Penulis : Afandi M.
Gendre : Misteri dan Kehidupan
Lain-lain : Berseri (4)
LALU LINTAS bukan main padatnya. Kendaraan bermotor berjejer bagai menunggu antrian pengisian bahan bakar yang walaupun saat itu harganya telah melambung tinggi sekali, namun antrian itu malah makin menjadi sampai mengambil sebagian badan jalan. Asap knalpot membentuk awan hitam yang langsung melayang jauh ke angkasa, lalu bersatu menjadi awan dan nantinya menurunkan hujan asam yang mematikan. Guratan-guratan cemas tergambar jelas di setiap wajah para penguna jalan. Dengan balutan seragam-seragam kebangsaan perusahaan, mereka berkutat dalam waktu yang terus berjalan. Bagai robot bernyawa, mereka melakukan segala rutinitas harian yang begitu membosankan: mengkomputerisasi data, memperbanyak lembaran file, mengadakan rapat dan pertemuan bisnis yang menjemukan, menyampaikan presentasi tentang leadership yang sejujurnya tak ada gunanya saat ini. Seolah-olah mereka semua dikontrol oleh suatu alat mekanik berkemampuan tinggi dan diotaki oleh sebuah chip yang lebih kompleks dari otak manusia itu sendiri.
Generasi muda negara ini telah rusak walaupun ada beberapa yang masih menjunjung tinggi norma-norma kehidupan. Selebihnya hanya kumpulan manusia-manusia bodoh yang hidup tanpa tujuan jelas. Mengotori dunia ini dengan kekejian dan kejahatan jalanan, sampai-sampai menebar teror bak hantu mengerikan di malam hari. Apa yang bisa diharapkan dari orang-orang seperti mereka? Apa yang bisa dibanggakan? Apakah kekuatan mereka? Apa kekuasaannya? Keberanian cecunguk-cecunguk itu, bagaimana? Mereka itu "tai" di atas porselen istana. Apa jadinya masa depan dunia ini di tangan monyet-monyet seperti mereka. Busuk! Malah menghancurkan.
Semakin siang suhu kian meningkat, menyengat, dan mematikan. Jakarta yang terkenal sebagai kota penampung polusi dan penyerap panas di Indonesia makin mengukuhkan keberadaannya. Kota itu bagai berada di atas panggangan dengan kumpulan lidah api yang menyambar sukarela.
“Huih, panas sekali! Dua air conditioner di ruangan ini sepertinya belum cukup untuk mengusir panas yang tiap hari kian meningkat tajam,” ujar seorang pria sambil melonggarkan kerah bajunya. Ia melongo ke orang di hadapannya. “Semakin hari, Jakarta makin panas saja, ya?”
Orang di depannya tersenyum seakan membenarkan. “Mau diapakan lagi. Dari dulu memang seperti inilah suhunya. Tak pernah berubah ‘kan? Malah makin meningkat.”
“Hmm... ini pasti akibat global warming yang sering dibicarakan di televisi itu. Dan Jakarta adalah salah satu kota yang harus bertanggung jawab akan hal ini. Dasar!” ia berkata bak para demonstan. Seolah-olah ia tak menyadari bahwa dirinya juga terlibat di dalamnya.
Tapi saat ia menyadari sesuatu. Ia berkata lagi, “Ngomong-ngomong, kau tidak kepanasan dengan pakaian seperti itu, Wan?” tanya pria itu melihat teman sekantornya masih mengenakan stelan jes lengkap sementara ia sendiri sejak tadi melonggarkan satu demi satu kancing kemejanya namun tetap kelihatan rapi.
Kaget di tanya seperti itu, Awan menjawab sekenanya. “Oh, i—ini. Ah, tidak apa-apa. Aku malas membukanya. Toh nanti pasti jas ini akan kupakai lagi.”
“Benar sih, tapi... apa kau tidak kepanasan?” pria tadi menaikkan sebelah alisnya. “Aku saja yang sudah melepaskan jas masih kepanasan.”
“Ti—tidak. Tenang saja.”
Pria tadi ragu-ragu untuk berkata kembali, takut teman kerjanya itu tersinggung. Namun keingintahuannya tak memedulikan hal tersebut.
“Oh ya, Wan. Maaf sebelumnya kalau aku mau tahu persoalan rumah tanggamu. Tapi... bagaimana perkembangan tentang masalah perceraian kalian. Maksudku, kau dengan Reni, istrimu?”
Awan tak langsung menjawab. Pertanyaan itu seolah-olah mengingatkannya kembali akan masalah lalu yang pernah ia hadapi. Permasalahan yang begitu mengusik pikiran dan ketenangan rumah tangganya, bahkan kondisi psikisnya. Dua bulan yang lalu, istrinya tiba-tiba memutuskan untuk bercerai, padahal sudah dua tahun lamanya mereka membina rumah tangga. Memang pernikahan mereka tidak berlangsung dengan baik, tapi itu tidak menjadi alasan istrinya untuk langsung memutuskan tali perkawinan di antara mereka berdua secara sepihak. Tidak adil! Zaman sekarang mana ada yang adil?
Setiap minggu ada saja masalah yang pasti dipermasalahkan oleh istrinya, seakan-akan semua masalah yang timbul itu merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditolak. Banyak orang-orang berfikir; entah tetangga, teman sekerja, teman dekat, ataupun keluarga, bahwa pertengkaran yang sering terjadi dalam rumah tangga mereka ditengarai karena tak adanya kehadiran anak. Dari dua tahun perkawinan mereka itu, kehadiran buah hati di sisi mereka, memang belum juga terwujud. Bodoh! Itu bukan alasan. Hanya orang-orang yang bodohlah yang menetapkan hal itu sebagai alasan yang mendasari untuk mengakhiri sebuah hubungan suci pernikahan.
Memang benar adanya bahwa sebuah keluarga tidak lengkap tanpa kehadiran seorang anak di tengah-tengah keluarga tersebut. Anak bagaikan penenang dan pembasuh di antara panasnya kekisruhan suatu rumah tangga. Bahkan ada yang berpendapat bahwa anak adalah malaikat yang diciptakan khusus untuk sebuah keluarga. Tapi, bukankah semua itu adalah kehendak Sang Pencipta, Tuhan. Dia-lah yang menentukan apakah sebuah keluarga memiliki keturunan atau tidak, apakah mempunyai penerus atau tidak. Manusia hanya bisa menjalani hidup dan berusaha melaksanakan kodratnya sebagai khalifah di dunia.
Terkadang terlintas di pikiran Awan sebuah pertanyaan yang sedari dulu ingin sekali ditanyakannya pada wanita itu, Apakah benar kau mencintaiku apa adanya? Apakah benar kau menikah denganku bukan karena paksaan atau karena memendam suatu niat jahat untuk menghancurkanku, menghancurkan karier atau kehidupanku?
Masih segar di ingatan Awan pertengkaran hebat yang terakhir terjadi di antara ia dan istrinya. Pertengkaran yang akhirnya menghabiskan kesabarannya untuk menjaga keutuhan rumah tangganya dan memberinya kekuatan untuk menandatangani surat cerai yang selama ini gencar ditawarkan oleh istrinya. Ini tidak bisa lagi dipertahankan. Aku tak sanggup.
Kejadian itu terjadi di suatu siang yang panas saat sepulangnya ia bekerja dan tiba di rumahnya dengan kondisi tubuh yang sangat lelah akibat banyaknya tuntutan pekerjaan dari kantornya yang harus diselesaikannya hari itu juga. Sebelumnya, ia sudah menelepon istrinya bahwa ia akan terlambat pulang karena ada lembur di kantor. Di telepon, wanita itu mengiyakan tanpa komentar apa pun yang mengikuti persetujuannya. Tumben sekali. Tapi beruntung, Awan mendapatkan kompensasi untuk menyerahakan laporan itu keesokan harinya dan boleh menyelesaikannya di rumah. Hari ini sangat penting sekali bagi istrinya, Awan juga. Sekali setahun perayaannya. Hari ini adalah ulang tahun istrinya yang ke-27. Sudah terbayang di pikiran Awan bahwa hari ini pertengkaran di antara mereka berdua akan reda. Emosi yang telah membatukan kelembutan istrinya akan langsung meleleh. Ia akan memberikan pendamping hidupnya itu pengertian dan penjelasan serta jalan tengah untuk mengatasi permasalahan yang terjadi di antara mereka. Di tangan sudah tertenteng sebuah kotak berisi kue ulang tahun dengan polesan krim yang lezat dan tak lupa sekuntum mawar merah sebagai pelengkap cinta dan kasih sayangnya. Sementara tugas kantornya bisa menunggu. Hanya pengecekan laporan yang akan ia lakukan di rumahnya.
“Nanti malam akan aku selesaikan dengan cepat. Toh, tidak membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan semuanya.”
Awan membuka pintu lalu melepaskan sepatu. Aneh, tumben istrinya tidak menyambutnya hari ini. Kemarin-kemarin, walaupun sedang bertengkar, wanita itu tak lupa untuk menyambutnya ketika ia pulang. Mungkin dia sedang sibuk di dapur, jadi tak mendengar kedatanganku. Bagus kalau begitu, aku akan memberinya kejutan. Awan meluncur masuk berniat memberikan selamat dan kejutan.
Dari tempatnya berdiri terdengar suara berisik, suara percakapan dua orang. Suara yang satu jelas sekali milik istrinya, Reni, sementara suara berat laki-laki yang ditemani reni mengobrol milik siapa. Tipe suara itu tidak ia kenal sama sekali. Tak pernah tersimpan dalam memori otaknya. Siapa pemilik suara itu? Seketika, kecurigaan merambat bagai ketakutan akan gelap.
“Bagaimana dengan pernikahanmu, Ren?” tanya seorang pria berparas tampan. Ia merebahkan punggungnya di sandaran sofa.
“Yah, begitulah,” jawab wanita itu seadanya sembari menghela napas. “Aku sudah bosan dengannya.”
“Maksudmu?”
“Aku mau memutuskan bercerai saja darinya.”
“Hmmm...” pria itu berpikir sejenak. “Kalau begitu kita bisa berhubungan dengan bebas. Tak usah sembunyi-sembunyi seperti ini dari Awan sialan itu. Aku bosan kalau terus begini.”
Reni menggoda pria itu dengan tatapannya. “Tentu saja, Sayang. Kerahasiaan hubungan di antara kita akan segera berakhir. Secepatnya.”
Pria itu memeluk tubuh Reni yang mungil dengan mesra, lalu berkata di sela-sela pelukannya. “Kupegang janjimu itu, Sayang. Cepat kau ceraikan dia. Kau tak akan memperoleh anak dari Awan. Dia banci. Madul.”
“Yup, tepat sekali kata-katamu itu.” Mereka berdua cekikikan.
“Tapi...” wanita itu tak menyelesaikan kata-katanya.
“Tapi apa, Sayang?”
“Bagaimana aku bisa hidup setelah bercerai dengannya? Kau tahu sendiri kan, aku pasti tak akan dibiayai lagi olehnya. Apa yang harus aku lakukan?”
“Tenang. Jangan khawatir, Sayang. Jangan khawatirkan soal uang. Ada aku. Aku yang akan membiayai segala kebutuhan hidupmu setelah kau bercerai dengan si brengsek itu, dan setelah itu...”
Wanita itu menengadah menatap wajah pria di sampingnya. Matanya berbinar. “Setelah itu apa?”
“Tentu saja kita akan menikah. Bagaimana?”
“Aku senang sekali.” Wanita itu mengeratkan pelukannya. Dengan sebelah tangan, laki-laki itu menyibakkan rambut halus dari dahi wanitanya kemudian dengan lembut mengecup keningnya. Seolah-olah perbuatan itu menandakan seberapa besar rasa sayangnya pada wanita itu.
Di belakang Awan berdiri terpaku mendengar percakapan itu. Wajahnya memerah, matanya membelalak seolah ingin melahap dua orang yang sedang duduk di depannya dan tidak merasakan keberadaannya. Seluruh tubuhnya bergetar kala menahan amarah yang kian memuncak. Darah di seluruh pembuluh, di jantung, terutama di otak sudah mendidih hingga mencapai titik anomali. Seperti ada tegangan listrik yang langsung merasuk dari ujung jari-jari kaki lalu menyebar hingga ke tulang belakang. Rahangnya kokoh bagai granit cetakan. Gigi-gigi grahamnya bergemeretak menimbulkan suara aneh seperti bunyi suara burung pelatuk yang sedang membuat lubang di batang pohon Ek.
Mungkin suara gemeretak itu pula yang kembali menyadarkan kedua orang di depannya, hingga mereka kaget lalu berdiri secara tiba-tiba. Ekspresi wajah mereka berdua bagai pencuri yang tertangkap basah menjarahi seisi rumah yang sedang ditinggalkan pemiliknya.
“Kapan kau... datang?” tanya Rini gugup. “Bukankah kaubilang tadi kau akan lembur di kantor? Tubuh wanita itu gemetaran laksana dicekam ketakutan luar biasa.
“Dasar wanita tak tahu diuntung! Penghianat!” hardik Awan. Tak terasa topangannya akan kotak kue ulang tahun dalam genggamannya kian melemah dan detik berikutnya, kue itu jatuh berserakan di lantai diikuti bunga mawar yang jatuh di sampingnya. Potongan-potongan kue itu langsung berserakan di lantai. Reni dan pria di sampingnya malah memperhatikan kue yang sudah tak berbentuk lagi.
Kedua tangan Awan mengepal. “Apa yang sedang kalian lakukan?”
Di tengah kemarahannya, kedua binar matanya berkaca-kaca. “Apa karena dia, kau mau menceraikanku, Ren?”
Wanita itu diam sejenak. Dalam hatinya, ia tengah menyusun seuntai kalimat yang tentunya akan melukai perasaan suaminya itu. Pasti pria itu akan terluka. Meskipun begitu, ini adalah waktu yang tepat untuk mengutarakan keluh kesahnya selama ini, selama membina rumah tangga bersama pria di hadapannya. “Ya, memang... tapi ada alasan lain selain alasan tadi...” diam lagi, “selain itu, kau tidak bisa memberiku anak, Awan. Kau pasti sudah tahu bahwa di setiap pernikahan, semua pasangan pasti ingin sekali mempunyai anak, sangat mendambakan kehadirannya sebagai pencerah suasana. Aku menginginkan itu. Aku ingin mendengar celotehan dan merasakan kemanjaan mereka.”
Wanita itu mulai terisak. “Kautahu, selama ini aku sangat kesepian setelah engkau pergi bekerja. Kau terlalu sibuk dengan pekerjaanmu sampai-sampai melupakan aku, istrimu. Setidaknya, dengan kehadiran anak di antara tengah-tengah kita, kesepianku itu dapat banyak berkurang. Tapi, ini... tidak.”
Kini air mata wanita itu mulai jatuh dan melelehkan pertahanan kosmetik yang terpoles di pipinya, sedikit demi sedikit bagai tanah yang terkena erosi air hujan. Kedua pria itu terpaku menatapi Reni yang sedang meratapi kepedihan hidup rumah tangganya.
Reni kembali bersuara, “Sudah dua bulan aku diam-diam menjalin hubungan dengan Doni tanpa sepengetahuanmu.” Wanita itu menatap pria di sampingnya. Dari tatapan yang dilayangkan Doni kepadanya, Awan bisa melihat bahwa tatapan itu mengatakan, Kau telah menyia-nyiakan wanita ini. Kau betul-betul pria bodoh, Awan. Pantaslah kalau Reni memilih untuk meninggalkanmu.
“Kami mencuri-curi waktu saat kau pergi kerja, namun jika kau berada di rumah dan tengah sibuk dengan segunung pekerjaan yang harus kau selesaikan, kami membuat janji bertemu di luar.”
“Salahmu sendiri, Awan. Kau menyia-nyiakannya wanita secantik dia demi pekerjaan yang selalu kau pentingkan dibanding apa pun.” Doni bersuara. Tatapannya tajam dan melecehkan.
Setelah dari tadi terdiam, Awan kembali berkata-kata, “Aku tanya untuk yang terakhir kalinya. Apakah kau lebih memilik laki-laki itu dibandingkan rumah tangga kita? Dibanding pernikahan kita?”
Sambil menunduk, Reni menjawabnya seakan tanpa beban. “Tidak ada yang patut dipertahankan lagi dalam pernikahan kita ini. Tidak ada dan aku lebih memilih Doni darimu. Dia lebih bisa membuatku bahagia. Dia bisa memberikanku segalanya, semua keinginanku yang dari dulu tak bisa kau berikan padaku.”
Bagai terhujam seribu tombak yang jatuh dari langit, Awan tak bisa berkata apa-apa. Tubuhnya kaku, beku, dan membatu, membentuk seperti fosil tulang-belulang dinosaurus yang telah punah ratusan tahun lalu. Rohnya bagai meninggalkan jasadnya sendiri terpaku di tempat itu. Sepi dan senyap. Entah, mungkin kalimat tadi begitu sangat menusuk perasaannya, menggoyahkan pertahanan hatinya yang sejak dulu terus menetapkan bahwa ‘wanita ini mencintai dan menyayangiku setulus hati, tanpa ada yang dikurangi. Dia benar-benar jodohku. Betapa beruntungnya aku memilikinya.’
Dengan berat hati, Awan berkata, “Kalau begitu pergi dari rumah ini sekarang juga. Cepat pergi kalian berdua. Rumah ini tidak bisa menampung kalian di sini.”
Doni mengambil jaketnya lalu menggandeng tangan Reni keluar dari ruangan itu. Sebelum menutup pintu, Reni sempat berkata, “Buang saja semua baju-baju dan barang-barangku. Doni akan membelikan semua kebutuhan hidupku. Oh iya, dan secepatnya lupakan aku.”
Pintu ditutup keras.
Dalam hati Awan bergumam, Dengan senang hati akan kubakar semua barang-barangmu hingga tak ada lagi yang tersisa di rumah ini. Hingga tidak ada lagi kenangan yang melekat dalam pikiranku. Dan aku akan berusaha melupakanmu secepatnya. Secepatnya...
~Bersambung~
2 komentar:
hai brow,pa kbr,duh posting'y kren,,,,
lam knl y,,,,
btw pny fs n facebook gk???
add y di anthoni_hendry@yahoo.com
thnk's
fs gw ghoz_roro@yahoo.co.id
thx atas komentarnya
admin
Posting Komentar