Berjarak satu kilometer sebelum gugusan pegunungan Alpen Barat, di sebuah desa kecil, Grasse, desa yang tiap harinya bangun dengan keceriaan dan terlelap dalam angan-angan, seorang gadis penggembala bernama Nathalie Enaiesse hidup dengan ibunya. Berpuluh tahun yang lalu, sejak masih kanak-kanak, dia telah kehilangan ayahnya. Waktu itu Nathalie belum mengerti apa sebenarnya arti dari sebuah kehilangan yang sesungguhnya. Pikirannya masih lugu, tak ada luka. Yang dia rasakan hanyalah kedukanaan karena kehilangan seseorang yang dicintainya. Namun ketika beranjak dewasa, hal sebelumnya hanya berupa lumatan kesedihan, sekarang, seolah menjadi beban alamiyah kesehariannya. Yang dia yakini adalah, sebuah kehilangan apa pun itu bentuknya, sama saja seperti tambahan rutinitas baru dalam perjuangan keras untuk hidup.
Dengan ibunya yang sakit-sakitan, Nathalie satu-satunya sumber penopang hidup bagi keluarganya. Sebagai anak mandiri yang sekarang mengalami peralihan kedewasaan dan pengemban tanggung jawab, karena sulitnya mendapat pekerjaan, Nathalie menerima saja ketika ada seorang juragan domba memberinya pekerjaan untuk menggembalakan domba-dombanya. Tugasnya hanyalah merawat domba-domba itu, membiarkan hewan itu mengembik dan mencari makan di padang rumput, mengawasinya sembari berteduh di bawah pohon, lalu membawa mereka kembali pulang ke kandang. Sebagai imbalan atas perawatan tersebut, Nathalie berhak atas satu anak domba setiap kali domba-domba itu menghasilkan anak domba lebih dari lima ekor. Namun Nathalie lebih menginginkan uang sebagai upah harian (meskipun lebih sedikit), ketimbang anak domba yang perlu dibesarkan lagi, sementara dia dan ibunya tidak bisa menunggu. Perut mereka tidak mau menunggu selama itu.