Minggu, 07 Desember 2008

Sepasang Sayap Mimpi - Bag. 01

Penulis : Afandi M.
Gendre : Misteri dan Kehidupan
Lain-lain : Berseri (4)

AWAN MENDUNG bertiup dan mulai bergemuruh di langit yang sebelumnya biru. Kilat dengan serta merta menyambar turun ke Bumi, dan baru beberapa detik kemudian suara guntur terdengar―menggelegar bagai dentuman meriam langit atau suara letusan gunung berapi yang memuntahkan magma serta debu vulkanik nun jauh ke angkasa. Tak sampai di situ saja pengaruhnya; awan itu juga menebar teror kegelapan dan seketika langsung merasuk, juga mencengkeram dengan membonceng ketakutan, hingga dapat melelehkan kebahagiaan yang tersimpan dalam frame-frame kenangan masa lalu.


Di padang rumput itu, seorang pria berdiri tegak bagai sebuah patung prajurit di tengah kota. Di atas sebuah bukit kecil, di mana sepasang kakinya sejak tadi menapak—mengakar dan berpijak. Ia menatap ke arah langit, ke sebuah gumpalan awan yang makin menghitam tiap detiknya. Fisiknya yang tinggi dan ramping terlihat samar saat sekelebat cahaya petir menyambar-nyambar dengan gila, merambat pada sela-sela udara yang berubah dingin. Rambutnya pendek dengan potongan rapi di tiap ujungnya dan bergerak lembut saat terbelai angin.

“Kau tidak adil padaku?” teriaknya entah kepada siapa. Mungkin ditujukan kepada salah satu gumpalan awan di atas sana atau petir, atau bahkan untuk Sang Khalik pemilik segalanya—di mana wujud-Nya tidak akan pernah nampak oleh sepasang indra yang dinamakan ‘mata’ itu. Tidak akan mungkin terlihat. Tak mungkin ada organ bahkan alat buatan makhluk manapun di alam semesta ini yang bisa melakukannya. Kecerdasan setiap makhluk itu terbatas. Semua telah diatur dalam sekat-sekat sel yang ada di otak.

“Mengapa Kau ciptakan takdirku seperti ini? Nasibku merana menjadi hamba-Mu yang terhina. Apakah Kau tidak mendengar sebutan mereka padaku? Mereka bilang kalau aku ini tidak berguna, lemah, bodoh, goblok, tolol, monyet atau apalah istilah mereka.”
Kedua kelopak matanya basah lalu mengeluarkan pilu yang menurut bangsa keturunan primata seperti manusia, dinamakan ‘air mata’.

“Di mata mereka, aku ini sangat rendah. Lebih rendah dari sampah. Cacat. Tak pantas berada di antara mereka,” jelasnya terisak. “Sesungguhnya, mereka itu salah. Kau bisa lihat sendiri. Tak ada kecacatan dari fisik yang Kau ciptakan secara sempurna ini. Semua organku lengkap, otakku juga masih betah bersemayam di kepala, dan hati serta jantungku juga tetap pada tempatnya. Sama seperti mereka. Lalu, mengapa mereka terus saja memanggilku seperti itu? Merendahkanku? Apa yang salah pada diriku? Apa Kau bisa menjelaskannya, Tuhan?”

Dengan punggung tangan, ia menyeka air matanya. “Mengapa Kau tetap diam? Apa Kau bisu? Tuli? Katanya, Kau selalu mendengarkan keluh-kesah semua hamba-Mu. Mana buktinya? Mana? Omong kosong! Semua itu ternyata bohong.”

Ia diam sesaat, mencoba mengatur tingkat emosi yang semakin meluap-luap dalam dirinya.
“Jika Kau memang adalah Sang Penguasa—raja di atas segala raja, buktikan padaku!” teriaknya makin kencang. “Tunjukkan kekuatan-Mu! Mana kekuasaan-Mu!”

Ia menghela napas sekali, seakan ingin menyampaikan sebuah ultimatum yang harus segera terlaksana. “Aku ingin punya sayap. Sayap indah yang bisa membuatku terbang dan tak lagi mendengarkan sebutan merendahkan mereka kepadaku. Aku ingin menjauh dari koloni mereka. Menjauh sejauh-jauhnya. Aku ingin terbang. Terbang seperti burung yang bebas di angkasa. Setinggi-tingginya hingga mencapai puncak awan.”


***


Pagi itu matahari belum menampakkan semburat sinarnya dari kejauhan ufuk timur. Tampaknya sang surya masih terlelap di peraduan angkasanya. Kabut semi transparan juga masih menguasai sebagian badan jalan di salah satu daerah paling padat penduduk di kota Jakarta. Tetes-tetes embun belum memuai menjadi uap air dan menyatu dengan udara sekitarnya, menyebabkan udara makin terasa lembab. Sayup angin seakan menguak sebab keheningan di beberapa lorong sempit pada perumahan tersebut. Makhluk-makhluk yang diberi jiwa belum menampakkan dirinya. Masih bersemayam di balik selimut kehangatan di tempat tidur.

Jam weker berbunyi nyaring—bergema di salah satu rumah bagai bunyi lonceng emas di puncak kuil Olympus, seakan meramalkan kejadian mengerikan yang nanti akan terjadi. Segera setelahnya.

Ketika selimut disibakkan, tubuh setengah telanjang tampil dari baliknya. Deretan tulang rusuk tercetak di sana, bagai urat yang menonjol dari balik kulit. Laki-laki itu membuka mata. Sedikit demi sedikit, suasana sekitar mulai tertangkap oleh indranya, menampilkan susunan langit-langit kamar berwarna putih dengan lampu bercahaya fluoresens yang masih menyala.

“Sudah pagi rupanya,” gumamnya sembari tersenyum saat kesadarannya tengah memulihkan diri. Kantuk yang masih terasa, ia paksa pergi dan menghilang. Sekarang waktunya melanjutkan hidup.

Sebelah tangannya mengambil weker yang ada di meja. Tombol weker yang ada pada bagian atas ia tekan, menyebabkan suara deringan benda itu berhenti seketika. Ia melihat jarum jam menunjukkan pukul 06.30 pagi. Weker diletakkan lagi ke tempatnya semula, sembari ia mencoba membangunkan tubuhnya yang masih malas bergerak. Digaruknya beberapa bagian tubuh hingga puas lalu dengan jari-jari tangan, rambutnya yang berantakan disisir seadanya. Sebagian ke samping kiri dan sebagian lagi ke samping kanan.

Sejenak, laki-laki itu menggeliat keenakan lalu menguap bagai sang penguasa rimba telah bangkit kembali. Setiap bukaan mulutnya bagai menghisap ion-ion kehidupan yang ada di tempat itu hingga tak bersisa. Rakus sekali. Biasalah, manusia memang cenderung seperti itu. Tak puas atas apa yang telah dimilikinya. Ingin terus menambah, menambah, dan terus menambah tak mau berhenti hingga mati.

Sinar matahari menerobos masuk melalui sela-sela tirai penutup jendela. Cahayanya menghangatkan kulit dan mencairkan keheningan. Seolah-olah kehidupan mulai tersusun kembali setelah tidur sekian lama, setelah berhibernasi dalam kegelapan. Menciptakan peradaban baru ke arah yang lebih baik. Semoga saja...

“Mimpi tadi benar-benar aneh. Aku seolah-olah berbicara kepada Tuhan. Bagaimana mungkin?” Lelaki itu nyengir sendiri. “Tidak masuk akal.”

Namun jauh di lubuk hatinya, ia bener-benar menginginkan hal itu terjadi. Mimpi tadi seolah-olah mencerminkan isi hatinya. Menggambarkan kalut yang selama ini menyiksa batin dan jiwanya. Ia tak bisa berbohong lagi. Walau hanya di dalam mimpi, ia telah puas. Yang jelas, ia telah menumpahkan suara hatinya. Lainnya, tak penting. Hari ini harus dijalani dengan perasaan bahagia. Hidup harus terus berlanjut. Tak ada beban sedikit pun yang lagi menghinggap. Telah hilang dan menguap bersama embun-embun pagi.
Ketika ia berdiri, sesuatu seperti begoyang dari punggungnya—bergerak-gerak. Ia merasakan keanehan pada daerah itu. Kepalanya coba ditengokkan ke belakang. Secara reflek tangannya ikut membantu.

“A—apa ini?” teriaknya kaget. “Mengapa benda seperti ini bisa melekat di tubuhku?”
Sepasang sayap kecil bergerak-gerak mengikuti gerakan punggungnya. Mengibas-ngibas bagai sayap burung yang terbang bebas di angkasa. Sepasang sayap itu berwarna hitam namun tak berbulu. Lembut dan menyerupai daging yang terbalut kulit dengan beberapa tonjolan tulang.

“I—ini sayap kelelawar,” gumamnya ketakutan. “A—apa yang terjadi? Sebenarnya apa yang terjadi padaku? Mengapa―mengapa sepasang sayap menakutkan ini tumbuh di punggungku?”
Ia panik. Berjalan ke sana kemari layaknya orang yang sedang kebingungan. Seperti seorang calon ayah yang cemas menunggu kelahiran buah hatinya. Cemas akan kesehatan istri dan anaknya. Apakah istri dan bayinya bisa selamat? Ataukah, ada salah satu di antara mereka berdua yang harus mengakhiri hidupnya saat itu juga? Atau bahkan, kedua-duanya tak ada yang selamat? Kepanikan seperti itulah yang sekarang sedang melanda baik jiwa maupun raganya. Bagai seribu jenis ketakutan yang berbeda, tiba-tiba merangsek masuk ke tubuhnya. Menyebar seperti bisa yang menggerogoti tiap-tiap sel sarafnya. Menciptakan kengerian dalam frame imajinasinya, dalam tiap lembar pikirannya.

Dengan paksa, ia mencoba melepaskan sayap itu. Sekuat tenaga. Namun setiap upaya untuk menarik sayap itu agar terlepas dari tubuhnya, membuat kulit dan tubuhnya sakit. Seperti terkoyak oleh ratusan bahkan ribuan senjata tajam. Sepasang sayap itu bagai tumor yang harus dibuang jauh-jauh, bagai borok. Kalau perlu dikubur saja dalam-dalam agar tak tertular kembali. Kulit punggungnya seperti tertarik, hampir sobek. Namun karena menyatu dengan otot, usahanya melepaskan sayap itu sia-sia saja. Ia sadar bahwa jika dirinya terus memaksa, itu sama saja menyiksa dirinya sendiri. Ia tak mau lagi tersiksa. Pun jika siksaan itu bisa melepaskan dirinya dari predikat 'aneh'. Sayap itu telah bersatu dengan tubuhnya dan menjadi bagian atas dirinya, seperti tangan dan kaki, kepala, telinga, hidung, mulut, dan kelamin.

Ia tak terima. Tangis dan teriakan seolah-olah tak ada gunanya. Semua itu tak bisa mengembalikan tubuhnya ke kondisi semula—kondisi normal kembali. Ia merenung beberapa menit ke depan ketika matahari kian meninggi. Sedikit demi sedikit ia bisa menerimanya walau tak sepenuhnya, sebagian kecil dirinya. Ia masih tak tahu harus berbuat apa. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Masa ia harus berjalan keluar sembari memamerkan sepasang sayap mirip kelelawar di punggungnya? Alih-alih, orang-orang malah lari ketakutan dan menganggapnya sebagai hantu, monster, setan bahkan alien. Bentuk fisiknya kini berbeda. Bagaimana kalau ia berakhir di laboratorium penelitian karena dianggap mahkluk luar angkasa atau mutan? Dijadikan kelinci percobaan atas serangkaian tes yang menyakitkan. Mungkin ini pengaruh dari mimpi itu. Aku benar-benar berbicara kepada Tuhan. Aku meminta sayap dan inilah hasilnya, gumamnya dalam hati antara percaya atau tidak. Dengan kesadaran yang telah kembali, ia berkata setengah berbisik. “Hidup harus dilanjutkan. Tak ada gunanya penyesalan. Tapi...”

Dua puluh menit kemudian ia keluar dari kamar mandi. Mencari alat untuk menutupi sepasang sayap itu agar tidak kelihatan. Diambilnya gulungan perban kemudian dililitkannya benda itu ke punggungnya. Terus, terus, dan terus, hingga tonjolan sayap itu tak tampak. Setelah selesai, lanjut ia mengenakan baju dalam lalu kemeja yang dikombinasikan dengan dasi berwarna hitam bergaris. Semua kostum formal itu diberi sentuhan terakhir dengan balutan jas. Ia berdiri di depan cermin, memperhatikan sejenak penampilannya lalu berputar beberapa kali. Walau tubuhnya terlihat sedikit bungkuk karena tulang punggungnya menonjol keluar bagai pasak, tapi tanda bahwa itu adalah sayap tak lagi terlihat.

Aku terlihat seperti manusia normal kembali dan topeng ini akan membuatku menyerupai mereka. Bibirnya dipaksa mengurai senyuman. Ditepuknya bagian jas yang terlihat berdebu, simpul dasi dirapikan dan disembunyikan di bawah kerah kemeja lalu setelah semua sesuai dengan keinginannya beberapa menit kemudian, pria itu mengambil tas kerja lalu keluar dengan langkah terburu-buru.

~Bersambung~

1 komentar:

Anonim mengatakan...

tulisan yang menarik.