Jumat, 12 Desember 2008

The Invisible Prisoner - Chap. 01

Penulis : Afandi M.
Gendre : Detektif & Misteri
Lain-lain : Berseri (4)

BRITISH AIRWAYS Boeing 757, masih melayang bebas di angkasa bak seekor rajawali besi yang terbang menembus awan yang sunyi sepi. Beberapa kali terasa goncangan kecil melanda badan pesawat. Kejadian itu lantas tidak membuat para penumpang panik, sebab peristiwa itu sudah lumrah terjadi pada setiap penerbangan dimana pun jika pesawat mengalamigerak turbulensi.

Seorang pemuda berambut pirang yang dipotong zig-zag, berhidung mancung, serta berdarah campuran Indonesia-Inggris, terlihat samar ketika terkena percikan cahaya matahari. Ia jelas sekali sedang duduk bersandar di urutan ke empat belas, berdekatan dengan jendela pesawat pada bagian kirinya. Tempat duduk 14C yang sebaris dengannya, kosong. Mungkin pada saat ia terlelap beberapa menit yang lalu, penghuninya duduk, namun kemudian pergi lagi entah kemana.


Pemuda itu sedang melamun, melihat keluar jendela pesawat yang berbentuk persegi panjang kecil. Di tangannya tergenggam sebuah novel tebal berjudul ‘The Return of Sherlock Holmes’. Novel tersebut ditulis oleh seorang pria berkebangsaan Inggris bernama Arthur Conan Doyle. Ia sudah terkenal dimana-mana akan novel detektifnya, dengan Sherlock Holmes sebagai tokoh utamanya.

Sementara ia sibuk membaca novel bergendre detektif itu, pikirannya kembali menerawang, terbang seperti awan-awan di luar sana. Otaknya tidak terfokus atas apa yang sedang dibacanya. Ia kembali teringat akan kedua orang tuanya yang telah mengantarnya hingga ke Bandara Heathrow, bandara utama dan sebuah hub penerbangan yang penting di Lodon Raya. Ciuman lembut di pipi kanan dan kirinya masih terasa saat ibunya melepaskan anak satu-satunya itu untuk kembali ke negeri asalnya. Walaupun merasa berat melepaskan kepergian putranya, namun hal itu harus tetap dilakukannya, sebab memang Indonesia-lah kampung halamannya.

Di sana ia dilahirkan dan ditempa sewaktu ia masih kecil.

Lepas dari semua kenangan itu, ia kembali terjaga dari lamunannya ketika tiba-tiba saja pundaknya ditepuk oleh seorang pria setengah baya yang kini duduk di kursi 14C di sampingnya. Tempat duduk yang sedari tadi dilihatnya kosong. Rambutnya pendek, bercampur dengan uban berwarna keperakan. Kumis hitam lebat, panjang, berderet di setiap sisi bibirnya. Asesoris itulah yang mungkin senantiasa menghiasi wajahnya yang bulat bak’ telur yang menggelinding menuruni turunan jalan.

Pria itu mengenakan stelan jas panjang coklat muda, mirip seperti seorang bisnisman yang waktunya sangat berharga sekali.

“Memang indah awan-awan itu. Mereka dengan bebas bergerak kemana pun mereka mau. Membentuk sekumpulan wajah abstrak, yang kadang menjadi ilham bagi setiap orang di saat mereka sedang tertimpa suatu masalah yang pelik. Menjadi ketenangan batin bagi setiap hati yang gundah.” Ia melanjutkan lagi, “Hidup kita ini seperti pergerakan awan-awan itu. Terus berjalan walaupun angin terkadang mengubah arah mereka. Angin bagai masalah yang datang dalam kehidupan manusia, seperti halnya yang terjadi pada awan-awan itu. Jika mereka tidak bersatu membentuk sebuah kumpulan awan yang besar, mereka akan mudah terbawa angin, mudah terprofokasi oleh sebuah masalah yang kecil, dan begitu juga sebaliknya. Mereka harus bersatu untuk mengatasi hal itu jika tidak ingin terbawa oleh masalah tersebut.”

Pemuda itu lalu berkomentar, masih menatap ke luar jendela.

“Namun walaupun mereka telah bersatu sebagai kumpulan awan, tapi tetap saja akan ada pergolakan di dalamnya,” ia lalu melanjutkan, “Akan ada sebuah masalah yang timbul dalam sebuah kesatuan tersebut. Seperti yang aku katakan tadi. Jika awan telah bersatu, itu lebih memudahkan untuk memunculkan awan hitam dengan kumpulan halilintar yang siap menyambar di dalamnya. Sama halnya dengan kumpulan manusia. Mereka akan diterjang masalah yang datang silih berganti. Baik dari dalam maupun dari luar kesatuan mereka, sehingga kumpulan tersebut tidak akan mampu lagi untuk menampungnya dalam kesatuannya dan pada akhirnya, pergolakan di antara mereka tidak dapat dielakkan lagi. Dan Anda bisa bayangkan apa yang akan terjadi...”

Pria paruh baya itu tersenyum memamerkan beberapa lekukan pipinya. “Saya Albert Edison dan namamu siapa, Boy?”

Tangan kanannya yang kekar dijulurkan melewati kursi tengah yang kosong. Pria itu kelihatannya cukup ramah. Ia duduk di kursi bagian luar, tepatnya di sebelah kanan pemuda yang sedang ditemaninya mengobrol.

“Sepertinya aku pernah melihatmu, tapi dimana ya?” katanya menduga-duga, seraya mencoba mengingat kembali.

“Saya Tommy... Tommy Arthur Verdhana,” pemuda itu langsung memberitahukan namanya.
Sontak mata pria itu berbinar-binar, bagai batu permata yang terkena cahaya hingga memantulkan berbagai semburat warna yang menarik.

“Oh! Tentu saja, saya ingat sekarang,” katanya girang. “Kamu anak jenius yang lulus dari University of Oxford pada usia delapan belas tahun itu bukan? Anak tunggal dari detektif hebat, Fandy Arthur Verdhana.”

“Ngomong-ngomong, ada keperluan apa kamu datang ke Indonesia?”

“Ada beberapa hal yang harus saya selesaikan di sana. Sebuah urusan yang mendadak yang tidak bisa dielakkan lagi. Saya juga ingin bertemu dengan sahabat Ayah, sewaktu dia masih bekerja di Indonesia.”

“Oh begitu...” pria itu diam sejenak. Sebelum lawan bicaranya mengomentari, ia langsung membuka percakapan kembali. “Saya juga pernah menetap di Indonesia,” katanya memberitahu. “Kalau tidak salah ingat, saya menetap di sana selama empat tahun. Pekerjaan saya saat itu menuntut agar saya harus menetap lama di negara itu. Oleh sebab itu, bahasa Indonesia saya lumayan lancar walaupun masih ada saja aksen Inggris yang kadang-kadang tidak sengaja ikut terbawa.”

Tommy diam, tak mengeluarkan sepatah kata pun. Melihat percakapan tampaknya tak berjalan sesuai rencananya, Albert Edison mengambil inisiatif sekali lagi untuk membuka percakapan kembali.

“Saya benar-benar kagum dengan cara kerja Ayahmu,” katanya memuji. “Dia itu sangat jenius. Kau tahu, jenius yang menurutku hanya ada beberapa orang di dunia ini. Ya, kau pasti tahu. Seperti pemikir-pemikir yang hebat pada zaman dahulu, Galileo Galilei, Isac Newton, Albert Einstein, dan orang-orang sejenisnya,” seraya memperagakan dengan jemari telunjuknya. Ia kemudian menambahkan, “Saya masih belum mengerti, bagaimana cara dia―maksudku Ayahmu, bisa memecahkan kasus pembunuhan Donald McCardy yang merupakan aktifis dari sebuah organisasi kemanusiaan bermarkas di London itu.”

“Polisi saja dibuat kewalahan dengan adanya kasus tersebut. Walaupun mereka sudah bekerja keras selama sebulan lebih untuk memecahkan kasus itu, namun hasilnya tetap saja nihil. Tidak ada kemajuan sedikitpun, ditambah lagi tidak ada saksi mata pada pembunuhan tersebut. Setelah merasa semuanya tidak mungkin lagi terecahkan, polisi meminta bantuan Ayahmu, Fandy Arthur Verdhana untuk membantu mereka mengusut kasus pembunuhan itu. Ayahmu benar-benar luar biasa. Hanya memerlukan waktu seminggu lebih untuk bisa memecahkan kasus pembunuhan itu sampai ke akar-akarnya, yang ternyata berlatar belakang mengenai masalah politik dan melibatkan salah seorang anggota parlemen pula.”

“Benar-benar mengesankan,” katanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali, tampak takjub.


Percakapan pun terhenti sejenak dalam kebisuan angin malam yang sejak tadi berhembus menerpa badan pesawat yang lebih menyerupai sebuah burung besi raksasa, dibandingkan seonggok besi tua yang tak berguna. Angin malam itu seakan ingin membawa semua penumpang untuk terbang melayang di angkasa, bersamanya mencari-cari ujung dunia ini.
Saat langit mulai tampak lebih gelap dari sebelumnya, seorang pria yang mengenakan kemeja putih mendekat dan membisikkan sesuatu ke telinga Albert Edison. Ia lalu menunjuk-nunjuk sebuah wajah bringas yang ada pada sebuah kolom gambar di selebaran koran Time Express, terbitan Inggris. Sempat Tommy melihat tanggal terbitan koran tersebut. Tanggal 25 Desember 2007 tertulis di sudut kanan atas pada halaman pertamanya. Koran itu rupanya terbitan hari itu. Ia sempat membacanya sekilas, ketika ia berada di Bandara Heathrow.

Percakapan kedua pria berumur itu tampak sangat serius. Walaupun kursi Tommy dan Albert Edison berdekatan, tapi kursi kosong yang berada di tengah seakan menjadi pembatas kursi mereka, sehingga pembicaraan Albert Edison dan pria itu tak terdengar olehnya. Ditambah lagi mereka bicara sambil berbisik-bisik. Sesekali terdengar ucapan jengkel yang keluar dari mulut keduanya. Mulut mereka komat-kamit tiada henti seperti saat seorang dukun membacakan sebuah mantra kepada pasiennya. Beberapa saat sebelum pembicaraan berakhir, Albert Edison mengangguk sekali dan dengan suatu tanda menyuruh pria itu pergi kembali ke tempat duduknya.

Lama setelah pria itu pergi, Albert Edison terlihat gusar, geram, dan melampiaskan kekesalannya dengan meninju telapak tangannya sendiri. Tulang rahangnya yang kokoh bak konstruksi bendungan, terlihat jelas saat di sinari lampu baca di atasnya. Ia kemudian dikagetkan oleh suara Tommy dari arah samping. “Anda tidak perlu khawatir seperti itu. Saya yakin Anda bisa menangkapnya setelah pesawat ini mendarat,” jelas Tommy.

Pria itu terkejut, tatapannya penuh dengan tanda tanya. Ia lalu berkata, “apa maksudmu Nak? Coba jelaskan semuanya padaku sekarang Nak?” Raut wajahnya tampak bingung, kerutan-kerutan yang tadi samar terlihat di dahinya, kini terlihat jelas sekali.

“Anda sebaiknya jangan berpura-pura lagi,” katanya pelan, takut suaranya terdengar oleh penumpang yang lain.

“Bukankah Anda adalah seorang polisi yang sedang menyamar dan mengejar narapidana yang dua hari lalu kabur dari penjara?”

“Da... darimana kamu tahu semua itu?” pria itu terbata-bata.

Tommy terdiam beberapa detik. “Saya tahu semua itu dari lengan kiri jas Anda. Di sekitar jas Anda agak mengembung dan menonjol keluar,” ia menjelaskan seolah-olah tidak ada beban sedikitpun.

“Juga sikap lengan kiri Anda yang tampak penuh, sehingga terlihat ada sedikit jarak di antara ketiak dan badan Anda. Berbeda dengan yang kanan. Mungkin yang ada di situ adalah pistol Anda. Kalau tidak salah, beberapa polisi Inggris ada yang suka menyimpan pistolnya di tempat itu...”

Ia diam beberapa detik, sebelum mulai lagi berbicara.

“Tingkah laku Anda yang tegas juga menggambarkan sikap seorang polisi. Dan gambar wajah di koran yang ditunjuk-tunjuk oleh pria tadi adalah tahanan yang baru-baru ini melarikan diri dari penjara. Mungkin sekarang dia berada di dalam pesawat ini dan Anda ditugaskan untuk menangkapnya. Bukan begitu?”

Albert Edison mengangguk, namun sebelum ia mulai berkata-kata, Tommy melanjutkan lagi.
“Dari gerak-gerik serta nada bicara Anda juga terlihat bahwa Anda adalah seorang polisi. Kebanyakan sikap seorang polisi sangat berbeda dengan profesi kerja yang lain. Terutama nada bicaranya yang terkadang kaku dan terlalu formal. Dari bukti-bukti itulah, saya lalu mengambil kesimpulan bahwa Anda adalah seorang polisi.”
Bagai tersambar kilat dalam waktu yang singkat melebihi kecepatan cahaya, Albert Edison tak bisa berkata-kata. Barulah beberapa puluh detik kemudian, ia akhirnya membuka mulut untuk menanggapinya.

Like father like son,” katanya pada akhirnya. “Mungkin ungkapan itu pantas untukmu.” Ia melanjutkan lagi, “Memang benar seperti yang kamu katakan. Mengenai tahanan yang kabur itu juga benar adanya. Sekarang dia berada di dalam pesawat ini, bersama kita. Dia telah melewati pemeriksaan saat berada di Bandara Heathrow, dan sekarang mencoba untuk meloloskan diri ke negara lain.”

~Bersambung~

Tidak ada komentar: