Sabtu, 04 Juli 2009

Sang Pembawa Pesan


Aku, 30 tahun—Sekarang...

Ketika sebuah kejadian, atau bisa dikatakan sebagai sebuah malapetaka yang paling buruk datang melanda, terkadang ada satu jenis manusia yang terpuruk dalam kesedihan. Bertubi-tubi tenggelam dalam titik nadir kesedihan. Begitu dapat menghancurkan sisa hidup yang akan dijalaninya, tanpa pernah tahu apakah hidup itu sendiri bisa dikembalikan dengan suatu bentuk usaha, yang bisa jadi telah dilakukan tanpa pernah disadari oleh diri sendiri. Namun keterpurukan yang sudah menginvasi jauh sebelumnya, telah teramat sangat meracuni seluruh jiwa dan raga. Memburamkan pikiran normal yang dulunya pernah bertahta dengan tongkat kebesaran logika dan mahkota nalar yang begitu amat sangat dipuja-puja dan dibanggakan kehadirannya, bahkan, untuk sebagian orang yang setia menjunjung hal-hal logis dan selalu mengagung-agungkannya dengan berbagai macam julukan, yang menurut mereka adalah ‘sangat suci’—tak bisa tergantikan. Sang inventor, pengembang dari sebuah adikarya yang mantap, pemikir ulung—apa pun itu, pasti bisa dilakukannya. Tidak ada yang tidak mungkin. Semuanya hanya akan merangkai satu kata—‘pasti’. Sebuah sentral supervisori dari kinerja suatu sistem syaraf. Mengatur dan mengkoordinir sebagian besar gerakan, prilaku, dan fungsi homeostasis tubuh. Bertanggung jawab atas fungsi pengenalan, emosi, ingatan, pembelajaran motorik, dan segala bentuk pembelajaran lainnya.


Aku ingat, peristiwa itu datang tanpa diduga-duga jauh sebelum terjadinya. Amat sangat tak dijadwalkan. Tepat pada saat langit menorehkan kegelapan yang mutlak, dengan semburat kengerian yang menyebar di seluruh jagad. Malam itu, aku menatap langit, mencoba mencari-cari serpihan cahaya yang masih tersisa di antara angkara murka kegelapan yang berkuasa di atas sana, seperti mencari kebaikan manusia di dalam jiwa kelam yang sudah terbentuk bertahun-tahun lamanya walau sekecil apa pun. Tetapi tepat di atas sana, serpihan cahaya mungil itu tak tampak sama sekali. Seumpama ditunda kedatangannya untuk mampir dan menyinari Bumi. Bahkan di saat seperti itupun bulan merasa tak sanggup memberikan secercah sinar kebahagiaan yang sangat kuharapkan kedatangannya. Mengapa begitu?

Pertama kali pertemuanku dengan laki-laki tua itu juga terjadi di malam yang serupa seperti ini. Di malam yang tidak punya bintang, tak tampak rembulan, tanpa suara-suara makhluk malam yang berkeliaran di angkasa dan daratan. Seolah-olah kedatangan laki-laki tua itu telah melahap semua keceriaan yang ada pada malam tersebut. Semuanya hilang. Tetapi di balik itu semua, aku yakin kedatangannya yang entah disengaja atau telah ditakdirkan untuk mengisi lembaran nasibku ini, sudah diselingi oleh satu maksud dan tujuan yang jelas-jelas tersembunyi, sebab, aku langsung tersentak menyadari tatkala dia menghilang, di tempat yang sama, serupa seperti awal kemunculannya. Hidup, bagaimanapun itu, punya rencana lain—saat takdir telah begitu berbaik hati pada kita, selalu saja ada sebuah sumur ke mana semua impian itu akan terjatuh.

Angin malam yang dingin menyentuh kulitku yang langsung merinding dan bergetar, begitu pula nasibku yang sekarang beku dan terombang-ambing di antara lembaran kehidupan logis yang kujalani. Tak tahu mau ke mana, sampai sekarang masih terasa sia-sia dan tak ada makna yang bisa kutorehkan pada satupun lembarannya. Di depanku, debu-debu mikroskopik beterbangan ke satu tujuan, mendaratkan diri pada suatu nasib yang telah ditentukan untuknya dan teman-temannya. Beberapa plastik hitam ikut melayang tatkala angin semakin besar hembusannya. Aku duduk mengamati, seperti sedang melihat takdirku sendiri yang digambarkan secara gamblang di depan mataku.

Yah, bisa saja yang muncul di pikiranku kali ini mungkin hanya bagian dari persepsi bodohku saja, tapi setidaknya, coba simak sedikit walau sebetulnya maksud kalian hanya untuk sekedar menghormatiku sebagai seorang manusia seperti kalian. Sebetulnya, semua yang terjadi di dunia ini; baik itu yang disadari maupun tidak, pasti punya satu tujuan dan merupakan gambaran untuk suatu kejadian yang akan terjadi bagi yang melihatnya. Dalam hal ini, aku sendiri. Aku adalah aktor dari takdir yang coba menampakkan diri di depan mataku. Aku adalah lakonnya, lakon dari drama kehidupan yang khusus dibuat untukku.

~Bersambung~

Tidak ada komentar: