Minggu, 28 November 2010

Lily Untuk Diana






Penulis  : Afandi Muhammad
Gendre : Romance







"Jika kalian percaya bahwa sebuah kisah adalah nyata, maka kenanganku ini akan membuat kalian percaya bahwa cinta adalah sesuatu yang benar-benar nyata."

~0~

Banyak sekali kenangan yang bisa kuceritakan antara aku dan Diana. Sebegitu banyaknya hingga aku sendiri tak tahu akan memulainya dari mana. Setiap kenangan itu telah melebur menjadi satu kisah besar dalam hidupku. Jika diumpamakan, setiap kisah yang kulalui bersamanya adalah kisah-kisah menarik yang tak akan bisa kutemukan di dalam buku manapun. Tapi ada satu yang paling kuingat. Diana suka sekali lily. Yah benar, lily yang itu. Lily yang kelopaknya mirip terompet, yang banyak kalian temui saat perayaan malam tahun baru.

Sebelum kuceritakan kenangan itu, kuminta pada kalian, jangan tanya mengapa aku bisa mengingat kisah itu lengkap dengan detail-detailnya, sebab kalian termasuk orang dungu kalau menanyakan kembali hal itu. Aku jadi sangsi, apakah kalian benar-benar menyimak kisahku dari awal? Nah, kalau kalian sudah sepaham dengan persyaratanku, maka akan kuceritakan perlahan-lahan agar kalian bisa mengikutinya, bukan hanya sebagai sebuah kisah yang menarik, tapi juga sebagai kenangan yang indah.


Aku ingat sekali percakapanku kala itu dengan Diana tentang bunga favoritnya itu ketika kami sedang duduk santai di sebuah coffee shop, di sekitar Jalan Merdeka, Bandung. Waktu itu, cafe tersebut tidak begitu ramai, jadi kami menghabiskan sisa waktu beberapa jam sore itu hingga Adzan Magrib berkumandang.

“Kamu tahu kan, Bian, bunga lily?” tanya Diana.

Aku mengerut kening dengan buku yang terbuka di depanku, seolah-olah pertanyaan tadi telah mengganggu hubungan intimku dengan bacaanku. Tanpa menatap Diana, aku menggeleng tak acuh.

“Ah, kampungan sekali kamu ini, Bian. Masa bunga secantik itu kamu tidak tahu sih,” dia berhenti, menyeruput frozen ice caramel di depannya kemudian meneruskan, “tapi kamu pernah dengar namanya kan? Li-ly?” Diana ngotot. Mengeja kata terakhirnya menjadi dua suku kata yang sempurna.

Kuberikan gelengan yang sama untuk pertanyaan keduanya itu.

“Iih, kamu. Masa namanya saja tidak pernah dengar? Kamu kan suka baca buku, masa tidak pernah membaca kata lily di dalam bacaanmu itu? Ah, kamu bohong, kan?”

Jujur ya, aku tak mau berbohong. Apalagi berbohong pada gadis di depanku ini. Perbuatan itu pantang kulakukan, sebab aku ingat ayahku pernah berkata begini padaku, “Jangan membohongi perempuan karena dia pasti tahu kalau kau sedang berbohong”. Akan tetapi sikap Diana yang sudah kelewat keras kepala itu membuatku sedikit kesal. Sekonyong-konyong aku menatap wajahnya, memberikan tatapan tanpa arti.

“Buat apa aku bohong? Memangnya aku pernah berbohong padamu?”

“Iya, tidak pernah, tapi jangan berbicara dengan muka seperti itu dong. Aku kan hanya bertanya?”

Aku membalas, sembari memberinya senyuman kecut. “Yang kamu lakukan tadi itu bukan bertanya, tapi memaksa.”

“Iya, iya deh, aku minta maaf. Tapi perhatikan aku dong kalau sedang bicara denganmu. Jangan buku saja yang diperhatikan.”

Hanya anggukan kecil yang kuberikan sebagai jawabanku.

“Bian,” ucapnya manja. “Sayang, lihat aku dong. Masa sudah dua tahun kita pacaran, kamu masih seperti ini sih. Tidak ada romantis-romantisnya sama sekali.”

Kualihkan perhatianku dari buku ke wajahnya. Mata Diana terlihat berkaca-kaca, wajahnya sendu, sungguh tidak imbang dengan keanggunan alamiah yang dia miliki. Diana sebenarnya gadis yang ceria dan periang, tetapi suasana hatinya cenderung cepat bisa berubah. Maksudku, segala sesuatu bisa membuatnya bersedih. Bahkan terakhir kali, ketika dia melihat seekor anak kucing kampung terlunta-lunta di pinggir gang dekat rumahnya, mengeong-ngeong pilu, dia menyuruhku menghentikan mobil. Diana turun dan mengambil anak kucing itu, memeluknya mesra, dan merawatnya hingga sekarang. Sehari setelahnya, ketika aku menjemputnya di rumahnya, kucing itu sudah terlihat segar bugar, berlari ke sana-kemari mengikuti majikannya, dan tahu tidak nama yang diberikan Diana kepada anak kucing itu. Artemis. Bayangkan, namaku kalah bagus dengan seekor anak kucing kampung yang ditemukan di pinggir gang. Ah, dunia memang terkadang tidak adil. Bahkan bagiku yang jelas-jelas seorang manusia yang punya akal dan kecerdasan.

Alasan-alasan itulah yang lalu membuatku tersenyum kepadanya. Meski aku terkesan cuek dan jarang mengatakan kalimat-kalimat romantis pada Diana, tapi jujur dari hatiku yang paling dalam, aku sungguh-sungguh mencintainya. Kehadiran Diana dalam hidupku tak bisa diukur dengan apa pun, bahkan untuk buku-buku yang selalu kubaca atau prestasi-prestasi yang sering kudapatkan. Gadis di depanku ini ibarat pelangi dan senyawa bening di malam hari. Umpama nyanyian lembut di gelapnya malam, membuatku tenang dan damai. Dan sekarang aku telah membuat gadis yang meng-indahkan duniaku itu bersedih dengan mata berkaca-kaca. Apa yang telah kulaukan? Seharusnya aku berterimakasih padanya karena sudah membuatku selalu ceria tiap harinya dengan dia di sisiku.

Seorang wanita berpakaian rapih dan bergincu tebal, yang duduk cukup dekat dengan kursiku, menoleh ke arahku. Memperlihatkan tatapan cemooh akan sikapku yang telah membuat seorang gadis hampir menangis.

“Maafkan aku,” kataku pelan, cemas, seraya menatap wajah Diana dalam-dalam, membiarkan tatapan wanita menor itu menghujamku, “aku tidak bermaksud mengacuhkanmu. Aku memang tidak tahu bunga lily. Aku belum pernah membaca ataupun melihatnya. Aku hanya...” Ah, di waktu-waktu seperti ini, kenapa aku sendiri tiba-tiba lupa bagaimana cara yang tepat untuk meminta maaf. Kenapa aku tidak bisa berkata-kata mesra kepadanya? Aku terlalu kaku sebagai pemuda yang memendam perasaan begitu besar kepada seorang gadis yang telah menjadi kekasihku. Apakah aku telah memberikan kebahagiaan yang dia harapkan sebagai seorang gadis yang punya pendamping? Apakah aku sudah cukup baik di matanya dengan begitu banyak kekuranganku? Apakah dia bahagia, di dalam hati, ketika menghabiskan hari-harinya bersamaku? Sejujurnya, aku merasa belum memberikan apa-apa sebagai balasan atas kebaikannya. Apakah dia pernah mengeluh sebelum tidur di malam hari karena sikapku yang seperti ini? Apakah... apakah... ah, terlalu banyak pertanyaan ‘apakah’ dalam kepalaku, sampai-sampai aku sendiri tak bisa mengungkapkannya lewat mulutku.

Diana berusaha tersenyum, menarik kedua sudut bibir mungilnya hingga mengembang. Cerah. Cuping hidungnya bergoyang saat wajahnya berseri. Senyuman itu membuatku sedih. Kuyakin kalian bisa membayangkan bagaimana hatiku teriris melihat perubahan keceriaan yang tiba-tiba itu. Senyuman itu menyentil hatiku. Aku sepenuhnya menyadari arti di baliknya. Tetapi, kenapa Diana masih bersabar? Kenapa dia masih mau bersamaku? Aku yakin banyak sekali pemuda yang akan antri di belakang sana jika tahu kalau Diana tidak punya pacar, tentu saja setelah dia putus denganku. Aku yakin itu. Yakin seratus persen. Tapi, kenapa aku yang dipilihnya? Kenapa menurutnya, akulah pemuda yang bisa membahagiakannya? Kenapa? Kenapa aku? Toh aku pastilah tidak sempurna dibandingkan pemuda-pemuda lain di luar sana. Aku hanya pemuda maniak buku, cuek, dan kaku. Aku benar-benar di bawah standar untuk gadis seperti Diana. Tapi sekali lagi, kenapa?

“Sudahlah, tidak usah dipikirkan, Sayang,” katanya ketika melihatku yang tengah dilanda rasa bersalah. “Aku tidak apa-apa kok. Seharusnya kan aku yang meminta maaf karena sudah keras kepala tadi.” Dia mengembangkan lagi senyumannya.

Berusaha memulihkan perasaan bersalah dalam diriku, aku lalu bertanya, “Kamu suka sekali ya dengan bunga lily?”

Diana mengangguk ceria, seperti memperoleh kembali sikap riangnya yang sempat hilang. “Iya, aku suka sekali. Aku pernah membaca artikel di internet, kalau bunga lily itu bisa tumbuh di berbagai tempat. Bisa di hutan, gunung, rawa, atau di tengah-tengah rerumputan liar. Ya, persis seperti aku.”

Masih melanjutkan kalimatnya, Diana menjelaskan panjang lebar. “Bunga lily itu bunga yang paling populer di dunia lho sayang. Bahkan di Inggris, kepopulerannya itu melebihi bunga mawar. Wah, hebat sekali kan. Dan kabarnya, sewaktu Lady Diana meninggal dunia, banyak orang yang menaruh buket bunga lily di depan Istana Buckingham. Benar-benar deh sayang, bunga lily itu seperti ratu di antara semua bunga. Yah, mirip seperti Ratu...”

“Diana,” potongku singkat. Itu membuat pipinya merona merah. Dia tersipu malu, dan tak bedanya dengan aku. “Bunga itu seperti kamu.” Akhirnya kalimat itu keluar juga dari mulutku. Meski hanya satu kalimat itu saja, akan tetapi perlu usaha sedemikian lama―berbulan-bulan, untuk melepaskannya dari jerat-jerat di sekitar selongsong trakea-ku.

“Ah, kamu bisa saja, Sayang.” Tanpa melihat ke arahku, entah masih malu atau karena alasan lain, Diana memegang tanganku. Rapat dan erat sekali, hingga aku bisa merasakan telapaknya yang halus dan berkeringat. Aku sendiri diam mematung. Kaget melihat efek dari kata-kataku. Pelan-pelan tapi pasti, Diana menarik wajahnya untuk menatapku. Samar-samar tersirat rasa cinta yang mendalam pada wajahnya yang tak bernoda―penuh makna. Ada pancaran ketenangan di matanya. Pancaran itu bahkan membuat hatiku bergetar. Seolah-olah ada gempa dalam diriku, dan langsung membuat semuanya berantakan dan porak-poranda. Namun perasaan suka akan pancaran itu tak bisa kutolak. Seperti candu yang tak berkesudahan. Aku malah sangat menyukainya. Kami saling bertatapan, umpama ada sesuatu yang menarik dan mengaitkan mata kami berdua. Ada sebuah elemen seperti percikan listrik di antara jarak mata kami, dan dengan kuat ingin mendempetkannya laksana magnet.

Jika saja bukan di tengah keramaian ini, jika saja kami berada di suatu tempat yang indah dengah sayup-sayup angin menerpa rambut dan telinga kami, kami barang tentu akan melepaskan rasa itu. Membiarkannya mengembara sampai menyentuh sumsum tulang kami. Aku pasti menciumnya. Menciumnya dengan kehangatan seperti seorang kekasih yang tengah dirundung asmara. Aku akan mengecup bibir mungilnya―lembut, menyebarkan perasaan cinta yang begitu meluap-luap yang selama ini belum jujur kukatakan kepadanya. Mengatakan bahwa aku benar-benar sayang padamu dan aku tak mau kehilangan dirimu. Tidak sedetikpun. Berdasarkan pengetahuanku yang dangkal tentang cinta, aku punya persepsi sendiri bagaimana itu mencintai. Cinta memang tak perlu diucapkan dengan kata-kata, cinta memang akan menemukan jalannya sendiri, cinta memang akan berjalan sebagaimana mestinya, tetapi kata-katalah sesungguhnya yang menjalin cinta. Kata-katalah yang membuat cinta itu semakin kuat. Kata-kata yang simpel seperti, “Aku cinta padamu dengan sepenuh hatiku” atau “Aku sayang padamu bagaimanapun sikapmu”. Tak ada yang lebih berharga dari kata-kata, sebab cinta bermula dari kata-kata.

Kiranya beberapa lama kami saling bertatapan tanpa melakukan apa-apa―diam membisu. Hingga ketika embun-embun yang merembes dari gelas di depanku mengalir membentuk sungai-sungai kecil, menyentuh tangan kami yang merapat erat, kami tersadar dari dunia impian kami.

Berdua kami menertawakan kebodohan kami, yang sebenarnya adalah saat di mana pertama kali kami merasakan rasa yang begitu mengesankan di antara hati kami. Apa kalian tahu adagium yang mengatakan, ‘wanita adalah bagian dari tulang rusuk pria yang hilang’, nah sekarang aku telah menemukan rusukku yang hilang. Dalam kata lain, aku telah menemukan hawa-ku. Aku telah mendapatkan ujung yang lain di mana tali cinta terikat kuat dari tubuhku.

“Kamu mau kado apa nanti di ulang tahunmu?” aku bertanya segera setelah mengingat tanggalnya yang semakin dekat. “Sebulan lagi, kan?”

Diana mengangguk. “Tidak usah. Kalau diberi kado, aku jadi seperti anak kecil.” Dia memperlihatkan senyuman manjanya, dan malah merona saat mengatakan kalimatnya yang lain. “Cukup ada kamu kok pada hari itu, aku sudah sangat senang.”
“Ah, dasar kamu, buat aku malu saja. Setidaknya, kamu pasti mau sesuatu kan?” Aku menutup buku di depanku, lebih tertarik dengan percakapanku sekarang. “Mungkin kamu mau boneka, cokelat, atau sesuatu yang kamu inginkan dari dulu. Setahuku, setiap perempuan pasti punya keinginan yang mereka idam-idamkan.”

Gadis di depanku tersenyum nakal. “Sebenarnya, aku juga ada kok. Keinginan yang diidam-idamkan dari dulu.”

“Apa itu?”

“Kamu.” Diana menjawabnya tanpa jeda. “Jujur, dari dulu memang aku sudah memimpi-mimpikan orang yang seperti kamu ini Bian. Yah, meski kadang kamu membuat aku kesal karena terlalu fokus saat membaca buku daripada memperhatikan aku bicara, tapi aku tetap suka kamu.”

Aku terdiam, tak tahu harus mengatakan apa. Bingung antara harus senang atau sedih, sebab kalimat-kalimat itu punya dua makna yang sangat berbeda. Melihat tingkahku seperti itu, Diana lalu menjelaskan, “Tapi aku yakin kok kalau kamu sayang sekali denganku, walau jarang mengatakan cinta. Tetapi sayang kan tidak harus selalu mengucapkan cinta.” Di kepalaku, kutentang kata-kata Diana yang kurasa salah. “Buktinya, kamu tidak pernah membuatku menangis. Selalu berusaha membahagiakan aku. Selalu ada di saat aku membutuhkan seseorang untuk membuatku bahagia. Selalu ada untuk membantuku, bahkan saat menyeberang jalan pun kamu menuntuku. Bian selalu melindungiku. Pokoknya, Bian is the best-lah.” Sambil menganggkat kedua ibu jarinya tinggi-tinggi disertai senyuman, memperlihatkan gigi putihnya yang berderet rapih.

Mendengar pujian setinggi langit itu, mukaku panas karena tersipu. Sulit rasanya, kukira kalian juga begitu, apabila mendengar pujian yang langsung diucapkan di depan muka kalian tanpa membuat kalian tersipu-sipu, akan tetapi beberapa saat kemudian, aku kembali bisa mengendalikan diriku, meski tidak sepenuhnya.

“Emm... bagaimana... kalau ulang tahunmu nanti, kuberikan... bunga lily saja.”

Mata Diana berbinar-binar saat mendengarku mengatakannya.

“Boleh, boleh. Aku mau sekali,” ucapnya kegirangan.

Dan dengan begitu berakhirlah kisah kami sore itu saat langit mulai menghitam sehitam jelaga. Bandung yang sudah lembab semakin basah oleh rintik hujan yang turun. Aku yakin, kalian akan berpikir betapa aku terlalu hiperbola dalam mengungkapkan perasaan-perasaanku kepada Diana, tapi mau bagaimana lagi, begitulah adanya. Buat apa aku repot-repot mendramatisasi sesuatu kalau itu hanya omong kosong. Aku tidak mau tampil di depan kalian. Tidak seperti orang-orang yang sukanya show-off mencari perhatian, yang sebenarnya butuh konseling jiwa.

~0~

Diana, seperti Ratu Lily dalam taman bunga di hatiku. Mekar begitu indahnya. Dan di sinilah aku berdiri sekarang, di depan sebuah kios bunga. Hari ini adalah hari ulang tahun Diana, dan aku sudah berjanji memberikannya bunga lily sebagai hadiahnya. Pasti dia akan senang sekali waktu mendapatkan bunga lily dariku, sebagaimana saat kukatakan waktu itu. Buncahan kebahagiaan itu menarik-narik otot wajahku ke segala arah agar terus tersenyum.

Wangi bunga langsung menyeruak memenuhi indra penciumanku, tepat ketika aku melangkah masuk. Kios itu tidak terlalu besar, dan tidak tampak seperti kios bunga dari luar. Hanya sebuah papan yang menggantung di tiang di depan kios itulah yang menandakan bahwa kios itu menjual beraneka jenis bunga potong.

Aku melihat-lihat sekeliling, tak tahu-menahu bagaimana bentuk bunga lily yang diinginkan Diana. Yang hanya terpikirkan di kepalaku, kelopak bunga lily serupa terompet, dan di dalam sini, bunga yang kelopaknya seperti terompet bukan hanya satu. Kucoba baui aroma dan melihatnya lebih teliti lagi. Kata Diana dulu, lily itu bunga yang paling indah di antara semua bunga, tapi di tempat ini, semua bunga begitu indah dengan kelopak, warna, dan wangi mereka masing-masing. Aku benar-benar kebingungan. Seperti disuruh memilih tiga buah pintu tanpa tahu apa yang ada di baliknya. Setiap pilihan mengandung resiko. Aku khawatir jika salah memilih bunga, Diana akan sedih dan kecewa. Aku tak mau membuatnya menderita seperti itu. Tidak untuk hari ini, tidak pula untuk selamanya.

“Selamat pagi. Bisa saya bantu?” Seorang wanita paruh baya, berwajah ramah, menyapaku.

“Apa di sini Ibu menjual bunga lily?”

“Bunga lily ya. Hampir semua jenis bunga yang terkenal di jual di sini kok, bunga lily salah satunya,” katanya, seraya berjalan ke suatu sudut di dekat tumpukan bunga mawar. “Tapi akhir-akhir ini susah sekali mendapatkan bunga lily. Pemasoknya bilang, panen untuk bunga lily bulan ini sedang tidak terlalu bagus. Katanya ada semacam hama yang memakan akar-akar tanamannya waktu bunganya masih kuncup. Jadi hanya sedikit bunga lily potong yang dipasok dari kebun di Lembang sana.” Sambil mengangkat bunga yang dia maksud, wanita itu lalu berkata, “Yang ada cuma bunga lily yang kelopaknya putih seperti ini. Ngomong-ngomong, mau diberi ke siapa? Buat pacarnya ya?”

Aku hanya tersenyum memberikan jawaban. Aku memandang bunga itu takjub. Jadi bunga inilah yang diinginkan Diana. Bentuknya memang menarik dengan kelopak seputih bulu angsa. Tidak salah kalau bunga ini jadi idaman orang-orang di daratan Eropa sana, mereka kan begitu mengagung-agungkan keindahan di atas segalanya.

Tanpa basa-basi lagi, aku langsung membeli seikat bunga lily yang tersisa dan membayarnya. Matahari pagi hampir beranjak terik, maka cepat-cepat kubuka pintu mobil dan kuletakkan bunga lily itu dengan hati-hati di kursi belakang, berhati-hati agar kelopaknya tak terkoyak. Saat memasukkan kunci mobil dan menekan pedal gas, seekor kucing yang duduk di kursi di sebelahku, mengeong. Dialah kucing itu, kucing yang namanya lebih bagus dari namaku. Dengan cepat dia sudah tumbuh menjadi kucing yang subur. Artemis yang berbulu keemasan kembali mengeong untuk kedua kalinya, kali ini sambil menatapku lekat-lekat. Dia jadi pandai sekali menyampaikan pesan lewat matanya yang kecil. Laksana melalui indra itulah, jauh berhari-hari sebelumnya, dia sering bercakap-cakap dengan Diana mengenai segala hal.

“Iya, kita akan segera pergi kok ke tempat Diana. Kita akan merayakan ulang tahunnya bersama-sama,” ujarku membalasnya. Entah kenapa, sejak Artemis tinggal bersamaku, kami seumpama memiliki ikatan batin yang kuat tentang apa pun yang berkaitan dengan Diana. Aku tak tahu, apakah kucing di sampingku ini, punya kecintaan yang sama kuatnya denganku kepada sosok Diana.

Kukebut mobil secepat mungkin agar tak terlambat di perayaan ulang tahun itu. Meskipun begitu, kujaga agar speedometer tetap tak menunjukkan angka fantastis sebagai imbas dari kecepatan berkendaraku. Dua puluh lima menit kemudian, setelah memarkir mobil, aku turun membawa hadiah untuk Diana. Artemis mengikutiku dari belakang. Kami berdua masuk ke sebuah lapangan luas. Tak berumput, yang ada hanya kelengangan dan pohon-pohon kamboja yang berbunga. Aneh, suasananya sepi, sangat sepi dari keceriaan. Ini bukan seperti pertanda yang kuharapkan sebagai pesta perayaan ulang tahun Diana. Aku terus berjalan, melewati tugu-tugu batu yang membisu di kanan-kiriku. Sampai pada akhirnya, kami tiba di tempat pesta. Tanpa sabar, Artemis berlari seperti menyadari kalau Diana berada di situ, mengeluskan kepalanya ke tugu batu di depanku.

Aku berusaha sekuat tenaga menekan tangisku. Kulihat lagi tulisan di nisan itu, kubaca dengan teliti. Merasa tidak yakin kalau orang yang beristirahat di dalam makam itu adalah orang yang sangat kukenal dan kucintai.

--------------------------------------
Diana Hadiraja binti Kusuma
Lahir – 31 Agustus 1991
Wafat – 25 Agustus 2009
--------------------------------------

Sehebat apa pun aku menahan sakit dan tangis ini, namun kesedihan selalu bisa menemukan celah lain dalam hatiku. Buncahan-buncahan kebahagiaan itu menghilang, membuatku dibayang-bayangi keterpurukan.

“I... ini hadiah ulang tahunmu, Sayang... tepat seperti yang kujanjikan hari... itu...” Tangisku pecah. Aku berlutut di depan makam Diana.

Dengan tangan bergetar, kuletakkan bunga lily hadiah ulang tahunnya di atas pusaranya yang masih hangat. Peristiwa kecelakaan itu terjadi dengan begitu cepat dan sangat tiba-tiba. Seumpama kejadian itu meledak dengan momentum yang tak terhingga dalam sekali hembusan napasku. Ratu Lilyku ditabrak ketika hendak menyeberang jalan seminggu sebelum perayaan ulang tahunnya. Aku benar-benar marah kepada Tuhan. Aku marah pada setiap orang yang tidak peduli. Benci melihat orang-orang yang hanya melongo, sementara Diana-ku meregang nyawa di pinggir jalan. Ini merupakan bukti kongkrit akan adanya ketidakadilan yang hakiki.

Tak cukup waktu berhari-hari untukku agar dapat terlepas dari ketersiksaan ini. Semua rasa bersalah membelengguku semakin rapat. Membuatku sesak. Tapi mau bagaimana lagi, semuanya telah terjadi. Aku bukan Tuhan atau jenis semacamnya, yang punya kuasa atas hidup dan mati. Aku hanya lelaki kaku, maniak buku, dan cuek terhadap sekitarku. Dan dengan kematian Diana ini, aku seakan-akan mengalami penghentian pola pikir. Mandek dan bergolak pada satu kebiasaan awal yang masih sama dan tak berkembang, malah mengalami kemunduran. Rasanya seperti kehilangan satu-satunya inti dalam hidupku.

Dan tenang saja Diana―Ratu Lilyku, kau tidak akan sendirian di sana, sebab malam ini, aku akan menemuimu.[]

Tidak ada komentar: