anda yang memberikan botol minuman itu kepada Jumadi?” tanya Inspektur Andrian sambil membuka catatan kecilnya. Nagita mengangguk sekali, kemudian raut mukanya berubah, matanya melotot, nafasnya saling memburu. Dijatuhkannya rokok yang semula ada di mulutnya, kemudian kedua tangannya memegangi lehernya. Inspektur Andrian dengan sigap lalu meloncat ke depan kemudian membaringkannya di pangkuannya.
Sesaat kemudian digelengkannya kepalanya. “Dia sudah meninggal,” katanya dengan suara lesu dan desahan nafas panjang. Suasana diam seketika dan hanya terdengar Hendra Sucipto menghembuskan napas penyesalan. Inspektur Andrian kemudian mengamati sesuatu. Dengan ketekunan bak seorang kutu buku, dia memeriksa puntung rokok yang tadi dijatuhkan oleh Nagita.

Dia mendekatkan puntung itu ke hidungnya, membauinya, dan entah mengapa, saat itu juga kepalanya setengah pusing. Ada bau aneh yang menguar dari puntung rokok tersebut. Dengan cepat dialihkannya puntung itu jauh-jauh dari indra penciumannya, mencegah agar sesuatu yang tidak diinginkan terjadi kemudian.

“Kuduga, dia meninggal karena keracunan,” kata sang inspektur.

Dia lalu menyuruh asistennya agar memanggil polisi lain untuk membawa mayat Nagita dari ruangan itu. Jika tidak cepat-cepat dipindahkan, mayat itu secara alamiah akan banyak mengundang orang-orang untuk melihatnya.

Hendra Sucipto berjalan dengan langkah cepat dengan setiap pijakan yang mendentum-dentum dengan lantai porselen. Dia menghampiri atasannya sambil membawa beberapa lembar kertas dan kemudian menyerahkannya.

“Inspektur, memang benar korban yang ketiga ini tewas karena keracunan. Rokok yang tadi sempat dihisapnya memang ternyata mengandung racun. Kami juga sudah memeriksa kotak rokok yang dimiliki korban, dan menurut kesaksian dari beberapa pegawai perusahaan ini, kotak rokok itu milik Santi Triyani.”

“Racun apa yang terkandung dalam rokok itu?”

“Arsenik!” tukas Hendra Sucipto singkat. Tatapan matanya tajam.

“Memang jenis racun yang mematikan. Dapat dengan mudah membunuh seseorang dengan cara merusak sistem pencernaan yang lalu menyebabkan kematian karena shock. Racun ini sangat berbahaya dan dapat membunuh secara tiba-tiba,” jelas sang inspektur.
Asistennya mengangguk-angguk kagum dengan penjelasan tersebut.

“Kasus ini benar-benar memusingkan dan semakin rumit sekali, dan setiap kali aku telah menemukan sebuah titik terang, secepat itu pula titik terang itu berubah menjadi kebingungan,” keluh Inspektur Andrian kesal. “Hubungan di antara mereka tidak berjalan dengan baik. Mereka bertiga saling terlibat satu dengan yang lain dan memiliki motif yang sangat kuat untuk melakukan pembunuhan ini. Dan sayangnya, kasus ini masih gelap di mataku, dan apabila kita telah melangkah maju, makin banyak pertanyaan yang terus muncul sehubungan dengan kasus pembunuhan ini. Benar-benar membuatku tak habis pikir.”

Inspektur Andrian melanjutkan. Tetap mencoba berfikir jernih. Memeras otaknya.
“Pada pembunuhan Helena, kita tidak tahu bagaimana caranya si pembunuh memasukkan racun itu ke dalam botol plastik minuman yang masih tertutup dan tersegel rapih. Dan anehnya lagi mengenai pembunuhan yang terjadi pada Nagita Adelia ini. Cara pembunuhannya memang sederhana, tapi siapa yang membunuhnya? Mereka yang telah dicurigai bertiga kini telah tewas. Kasus ini seolah menjadi buntu bagiku.”

“Bagaimana kalau kita menanyakan hal ini kepada Tommy,” Hendra Sucipto memberikan saran, “mungkin dia bisa membantu kita Inspektur.”

Walau segan dan seolah mengurangi kredibilitasnya sebagai seorang inspektur kepolisian, mau tidak mau dia harus melakukan saran tersebut. Selama yang dia ketahui, Tommy memang adalah sejata terakhirnya. Anak itulah sejata pamungkasnya.

“Benar katamu. Kita memang sudah tidak ada pilihan yang lain lagi.” Sang inspektut mengambil ponsel dari dalam sakunya dan mulai menekan nomor pada keypad-nya membuat ponsel tersebut tersambung ke nomor seseorang.

“Halo... Tommy, bagaimana kabarmu?” tanya Inspektur Andrian. “Kabar Paman baik. Oh, iya. Ya, memang.” Tanpa lama berasa-basi, Inspektur Andrian dengan lugas menceritakan kasus yang sedang ditanganinya itu kepada pemuda tersebut. Di balik ponsel, pemuda itu terfokus.

Tommy terdiam sejenak setelah mendengarkan semuanya, lalu tanpa diduga-duga sebelumnya, dia tertawa. “Kasus pembunuhan yang sangat unik, Paman,” suaranya girang dari balik telepon. “Kalau menurutku, ini adalah segitiga pembunuhan berantai. Di mana jika kita tarik satu garis lurus ke tiga buah titik, maka nantinya garis tersebut akan kembali ke titik permulaan, yaitu titik awal pembunuhannya. Dalam kasus pembunuhan ini sama saja. Dari hasil kronologi penjelasan yang Paman katakan tadi, memang ketiga pembunuhan ini saling berhubungan.”

Tommy melanjutkan dengan kesenangan seorang remaja. “Santi Triyani yang menjadi korban pertama dibunuh dengan menggunakan pistol, dan tersangka yang membunuhnya memang benar adalah Helena. Sebab semua bukti-bukti memang sangat memberatkannya. Terlebih lagi dengan penemuan sidik jarinya pada senjata itu membuatnya semakin jelas dan bersalah atas pembunuhan tersebut. Tapi sanyangnya, dia terbunuh oleh racun yang terdapat dalam jus yang diminumnya,” jelas Tommy dengan nada prihatin.

“Lalu bagaimana cara memasukkan racun itu ke dalam botol yang masih tertutup dan tersegel rapat?” tanya Inspektur Andrian.

“Itu mudah saja Paman jika pembunuhnya tersebut menggunakan jarum suntik untuk memasukkan racunnya. Itu cara yang terpikirkan dan yang paling mungkin dilakukan oleh sang pembunuh.”

Inspektur Andrian diam, mencoba mencerna pemikiran Tommy yang begitu menakjubkan.
“Pada botol plastik jus itu ada bagian yang lentur dan lembek. Mudah sekali ditembus oleh jarum suntik atau benda sejenisnya. Dari situlah pelaku memasukkan racun mematikan itu,” jelas Tommy.

“Tapi kami tidak menemukan jenis jarum suntik atau benda lain yang mirip jarum di manapun di ruangan ketiga orang tersebut,” bantah sang inspektur. Mencoba menggoyahkan teori pembunuhan yang dikemukakan oleh Tommy.

“Apakah Paman sudah mencari di dalam tas Nagita Adelia? Pasti di situlah dia jarum suntik tersebut disembunyikan. Di tempat yang tersamarkan. Mungkin di dalam salah satu alat kosmetiknya. Kemudian pada pembunuhan ketiga, di mana Nagita sendiri dicurigai sebagai tersangka pembunuhan kedua, terbunuh. Dan menurut analisaku, pembunuhan Nagita itu dilakukan oleh Santi Triyani. Itu sudah jelas.”

“Tidak mungkin. Itu tidak mungkin. Bagaimana pembunuhan itu bisa dilakukan sementara Santi Triyani sendiri sudah meninggal jauh sebelum Nagita meninggal?” pekik sang inspektur. “Ingat dia adalah korban pertama dari pembunuhan ini.”

“Korban dalam hal ini, Santi Triyani belum tentu tidak bisa melakukan pembunuhan jika proses pembunuhan itu telah direncanakan olehnya. Dan pembunuhan itu bisa terjadi karena rokok. Rokok-rokok yang diberikan kepada Nagita jauh sebelum dia sendiri meninggal telah dicampur dengan racun yang diyakini sebagai arsenik. Wanita itu sudah merencanakan pembunuhan itu jauh sebelumnya, namun dia sendiri tidak menyadari bahwa dia juga akan menjadi korban pembunuhan nantinya. Ini adalah triangle murder, di mana semua korban memiliki dendam satu dengan yang lainnya, dan pada akhirnya mereka saling membunuh satu sama lain. Pada kasus ini mereka semua akan membunuh musuhnya, dan tidak menyadari bahwa nantinya mereka juga akan terbunuh oleh musuhnya yang lain.” Tommy menghembuskan napas. “Jika kita tarik garis lurus maka pembunuhan ini akan berakhir pada sebuah kondisi di mana korban pertama merupakan pelaku pembunuhan pada kasus pembunuhan terakhir.”

Inspektur Andrian tercengang. Wajahnya menegang. Di sampingnya, Hendra Sucipto merasakan bahwa kasus kali ini telah terpecahkan dengan sangat sempurna.

Sang inspektur memustukan hubungan ponselnya, kemudian samar-samar dia mengucapkan sesuatu yang mengejutkan. “Benar-benar, ini memang pembunuhan yang sangat mengejukan. Ternyata dendam bisa sangat mengerikan hingga terjadi seperti ini. Aku tak habis pikir.”

1 komentar:

はすな_HasnaHazu mengatakan...

nice blog n nice story.

saya jg pcinta horor nih. Tp baru 1 novel yg diterbitkan. Novel kka sdh byk yg diterbitkan ya., hebat.

mampir k blog sya jg ya

salam