Kamis, 18 Desember 2008

The Invisible Prisoner - Finish

Penulis : Afandi M.
Gendre : Detektif & Misteri
Lain-lain : Berseri (4)

TOMMY harus berjalan sedikit lebih jauh dari tempat duduknya untuk pergi ke toilet, yang berada di bagian ekor pesawat. Kabin pesawat seperti sebuah lorong raksasa ketika ia berjalan dan mengarahkan pandangannya jauh ke depan.

Di depan pintu toilet, ia menunggu. Pintunya terkunci, begitu juga toilet di sebelahnya. Tak lama seorang pemuda berambut panjang keluar. Wajah orang itu seperti pernah dilihatnya. Ia teringat akan salah satu orang yang dicurigai oleh Albert Edison. Namanya adalah Schott Heddington, sang mantan narapidana. Jalannya agak terhuyung dan seketika itu menabrak Tommy.

Sorry Bos!” katanya kemudian berlalu.


Kepulan asap dan bau pekat nikotin menyelimuti seisi ruangan toilet, tempat pria tadi berada. Keningnya menggkerut, kedua alis tebalnya hampir bertemu. “Orang tadi pasti merokok di dalam sini,” keluhnya. Ia terbatuk lalu menutup pintunya.

Di dalam, samar-samar ia mendengar suara orang yang sedang menelepon dari toilet di sebelahnya. Toilet yang tadi dilihatnya terkunci.

I’m in the plane now,” kata suara samar itu. “Ok... yes. I know,” ujarnya kemudian.

Wait. It isn’t save, if we talking about that problem in this place right now. If I’ve already sign off in Indonesia, I will call you back, Okey!”

Yes, that’s right. Yes...” katanya setuju. “Ok...

Ok. This is a serious problem. I hope, I won’t get caugh in Soekarno-Hatta Airport...

That’s true... We must talked soon, to clear this problem. Okey... okey... bye,” katanya mengakhiri pembicaraan mereka.

Tommy keluar dari toilet, begitupun orang yang tadi berada di toilet di sebelahnya. “Itu kan Paul Osborn,” katanya dalam hati. “Kaki kanannya pincang...”

Ia kembali ke kursinya dan mendapati Albert Edison duduk dengan tangan yang menopang dagunya. Sambil melihat kembali identitas keempat orang yang dicurigainya dan meletakkannya di atas sebuah meja plastik kecil yang melekat di kursi depannya, ia berfikir.

“Bagaimana Sir? Apakah Anda sudah mengetahui penyamaran dari narapidana itu?” tanya Tommy membuyarkan lamunannya.

“Belum,” jawabnya singkat.

Semangatnya yang tadi tampak membara, rupanya sedikit demi sedikit sudah terkikis habis, meninggalkan keputus asaan yang kini melanda jiwanya.

“Sebaiknya Anda teliti lagi tingkah laku mereka. Ada seseorang yang melakukan kesalahan kecil dan kesalahan itu malah berakibat fatal untuk penyamarannya sendiri. Kesalahan itu juga yang akan membongkar kedoknya.”

“Apa maksud kamu? Aku tidak mengerti sedikit pun.”

“Tunggu...” kata Albert Edison tersadar akan kata-kata itu. “Jangan-jangan kamu sudah tahu narapidana itu menyamar menjadi siapa?”

“Cepat katakan,” lanjutnya.

“Betul, saya sudah tahu siapa narapidana itu dan saya juga sudah tahu dia menyamar menjadi siapa.”

Wajah Pak Albert Edison yang tadi tampak cemas dan putus asa berubah seketika.

Come on boy, just tell me! Cepat beritahu saya siapa orangnya?”

“Saya harus menangkapnya sesegera mungkin, agar tidak ada seorang pun yang terluka karena perbuatannya nanti,” rengeknya.

Tommy menghela nafas panjang dan mulai berkata, “baiklah saya akan memberitahu Anda. Tapi sebaiknya saya menjelaskannya kepada Anda lebih dahulu mengenai bagaimana saya mengetahui, bahwa dialah penyamaran dari tahanan yang melarikan diri itu.”

Ia mengambil nafas panjang lalu memulainya,“Anda pasti sudah tahu bahwa tahanan itu ahli dalam hal penyamaran.”

Albert Edison mengangguk menyetujui.

“Tidak heran dia bisa kabur dari salah satu penjara di Inggris yang terkenal akan sistem keamanannya yang sangat ketat. Dan sekarang dia sedang menyamar menjadi salah seorang penumpang di pesawat ini. Namun, Anda kemudian mencurigai empat orang di antara para penumpang.”

“Betul.”

“Pertama adalah Edie John, seorang bisnisman. Yang kedua adalah Paul Osborn, seorang pegawai yang telah dipecat dari perusahaan tempatnya dulu bekerja. Ketiga adalah Schoot Heddington, seorang narapidana yang baru-baru ini dibebaskan dari penjara. Dan yang terakhir adalah Peter Malvolk, seorang dokter yang bekerja di rumah sakit ternama.”

“Sejauh ini rencananya memang berjalan dengan lancar, tapi dia tidak menduga bahwa akan terjadi suatu hal yang tidak sesuai dengan rencana yang telah ia susun sebelumnya.”

“Anda pasti ingat dengan kejadian Edie John yang tadi sempat terserang asma,” kata Tommy sambil menatap mata Pak Albert yang bulat dan besar.

“Iya, saya ingat.”

“Dia meronta-ronta dan jatuh tersungkur di lantai pesawat. Dia kemudian dibantu oleh Peter Malvolk. Kamu tidak berfikir bahwa dialah penyamaran dari tahanan itu bukan?” tanyanya menuntut. Alisnya kini ditekuk ke atas.

“Memang dialah orangnya. Dialah narapidana yang kabur itu. Apa Anda tidak melihat ada kejanggalan dari perbuatannya saat itu?”

“Perbuatan apa? Memangnya dimana letak kejanggalan atas perbuatannya itu? Lagipula apa buktinya?” Albert Edison makin heran dan tidak meyangka ia telah mengeluarkan serentetan pertanyaan itu.

“Bukti? Anda masih memerlukan bukti?”

Ia memamerkan senyuman dan suaranya kini sedikit dimainkan.

“Bukankah Anda tadi telah melihat bahwa Peter Malvolk telah salah mengobati Edie John. Padahal penyakit yang diderita Edie John hanyalah penyakit asma. Anda tahu kan, bahwa penyakit asma disebabkan oleh penyempitan saluran pernapasan yang merupakan respon terhadap rangsangan, yang pada paru-paru normal tidak mempengaruhi rangsangan. Penyempitan saluran pernapasan itu dapat dipicu oleh berbagai rangsangan, misalnya suhu atau udara dingin, meskipun masih banyak lagi rangsangan yang dapat mempengaruhinya.”

“Sangat tidak masuk diakal, jika seorang dokter tidak menyadari hal sekecil itu. Bukankah Anda pernah mengatakan bahwa dia adalah seorang dokter yang profesional. Apalagi dia bekerja di rumah sakit yang ternama. Tidak mungkin dia teledor dalam memeriksa penyakit seperti itu. Dengan hanya melihat saja, kita sudah dapat mengetahui penyakit itu.”

“Dari bukti-bukti itulah saya lalu menarik kesimpulan, bahwa tahanan itu menyamar menjadi dokter bernama Peter Malvolk.”

“Bagaimana kalau dia lupa? Mungkin dia sedikit gugup.”

“Itu sungguh tidak mungkin terjadi. Seorang dokter tidak boleh lupa, apalagi memiliki rasa gugup saat mengobati pasiennya. Mereka itu berperan atas nyawa seseorang. Hidup dan mati orang tersebut bergantung padanya, meskipun sesungguhnya sudah ada yang mengatur semua itu.”

“Tapi... sepertinya itu semua tidak bisa dijadikan bukti yang kuat,”Albert Edison sedikit pesimis.

“Pria itu sama sekali tidak tahu-menahu tentang kedokteran atau semacamnya. Waktu di bandara tadi, saya sempat berbincang-bincang dengannya. Dari sulaman NHS di tasnya saya bertanya kepadanya, apakah dia bekerja di Nationan Health Service, ia lalu menjawab benar bahwa dia memang bekerja di lembaga kesehatan itu. Sudah tiga tahun ia bekerja di tempat itu. Namun ketika saya bertanya mengenai bagaimana pelayanan kesehatan lembaga itu dibiayai, ia menjawab bahwa NHS menerapkan sistem komersial dari para pasiennya. Katanya, ‘siapa yang masuk rumah sakit harus bayar. Itulah kewajiban yang harus mereka penuhi’,” Tommy mencoba menirukan.

“Itu tidak benar. Biaya pelayanan kesehatan bagi pasien di National Health Service, dibiayai oleh negara melalui pajak yang dipungut dari rakyat, sebab NHS merupakan lembaga kesehatan yang dimiliki oleh negara. Kalau begitu, berarti dia adalah...”

“Benar... Peter Malvolk adalah penyamaran dari narapidana itu. Dia mencoba membodohi polisi, tapi dia sendiri kena batunya. Sepertinya, dia tidak memikirkan lebih jauh mengenai hal itu. Mengenai latar belakang penyamarannya. Dia hanya terfokus pada penampilan fisik saja.”

Albert Edison tertawa beberapa saat, lalu berkata, “Terima kasih, untung saja ada kamu yang membantu kami, sehingga bisa menangkap narapidana itu. Ternyata kamu memang mewarisi kejeniusan Ayahmu,” ia memuji.

Tommy tersenyum puas. Ia kembali bersandar di kursi empuknya. Menekan tombol lampu baca yang berada tepat di atasnya, kemudian membuka kembali halaman novel yang tadi baru setengah dibacanya. Bel pemberitahuan berbunyi lagi. Suara pramugari yang tadi melapor, kembali terdengar lagi.

“Beberapa menit lagi, kita akan segera mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Silahkan memasang sabuk pengaman dan menegakkan kursi Anda. Terima kasih.”

Tidak ada komentar: