Selasa, 09 Desember 2008

Sepasang Sayap Mimpi - Bag. 03

Penulis : Afandi M.
Gendre : Misteri dan Kehidupan
Lain-lain : Berseri (4)

TEPUKAN pelan di pundaknya membuat membuat Awan kembali tersadar dari kenangan pahit masa lalunya. Seperti dicekoki segelas empedu tanpa ampun dan begitu selesai pahit empedu masih menyangkut di tenggorokannya.

“Hei, kau kenapa? Apa ada yang sedang kau pikirkan?” tanya teman kerjanya khawatir. “Sejak tadi kau kupanggil-panggil tapi tak ada respon darimu. Sudahlah, kalau kau tak mau menjawab pertanyaanku tadi tidak apa-apa. Sebaliknya, aku minta maaf jika aku tidak sengaja telah menyinggung perasaanmu. Jangan dipikirkan masalahmu itu. Masih ada aku, Kemal di sini yang akan membantumu.”


Awan tersenyum memandang teman sekerjanya yang sampai sekarang masih gigih menikmati masa lajangnya. Betapa beruntungnya Awan memiliki teman kantor seperti Kemal. Pria yang kemarin genap berusia tiga puluh tahun itu sekaligus bisa menjadi sahabat yang bisa diajaknya bercerita tentang segala permasalahan yang tengah ia hadapi, baik masalah di kantor maupun masalah pribadi yang amat sangat sering membebaninya. Ya, begitulah fungsi seorang sahabat. Ia akan selalu ada di saat-saat di mana kita sangat membutuhkan kehadirannya, baik suka maupun duka. Sahabat akan menyambut kehadiran sesamanya dan menunjukkan kesetiaan satu sama lain dan seringkali hingga pada tingkat altruisme*. Persahabatan merupakan sebuah istilah yang menggambarkan perilaku kerja sama dan saling mendukung antara dua atau lebih entitas sosial. Dalam persahabatan, seorang sahabat sejati akan secara konsisten memperlihatkan kecendrungan untuk menginginkan apa yang terbaik bagi satu sama lain, bagi sahabatnya, simpati dan empati, mengungkapkan kejujuran di saat kecendrungan orang lain sulit untuk mengucapkan kebenaran, dan inti dari semuanya bahwa persahabatan merupakan adanya rasa saling pengertian. Perasaan yang tidak hanya dimiliki oleh sepasang kekasih.


***


Sudah tiga hari berlalu sejak pertama kali keanehan pada dirinya itu dimulai. Keanehan yang begitu mengerikan muncul di sela-sela penderitaannya akan perbuatan mantan istrinya, Reni. Bagaimana bisa ia melupakan peristiwa itu? Walau Awan berusaha keras untuk menenangkan diri dan menerima semuanya, tapi jauh di dalam hatinya, dalam lubuk jiwanya yang terdalam, sebelah bagian dari kepribadiannya menolak dengan tegas untuk menghapus kenangan itu. Sebelah jiwa tersebut seperti memiliki kesadaran yang berbeda dengannya. Ia bisa berfikir dan mempengaruhi jiwa yang lain. Seperti yang sekarang ini akan terjadi.

Dengan gerakan konstan, Awan memutar keran air di depannya. Tanpa hitungan detik, air langsung mengucur keluar bak hembusan napas. Awan mencuci telapak tangannya, menggosok-gosoknya seakan-akan melekat banyak sekali noda di tangannya itu. Bukan noda mikroskopik seperti yang kalian pikirkan sekarang. Noda ini jauh berbeda dengan noda yang seperti itu. Awan seperti seorang mantan penjahat saat membasuh sisa-sisa kejahatannya yang masih menempel di kedua tangannya itu dengan guyuran air suci yang diambil dari tempat kramat di atas bukit. Setelah dirasanya bersih, Awan menampung guyuran air itu di kedua telapak tangannya dan tanpa ragu-ragu membasuhkan ke mukanya. Ia lalu menatap ke kaca besar di hadapannya.

Disekaya sisa-sisa gumpalan air di wajahnya, dari dahi hingga ke permukaan dagu. Awan menatap kaca lagi seolah-olah mengharapkan sebuah kejaiban yang terjadi setelahnya. Keajaiban yang dapat menggelontorkan beban-beban pada pundaknya.

Seseorang lalu tertawa dari belakangnya. “Sudahlah, basuhan air itu tak akan bisa merubah kondisi kejiwaanmu. Kau benar-benar sudah hancur sekarang.”

Awan berbalik. “Si―siapa itu?”

Ia menengok ke segala penjuru kamar mandi tempatnya berada sekarang, tapi tak terlihat satu sosok pun yang tadi berkomentar mengenai dirinya. “Si―siapa kau?” suaranya bergetar. Ketakutan seketika membalut tubuhnya bagai selimut teror. Imajinasi dan khayalan aneh menutupi pikiran rasionalnya. “Apa maumu? Tu―tunjukkan wujudmu.”

Suasana tegang berlangsung beberapa menit melanda dirinya namun cepat-cepat pikiran rasionalnya bertindak.

“Sepertinya aku harus banyak beristirahat. Terlalu banyak masalah yang aku hadapi sekarang hingga membuat pikiranku ini tak bisa menyelesaikan satu-persatu permasalahan itu. Terlebih lagi masalah sayap yang tumbuh di punggungku ini. Benda itu makin lama makin bertambah besar. Apa yang harus aku lakukan dengannya? Apa aku harus memotongnya? Tapi...”

“Ha ha ha. Dasar manusia bodoh!” suara itu muncul lagi. “Kau terlalu lemah. Kau itu jenis manusia yang terlalu cepat menyerah pada cobaan.”

Wajah Awan kembali terjaga dan waspada. Ketakutan sekali lagi membalut seluruh kewarasan yang tersimpan dalam dirinya. Ketakutan akan kengerian itu jelas-jelas tak menyisakan sedikit pun kekuatan dan pikiran waras dalam proporsi otaknya.

“Si―siapa yang bicara?” teriaknya histeris. Raut muka ketegangan memancar dari aura wajahnya. Rahangnya kaku seolah-olah ikut merasakan ketakutan itu. “Keluar... tujukkan wujudmu, Jahanam!” pekiknya.

Betapa kagetnya saat mukanya kembali menatap cermin. Sebentuk sosok tertangkap oleh pantulan cermin tersebut seumpama asap. Sosok makhluk itu menatapnya balik sembari menguraikan senyuman yang tak bisa mengubah pandangan orang awam saat pertama kali melihat bentuknya. Bagaimana tidak aneh, makhluk itu memiliki sayap. Jelasnya, sayap kelelawar. Mengerikan. Dan yang lebih membuat Awan tak habis pikir, wajah sosok itu menyerupai wajahnya. Tak ada bedanya.

Sembari diam dan beradu pandang, sosok itu seolah-olah sedang berpose bak seorang pragawan pada cover sebuah majalah misteri ibukota. Makhluk itu bersandar di pintu toilet di belakang Awan. Sayap kelelawarnya mengembang lebar. Salah satu bentangannya kira-kira sepanjang satu setengah meter. Di antara kulit hitam kecoklatan yang membalut sayap mengerikan itu, menyembul sebentuk konstruksi tulang penyangga otot-otot sayapnya, kuat dan kokoh. Bulu-bulu halus berwarna serupa tumbuh subur di beberapa tempat layaknya tempat persemaian bibit.

Awan berbalik seakan-akan ingin pergi dan menyingkir dari tempat itu, namun kakinya tak mau beranjak satu langkah pun. Kakinya menolak perintah dari otaknya. Kakinya yang gemetaran seolah-olah kaku dan membatu layaknya terhipnotis. Tak bisa digerakkan sedikit pun. Bagaimana ini? Katanya dalam hati di tengah-tengah kegelisahan yang melandanya.

“Siapa kau?” teriak Awan. Malah itu yang keluar dari mulutnya yang gemetaran. “Ke―kenapa...” Awan tak bisa melanjutkan kata-katanya selanjutnya.

“Kau bodoh,” sosok itu berkomentar. “Kau seharusnya tahu dan menyadari bahwa aku ini dirimu. Kita adalah satu. Aku adalah sosok yang ada dalam dirimu. Aku muncul dari semua keraguan, penentangan, kebencian, ketakutan, kemarahan, dan semua kejelekan sifat yang kau miliki.”

Sosok itu bergerak mengganti bentuk posenya. Sayap-sayap yang mengibas dari belakang punggungnya menyusut sedemikian cepat. Dua detik kemudian, dia telah tampak seperti manusia. Bukan merupakan sosok menakutkan yang tadi melatarbelakangi bentuk fisiknya yang aneh lagi. Kini ia telah benar-benar mirip dengan sosok Awan.

Ba―bagaimana bisa? Sa―sayapnya menyusut, Awan berkomentar dalam hati.

“Kau tahu,” sosok itu bersiap menjelaskan sesuatu. “Manusia seperti halnya dirimu pada dasarnya memiliki kepribadian atau jiwa yang tersembunyi jauh dalam diri mereka. Tersembunyi di balik senyuman ramah atau tatapan kaku mereka. Kepribadian dan jiwa itu terkadang muncul secara tiba-tiba. Biasanya menggebrak tak kenal waktu, tempat, maupun kondisi. Semua itu terbentuk dari hasil imajinasi maupun khayalan akan sesuatu yang sudah terkumpul sejak dulu, dan setelahnya terpendam lalu terkubur serta masih menyisakan banyak pertanyaan dan pertentangan tentangnya.”

“Itu yang sedang kau alami sekarang. Kau tahu darimana kau peroleh sepasang sayap itu? Sepasang sayap yang menurutmu mengerikan dan terus menjadi bebanmu itu.”

Aku mendapatkannya dari mimpi. Awan ingin menjawabnya demikian namun mulutnya tak kunjung mau mengatakan kalimat itu.

Sosok itu maju beberapa langkah. Sinar matahari yang menerobos melewati celah-celah kaca ventilasi tidak segan-segan untuk menerangi sosoknya.

“Ha ha ha. Terlalu banyak keluhan yang kau keluarkan dari berbagai cobaan yang diberikan Tuhan kepadamu. Ya, sebenarnya semua itu hanyalah cobaan yang diberikan Tuhan. Dia menyisipkan cobaan-cobaan dalam hidupmu itu dengan cara-cara-Nya yang unik dan tak terpikirkan oleh para penyembahnya.”

Sosok yang menyerupai dirinya itu menyunggingkan senyuman seolah-olah sedang meremehkan Awan karena berpikiran pendek.

“Sebelumnya, kau telah diberikan pekerjaan yang layak dan istri yang anggun. Kehidupanmu selalu diberkahi. Hidupmu dipenuhi akan keindahan-keindahan duniawi yang diidam-idamkan oleh semua orang. Dan seperti yang tertulis dalam kitab-kitab suci yang diturunkan dari langit, cobaan akan datang di waktu yang tak terduga. Dan sesungguhnya kau telah gagal menjalaninya. Kau terlalalu asik dengan kenikmatan-kenikmatan dunia yang secara sengaja diberikan Tuhan untukmu.”

Awan memandangnya tidak setuju namun tetap saja ketidak setujuannya itu tak kunjung keluar dalam bentuk kata-kata dari mulutnya. Ia hanya berani ngomong dalam hati, Gagal? Apanya yang gagal? Menurutku, semua yang telah kulakukan untuk menjalani hidupku ini bukan merupakan sebuah kegagalan. Aku telah melaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Aku telah menjalankan semua kebenaran yang diajarkan oleh-Nya. Salah satu kejelekan dasar manusia adalah memiliki tingkat keegoisan dan keras kepala yang tinggi. Tak mau mengalah atas argumen-argumen maupun kejujuran-kejujuran yang diutarakan orang lain seputar hidupnya. Tidak terima atas semuanya. Mereka merasa bahwa dirinyalah yang paling benar akan apa yang diambilnya dalam menjalani kehidupan.

Sosok itu kembali berkata-kata, “Sifat dasar manusia. Egois.” Ia tersenyum kecut.

Kekagetan Awan makin menjadi. Bagaimana sosok itu bisa tahu apa yang ada dalam pikirannya? Apakah ia bisa membaca pikiran orang-orang seperti halnya membaca buku?

“Kau tak akan bisa mengerti. Tak akan pernah. Itu disebabkan karena kau terlalu sibuk dengan segala aktivitasmu dahulu. Jauh sebelumnya saat kau masih diberikan kenikmatan, rutinitasmu hanyalah seputar kerja, kerja, dan kerja. Entah kau sengaja atau tidak tapi itulah yang sebenarnya terjadi. Kau diberi kenikmatan namun kau sendiri melupakan apa yang seharusnya merupakan kewajibanmu. Kau melupakan Tuhan dan keluargamu. Kau melupakan istrimu dan kodratmu sebagai seorang suami juga kepala keluarga.”

Ia melanjutkan, “Kau terus saja mengeluh dan mengeluh. Terlebih lagi, setiap keluhanmu itu tidak beralasan sama sekali. Asal kau tahu, keluhanmu itu adalah akibat dari kegagalanmu sebagai seorang manusia. Semuanya akibat keteledoranmu sendiri.”

“Ba—bagaimana mungkin?” akhirnya suara Awan terdengar juga walau masih terbata.

“Keras kepala. Lagi-lagi sifat dasar manusia.” Nada suaranya seperti bermain-main dengan intonasi yang tepat. “Kau terus memohon kepada Tuhan. Tak ada henti-hentinya. Kau mengatakan bahwa orang-orang tidak adil padamu bahkan Dia juga kau anggap demikian. Rendahnya dirimu. Kau mengeluh tanpa sadar akan kesalahanmu sendiri. Hingga yang terakhir dalam mimpimu, kau memohon untuk bebas. Kau menginginkan sayap. Dan sebagai akibat dari permohonanmu itu, Tuhan memberikanmu sayap yang sesuai untukmu. Lihatlah dengan jelas, seperti inilah bentuk sayap yang kau miliki sekarang.”

Sepasang sayap kelelawar megerikan yang tadi meyusut di punggung sosok itu tiba-tiba muncul lagi. Muncul dengan waktu yang amat cepat. Dengan kibasan angin seolah-olah mau mengukuhkan keberadaannya. “Bagaimana? Apakah kau sudah menyadarinya?”

Sosok itu berjalan mendekatinya perlahan seperti menikmati gerakannya. Awan mencoba mundur namun ia tak bisa menerobos dinding yang ada si belakangnya. Akibatnya, ia hanya terdiam di tempat, memohon suatu keajaiban. Tapi keajaiban yang tak jua muncul itu, membuatnya histeris.

“Tidak mungkin. Semua itu tak mungkin terjadi padaku. Aku tidak percaya atas semua kebohonganmu itu,” ujarnya ketakutan. “Pergi... pergi dari sini. Menjauh dariku kau makhluk terkutuk. Pergi aku iblis. Pergi...” Pertahanan kakinya goyah. Sambil bersandar, badannya meluncur turun. Kini posisi Awan setengah berjongkok. Sebelah tangan menutupi wajahnya. Ia gemetaran saat menghadapi kematian.

Tiba-tiba seseorang berlari masuk ke ruangan tersebut. “Hei... hei... apa yang terjadi padamu, Wan? Kenapa kau berteriak-teriak seperti itu? Sadarlah...” suara Kemal mencoba menenangkannya.

Awan membuka perlahan-lahan tangan yang menutupi wajahnya.

“Ke—Kemal... syukurlah kau di sini,” kata Awan sembari terengah-engah.

“Memangnya apa yang terjadi padamu?”

“Apa kau lihat makhluk itu? Di—dia ada di sa...” Awan menunjuk ke depannya namun tak ada sesuatu dalam lingkup daerah yang ditunjuknya itu. Hanya kombinasi ruang kosong dengan udara.

Kemal ikut-ikutan menatap tempat kosong itu. “Makhluk apa? Mana? Apa maksudmu?”

“Tadi dia ada di sana... ya, tepat di tempat yang aku tunjuk itu.”

“Hei, tidak ada siapa-siapa di sana. Sepertinya kau bermimpi di siang bolong, Wan.” Kemal cekikikan menertawakan sikap sahabatnya itu.

Awan memandangi wajah laki-laki itu lalu berkata tegas, “Ini bukan lelucon!!!” katanya marah. Latar matanya yang putih memerah, layaknya orang yang telah lama memendam kemarahannya. Beberapa jalinan urat menyembul dari pelipisnya.

Tawa Kemal langsung terhenti, seolah-olah seekor kucing kecil yang digertak oleh auman singa dan seketika membuat binatang kecil itu lari tunggang-langgang.

“Ma—maafkan aku. Aku tak bermaksud...” belum selesai Kemal menuntaskan kalimatnya, Awan berdiri lalu beranjak pergi dari tempat itu tanpa mengucapkan sepatah kata lagi.

--------
note :
* perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan dirinya sendiri.

~Bersambung~

Tidak ada komentar: