Rabu, 15 Oktober 2008

Sepenuhnya, Belum Terjamah (Sepenggal Memori Pesisir)

Penulis : Afandi M.
Gendre : Bebas/Liburan

Pagi-pagi sekitar pukul 09.00, kami bertolak dari rumah menuju sebuah pantai yang konon katanya indah dan masih asri. Ini disebabkan karena adikku yang paling bungsu terus merengek mau pergi berlibur. Dan mungkin karena telinga orang tuaku sudah panas dan tak tahan mendengarkan lagi rengekannya, pada akhirnya mereka mengiyakan juga.

Pantai berpasir putih itu diberi nama Pa’lippis. Entah oleh siapa pantai itu dinamai dengan nama yang menurutku aneh seperti itu. Sudah kutanyai penduduk-penduduk sekitar situ, namun tak ada yang tahu asal muasal penganugerahan nama itu oleh masyarakat sekitar. Bentuk kontur pantainya yang berpasir putih serta keberadaan batu-batu karang berukuran Gigantik dan juga posisi pantainya yang berdekatan dengan tembok-tembok tebing curam, mungkin membuat orang-orang memanggilnya seperti itu. Atau mungkin karena keeksotisan lautnya yang menurutku belum terlalu diperhatikan oleh Pemerintah Daerah setempat.



Jika orang Sunda ditanya, Pa’lippis itu dapat diartikan sebagai pelipis. Setahuku, suku Mandar dan Bugis yang sepenuhnya mendominasi daerah itu, berjiwa petualang di lautan dan sangat terkenal akan perahu Phinisi-nya yang dapat mengarungi samudra-samudra kejam yang memisahkan tiap-tiap daratan. Mereka juga biasanya pandai berfilosofi. Kalau kuanalogikan dan kuhubungkan semuanya, pendapatku begini. Kuumpamakan, Bumi itu seperti manusia, terdiri atas anggota-anggota tubuh; sepasang kaki, badan, sepasang tangan, dan kepala. Atau kusebut saja dua bagian penting yaitu badan (sudah terdiri atas tangan dan kaki) dan kepala. Dua itulah bagian terpenting manusia. Lautan yang sepenuhnya mendominasi belahan Bumi, kusebut sebagai badan dan daratannya adalah kepala. Karena daratan adalah kepala dan lautan merupakan badan, maka pesisir pantai adalah pelipis manusia. Mungkin begitulah analogi asala-asalanku. Hehehe... Jangan terlalu dipikirkan.

Kembali ke topik utama (sambil nyanyi lagu OST. Laskar Pelangi (Nidji)). Bagiku, pantai itu eksotis dan memendam keanggunan tersendiri dari seluruh pantai-pantai yang ada di seluruh kepulauan Indonesia. Pantai yang berada di daerah Campalagia, kabupaten Polmas, Sulawesi Barat itu membuatku pertama kali terpesona. Keindahan itu dengan sangat berhasil menggaet perhatianku.

Biaya masuk ke pantai itu sebesar Rp 3.000 per orang (jadi yang merasa bukan orang atau keturunan primata, pasti tidak bayar deh... hehehe... becanda). Sebelum masuk ke pantai, terlebih dahulu kita harus menuruni anak-anak tangga bagai menuruni bukit batu granit nan terjal. Sayang sekali, walaupun sudah disiapkan anak tangga, tapi sepertinya tidak terawat dengan baik. Tak ada dibuat susuran pegangan anak tangga. Ini sungguh berbahaya bagi anak kecil yang melewati tempat itu. Harus ada perhatian ekstra dari para orang tua saat menuruni tangga tersebut. Ditambah lagi, banyak sekali tumbuh lumut di sepanjang anak tangga itu sehingga terlihat berantakan dan tak terurus. Walaupun hujan tidak membasahi tempat itu, lumut membuat jalinan anak tangga menjadi licin, dan sekali lagi, hal ini butuh perhatian penuh untuk para orangtua yang berniat pergi ke pantai tersebut. Sekitar seratus lebih anak tangga (itupun jika tak salah kuhitung) dengan tiga belokan curam tanpa rambu peringatan.

Sesampainya di bawah, angin laut langsug menerpa wajah, mengacak-acak rambutku yang sudah kusisir susah payah. Di belakang, adik-adik, sepupu serta ibuku turun dengan keengganan, sembari ngos-ngosan menarik napas panjang. Di bawah sebuah pohon berdaun lebar, kami menggelar tikar dan meletakkan barang bawaan. Angin laut semakin bersemangat berhembus di seluruh tubuhku, berusaha menerbangkan ujung-ujung tikar kami.

Sekitar lima belas menit kemudian, kakiku dan kaki adik lelakiku sudah menapak di bibir pantai. Sengatan matahari sungguh diluar dugaanku. Panas sekali bagai berada di atas penggorengan global umat manusia. Kurampas saja jaket adikku lalu kusematkan menutupi lengan dan kepalaku. Ombak menggulung dari tengah lautan hingga mencapai bibir pantai. Tenang dan sesekali menggoda-goda untuk langsung melelapkan tubuh ke dalam cairan garam itu. Namun sayang seribu sayang, ombak yang dengan lembut menghempas mengakibatkan abrasi, membawa serta sampah buangan kapal berupa plastik, botol-botol kaca, kaleng-kaleng sarden, dan tentu saja, sterofoam. Padahal di seluruh media informasi sudah banyak dibicarakan tentang menjaga kebersihan dan pengaruhnya bagi lingkungan. Pasti mereka tidak punya mata untuk membaca dan telinga untuk mendengar. Mereka itu buta, bisu, dan sepenuhnya tuli.

Beruntung sekali kami datang di pagi itu sebab laut sedang surut. Beberapa organisme pantai berupa karang, bintang laut, siput laut, ikan-ikan kecil segala warna, kepiting, dan rumput laut, memeriahkan sebuah ceruk di pinggir pantai berbatu. Tempat itu tak jauh dari tempat ibuku bernaung di bawah sebuah pohon sambil terus memerhatikan anak-anaknya. Saat surut, banyak sekali ceruk-ceruk terbuka di mana ikan-ikan yang sebelumnya tak sempat menyelamatkan diri bersembunyi di dalam rongga-rongga karang. Kadang, dengan malu-malu, seekor Clown fish keluar dari benteng persembunyiannya. Corak putih dan oranye yang menggarisi tubuh pemeran utama dalam film animasi besutan Hollywood berjudul ‘Finding Nemo’ itu berlarian ketika adik bungsuku yang nakal membenamkan tangannya untuk menangkap salah satu ikan lucu itu.

Bukan hanya Clown fish, ada juga ikan bergaris kuning, bercorak hitam putih mirip zebra, Lion fish, dan ikan yang mirip Lele atau Cat fish, di beberapa cerukan yang saat itu mirip kolam penampungan sementara. Ada juga bintang laut dengan kaki-kaki yang panjang mirip ular atau biasa juga disebut sebagai bintang ular, dan yang paling menyenangkan, aku menemukan seekor bintang laut berwarna merah muda (serasi sekali seperti tokoh favoritku dalam film kartun Spongebob Square Pants—Patrick).

Beberapa kepiting langsung bersembunyi ke dalam liangnya saat merasakan keberadaanku. Udang-udang sebesar jari telunjuk juga malah ikut bersembunyi. Padahal jika kudapatkan udang itu, akan kubawa pulang dan kugoreng untuk santapan malamku. Huaahaha...

Sementara tak jauh dari tempatku, adik-adik beserta sepupu perempuanku tengah asik bergaya dan berfoto-foto ria dengan background hamparan laut serta tebing berbatu yang berlobang akibat ombak besar yang tak henti-henti menggerus kekokohannya. Sungguh narcis sekali mereka. Kualihkan lagi pandanganku dari mereka menuju ceruk-ceruk lainnya. Dua ekor timun laut atau oleh banyak orang dikenal dengan nama tripang berjemur di sebuah karang. Tak jauh darinya, seekor landak laut memamerkan duri-durinya yang runcing. Jangan sampai terkena jarum beracunnya itu, kalau sampai tersentuh apalagi terinjak, maka serangan gatal akan datang beberapa menit setelahnya. Untuk itulah dari tadi aku memakai sendal jepit.

Seekor belut laut sedang mencari makanan di lubang-lubang batu berupa ikan-ikan kecil dan tak muncul lagi saat memasuki sebuah lubang sebesar tubuhnya. Apa mungkin belut itu hilang atau malah di dalam lubang itu dia sudah mendapatkan mangsanya? Terserahlah... aku tak tertarik mengamatinya lebih jauh. Sejam kemudian, laut kembali pasang dan ceruk-ceruk tadi kembali terbenam air dengan cepat. Sesenti, sepuluh senti, dan akhirnya semeter. Setelah makan siang di pinggir pantai, di bawah rindangnya pohon berdaun lebar di atas kami, kami pun pulang. Tapi aku tak sia-sia pulang, sebab aku membawa oleh-oleh yang sangat berharga. Seekor bintang laut yang tadi kutemukan kumasukkan ke dalam kantong plastik, sementara adikku membawa batu karang dan kerang-kerang laut, “Untuk menemani ikan hiasnya di akuarium,” katanya. Dasar anak-anak (jadi lu apaan... pake bawa-bawa bintang laut segala).





3 komentar:

@dewikhami mengatakan...

hohoho..

lunya mana?

adek lu semua ...


hahahaha ~~~~

merahasiakan diri as always.. widih widih.. pak abc yang luar biasa amat sangat sok misterius.

gyahahha ~~

oleh oleh foto makanannya mana?

masa' adek2 lu yang gw bawa pulang?

bdw seru ya maen ke pantai nyambil nyanyi OSTnya laskar pelangi?? *iriiii.....

@dewikhami mengatakan...

hohoho..

lunya mana?

adek lu semua ...


hahahaha ~~~~

merahasiakan diri as always.. widih widih.. pak abc yang luar biasa amat sangat sok misterius.

gyahahha ~~

oleh oleh foto makanannya mana?

masa' adek2 lu yang gw bawa pulang?

bdw seru ya maen ke pantai nyambil nyanyi OSTnya laskar pelangi?? *iriiii.....

Alex B. Cruz mengatakan...

mau oleh2 makanan, dateng aja ke sana...
bukan sok misterius boo... tp emang misterius tuh .... hehehehe