Minggu, 30 November 2008

Kenangan Sam. (Sejarah Angin) - 02

Penulis : Afandi M.
Gendre : Roman dan Kehidupan
Lain-lain : Berseri (3)

KEESOKAN harinya, aku melewati jalan yang sama seperti hari sebelumnya. Jam yang sama, dengan maksud bertemu wanita itu sekali lagi. Sengaja kuperlambat laju langkahku walau kuliah telah dimulai sejak sepuluh menit yang lalu. Tak apa-apa. Tidak menjadi masalah besar bagiku. Semua itu akan sebanding jika aku bertemu lagi dengannya. Wanita yang benar-benar sempurna itu, mengagumkan. Meskipun aku baru pertama kali melihatnya tapi entah mengapa hati ini seolah memberitahukan bahwa aku telah mengenal sosoknya lebih dari puluhan tahun yang lalu. Mungkin di kehidupan sebelumnya, kami adalah sepasang kekasih atau kerabat yang saling mencintai. Jika kemarin aku mengatakan bahwa ia adalah sosok bidadari, nyatanya aku salah. Benar-benar salah besar. Bahkan tak terampuni. Derajat dari sosoknya lebih tinggi lagi. Bukan... bukan hanya sekedar bidadari dengan paras anggun nan menggoda. Ia adalah sosok dewi. Ya, seperti penceritaan dalam mitologi bangsa Yunani. Menurutku, ia sangat pas jika disejajarkan bersama Dewi Cinta dan Kecantikan―Aphrodite, yang konon katanya menurut alkisah terlahir dari buih air laut yang berasal dari sperma Zeus.


Lama kuberjalan tapi sosok Qhay Lilia tak jua muncul. Bahkan jika penciumanku turut menelusuri jejak angin, aroma khas tubuhnya belum merebak menggoda endusanku lebih jauh. Kurasa ia memiliki kesibukan lain. Kesibukan yang lebih penting daripada hanya sekedar berjalan tak jelas dan tak tentu arah di jalanan ini.

Yah, sayang sekali...

Sebelah batinku lalu berkomentar, “Buat apa kau memikirkanya? Toh, belum tentu dia juga memikirkanmu. Memangnya kau ini siapa? Kau bukan orang penting, bukan selebritis, tak berkedudukan, dan bahkan menyandang predikat mahasiswa terbaik pun tidak.” Ia diam lalu sambil tertawa melanjutkan perkataannya. “Malang sekali nasibmu. Ha... ha... ha... sungguh malang.”

“Memangnya itu salah?” kataku kesal mendapat sindiran. “Apakah salah kalau aku memikirkannya? Salah kalau aku ingin bertemu lagi dengan sosoknya yang begitu mengagumkan? Salah kalau aku mengingat aroma tubuhnya?”

Aku melanjutkan, seolah-olah kekesalanku kian membuncah. “Apa pedulimu? Ini urusanku. Urusi saja masalahmu sendiri. Sebaiknya kau cepat enyah dari dalam diriku. Aku tak sudi memiliki kepribadian naif sepertimu.”

Tidak serta-merta kekesalan itu melunturkan keinginanku. Niatku untuk bertemu lagi dengannya tak akan sirna secepat itu. Tak akan menghilang secepat kabut yang terusir oleh serpihan sinar mentari dari ufuk timur. Niatku itu setegar koloni karang yang tahan dihantam kerasnya gelombang dan sekuat intan. Masih ada hari esok. Di hari berikutnya kuharapkan dapat bertemu sosoknya lagi walau hanya melihat bayangannya saja, aku sudah senang.

Sisa perjalananku menuju kampus kulakukan dengan berdoa dalam hati. Doa yang teruntai tulus dan ikhlas kupanjatkan pada-Nya, mengharapkan sesuatu terjadi setelah aku mengumandangankan doa ini;

Tuhan... tak tahu mengapa, aku langsung menyayanginya. Tiap detik, wajahnya selalu berbayang dalam anganku. Aku suka dia. Aku cinta padanya. Kuharapkan ia adalah jodohku. Ya... jodoh yang Engkau pasangkan kepada setiap hamba-Mu. Kalau memang ia bukan jodohku, jodohkanlah ia denganku. Seandainya ia tak sayang padaku, buatlah ia sayang padaku. Jika ia jauh dariku, dekatkanlah denganku. Dan apabila ia lupa padaku, ingatkanlah ia padaku. Aku yakin dengan kuasa-Mu, semua itu pasti dapat terjadi dengan sangat mudah. Semudah kau menciptakan jagat ini bersama isinya. Amin...


***


Seminggu kemudian secara tak disengaja, kami bertemu di kantin kampus. Tanpa malu-malu seperti pada hari sebelumnya, aku langsung menyapa. Tidak disangka ia langsung mengenali dan menyuruhku duduk di depannya. Kami berbicara banyak siang itu dan semakin akrab seiring dengan tiap perpindahan dari topik satu ke topik yang lain dari setiap pembicaraan kami. Ya, begitulah memang seharusnya. Begitulah yang aku mau, semakin akrab dengannya. Dari hasil percakapan dengannya bisa kusimpulkan sesuatu yaitu bahwa ia merupakan wanita yang penuh dengan keceriaan, tawa, kelembutan serta jauh dari kesan penyendiri, egois, dan manja yang kadang lekat di setiap sifat para wanita. Lalu dengan keberanian dan percaya diri yang tinggi, aku mengajaknya keluar pada hari Sabtu, malam Minggu. Malam bagi sepasang kekasih untuk berdua dan mencurahkan kasih sayang. Betapa bahagianya diriku bagai dibuai sebuah janji dari sang penguasa, Qhay Lilia menerimanya. Ia mau pergi denganku. Benar-benar aku tak bisa menggambarkan perasaanku saat itu. Seolah-olah semua perasaan itu berkombinasi menjadi satu. Tak bisa dilukiskan. Bahkan imagiku yang kadang liar menjelajah tak bisa berbuat apa-apa.

“Kai,” panggilku pada suatu malam ketika hubungan kami semakin dekat. Ia memandangku sambil mengurai senyumnya yang khas.

“Aku ingin mengatakan sesuatu padamu,” tegasku.

“Apa?” tanyanya lembut. Wajahnya yang tak dibalut kosmetik sungguh sangat menawan.

Aku diam beberapa saat, mencoba mengumpulkan sisa-sisa keberanianku. Langsung saja adrenalin ini menyembur ke semua aliran darah hingga otak, mengikat semua hormon yang ada di sana dan memaksaku mengatakannya.

“A... aku... aku...” diam lagi.

“Ada apa, Sam? Apa yang ingin kaukatakan? Jangan membuatku bingung,” jelas Qhay Lilia panjang.

Perkataannya tadi membuatku berkomentar dalam hati. Ah, wanita ini. Bukankah dia sudah tahu apa yang nantinya mau aku katakan? Mengapa dia masih mendesakku? Semuanya kan sudah kutunjukkan dengan perbuatan dan perhatian yang lebih kepadanya. Apa aku harus tetap mengatakannya? Ah... aku malu.

Keringat seakan tak hentinya mengucur deras dari dalam pori-pori dahiku. Kerongkongan tiba-tiba saja kering bagai tak mendapatkan air pada penjelajahan di sebuah gurun baru. Aku menelan ludah untuk terakhir kalinya. Beban yang menaungi tubuhku seolah bertambah dua kali lipa beratnya.

“Sebenarnya... aku mau bilang, kalau aku...” suaraku bergetar. Sementara itu, Kai masih setia menunggu akhir kalimatku.

Tak mau membuatnya menunggu lebih lama, kulengkapi saja satu kalimat tadi menjadi satu keutuhan yang pasti. “Aku mau bilang kalau aku sayang padamu, Kai. Aku jatuh hati padamu sejak pertama kali kita bertemu...” aku berhenti sejenak. “Maukah kau menjadi kekasihku? Menjadi pacarku?”

Beban yang sebelumnya menghujam tubuhku seketika hilang. Entah ke mana. Ajaib sekali. Seperti magic saja.

Kai menunduk. Tampaknya ia tengah berfikir. Semenit kemudian ia kembali dengan pipi merona dan senyum hangat terbersit di bibirnya.

“Aku juga sayang padamu, Sam,” ucapnya malu-malu. Ia berusaha menyembunyikan wajahnya yang sudah memerah bagai rebusan udang. “Kau bisa membuatku merasa nyaman dan aman, bisa membuatku tertawa.”

“Ja... jadi... kau...” kataku masih gugup. Napasku makin menderu cepat. Mataku berbinar bahagia. Ludahku lancar sekali keluar hingga kubutuhkan usaha keras untuk menelannya, menyebabkan jakunku naik-turun berkali-kali.

“Ya, aku mau menjadi pacarmu.”

“Benarkah?” kataku masih tak percaya atas apa yang baru saja kudengar. Qhay mengangguk membenarkan. Kegembiraanku langsung meluncur bebas tak peduli apa pun penghalangnya. Pokoknya saat ini aku sangat bahagia. Bahagia sekali. Dunia ini seperti tempat yang sangat indah walau nyatanya tidak bagiku. Aku berteriak kegirangan seumpama gila.

Akulah orang yang paling bahagia di dunia, jelas hatiku kencang. Ini seperti mimpi.

Kejadian itulah yang membuat hubunganku dan Kai semakin dekat. Telah ada ikatan di antara kami berdua. Sebuah ikatan untuk menuju ke tahap selanjutnya. Sebuah tingkatan yang akan sangat berarti. Setelah selesai kuliah kami selalu menyempatkan bertemu, entah di kantin atau di tempat lain. Setiap akhir pekan, kami menikmati indahnya malam dan udara nan lembab di kota Bandung. Kadang pula kami nonton di bioskop. Tentu saja bukan film horor. Kai sangat membenci gendre film seperti itu sama seperti ia membenci tangis, kesedihan, dan keluhan. Kami layaknya dua orang dalam satu tubuh, tak akan pernah terpisahkan. Setelahnya, kami biasa makan di sebuah cafe makanan Jepang yang berada di sekitar wilayah Dago, salah satu tempat di Bandung yang terkenal dengan wisata kulinernya yang berfariasi. Wajib dicoba. Blue Cafe Japanese merupakan cafe faforit kami berdua. Kai selalu memesan sushi—makanan Jepang yang terdiri dari nasi yang dibentuk bersama neta, berupa makanan laut, daging, sayuran mentah ataupun sudah dimasak. Itu adalah salah satu makanan Jepang kesukaannya selain sashimi dan soba.

Sekarang, aku telah mendapatkan rusukku kembali. Kini aku telah menemukan belahan jiwaku. Separuh sayap yang bisa membuatku terbang ke negeri pencapaian.

Tapi pada akhirnya datang satu kejadian yang membuat ikatan yang telah kami jalin selama dua tahun lamanya itu putus tak berbekas. Seperti sebuah kapal kayu yang dihantam badai bertubi-tubi atau seperti sebuah kerajaan yang diserang secara tiba-tiba, diserbu oleh ribuan prajurit Romawi hingga sang raja tak bisa berbuat apa-apa, menyerah pada keadaan. Pada akhirnya, hancur begitu saja. Melibas semua yang ada dan tahu-tahu meninggalkan kesedihan, kengerian, kecemasan akan hidup, dan selanjutnya tempat itu hanya menjadi puing bagunan tua tak berguna layaknya bangunan-bangunan lain di luar sana. Di dalamnya yang tersisa hanyalah jeritan jiwa-jiwa terlantar dan terabaikan.

Cintaku hancur. Niatku untuk menikmati hidup bersamanya pupus sudah. Gara-gara kecelakaan sialan itu! Mobil brengsek! Goblok! Apalagi supirnya. Ingin sekali kukencingi mukanya atau kubunuh saja. Kucincang tubuhnya, lalu ususnya yang terburai akan kujadikan makanan anjing. Kepalanya akan aku gantung. Di dahinya akan kutulisi satu kata dengan darahnya sendiri. “Pembunuh” kata yang tepat. Kalau cara itu belum cukup mengusir seluruh kebencianku padanya, akan aku ukir lagi kulitnya dengan belati. Biarkan saja si bangsat itu menderita. Aku ingin ia merasakan apa yang aku rasakan. Tapi tetap saja semua itu tak akan sepadan atas perbuatan yang telah ia lakukan padaku.

Memang hukum telah menjeratnya, tapi aku tak percaya. Hukum negara ini sialan, busuk, dan jorok. Hanya dengan uang segepok saja sudah bisa mengurangi masa tahanan. Apalagi kalau satu koper. Pantas saja negara ini tidak pernah maju. Rakyatnya terus merana dalam keterpurukan sosial dan ekonomi. Kelaparan dan kebodohan di mana-mana, pembunuhan dan teror merajalela, terlebih lagi konflik-konflik sering sekali terjadi di setiap daerah lalu berlanjut ke pertumpahan darah antara kelompok-kelompok agama. Memang aku ini orang awam, tapi aku ini pengamat. Kedudukanku lebih tinggi dari mereka. Bangsat tikus-tikus berdasi itu. Lihatlah, mereka selalu berlindung di balik tahta dan kedudukan sang penguasa. Dasar kasta terendah. Selalu menutupi borok mereka dengan buaian janji. Cuihhh... aku tak akan percaya kalian. Tidak akan!
Sama halnya dengan pembunuh itu. Tega-teganya ia mengambil nyawa cintaku. Seharusnya kuluncurkan saja nuklir atau kujatuhkan bom atom tepat di rumahnya hingga meluluhlantahkan semuanya. Aku tak peduli jika anak, istri, dan tetangganya atau semua orang turut menjadi korban atas kebrutalan dan kebiadabanku. Aku tak peduli itu. Justru itu yang aku inginkan. Biarkan semua orang tahu. Biar ia merasakan bagaimana rasanya ditinggal oleh orang yang terkasih. Bagaimana kehilangan orang yang dicintai, disayangi, dipuja bahkan rela mengorbankan jiwa deminya. Biar ia tahu rasa. Tapi... aku bukan karakter seperti itu. Kedua orang tuaku tidak mengajarkanku menjadi pribadi seperti itu. Bukan jenis orang yang melakukan kejahatan atas dasar kegilaan atau ledakan kebencian. Aku ini lemah. Aku ini bukan jenis orang yang mampu bertindak. Aku adalah manusia yang kalah. Tak mungkin kulakukan semua itu.

Padahal baru pertama kali kulihat Kai berdandan saat kejadian itu terjadi. Lipstik yang memoles bibirnya sangat serasi di kulit bibirnya. Rambutnya juga sudah ditata sedemikian rupa, diberi pewarna dan dibuat menggulung pada ujung-ujungnya. Seperti top model saja. Tapi aku bahagia. Aku senang dengan itu semua. Ia masih tetap menjadi bidadariku. Apa pun yang memoles wajahnya tetap membuatnya terlihat anggun sebab pada dasarnya memang begitu. Ia lalu memanggil dari seberang jalan seraya memberikan lambaian tangan ke arahku.

“Sam!” serunya lembut.

Senyumannya, wow indah sekali. Aku tak akan menyia-nyiakan cintanya. Aku terpaku di tempatku berdiri, membanyangkan kenangan-kenangan lalu yang kulewati bersamanya. Mengingat kembali perjuanganku untuk mendapatkan dirinya. Ya, benar sekali ucapan-ucapan para pria sejati itu. Bukan perkataan Don Juan atau Cassanova yang kerjanya hanya menebar pesona ke setiap wanita. Mereka itu banci yang sangat mudah memberikan cinta ke semua wanita. Seperti PSK saja, ataukah memang mereka yang pertama menyandang predikat itu, lalu memberikannya kepada wanita-wanita jalanan secara cuma-cuma. Kalau aku, bukan seperti itu. Aku ini pria sejati.

Cinta memang memerlukan pengorbanan, namun seberapa besar pengorbanan yang kita berikan untuk mendapatkan cinta itu. Tak ada tolak ukur, perbandingan atau takaran yang jelas layaknya pemberian obat bagi pasien dengan penyakit berbeda, begitu juga pada cinta. Betul saja. Cinta memang membingungkan. Begitu banyak pengertian mengenainya. Bahkan menurutku semua kata-kata yang diketahui oleh otak manusia saat ini, tak bisa dengan tepat mendeskripsikan apa itu cinta. Cinta terlalu membingungkan.

Semua pikiran itu tiba-tiba mengabur sedemikian rupa, buyar. Cermin-cermin kenanganku pecah menjadi serpihan kecil yang tidak bisa disatukan lagi. Suara hantaman membuatku tersadar ke alam nyata. Sempat kulihat tubuhnya terhempas lalu melayang sebelum akhirnya menyentuh daratan aspal kembali. Saking terkejutnya, kedua bola mataku seolah-olah keluar dari kelopaknya. Lidahku langsung beku mencapai titik tertinggi. Jantungku seperti berhenti berdetak membuat tubuhku lemas dan ingin jatuh pingsan. Tapi kakiku yang masih bergetar cukup kuat menopang tubuhku dan pengaruh semburan matahari membuatku melangkah cepat sembari memanggil-manggil namanya.

“K... Kai... Kaiii!!!” teriakku sambil berlari. Aku tak memperdulikan mobil-mobil yang masih lalu lalang. Aku tak mau berhenti meneriakkan namanya agar jiwanya tetap berada di jasadnya.

Jangan pergi dulu, kumohon.

Tidak ada komentar: