Sabtu, 29 November 2008

Kenangan Sam. (Sejarah Angin) - 01

Penulis : Afandi M.
Gendre : Roman dan Kehidupan
Lain-lain : Berseri (3)

WAKTU itu, matahari sudah meninggi saat aku melewati jalan yang meninggalkan banyak jejak kenangan di pikiranku. Masih bisa kulihat jejaknya di antara ribuan jejak kaki lain yang bertebaran tak berharga.

Di jalan itu, jalan kenangan. Ya... jalan itulah yang dahulu mengawali kisah cintaku, dan tanpa kusadari jalan itu pulalah yang pada akhirnya andil dalam memutuskan tali cintaku. Sebenarnya, ruas itu tidak tampak seperti jalan. Lebih seperti trotoar pemisah badan jalan, tentunya dengan ukuran yang lebih besar. Di sisi kanannya merupakan jalan utama, di mana pada jam-jam sibuk seperti ini kendaraan bagai barisan semut pekerja dengan langkah yang cepat menuju sarang. Sementara di kirinya, aliran sungai kecil menjadi penenang dan meredam kebisingan yang telah lama tercipta, walau tidak sepenuhnya. Suara gemericik air mengalun bagai sebuah simfoni surga yang akan melayangkan jiwa ke langit tertinggi. Mungkin sampai ke langit ke tujuh.


Matahari kian menyengat kulit, meskipun saat itu aku mengenakan kaos putih tipis berbalut jaket coklat tua. Sementara kupluknya menutup bagian kepalaku menghindari sengatan mentari, namun tetap saja kurasakan hawa panas mengalir hingga ke pori-pori kulit kepalaku, kemudian diikuti pusing yang menyebar tiba-tiba layaknya bisa. Saat itu, kepalaku bagai pantat penggorengan yang terus-menerus dilahap lidah api hingga memerah dan membara karena kepanasan. Bisa saja meleleh dan pada akhirnya menjadi suatu bentuk yang lain, bentuk yang berbeda dan tidak umum.

Tanpa sadar kuhitung tiap langkahku dalam hati. 1... 2... 3... 4... 5... namun saat langkah ke sembilan belas aku berhenti. Kutengok sungai di kiriku. Airnya yang jernih memantulkan cahaya matahari yang langsung menyilaukan penglihatanku. Membuat kedua pupil mataku ini perih. Saking jernihnya, terlihat bagai dataran cermin hidup, beriak-riak. Aku bisa berkaca di tengah riakan air sambil melihat tonjolan-tonjolan batu di dasarnya, atau memperhatikan gerombolan ikan kecil berwarna keabuan bergaris yang bersusah payah berenang melawan arus yang tak seberapa derasnya.

Aku termenung, sementara pohon pinus yang tumbuh di situ menjadi pelindung satu-satunya dari sengatan sang raja terang. Aroma melegakan memenuhi rongga-rongga pernapasan. Sedikit demi sedikit tiap lapisan udara kian menyegarkan bak hembusan angin pegunungan ataupun deburan ombak yang mengakhiri gulungannya di bibir pantai. Aroma pucuk muda, getah, lempengan kulit, daun, dan buah pinus yang berjatuhan, tercium bagai bau amonia menyebabkan pikiranku jauh menerawang. Ingatanku tentang kenangan klasik masa lalu mulai tersusun kembali, layaknya menemukan potongan puzzle terakhir untuk disatukan menjadi sebuah gambaran yang utuh. Di benakku, terbayang jelas sosok wajahnya; bibirnya yang tipis berbalut pelembab senada warna kulit bibirnya, tulang hidungnya yang kokoh dan lancip pada ujungnya, menegaskan bahwa ia keturunan orang-orang berkualitas. Matanya sipit yang begitu memikat menjadi daya tarik tersendiri. Terakhir adalah rambutnya yang hitam sebahu menjadi frame untuk semua keistimewaan itu.

Kuingat jelas saat kali pertama bertemu dengannya. Saat itu aku begitu terpana. Mulutku tak bisa berkata-kata seakan indera itu direkatkan oleh perekat terkuat di bumi ini, dan tak menduga bahwa seorang bidadari dengan bentuk fisik yang begitu sempurna tengah hadir di depanku, dalam jangkauan wilayah kedua biji mataku. Hadir begitu saja tanpa menunjukkan suatu bentuk kehadiran atau penampakan misterius dengan percikan kembang api ataupun gumpalan kabut yang mengaburkan sosoknya untuk pertama kali, atau bahkan hadir dalam keindahan mimpi sebelumnya, dengan sebentuk sosok yang begitu mengagumkan. Mengenakan gaun indah berumbai dengan sulaman benang emas bermotif abstrak di tiap sisinya bak seorang putri kerajaan awan.

Untuk pertama kalinya, ia memperkenalkan namanya adalah Qhay Lilia, namun tak pernah kusebutkan nama itu di depannya untuk hari-hari selanjutnya pertemuan kami, yang terkadang terjadi secara tidak disengaja, kebetulan, dan tanpa disadari. Aku lebih suka memanggilnya singkat dengan penggalan nama “Kai.” Menurutku itu lebih baik. Lebih menunjukkan ciri fisik maupun kepribadian gadis berwajah oriental itu.

Namaku sendiri Samuel, tapi panggil saja aku dengan sebutan “Sam” tanpa embel-embel apa pun di belakangnya. Fisikku seperti pria kebanyakan dengan tinggi 170 sentimeter, berambut pendek bergelombang, berkulit sawo matang, dan bermata tajam bak elang yang siap menerkam. Menurut teman-temanku, aku adalah tipe orang bebas―tipe yang kebanyakan berkepribadian pemberontak dan sering diartikan orang sebagai sosok yang menentang peraturan di mana pun tempatnya. Tapi itu hanya sugesti yang dilatarbelakangi bentuk fisikku saja. Intinya, aku adalah orang yang baik walau terkadang agak dingin jika memang mood-ku pada saat itu tidak dalam kondisi menyenangkan. Selebihnya, aku sama seperti orang-orang lain. Seperti anak muda kebanyakan. Sebagai informasi, saat ini aku terdaftar sebagai mahasiswa jurusan ilmu komunikasi di sebuah universitas swasta di Bandung. Walaupun tak cukup dikenal, tapi aku senang bisa menjadi bagian dari universitas tersebut.


***


Pertemuan kami dimulai saat aku hendak berangkat kuliah pagi itu. Seperti biasa, aku selalu melewati poros jalan yang sama setiap hari, baik berangkat ke kampus maupun kembali ke tempat kos. Tempat yang menurutku paling nyaman di dunia setelah rumah orangtuaku tentunya. Aku bukan tipe orang yang sering keluyuran ke mana-mana. Jalan-jalan ke sana kemari tanpa tujuan yang jelas. Setelah kuliah selesai, aku langsung pulang sebab katering Bu Dede telah menunggu untuk disantap. Seperti bayangan kalian saat ini, akulah anak pingit, itulah kata yang tepat. Peraturan ketat kedua orangtuaku semenjak aku duduk di bangku sekolah dasar membuat pribadiku seperti ini, seperti sekarang ini. Tapi aku bersyukur mereka telah membangun sebuah karakter kuat dalam diriku. Tak ada orangtua yang tidak menyayangi anaknya. Di balik peraturan ketat yang mereka buat apa pun itu, tersimpan kasih sayang dan cinta yang begitu besar.
Jam tangan digital yang melingkar di pergelangan tanganku sudah menunjukkan pukul 09.30 saat pagi itu aku mulai memacu langkahku lebih cepat.

“Akh, penyebabnya pasti karena nonton sepak bola tadi malam,” keluhku membenci kelakuanku sendiri. “Makanya aku terlambat bangun pagi ini.”

Aku sampai tidak memperhatikan ruas jalan di depanku. Yang kuperhatikan hanyalah detik-detik yang terus berganti di layar jam tanganku, hingga kemudian tubuhku menghantam sesuatu. Aku jatuh, sedikit terpental. Masih sempat kudengar beberapa benda juga turut berjatuhan dan setelahnya terdengar suara seseorang mengeluh lalu merintih kesakitan. Nyeri juga kurasakan di bagian pantat dan tanganku. Sambil membersihkan setiap sisi celana jeans dari butiran debu mikroskopik yang melekat, aku bangkit dan bermaksud meminta maaf kepada orang yang baru saja tak sengaja kutabrak. Namun tak tahu mengapa mulutku tiba-tiba tak bisa mengatakan susunan kata-kata itu. Padahal hanya permintaan maaf dan setelahnya, habis perkara.

Sungguh indah laksana tujuh keajaiban dunia dipadu menjadi satu kesatuan. Begitu misterius bagai lukisan Monalisa maupun The Last Judgement yang tercetak di atas langit-langit Sistine Chapel. Geraian rambutnya yang dibelai angin membuatku tak sepenuhnya melihat kecantikan wajahnya. Tapi entah mengapa perasaanku kuat mengatakan bahwa wanita yang berdiri di hadapanku ini adalah seorang bidadari, sesosok dewi. Yah, dialah sesosok bidadari yang begitu anggun nan cantik. Pokoknya begitu memikat, menggoda bagai lelehan coklat di atas es krim.

Kubantu ia mengambil buku-bukunya yang berserakan. Kutiupi jilidnya hingga debu menjauh dari tempat itu.

“Ma... maafkan saya,” kataku pada akhirnya. “Tadi saya buru-buru sekali sampai-sampai tak memperhatikan jalan dan akhirnya menabrakmu.”

Untuk yang pertama kalinya, wanita itu menatap wajahku secara langsung, mata bertemu mata. Kurasakan semburat adrenalin menyembur ke seluruh tubuhku. Saraf-sarafku kembali tak berfungsi saking gugupnya.

“Tidak apa-apa,” ujarnya lembut. Rupanya, suaranya lebih menakjubkan dari lengkingan sekelompok duyung atau pekikan lumba-lumba dalam arus samudera bahkan nyanyian paus di kedalaman lautan. “Bukan sepenuhnya salahmu,” tambahnya. “Aku juga terburu-buru tadi, jadi tak melihat jalan di depanku. Jadi, maafkan aku.”

Entah mengapa, mulutku seakan terkunci sekali lagi dan secara spontan aku langsung pergi. Aku tak mau jika ia mengetahui bahwa aku benar-benar mengaguminya saat itu juga. Saat pertemuan pertama kami. Saat pertama kali mendengar suara dan terbius oleh parasnya yang begitu sangat mengagumkan.

Belum jauh kakiku melangkah, wanita itu akhirnya memanggil. “Hei... tunggu dulu!” serunya.

Aku langsung berhenti dan beberapa detik kemudian ia sudah kembali berada di depanku. Adrenalin sekali lagi mengalir deras ke seluruh tubuhku. Membajiri otakku dengan hormon-hormon seksualitas.

“A... ada apa?” tanyaku gugup. Bodoh sekali, kenapa aku segugup ini? Padahal aku tak pernah segugup ini bila berkenalan dengan wanita-wanita lain di kampus, gumamku dalam hati sembari mengutuk kebodohanku sendiri.

“Kalau aku boleh tahu, siapa namamu?” ia mengurai senyuman seolah-olah ingin merayuku.

Hah! Dia mau tahu namaku? Apa tidak salah? Apa aku tidak salah dengar? Mungkin aku tuli. Apa dunia ini sudah mau kiamat? Aku tak percaya orang semenawan dia mau tahu namaku. Ah, dunia ini ternyata begitu indah. Batinku menyahut girang. Kupandangi tiap lipatan bibirnya yang mungil. Kuhirup aroma tubuhnya yang dibawa angin langsung ke indera penciumanku hingga kurasakan kedamaian tercipta di hatiku. Kekhawatiranku seketika lenyap. Tak lagi kupikirkan keterlambatanku nanti. Masa bodoh! Tak penting! Aku masih ingin di sini. Masih ingin menikmati semua ini. Aku ingin mengabadikan sosok, senyuman, dan wangi tubuhnya dalam ingatanku, dalam imajiku. Kalau bisa dalam hatiku juga.

“Namamu siapa?” tanyanya mengulangi. Nadanya sedikit ditinggikan namun senyuman masih segar terurai di bibirnya bak mawar yang baru mekar di pagi hari. Begitu indah dan menyejukkan jiwa yang sebelumnya hampa.

“Oh maaf...” kataku malu pada sikapku sebelumnya. “Namaku Samuel.” Aku menjulurkan sebelah tangan bermaksud bersalaman.

Ia membalas jabatan tanganku. “Aku Qhai―Qhai Lilia,” katanya turut memperkenalkan diri.

Kembali ia bertanya seadanya. “Apa kau juga mahasiswa?”

Aku mengangguk menyetujui.

“Di mana?” Qhai Lilia masih mempertahankan tatapan matanya ke arahku.

Dengan malu aku menjawab, “Universitas Guna Atmadja.”

Ia berkata girang, “Wah! Sama denganku. Kalau begitu kita satu kampus. Ngomong-ngomong ambil jurusan apa?”

“Komunikasi,” jawabku singkat.

Tak tahu entah mengapa, aku seakan tidak bisa memperpanjang kalimat-kalimatku lagi. Pancaran sinar matanya bagai tatapan Medusa yang begitu membatukan, membuat tubuhku kaku dan tak bisa bergerak. Matanya yang begitu indah seperti menyelami jiwaku. Menjadikannya sebuah ladang; menanamkan benih cinta di sana, memupuknya dengan perhatian dan setelah itu menyiramnya dengan tumpahan kasih sayang. Kemudian tumbuh menjadi tanaman eksotis. Bermekaran membentuk buket-buket bunga yang tak dikenal siapa pun terkecuali ia sendiri. Tak ayal, aku pun langsung tergoda olehnya bagai mencium udara beraroma kesturi yang sangat memabukkan dan membuai iman.

“Hei! Kau kenapa?” kata wanita itu heran dengan tatapanku ke arahnya. “Apa ada yang aneh dengan penampilanku?” seraya meneliti tiap lekuk pakaiannya, namun tidak ada yang aneh menurutnya. Biasa-biasa saja. Siapa yang bilang aneh, lagipula tak ada perlu dikhawatirkan dari dirinya. Sebaliknya, yang perlu dikhawatirkan adalah diriku. Aku tengah terhipnotis oleh wujudnya. Apa pun yang ia minta akan kuberikan saat itu juga.
Setelahnya, aku tersadar, lalu dengan sikap malu-malu aku mengalihkan pandanganku darinya.

“Ah, tidak apa-apa kok,” jelasku sekenanya. Tak ingin malu lebih jauh, aku cepat-cepat mengakhiri pertemuan kami walau sejujurnya tak mau aku melakukan hal itu. Aku masih ingin melihat rupanya. Guratan senyum manisnya bak ukiran di atas mangkuk berseuh emas, lirikan matanya yang penuh mistis, maupun suara merdunya yang seakan-akan turut membawa musim semi untuk kesekian kalinya.

“Sepertinya, aku pamit dulu. Soalnya aku ada keperluan di kampus,” kataku. “Permisi.”
Qhay Lilia tersenyum lalu bersuara, “Oh! Silahkan. Aku juga ada keperluan lain. Senang berkenalan denganmu, Sam.”

Aku membalas senyumannya. Kuperlihatkan senyuman terbaik yang bisa kulakukan. “Aku juga senang berkenalan denganmu. Aku harap kita bisa bertemu lagi.”

Sesungguhnya aku sangat mengharapkan hal itu terjadi. Harus... itu harus terjadi... batinku memaksa.

Kami pun berpisah. Sekali aku menengok ke arahnya sambil tersenyum untuk yang terakhir kalinya di pertemuan pertama kami hari itu.

Entah mengapa hari itu terasa lebih berwarna. Seakan mata ini dapat memecah warna cahaya menjadi tujuh jenis warna yang lain, seperti pola warna pada pelangi dikala hujan reda. Tiap kali kulihat ke langit, gumpalan awan berbentuk abstrak seolah membentuk kembali wajah wanita itu. Sepasang tangan Michelangelo memahatnya menjadi sebuah karya seni tiga dimensi yang begitu mengagumkan dan tahan oleh hempasan angin. Semua ketegangan, kemuraman, kesedihan, dan kemarahan seketika itu juga terbalut oleh kegembiraan dan kebahagiaan yang langsung tercipta, tiba-tiba.

Apakah ini yang dinamakan cinta pada padangan pertama? Ataukah, hanya rasa kagum yang berlebihan dan lama-kelamaan akan hilang seiring berjalannya waktu?

~bersambung~

Tidak ada komentar: