Selasa, 14 Oktober 2008

Petir

Penulis : Afandi M.
Gendre : Kehidupan

SORE ITU, di Desa Matakali, langit yang tadinya cerah berubah temaram—gelap. Awan-awan yang tadinya terbagi-bagi sambil sesekali tersenyum di angkasa, disatukan kembali oleh angin hingga membentuk awan hitam raksasa laksana gulali kematian. Sedikit demi sedikit awan yang dilarikan angin itu seketika menutup desa bagaikan atap raksasa. Dahan-dahan kelapa saling bersinggungan, berdesir, karena hempasan angin. Bunga-bunga berwarna oranye kecil-kecil di puncak bonggolnya, berjatuhan. Menghambur dan dilarikan angin jauh dari pohonnya. Bahkan saking hebatnya angin pada waktu itu, beberapa butir kelapa tua berjatuhan membentur daratan Bumi. Menimbulkan bunyi debum yang tidak biasa.



Pohon-pohon pinang yang berjejer di depan rumah panggungku, bergoyang-goyang, mau goyah, seakan menyerahkan nasibnya pada ratusan akar-akarnya yang menyebar dan menancap kuat di dalam tanah. Beberapa pohon pisang tua roboh kesatu sisi. Burung-burung yang sebelumnya berkicau riang, berlarian ke sana-kemari mencari tempat-tempat perlindungan. Hawa mencekam menebarkan jaring dan kuasanya. Menyisipkan serangan teror dan bencana. Jemuran-jemuran beterbangan, seumpama ingin turut serta menyelamatkan diri. Berguling-guling di tanah bersama bambu-bambu penopangnya.

Sepuluh menit kemudian, angin bertambah kencang. Langit yang sudah menghitam bagai disemproti cairan tinta, belum jua memuntahkan kekesalannya pada dunia, pada alam semesta, pada jagad raya. Jalanan langsung lengang. Tak ada manusia yang berani mengusik murka langit. Suara-suara serangga pohon, sayup-sayup menghilang bagai tersaput oleh kengerian. Sementara, rumah panggung tempatku ditempa dan meniti hidup, kayu-kayunya sudah berderak pelan. Seumpama irama minta tolong. Pasak-pasak yang menyatukan semua pangkalnya seakan-akan mau terlepas. Dinding-dinding kayunya yang reot jatuh berhamburan.

Hawa dingin kembali menyerang. Kini lebih menakutkan karena kedatangannya juga membawa serta kabut. Jenis kabut yang tidak biasa. Kabut yang tercipta seketika. Bukan jenis kabut yang seyogianya turun dari kaki bukit. Kabut ini adalah kabut yang berisi kekuatan magis, penghipnotis. Secara sepihak, kabut menutupi semuanya. Seolah melahap apa saja yang menghalang lajunya.

Dua puluh menit kemudian langit belum juga mengutarakan isi hatinya, belum memuntahkan amarahnya. Ya, sebenarnya aku tahu apa yang langit pikirkan. Sebenarnya, dia merencanakan sesuatu. Hanya satu rencananya. Hanya satu saja alasan yang benar-benar pasti dilakukannya. Satu rencana monoton yang kerap datang. Dia ingin menghantam Bumi dengan serangan kejutan yang dahsyat. Satu serangan yang tak mau ditunggu-tunggu kedatangannya. Serangan yang tak jarang memamerkan kehebatannya, kekuatan serta keangkuhannya.

Jauh di depan sana, satu dentuman keras bak ledakan meriam terdengar, menggema. Desa seolah meledak. Gelombang kedua lebih buruk. Ledakan yang datang mengguncang rasa takut di seluruh tubuh. Macam ketakutan yang tidak diketahui sumbernya, seperti rasa takut pada kematian. Satu-satunya yang bisa ditangkap hanya gema ledakan, disusul gemuruh berkali-kali, lalu dentuman guntur sambung-menyambung. Seolah-olah tiap-tiap bangunan laksana rak buku yang terjatuh bagai mempraktekkan teori efek domino. Orang-orang yang sekarang sudah ketakutan, bersembunyi di balik halangan selimut dan hanya bisa berpikir: inilah saatnya. Inilah akhirnya. Yang mereka pikirkan bukan akhir hidup pribadi masing-masing, tapi adalah akhir dari dunia. Kiamat. Mereka kira dengan selimut itu saja bisa meredam kemurkaan langit? Bisa mengusir kiamat? Yang benar saja! Itu tidak mungkin. Jelas sekali tidak mungkin. Seribu kali, bahkan, tidak mungkin.

Seberkas cahaya cepat bak sinar laser yang ditembakkan dari angkasa membekas di langit. Sinarnya menakutkan, menyilaukan, lagi membutakan. Beberapa detik setelah kedatangan cahaya tadi dentuman berikutnya terdengar, lebih keras, lebih mengerikan, lebih menakutkan. Sepenuhnya mencekam, merontokkan iman, dan tak jarang menghilangkan keteguhan. Rupanya langit sudah menunjukkan tanda-tanda mau menyerang kembali dengan armadanya yang kini telah lengkap sempurna.

Di salah satu petak sawah, satu bentuk orang-orangan sawah menggigil ketakutan. Tak ada kuasanya untuk berlindung. Satu pancangan kaki yang menyatu dengan tubuhnya telah ditancapkan kuat ke dalam tanah. Tak bisa dia bergerak. Berteriak minta tolong pun tak akan mungkin. Kini, langit menunjukkan keangkuhan yang sebenarnya. Kilat dan gemuruh guntur menyambar silih berganti. Tiap menit, tiap detik. Suasana dibawa ke arah mencekam. Orang-orangan sawah yang tadi hanya diam ketakutan, kini mendapat sapaan berupa kedatangan kilat yang tepat menghantam tubuhnya. Tubuhnya yang hanya tersusun atas jerami dan balutan baju bekas langsung terbakar. Hangus oleh kejahatan murni yang terencana. Dengan cepat api menyebar, menyambar, dan menghabisi tiap lekukan jerami yang tersisa.

Betapa malang sekali nasib orang-orangan sawah itu. Diciptakan dengan bahan-bahan sisa, ditancap di pinggir pematang tanpa perasaan, dan ditinggal begitu saja tanpa perawatan. Sendiri, menyepi, dan meratapi nasib hingga akhir. Dibuat hanya demi kepentingan manusia. Dulunya, dia bertanggung jawab penuh mengusir burung-burung gelatik yang menghambur jika bulir-bulir padi sudah menunjukkan bentuknya. Sekarang, mana balas budi mereka? Di mana kepedulian manusia-manusia yang menciptakannya?

Lama kelamaan, satu demi satu organ tubuhnya akan rusak, copot tanpa butuh perbaikan. Tapi semuanya akan berbeda nanti. Semuanya akan berbeda di mata Tuhan kelak. Benda-benda terbuang seperti itu, biasanya, memiliki kedudukan dan derajat lebih tinggi dibanding manusia-manusia pendosa. Benda-benda itu akan dianggap suci, bermartabat, memiliki kasta yang jelas. Mungkin merupakan jenis strata yang tertinggi di kalangan manusia.

Rintik hujan yang jatuh dari kaki langit, datang membasahi Bumi. Mengguyur percikan api lalu perlahan mematikannya. Baranya pun tak lagi menyala. Meredam celaka yang akan berlanjut menjadi bencana.

Di tanah lapang dekat rumahku, aku berdiri sambil menatap langit. Langit ketika itu masih temaram. Kilat dan guntur masih beraksi. Saat ini mereka sedang berpesta pora. Kengerian dan ketakutan manusia merupakan kegembiraan buat mereka. Bisa saja diumpamakan seperti sebuah dessert yang selalu muncul belakangan.

Corak hitam langit masih kentara, masih kelihatan mendominasi angkasa. Air hujan membasuh seluruh keringat dan ketakutan yang melekat-lekat di wajahku bagai betonan daki. Kupejamkan berkali-kali mataku sebab perih menusuk-nusuk irisnya. Sekarang, kubuka lagi. Kukukuhkan kembali penglihatanku. Kembali tubuhku menggigil. Bajuku yang basah mencetak dadaku yang hanya dipenuhi tulang-belulang, kurus tak berdaging. Angin masih menghantam-hantam rumah panggung di sampingku. Atapnya yang hanya dilapisi seng dan disekati paku, seumpama ingin ikut terbang diterpa angin. Melayang-layang di angkasa bagai daun jatuh dari cabang pohon yang paling tinggi. Diombang-abingkan ke sana-kemari. Di bolak-balik dengan paksa tanpa henti.

Aku tetap bertahan. Kakiku tak akan goyah oleh semua jenis rintangan seperti itu. Tidak akan bisa. Semua itu cemen buatku, kecil, setai kuku, dan hasilnya akan tetap nihil. Aku tak mau kalah. Tak kubiarkan diriku sekali lagi mengalami hal itu. Tak kuperkenankan ketakutan merasuki dan meracuni sendi-sendi tubuhku. Terus kulihati langit sebab beberapa saat lagi tak akan ada bekas kehidupan di ragaku ini. Jiwaku akan melayang jauh. Terbang menembus awan nan gelap gulita. Menyiasati gempuran petir dengan diriku sebagai penangkalnya. Menyelamatkan dunia dari teror menakutkan yang diciptakan petir.

Tidak ada komentar: